SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA

Terima kasih telah mengunjungi blog ini, bila ada sanggahan maupun saran silahkan meninggalkan komentar anda, ini hanyalah media sarana kita berkomunikasi. trima kasih.

Sabtu, 07 Juli 2012

PASANGAN DETEKTIF


PASANGAN DETEKTIF

Setelah berhasil dalam Musuh Dalam Selimut (Gramedia, 1984), Tommy dan Tuppence menikah dan hidup bahagia.
Tapi... enam tahun kemudian, mereka mulai bosan. Tak ada kejadian menarik dan mendebarkan yang mereka alami. Padahal, mereka terlanjur kecanduan bahaya. Mereka butuh tantangan untuk mengasah otak mereka yang brilian dan memuaskan kehausan mereka akan petualangan-petualangan yang penuh risiko.
Sebuah tawaran disodorkan. Mereka mengambil alih biro detektif swasta yang hampir bangkrut. Kasus-kasus aneh segera bermunculan lelaki jahat, lelaki berbaju koran, lelaki buta, lelaki dalam kabut, dan...
Tommy-Tuppence, pasangan detektif cemerlang tetapi konyol, sering sial tetapi pantang menyerah. Benarkah? Apakah Tommy akan terus beraksi meski tahu bahwa nyawa Tuppence menjadi taruhannya?
Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama
JL Palmerah SeLAtan 24-26 Lt. 6
Sanksi Pelanggaran Pasal 44: Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta
1. Barangsjapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau
memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp*100.000.000,— (seratus juta rupiah).
2. Barangs apa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu
ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,— lima puluh juta rupiah).
Agatha Christie
PASANGAN DETEKTIF
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 1991
PARTNERS IN CRIME
By Agatha Christie
© 1929 Agatha Christie Mallowan
PASANGAN DETEKTIF
Alihbahasa: Mareta GM 402 91.053
Hak cipta terjemahan Indonesia: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,   . Jl. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270 Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PTGramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI, Jakarta, Januari 1991
Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)
CHRISTIE, Agatha
Pasangan Detektif / oleh Agatha Christie; alihbahasa, Mareta. — Jakarta : PT GramediaJ'ustaka Utama, 1991. 336 hal.; 18 cm.   ~
Judul asli: Partners in Crime. ISBN 979-511-053-5.
1. Fiksi Inggris.     I. Judul.     II. Mareta.
823
Dicetak oleh Percetakan PTGramedia, Jakarta
Daftar Isi
1. Peri di Dalam Rumah 7
2. Sepoci Teh 17
3. Kisah Mutiara Merah Muda 33
4. Kisah Mutiara Merah Muda (Lanjutan)     51
5. Petualangan Lelaki Jahat 59
6. Petualangan Lelaki Jahat (Lanjutan)73
7. Menyiasati Raja 83
8. Lelaki Berbaju Koran 93
9. Kasus Wanita Hilang 106
10. Lelaki Buta 126
11. Lelaki Dalam Kabut 143
12. Lelaki Dalam Kabut (Lanjutan) 156
13. Crackler                       • 168
14. Crackler (Lanjutan)        ? 175
15. Misteri Sunningdale 188
16. Misteri Sunningdale (Lanjutan) 198
17. Rumah Beracun 209
18. Rumah Beracun (Lanjutan) 219
19. Alibi yang Kuat 236
20. Putri Pak Pendeta 261
21. Red House 270
22. Sepatu Tuan Duta Besar 286
23. Laki-laki Nomor 16 310
5
1. Peri di Dalam Rumah
Nyonya Thomas Beresford menggeser duduknya sedikit dan memandang ke luar jendela flatnya dengan sedih. Pemandangan di depannya bukanlah pemandangan yang menarik. Yang terlihat hanya satu blok kecil yang terletak di seberang jalan. Nyonya Beresford menarik napas panjang dan menguap.
"Mudah-mudahan akan terjadi sesuatu," katanya.
Suaminya memandang tidak setuju.
"Hati-hati, Tuppence. Keinginanmu akan sensasi kotor ini membuatku cemas."
Tuppence menarik napas dalam-dalam dan menutup matanya.
"Jadi Tommy dan Tuppence menikah," katanya seperti orang mendongeng. "Mereka pun hidup bahagia. Dan enam tahun kemudian mereka tetap hidup bahagia. Memang luar biasa," katanya. "Apa yang terjadi selalu lain dengan apa yang kita angankan."
"Sebuah pemikiran yang dalam. Tuppence.
7
Tapi tidak orisinil. Penyair-penyair terkenal, bahkan orang-orang terkenal lainnya, pernah meng ucapkan hal itu—dan, maaf—mereka mengucapkannya lebih baik."
"Enam tahun yang lalu," lanjut Tuppence, "aku bisa bersumpah bahwa dengan uang cukup untuk membeli keperluan sehari-hari dan mempunyai suami kau, hidupku bisa seperti sebuah lagu yang indah, seperti kata salah seorang penyair yang kelihatannya kaukenal baik.
"Sekarang apa yang membuatmu bosan? Aku atau uang?" tanya Tommy dengan suara dingin.
"Bosan bukanlah kata yang tepat," kata Tuppence dengan manis. "Aku hanya merasa terbiasa dengan berkat-berkat ini. Itu saja. Seperti orang yang tak pernah berpikir betapa bahagianya dia dapat bernapas melalui hidung sampai dia kena penyakit flu pada suatu saat"
"Apa sebaiknya aku bersikap tidak terlalu mempedulikanmu?" usul Tommy. "Bagaimana kalau aku kencan dengan wanita lain dan pergi ke niteclubT
'Tak ada gunanya," jawab Tuppence. "Kau pasti akan melihatku di tempat itu dengan lelaki lain. Dan aku tahu pasti bahwa kau sebetulnya tidak tertarik pada wanita itu. Sedang kau sendiri pasti tidak tahu apakah aku benar-benar tertarik pada laki-laki itu atau tidak. Wanita biasanya lebih teliti dari laki-laki."
"Angka tertinggi yang bisa dicapai seorang lelaki memang dalam hal kerendahan hati,"
8
gumam Tommy. "Sebenarnya kenapa sih kau7 Apa yang membuatmu tidak puas?"
"Aku tak tahu. Aku hanya ingin mengalami sesuam. Sesuatu yang mendebarkan. Ap' kau tak ingin mengejar-ngejar mata-mata Jerman lagi, Tom? Bayangkan pengalaman kita di hari-hari yang mendebarkan itu. Tentu saja aku sadar bahwa kau bekerja di Dinas Rahasia sekarang. Tapi yang kaulakukan kerja kantoran."
"Kau ingin agar mereka mengirimku ke pelosok Rusia sana dan menyamar sebagai seorang aktivis Bolshevik atau semacamnya?"
"Itu nggak enak," kata Tuppence. "Mereka tak akan membolehkan aku pergi menemanimu, padahal akulah yang ingin melakukan sesuatu. Sesuatu untuk dilakukan. Itulah yang aku inginkan dari tadi."
"Dunia wanita," kata Tommy sambil mengibaskan tangannya.
"Kerja dua puluh menit setelah sarapan sudah membuat flat ini kelihatan rapi. Tak ada yang tak beres, kan?"
'Tugas-tugas rumahmu terlalu sempurna, Tuppence, hampir monoton."
"Aku suka mendengar orang berterima kasih," kata Tuppence. • *
"Memang kau punya pekerjaan," lanjutnya, '"•tapi apa tak timbul sedikit keinginan pun dalam dirimu—untuk melakukan sesuatu yang mendebarkan?"
'Tidak," jawab Tommy. "Aku rasa tidak Me-
9
mang asyik mengharapkan dan membayangkan akan terjadi sesuatu. Tapi yang datang tidak selalu hal yang menyenangkan."
"Laki-laki memang selalu hati-hati," kata Tuppence sambil menarik napas. "Apa kau tak pernah diam-diam punya keinginan untuk—bertualang dalam hidup ini?"
"Apa yang baru saja kaubaca, Tuppence?" tanya Tommy.
"Bayangkan, betapa akan mendebarkan seandainya kita mendengar ketukan keras di pintu— lalu kita membukanya—dan ternyata ada seorang laki-laki sempoyongan yang mati."
"Kalau dia mati tak akan sempoyongan," kata Tommy dengan kritis.
,"Ah, kau kan ngerti apa yang kumaksud," kata Tuppence. "Mereka selalu sempoyongan sebelum mati dan jatuh di depan kita sambil mengucapkan beberapa patah kata yang membingungkan, misalnya 'Macan Tutul Bertotol atau yang semacam itu."
"Sebaiknya kau ikut kursus Schopenhauer atau Emmanuel Kant," kata Tommy.
"Itu akan bagus buatmu," jawab Tuppence. "Kau menjadi gemuk dan keenakan."
"Mana bisa," kata Tommy marah. "Kau sendiri selalu berolah-raga supaya langsing."
"Semua orang kan berolahraga," kata Tuppence. "Aku mengatakan kau gemuk tadi kan kiasan saja. Kau tambah makmur dan rapi dan enak."
10
"Aku tak tahu apa yang terjadi padamu," kata suaminya.
"Semangat bertualang," gumam Tuppence. "Itu kan lebih baik daripada keinginan untuk membuat affair Walaupun aku juga melakukannya. Aku membayangkan bertemu dengan seorang laki-laki. Laki-laki yang sangat tampan...." 
"Kau kan sudah bertemu denganku," kata Tommy. "Apa itu belum cukup?"
"Seorang laki-laki tegap berkulit kecoklatan dan kuat. Dia bisa menunggang apa saja dan bisa menangkap kuda-kuda liar dengan lasso..."
"Dan memakai celana kulit kambing dan topi koboi," sahut Tommy dengan sinis.
"...dan pernah tinggal di daerah-daerah berbahaya," sambut Tuppence. "Aku bayangkan dia jatuh cinta padaku. Dan tentu saja aku menolaknya, dan setia pada sumpah perkawinanku. Tapi diam-diam hatiku pergi bersamanya." >>
"Ah," kata Tommy. "Aku juga suka .membayangkan bertemu dengan seorang gadis yang sangat cantik. Gadis berambut jagung yang jatuh cinta padaku. Tapi rasanya aku tidak akan menolak dia—aku yakin itu."
"Wah," kata Tuppence. "Kau nakal juga, ya?"
"Kau kenapa sih. Tuppence? Tak pernah kau berkata seperti ini."
"Memang. Tapi perasaan itu telah lama kupen-dam dan rasanya sudah mendidih di dalam," kata Tuppence. 'Tahu, enggak? Sangat berbahaya kalau kau selalu mendapat sesuatu yang kauingin
11
kan—termasuk uang untuk membeli macam-macam. Dan memang banyak topi dijual orang."
"Kau sudah punya empat puluh topi," kata Tommy. "Dan semua kelihatan sama."
'Topi sih memang begitu," jawab Tuppence. "Sebetulnya tidak semua sama, ada nuansa pada warna-warnanya. Aku lihat ada topi bagus di Violette tadi pagi."
"Kalau tak ada lagi yang kaukerjakan kecuali membeli topi, kau tak perlu..."
"Persis," kata Tuppence. "Memang itu yang kumaksud. Kalau ada hal lain yang lebih baik yang bisa kulakukan. Rasanya aku memerlukan sebuah pekerjaan yang baik. Oh, Tommy, aku benar-benar mengharapkan akan terjadi sesuatu yang mendebarkan. Aku merasa—aku benar-benar merasa bahwa hal itu akan baik untuk kita. Seandainya kita bisa menemukan sesosok peri..."
"Ah!" kata Tommy. "Aneh benar perkataanmu!"
Dia berdiri dan melangkah ke sisi lain ruangan itu. Lalu membuka laci meja tulisnya, mengambil sebuah foto dan memberikannya pada istrinya.
"Oh!" kata Tuppence. "Rupanya sudah dicetak, ya? Ini yang mana, yang kauambil atau yang kuambil?"
"Yang kuambil. Yang kau ambil rusak. Kurang cahaya. Seperti biasa."
"Bagus juga kau bisa melakukan sesuatu lebih baik dariku," kata Tuppence.
"Komentar tolol," kata Tommy. "Tapi biar saja
12
untuk sementara. Yang ingin kutunjukkan padamu ini."
Dia menunjuk sebuah noda putih kecil pada foto.
"Itu kan guratan pada film," kata Tuppence. "Bukan," jawab Tommy. "Itu gambar peri." 'Tommy, kau memang tolol." "Lihat saja."
Dia memberikan kaca pembesar. Tuppence memperhatikan dengan baik. Noda putih itu memang kelihatan seperti sebuah makhluk bersayap yang sedang hinggap di atas penutup perapian.
"Ada sayapnya!" seru Tuppence. "Lucu, ya. Ada peri. hidup di flat kita. Kita surati Conan Doyle, yuk. Oh, Tom, apa dia akan mengabulkan keinginan kita?"
"Nanti juga kita tahu," jawab Tommy. "Keinginanmu kan cukup menggebu-gebu dari tadi."
Pada saat itu pintu mereka terbuka dan seorang anak laki-laki jangkung berumur lima belasan masuk dengan ragu-ragu. Dia bertanya dengan amat sopan.
"Apa Nyonya ada di rumah? Bel depan berbunyi."
"Ah, mudah-mudahan Albert tidak nonton," kata Tuppence setelah anak itu keluar lagi. "Dia sedang praktek menirukan kepala pelayan dari Long Island. Untunglah aku bisa mengubah kebiasaannya meminta kartu nama tamu dan membawanya masuk dengan nampan."
Pintu terbuka lagi dan Albert berkata, 'Tuan
13
Carter," dengan nada seseorang yang menyebutkan gelar kebangsawanan
"Bos," kata Tommy terkejut.
Tuppence meloncat berdiri dengan gembira dan menyalami seorang lelaki tinggi berambut abu-abu dengan mata tajam dan senyum letih.
'Tuan Carter—senang sekali bertemu dengan Anda." * -
"Bagus, Nyonya Tommy. Sekarang coba jawab pertanyaan saya. Bagaimana keadaan Anda?"
"Memuaskan tapi bosan," jawab Tuppence-dengan kedipan mata.
"Bagus, bagus," kata Tuan Carter. "Rupanya saya datang pada waktu yang tepat."
"Ah, ini mendebarkan," kata Tuppence.
Dengan gaya Long Island, Albert menyuguhkan teh. Ketika prosedur itu dilewati tanpa kesalahan dan pintu ditutup lagi, Tuppence pun meledak.
"Anda punya sesuatu untuk kami, kan, Tuan Carter? Apa Anda akan mengirim kami ke pelosok di Rusia?"
"Bukan itu," jawab Tuan Carter.
'Tapi ada sesuatu."
"Ya—ada sesuatu. Anda bukan orang yang takut bahaya kan, Nyonya Tommy?"
Mata Tuppence bersinar gembira.
"Ada suatu pekerjaan yang harus dilakukan -untuk Departemern^dan saya pikir—saya hanya berpikir—bahwa pekerjaan itu cocok untuk kalian berdua."
14
"Lanjutkan," kata Tuppence.
"Anda berlangganan Daily Leader rupanya," lanjut Tuan Carter sambil mengambil koran itu dari meja.
Dia membalik kolom advertensi dan menunjuk sebuah advertensi serta menyorongkan koran itu pada Tommy.
"Coba baca ini," katanya.
Tommy menurut.
"Agen Detektif Internasional, Theodore Blunt, ^ Manajer. Penyelidikan Swasta. Konfidensial. Staf profesional. Konsultasi bebas. 118 Haleham St. W.C"
Dia memandang Tuan Carter dengan mata bertanya. Tuan Carter mengangguk.
"Agen detektif itu sudah hampir ambruk," gumamnya. "Seorang teman membelinya dengan murah. Kami punya rencana akan menghidup-kannya lagi—yah, kira-kira enam bulan untuk percobaan. Dan selama waktu itu harus ada manajernya."
"Bagaimana dengan Tuan Theodore •Blunt?" tanya Tommy.
'Tiian Blunt orangnya ceroboh. Scotland Yard harus ikut campur. Dia sekarang ditahan, dan tak mau menjawab hal-hal yang ingin kita ketahui."
"Saya mengerti," kata Tommy. "Setidaknya saya merasa bahwa saya mengerti."'
"Sebaiknya kauambil cuti enam bulan. Cuti sakit. Dan kalau kau berminat untuk menangani^
15
usaha itu dengan nama Theodore Blunt, tentunya tak akan ada hubungannya denganku."
Tommy memandang bosnya dengan tenang.
"Adai.istruksi?"
"Kelihatannya Tuan Blunt melakukan bisnis dengan orang asing. Perhatikan surat-surat biru dengan perangko dari Rusia. Dari seorang pedagang daging babi yang ingin mencari istrinya yang mengungsi kemari beberapa tahun yang lalu.
Basahi perangko surat itu dan kau akan menemukan angka 16 di bawahnya. Buatlah copy surat-surat itu dan kirimkan aslinya kepadaku. Dan kalau ada seseorang yang datang ke kantor dan menanyakan tentang nomor 16, segera beri-tahu aku."
"Saya paham," kata Tommy. "Dan yang lain-lainnya?"
Tuan Carter mengambil sarung tangannya di meja dan siap berangkat.
"Kau bisa menanganinya sesukamu. Aku pikir—" matanya berkedip sedikit— "usaha itu bisa menyenangkan Nyonya Tommy untuk mencoba-coba kemampuannya menangani pekerjaan detektif."
16
2. Sepoci Teh
Tuan dan Nyonya Beresford mengambil alih kantor Detektif Internasional beberapa hari kemudian. Mereka berada di lantai dua sebuah gedung yang agak bobrok di Bloomsbury. Di ruangan kecil di bagian luar kantor, Albert melepaskan peran pelayan Long Island-nya, dan berganti peran sebagai pesuruh kantor, suatu tugas yang dilakukannya dengan sempurna. Sekantong permen, tangan yang berlepotan tinta, dan rambut agak acak-acakan memberi kesan yang dia anggap cocok sebagai pesuruh.
Dari ruangan di luar itu ada dua buah pintu ke ruang kantor dalam. Di sebuah pintu ada tulisan "Pegawai". Dan di pintu satunya tertulis "Manajer". Di belakang pintu itu ada sebuah ruang kecil dilengkapi dengan sebuah meja tulis besar dengan tumpukan file yang mempunyai label macam-macam, tetapi kosong isinya. Di ruangan itu juga terdapat seperangkat kursi tamu dari kulit yang kuat. Di belakang meja tulis itu duduklah Tuan Blunt gadungan yang mencoba memberi
17
kesan bahwa dia sudah menangani bisnis itu seumur hidupnya. Dan tentu saja ada sebuah telepon di ujung sikunya. Tuppence dan dia telah mernprakteWtaT beberapa percakapan telepon yang mereka perlukan, dan Albert pun mendapat instruksi-instruksi.
Di ruang sebelah ada Tuppence, sebuah mesin tik, meja dan kursi yang kelihatan lebih rendah kualitasnya dari yang ada di ruang Bos. Juga ada sebuah kompor gas untuk membuat teh.
Tak ada yang kurang—kecuali klien.
Tuppence yang sedang bersemangat itu mempunyai harapan- harapan cemerlang dengan usaha barunya.
"Akan menyenangkan sekali," celotehnya. "Kita akan memburu pembunuh, menemukan permata warisan keluarga yang hilang, menemukan orang*orang yang hilang, menemukan jejak penggelap uang."
Pada saat itulah Tommy merasa bahwa dia tidak bisa membiarkan angan-angan Tuppence terlalu melambung.
"Tenang, Tuppence. Lupakan saja cerita murah-an yang biasa kaubaca itu. Klien kita—kalau ada lho—akan terdiri dari suami-suami yang ingin membayangi istrinya dan istri-istri yang ingin membayangi suaminya. Bukti perceraian merupakan bukti prestasi agen detektif swasta."
"Uh!" kata Tuppence sambil mengernyitkan hidungnya. "Kita tak akan menangani kasus-
18
kasus perceraian. Kita harus menaikkan kualitas bisnis kita."
"Ya-a," kata Tommy ragu-ragu.
Dan seminggu setelah ih1 mereka berdiskusi lagi.
'Tiga wanita tolol yang suaminya pergi berakhir minggu," kata Tommy menarik napas. "Ada yang datang waktu aku makan siang di luar?"
"Laki-laki gendut bersama istrinya yang bawel," kata Tuppence sambil menarik napas sedih. "Aku sudah tahu dari koran bahwa banyak perceraian terjadi. Tapi baru benar-benar sadar sampai minggu terakhir ini. Aku capek dan bosan menjawab 'Kami tidak melayani kasus perceraian.'"
~ "Kita kan sudah mengumumkannya di advertensi sekarang," kata Tommy mengingatkan. "Jadi tak akan merepotkan lagi."
"Dan kita mengiklankannya dengan ba.gus," kata Tuppence dengan suara melankolis. "Bagai-v manapun, aku tak akan mundur. Kalau perlu, aku yang akan melakukan tindak kriminal dan kau yang menangkapnya."
"Apa untungnya? Pikir dong perasaanku waktu mengucapkan selamat tinggal padamu di Bow Street—atau Vine Street?"
"Kau membayangkan masa mudamu," kata Tuppence.
"Si Bailey. Memang dia yang kumaksud," kata Tommy.
'Pokoknya kita harus berusaha. Dengan bakat
19
dan kemampuan tinggi seperti yang kita miliki, seharusnya kite kan bisa berpraktek"
"Aku suka sikap optimismu, Tuppence. Kelihatannya kau tik ragu -<gu bahwa kau punya bakat yang harus dipraktekkan."
'Tentu saja," kata Tuppence sambil membelalakkan matanya.
"Padahal kau tak punya kemampuan apa-apa."
"Hm. Aku telah membaca semua novel detektif yang diterbitkan sepuluh tahun terakhir ini."
"Aku juga sudah baca," kata Tommy, "tapi aku merasa bahwa hal itu tak terlalu membantu kita."
"Kau memang selalu pesimis. Percaya pada diri sendiri. Itu yang penting."
"Ya—kau kan sudah punya sikap itu," kata Tommy.
'Tentu saja di cerita-cerita detektif begitu," kate Tuppence merenung, "karena penulis bekerja mundur. Maksudku, kalau seseorang tahu solusinya, dia bisa mengatur petunjuknya. Apakah—"
Dia diam dan mengernyitkan dahinya.
'Ya?" tanya Tommy.
"Aku punya sebuah ide," jawab Tuppence. "Belum terlalu jelas, tepi aku bisa membayangkannya." Dia berdiri dengan sikap pasti. "Aku rasa aku akan pergi dan membeli topi yang kuceritakan padamujtu."
'Ya, Tuhan!" kata Tommy. 'Topi lagi!"
'Topi itu cantik," kata Tuppence mantap.
Dia keluar dengan wajah yakin.
Pada hari-hari berikutnya Tommy sesekali
20
menanyakan tenteng ide Tuppence. Tapi istrinya itu hanya menggelengkan kepala sambil berkata agar Tommy memberi waktu padanya.
Kemudian, pada suatu pagi yang cerah, seorang klien datang. Segalanya pun terlupakan.
Sebuah ketukan terdengar di pintu ruang luar. Albert yang baru saja memasukkan permen asam di antara bibirnya berteriak, "Masuk". Dia kemudian menelan permen asamnya karena terkejut dan senang. Ini benar-benar temu.
Seorang pemuda jangkung dengan pakaian mahal dan rapi berdiri ragu-ragu di pintu.
"Benar-benar hebat," kate Albert pada dirinya sendiri. Dan pandangannya memang tidak keliru.
Pemuda itu kira-kira berumur dua puluh empat tahun, rambutnya yang bagus disisir ke belakang, sebuah lingkaran merah pucat terlihat pada kedua matanya, dan mukanya kelihatan seperti tak punya dagu.
Dalam kegembiraan yang meluap, Albert menekan bel di bawah mejanya. Pada saat itu juga terdengar bunyi mesin tik dari arah ruang bertulis "Pegawai". Rupanya Tuppence telah kembali ke posnya dengan cepat. Akibat kerja rajin Tuppence tersebut adalah rasa kagum pada temu muda itu.
"Maaf," katenya. "Apa ini kantor agen detektif—Blunf s Brilliant Detectives?"
"Apa Tuan ingin bicara dengan Tuan Blunt sendiri?" tanya Albert dengan wajah ragu-ragu, seolah-olah tidak pasti apakah hal itu bisa dilakukan.
21
"Ya—betul. Apa bisa?"
'Tuan belum bikin janji kelihatannya?"
Tamu itu merasa bersalah.
"Ya—memang beium."
"Sebaiknya Tuan telepon dulu. Tuan Blunt selalu sibuk. Dia sedang bicara di telepon saat ini. Dari Scotland Yard—minta konsultasi."
Pemuda itu tambah terkesan.
Dengan sikap bersahabat, Albert membisikkan suatu informasi pada tamunya.
"Pencurian dokumen penting dari kantor Pemerintah. Mereka ingin agar Tuan Blunt menanganinya."
"Wah! Dia pasti sibuk sekali."
"Memang begitu," kata Albert.
Pemuda itu duduk di kursi keras, sama sekali tak sadar bahwa dirinya menjadi obyek pandangan dua pasang mata dari lubang-lubang yang tersembunyi—yaitu mata Tuppence yang mencuri lihat di sela-sela kesibukannya mengetik, dan mata Tommy, yang sedang menunggu waktu yang tepat.
Akhirnya bel di meja Albert berbunyi nyaring.
"Bos sudah selesai. Sebentar, saya tanya apakah bisa menerima Anda sekarang," kata Albert dan menghilang di balik pintu bertuliskan "Manajer".
Tak lama kemudian dia muncul kembali.
"Mari, Tuan."
Tamu itu dibawa masuk ke ruangan pribadi sang Manajer. Seorang laki-laki muda dengan
22
wajah ramah, rambut merah, dan sikap yang cekatan berdiri menyambut dia.
"Silakan duduk. Anda ingin bertemu dengan saya? Saya Tuan Blunt."
"Oh! Tidak saya sangka. Anda begitu muda."
"Periode Orang Tua sudah lewat," kata Tommy sambil mengibaskan tangannya. "Siapa yang menyebabkan perang? Orang Tua. Siapa yang bertanggung jawab atas situasi pengangguran seperti ini? Orang Tua. Siapa yang bertanggung jawab atas hal-hal buruk yang timbul sekarang ini? Sekali lagi, Orang Tua!"
"Saya rasa Anda benar," kata si klien. "Saya kenal dengan seorang penyair—katanya sih, penyair—dan dia selalu berkata begitu."
"Begini. Untuk informasi Anda saja. Tak seorang pun dari staf ahli saya berumur lebih dari dua puluh lima tahun. Ini benar."
Karena staf ahli yang dikatakannya terdiri dari Tuppence dan Albert, maka kata-katanya itu pun tidak bohong.
"Sekarang—faktanya," kata Tuan Blunt.
"Saya butuh bantuan Anda untuk mencari seseorang yang hilang," kata pemuda itu.
"Hm, begitu. Bisa Anda menceritakannya secara detil?"
"Mm, ya. Agak sulit sebenarnya. Maksud saya, urusan ini agak peka. Dia barangkali tidak suka. Maksud saya—ah, sulit diceritakan."
Dia memandang Tommy dengan putus asa. Tommy menjadi jengkel. Sebenarnya dia tadi
23
akan berangkat makan ketika tamu itu datang Dan dia bisa meramalkan akan makan waktu lama apabila menghadapi orang di depannya itu.
"Apakah dia ... z. ^hilang dengan kemauan sendiri atau apa**!* Anda mencurigai adanya penculikan?" tanyanya agak ketus.
"Saya tak tahu," jawab pemuda itu. "Saya tak tahu apa-apa."
Tommy mengambil buku catatan dan pensil.
"Pertama-tama, saya ingin tahu siapa Anda," katanya. "Pesuruh saya memang dilatih untuk tidak menanyakan nama tamu-tamu. Dengan cara itu konsultasi bisa berjalan dengan rahasia."
"Oh! Bagus...," katanya. "Nama saya—er— nama saya Smith."
"Oh, tidak," kata Tommy. "Tolong beritahu nama yang sebenarnya."
Tamu itu memandangnya heran.
"Er—St. Vincent," katanya. "Lawrence St. Vincent."
"Aneh," kata Tommy. "Begitu sedikit orang yang bernama Smith. Bahkan saya sendiri tak punya kenalan dengan nama Smith. Tapi sembilan dari sepuluh orang yang ingin menyembunyikan nama aslinya memberi nama samaran Smith. Saya memang sedang menulis hal itu."
Pada saat itu terdengar dering telepon di mejanya.
Itu adalah kode rahasia yang menyatakan bahwa Tuppence ingin menangani orang tersebut Tommy yang sedang merasa lapar dan tidak
24
\
terlalu bersimpati pada tamunya, merasa gembira.
"Maaf," katanya sambil mengangkat teleponnya.
Ekspresi wajahnya pun jadi berubah-ubah.
"Ah, masa?" katanya. "Pak Menteri mendiri? Ya, y tentu saja aku akan segera datang."
Dia meletakkan teleponnya dan berbalik menghadapi tamunya.
"Maaf, Tuan. Saya benar-benar minta maaf. -Panggilannya mendadak. Saya harap Anda bersedia memberikan keterangan pada sekretaris kepercayaan saya. Dia yang akan menangani kasus Anda."    i.
Dia berjalan ke pintu ruang sebelah.
"Nona Robinson."
Dengan penampilan sopan dan rapi Tuppence keluar dari ruangannya. Tommy memperkenalkan dia pada tamunya, lalu pergi.
"Seorang wanita yang telah menarik perhatian Anda telah hilang, rupanya," kata Tuppence dengan suara lembut ketika dia duduk sambil mengambil catatan Tuan Blunt. "Seorang gadis muda?"
"Oh, ya," jawab Tuan Vincent. "Muda—dai*— dan—sangat cantik—dan menarik."
Wajah Tuppence menjadi ikut sedih.
"Ah," katanya, "mudah-mudahan dia..."
"Apa pendapat Anda? Tidak terlalu serius mudah-mudahan," kata Tuan Vincent cemas.
"Oh, mudah-mudahan saja tak apa-apa," kata
25
Tuppence dengan optimisme palsu yang membuat sedih'tamunya.
"Nona Robinson, bagaimanapun caranya—Anda harus menolong saya. Jangan kuatir tentang biaya. Saya tak ingin hal-hal yang jelek terjadi padanya. Kelihatannya Anda sangat simpatik. Dan saya tak ragu-ragu memberitahu Anda bahwa saya sangat mencintai gadis itu. Dia adalah segalanya bagi saya. Dia luar biasa, benar-benar seorang gadis yang istimewa."
"Coba Anda ceritakan tentang dia dan siapa namanya."
"Namanya Janet. Saya tak tahu nama keluarganya. Dia bekerja di toko topi—toko Madame Violette di Brook Street. Tapi gadis itu gadis baik-baik—dan saya sangat tertarik padanya. Kemarin saya pergi ke sana—menunggu dia selesai kerja. Teman-temannya sudah keluar semua, tapi dia tidak kelihatan. Lalu saya mendengar bahwa dia tidak datang pagi itu—dan dia tidak mengirim berita apa-apa. Nyonya pemilik toko itu amat marah. Saya mendapat alamat pondokannya dan saya pun ke sana. Mereka mengatakan bahwa dia tidak pulang malam sebelumnya, dan mereka tak tahu di mana dia berada. Saya benar-benar cemas. Saya berpikir mau lapor polisi. Tapi Janet pasti akan marah pada saya kalau saya melakukan itu padahal dia pergi atas kemauannya sendiri. Saya teringat bahwa Janet pernah menunjukkan iklan Anda di surat kabar, dan cerita bahwa salah seorang pembeli topi di tokonya memuji-muji
26
kemampuan dan kerahasiaan yang terjamin dari usaha Anda. Jadi, saya pun kemari."
"Hm, begitu," kata Tuppence. "Di mana alamat pondokannya?" Pemuda itu memberinya alamat. "Saya rasa itu saja yang kami perlukan. Oh, ya, . apa Anda telah bertunangan dengan gadis ini?" Wajah Tuan Vincent berubah jadi merah. "Mm—sebetulnya belum. Saya belum pernah . menyatakan hal itu. Tapi begini. Saya akan . meminangnya begitu saya bisa menemukan dia lagi—kalau saya menemukan dia." Tuppence meletakkan catatannya. "Apakah Anda memerlukan layanan dua puluh empat jam kami?" "Apa itu?"
"Biayanya dobel. Tapi kami akan mengerahkan semua staf ahli kami untuk kasus ini. Tuan Vincent, kalau gadis itu masih hidup, saya akan memberitahu Anda di mana dia berada besok pada jam yang sama."
"Apa? Wah, luar biasa."
"Staf kami adalah staf ahli. Dan kami memberi-• kan hasil yang diinginkan," kata Tuppence tegas.
,!Wah, staf Anda pasti luar biasa," kata Tuan Vincent.
"Memang demikian," kata Tuppence. 'Tapi Anda belum menceritakan bagaimana kami bisa mengenali gadis itu."
"Rambutnya sangat indah—keemasan—emas tua—seperti warna matahari tenggelam—ya, se-
27
perti matahari tenggelam. Tahu nggak, saya sebetulnya tidak pernah memperhatikan matahari yang sedang tenggelam kecuali belakangan ini. Juga puisi. Begitu banyak yang terkandung di dalamnya. Dan itu tak pernah terpikir oleh saya sebelumnya."
"Rambut merah," kata Tuppence tanpa emosi sambil menulisnya di catatan. "Seberapa tinggi gadis itu?"
"Oh, lumayan tinggi. Dan matanya bagus sekali. Saya rasa biru tua. Dan sikapnya tegas— kadang-kadang membuat kita segan."
Tuppence menuliskan beberapa patah kata lagi. Dia menutup catatannya lalu berdiri.
"Kalau Anda bisa kemari besok jam dua siang, saya rasa kami akan punya berita untuk Anda," katanya. "Sampai besok, Tuan Vincent."
Ketika Tommy kembali, Tuppence sedang membuka-buka Debrett.
"Aku sudah punya detilnya," kata Tuppence. "Lawrence Vincent adalah kemenakan dan ahli waris Earl of Cheriton. Kalau kita berhasil, kita akan dapat publisitas gratis di kalangan tinggi."
Tommy membaca catatan Tuppence
"Apa pendapatmu tentang kemungkinan yang bisa terjadi pada gadis itu?" tanya Tommy.
"Aku rasa dia pergi karena ingin pergi. Dia merasa terlalu cinta pada pemuda itu."
Tommy memandangnya dengan ragu-ragu.
"Aku memang pernah membaca hal seperti itu
28
di buku-buku," katanya. "Tapi aku belum pernah benar-benar bertemu dengan gadis seperti itu."
"Belum?" kata Tuppence. "Barangkali kau benar. Tapi si Vincent itu pasti akan menelan cerita seperti itu. Dia sedang mabuk cinta. Oh, ya. Aku tadi memberi garansi hasil layanan dua puluh empat jam. Ini layanan khusus kita."
'Tuppence—kau ini tolol atau apa? Kenapa pakai layanan khusus seperti itu?"
'Tiba-tiba saja ide itu muncul di kepalaku. Dan kedengarannya cukup menarik. Jangan kuatir. Percayakan saja pada Ibu. Ibu kan tahu yang terbaik."
Tuppence kemudian keluar meninggalkan Tommy yang merasa tidak puas.
Akhirnya dia berdiri, menarik napas panjang dan keluar untuk melakukan apa yang bisa dilakukan sambil mengomeli tingkah Tuppence.
Ketika dia kembali pukul setengah lima dengan loyo dan kesal, dia menemukan Tuppence sedang mengeluarkan kantong biskuit dari persembunyiannya di salah satu file.
"Kau kelihatan capek," katanya. "Apa saja yang kaulakukan?"
"Keliling rumah sakit cari keterangan tentang gadis itu."
"Aku kan sudah bilang, biar aku saja yang membereskan," kata Tuppence.
"Kau tak akan bisa menemukan gadis itu sendiri sebelum jam dua besok."
"Siapa bilang? Aku sudah menemukannya."
29
"Sudah? Apa maksudmu?"
"Problem yang sederhana, Watson. Sangat sederhana."
"Di mana dia sekarang?"
Tuppence menunjuk ke belakang dengan tangannya.
"Di ruang kerjaku. Di sebelah."
"Apa yang dilakukannya di situ?"
Tuppence tertawa.
"Ah, pokoknya beres. Dengan sebuah kompor, sebuah ketel, satu ons teh, sambil memandang wajahnya, hasilnya adalah sebuah konklusi yang bisa ditebak:"
'Toko Madame Violette ialah toko tempat aku membeli topi," Tuppence menerangkan dengan sabar dan lembut. "Pada suatu hari, aku bertemu dengan seorang teman lama waktu aku tugas di rumah sakit dulu. Dia berhenti menjadi perawat setelah perang, lalu membuka toko topi tetapi gagal. Akhirnya dia bekerja di toko Madame Violette ini. Kami merencanakan sesuatu. Yang perlu dia lakukan ialah menyodorkan iklan-iklan kita ke Vincent muda tadi, lalu menghilang. Ini suatu efisiensi yang bagus dari Blunt Brilliant Detectives. Kita mendapat publisitas dan dia mendapat keyakinan bahwa St. Vincent akan meminangnya. Janet sudah mengharapkan hal itu."
'Tuppence, kau benar-benar keterlaluan. Ini namanya bisnis busuk. Kau membantu dan memberi dorongan pada pemuda itu untuk menikah dengan gadis dari tingkat..."
30
"Stop," kata Tuppence. "Janet gadis baik-baik— tapi anehnya, dia kok cinta sama pemuda lembek seperti itu. Kau bisa segera melihat apa yang diperlukan keluarga pemuda itu. Setetes darah merah yang baik dan segar. Janet akan sesuai untuk mereka. Dia akan melayani pemuda itu . seperti seorang ibu yang baik, mengurangi pesta-* pesta liar dan kehidupan malam yang tak keruan, dan membawanya pada kehidupan sehat seorang bangsawan yang terhormat. Sekarang kau bisa menemuinya."
Tuppence membuka pintu ruang sebelah dan Tommy mengikutinya.
Seorang gadis jangkung dengan rambut kemerahan dan wajah ramah yang menyenangkan sedang mengangkat ketel dari kompor. Dia berpaling kepada mereka. Senyumnya memamerkan sederet gigi yang bersih.
"Maaf, Suster Cowley—eh, Nyonya Beresford. Barangkali sudah waktunya Anda minum teh. Ingat nggak berapa cangkir teh yang telah Anda buat untuk saya pagi-pagi jam tiga waktu masih di rumah sakit?"
'Tommy," kata Tuppence. "Aku ingin memperkenalkan kawan lamaku, Suster Smith."
"Smith? Kau bilang Smith? Aneh!" kata Tommy sambil menyalami dia. "Eh! Oh? Nggak—nggak— aku teringat pada sebuah buku yang ingin kutulis."
'Tenang, Tommy," kata Tuppence. Dia menuang secangkir teh untuknya.
31
"Sekarang mari kita minum bersama-sama. Demi suksesnya Agen Detektif Internasional. Blunt's Brilliant Detectives'. Semoga selalu sukses!"
32
3. Kisah Mutiara Merah Muda
"Apa-apaan ini?" tanya Tu"ppence ketika melihat bosnya duduk di lantai dengan buku-buku bertebaran di sekitarnya.
Dengan susah-payah Tommy berdiri.
"Aku tadi sedang mengatur buku-buku ini di rak bagian atas itu. Tapi kursiku rupanya tak mau diajak bekerja sama," jawab Tommy mengeluh.
"Ini buku apa sih?" tanya Tuppence sambil mengambil sebuah buku.
"The Hound of Baskervilles. Ah, aku tak keberatan membaca lagi—kapan-kapan.'1
"Jadi kau setuju ideku?" kata Tommy, sambil membersihkan debu dari pakaiannya—dengan hati-hati. "Setengah Jam Bersama Para Ahli—buku buku semacam itulah. Aku selalu merasa bahwa kita ini benar-benar amatir dalam bisnis seperti ini. Memang kita ini amatir—tapi kita kan bisa mempelajari tekniknya. Buku-buku ini buku-buku detektif. Aku ingin mencoba cara-cara yang berbeda dan membandingkan hasilnya."
"Hm," kata Tuppence. "Aku sering berpikir-
33
pikir bagaimana detektif-detektif itu akan bekerja dalam alam yang nyata." Dia mengambil sebuah buku lagi. "Kau akan mengalami kesulitan kalau jadi Thorndyke. Kau tak punya pengalaman medis. Dan pengalaman legal. Dan aku tak pernah dengar bahwa kau punya bakat science yang kuat."
"Barangkali tidak," kata Tommy. 'Tapi setidak- ¦ nya aku telah membeli sebuah kamera yang sangat bagus. Dan aku bisa memotret jejak 1-aki dan membesarkan fotonya. Nah, mon ami, coba pakai sel abu-abumu. Apa kira-kira yang tersirat oleh benda-benda di laci ini?"
Dia menunjuk ke laci bawah lemari. Di dalamnya terdapat beberapa benda yang kelihatan aneh, yaitu baju tidur bermotif futuristik, sandal turki dan sebuah biola.
"Sudah jelas, Watson," kata Tuppence.
"Ya," kata Tommy. "Sentuhan Sherlock Holmes."
Tommy mengambil biola itu dan memainkannya dengan seenaknya, sehingga telinga Tuppence terasa sakit.
Pada saat itu terdengar bel berbunyi di meja, tanda bahwa seorang klien datang di ruang kantor Albert.
Dengan cepat Tommy mengembalikan biola itu ke dalam lemari dan menyepaki buku-buku ke bawah meja.
•Sebenarnya tak perlu buru-buru seperti ini," kata Tommy. "Si Albert pasti mengulangi cerita
34
bahwa aku sibuk dengan Scotland Yard di telepon. Cepat kembali ke ruangmu dan mengetik. Biar kedengaran sibuk dari luar. Eh, nggak usah. Sebaiknya kau pura-pura sedang kudikte. Cepat, sebelum Albert masuk."
Mereka mengintip dari sebuah lubang yang tersembunyi sehingga bisa melihat situasi di ruang Albert.
Tamu itu adalah seorang gadis seumur Tuppence. Tinggi' dan berkulit geiap dengan muka keruh dan mata marah.
"Bajunya murahan dan norak," kata Tuppence. "Suruh dia masuk, Tom."
Pada menit berikutnya gadis itu pun bersalaman dengan Tuan Blunt. Tuppence hanya duduk dengan mata tertunduk pada catatan. Tangannya memegang pensil.
"Sekretaris pribadi saya, Nona Robinson,"-kata Tommy sambil mengibaskan tangannya. "Anda bisa bicara dengan bebas di depannya." Dia kemudian bersandar sejenak di kursi, menutup matanya dan berkata dengan suara bosan, "Tentunya bis yang Anda naiki tadi penuh sesak pada jam-jam seperti ini."
"Saya tadi naik taksi," kata gadis itu.
"Oh!" kata Tommy kecewa. Matanya memandang karcis bis berwarna biru yang nongol dari sarung tangan gadis itu. Pandangan gadis itu mengikuti mata Tommy. Dia tersenyum dan mengambil karcis bisnya.
"Anda maksudkan ini? Saya memungutnya
35
tadi dari trotoar. Anak tetangga kami yang masih kecil mengumpulkan karcis bis."
Tuppence terbatuk dan Tommy melirik marah kepadanya.
"Baiklah, kita langsung saja pada urusan kita," kata Tommy. "Anda memerlukan layanan kami. Nona...?"
"Nama saya Kingston Bruce," kata gadis itu. "Kami tinggal di Wimbledon. Tadi malam, seorang tamu wanita yang menginap di rumah kami kehilangan mutiara merah muda yang sangat mahal Tuan St. Vincent kebetulan makan malam bersama kami. Dan pada waktu itu dia menyebutkan perusahaan Anda. Pagi tadi Ibu menyuruh saya untuk datang ke sini dan menanyakan apakah Anda bersedia membantu kami."
Gadis itu bicara dengan segan dan agak sedih. Kelihatannya dia tidak sependapat dengan ibunya dan datang ke situ dengan terpaksa.
"Hm, begitu," kata Tommy. "Anda belum melapor pada polisi?"
"Belum," katanya. "Kami belum melapor. Pasti akan memalukan seandainya kami lapor polisi lalu ternyata benda itu cuma jatuh di dekat perapian atau di suatu tempat."
"Oh, kalau begitu ada kemungkinan bahwa mutiara itu hanya jatuh atau hilang di suatu tempat?" tanya Tommy.
Gadis itu hanya mengangkat bahu.
"Orang kan sering ribut dengan hal-hal seperti itu," katanya.
36
Tommy membersihkan tenggorokannya dengan batuk-batuk kecil.
'Tentu," katanya. "Saat ini saya benar-benar sibuk...."
"Ya, saya mengerti," kata gadis itu sambil berdiri. Ada sebuah kilatan puas pada mata gadis itu yang tidak lepas dari pandangan Tuppence.
"Akan tetapi, rasanya saya sempat juga datang ke Wimbledon," lanjut Tommy. "Apa Nona bisa memberikan alamat Nona?"
"Keluarga Laurel, Edgeworth Road."
'Tolong dicatat, Nona Robinson."
Nona Kingston Bruce ragu-ragu. Kemudian dia berkata,
"Kalau begitu kami tunggu Anda. Selamat pagi"
"Gadis aneh," kata Tommy. "Aku tak bisa menebak dia."
"Barangkali dia sendiri yang mencuri benda itu," kata Tuppence sambil merenung. "Ayo, Tom. Kita bereskan buku-buku ini dan kita ke sana dengan mobil. O, ya, apa kau masih ingin jadi Sherlock Holmes?"
"Rasanya aku perlu praktek dulu," kata Tommy. "Nggak berhasil dengan tipuan karcis bis tadi."
"Betul. Kalau aku jadi kau, tak perlu coba-coba yang seperti itu dengan gadis tadi. Dia tajam seperti jarum. Dan kelihatannya tidak bahagia."
"Kelihatannya kau sudah tahu banyak tentang
37
dia," kata Tommy menyindir, "hanya dengan melihat bentuk hidungnyaj"
"Dengar pendapatku tentang apa yang akan kita temukan di rumah Laurel itu," kata Tuppence taK acuh. "Mereka pasti keluarga snob yang ingin mendaki tangga sosial lebih tinggi. Si ayah— kalau ada—punya pangkat militer. Gadis itu terpaksa ikut arus, kehidupan seperti itu walaupun dia sendiri tidak menyukainya."
Tommy memperhatikan susunan buku yang sudah rapi.
"Aku rasa, aku.akan jadi Thorndyke hari ini," katanya.
"Aku merasa tak ada hal-hal yang berbau medicolegal dalam kasus ini," kata Tuppence.
"Barangkali kau benar," kata Tommy. 'Tapi aku ingin sekali memakai kameraku! Lensanya luar biasa—tak ada duanya."
"Ah—aku tahu lensa seperti itu," kata Tuppence. "Waktu kau menyesuaikan lensa itu dengan banyak-sedikitnya cahaya yang masuk, kau akan membuat letih matamu dan pikiranmu. Pada waktu itulah kau menginginkan sebuah kamera yang sederhana."
"Hanya orang yang tidak ambisius yang puas dengan kamera sederhana."
"Lihat saja. Aku akan mendapat hasil yang lebih bagus daripada kau nanti."
Tommy tidak mempedulikan tantangan itu.
"Seharusnya aku punya Smoker's Companion. Di mana ya kita bisa beli benda itu?"
38
"Kau kan punya pembuka sumbat bagus dari Bibi Araminta—hadiah Natal yang lalu," kata Tuppence mengingatkan.
"Oh, ya, ya. Benda itu kelihatan seperti alat perusak yang aneh waktu aku buka. Dan anehnya lagi dikirim oleh seorang bibi yang sama sekali tak pernah minum."
"Aku akan jadi Polton," kata Tuppence.
Tommy memandang dia dengan marah.
"Uh—Polton. Kau tak 'akan bisa melakukan satu hal saja yang dia lakukan."
"Bisa saja," kata Tuppence. "Aku bisa menggosok-gosok kedua tanganku kalau aku senang. Itu kan cukup untuk memulai? Dan kau akan ambil jejak-jejak kaki?"
Tommy diam saja. Dia mengambil pembuka botol, lalu keduanya pergi ke garasi dan berangkat ke Wimbledon.
Rumah keluarga Laurel sangat besar. Atapnya tinggi dan mempunyai menara-menara kecil. Kelihatannya seperti baru dicat dan dikelilingi petak-petak geranium merah yang rapi dan cemerlang.
Seorang lelaki jangkung berkumis pendek berwarna putih dengan sikap gagah membukakan pintu sebelum Tommy sempat memijit bel.
"Saya sudah menunggu-nunggu Anda, katanya cerewet. "Anda Tuan Blunt, kan? Saya Kolonel Kingston Bruce. Silakan masuk ke ruang kerja saya."
39
Dia membawa mereka ke sebuah ruang kecil di bagian belakang rumah.
"St. Vincent muda itu pernah cerita tentang biro jasa Anda yang cukup mengagumkan. Dan saya sendiri pernah membaca iklan Anda. Layanan bergaransi dua puluh empat jam Anda itu benar-benar bagus. Dan itulah yang saya perlukan."
Walaupun hatinya memaki-maki sikap Tuppence yang sembrono. Tommy hanya bisa berkata, "Ya, begitulah, Kolonel."
"Kejadian ini sangat menyedihkan. Sangat menyedihkan."
"Barangkali Anda bisa memberikan fakta-faktanya," kata Tommy dengan nada kurang sabar.
'Tentu—sekarang juga. Kami punya kawan lama yang saat ini bertamu dan menginap di sini, Lady Laura Barton. Putri almarhum Earl of Carroway. Earl yang sekarang—yaitu kakak laki-lakinya—mengucapkan pidato yang luar biasa di Majelis Tinggi beberapa waktu yang lalu. Seperti yang saya katakan tadi, dia adalah kawan lama dan kawan baik kami. Ada teman-teman Amerika saya yang baru datang, yaitu pasangan Hamilton Berts, yang sangat ingin berkenalan dengannya. Saya bilang tak ada masalah. Dia tinggal di tempat saya sekarang. Datanglah pada akhir pekan, kata saya. Anda pasti mengerti bagaimana sikap orang-orang Amerika terhadap para bangsawan. Tuan Blunt."
'Ya—dan orang-orang lain juga, di samping mereka, Kolonel Kingston Bruce."
40
"Ya—ya, benar sekali. Saya paling benci pada orang-orang snob seperti itu. Nah, seperti saya katakan, pasangan Betts itu datang pada akhir pekan kemarin. Tadi malam—kami waktu itu sedang main bridge—leontin kalung-Nyonya Hamilton Betts patah. Jadi dia melepaskannya lalu meletakkannya di sebuah meja kecil untuk dibawa naik kalau sudah selesai main. Tapi dia kemudian lupa membawa benda itu. Leontin kalung itu terdiri dari dua butir berlian kecil yang mengapit sebuah mutiara besar berwarna merah muda. Leontin kalung itu tadi pagi ditemukan di meja kecil itu, tapi mutiaranya tidak ada."
"Siapa yang menemukannya?"
"Pelayan dalam—Gladys Hill."
"Ada hal-hal yang bisa dicurigai pada dia?"
"Dia sudah bertahun-tahun kerja di sini. Dan dia seorang gadis yang jujur. .Tapi, tentu saja, orang tak bisa yakin...."
'Ya, tepat. Barangkali Anda bisa menceritakan staf Anda dan memberitahu siapa-siapa saja yang hadir dalam jamuan makan malam kemarin?"
"Baik. Turn masak—baru dua bulan kerja di sini tapi tentunya dia tak punya kesempatan untuk mendekati ruang duduk, kan?—Begitu pula pembantu dapur. Lalu ada pelayan rumah—Alice Cummings. Dia juga sudah di sini beberapa tahun. Dan ada pelayan Lady Laura. Orang Prancis."
Sikap Kolonel Kingston Bruce sangat menge- • sankan ketika dia mengucapkan kalimat terakhir
41
nya itu. Tommy, yang tidak mempedulikan kebangsaan si pelayan melanjutkan dengan bertanya, "Ya. Dan tamu-tamunya?"
'Tuan dan Nyonya Betts, kami sendiri—(istri dan anak perempuan saya)—dan Lady Laura. St. Vincent juga datang, dan Tuan Rennie datang sebentar setelah makan malam."
"Siapa Tuan Rennie?"
"Seorang laki-laki yang menyebalkan—sosialis yang menjemukan. Memang ganteng—dan punya kemampuan berargumentasi. Tapi bukan laki-laki yang bisa dipercaya. Bahkan berbahaya."
"Apakah Anda mencurigai dia?" tanya Tommy tanpa tedeng aling-aling.
"Betul, Tuan Blunt. Saya yakin bahwa orang seperti dia tak punya prinsip-prinsip hidup yang baik. Tidak sulit baginya kan untuk melepaskan mutiara itu pada. waktu kami sedang asyik? Ada saat-saat yang memerlukan konsentrasi penuh dalam permainan seperti itu—sebuah dobel ulang No Trump, dan kami bertengkar cukup seru ketika istri saya main jelek."
"Hm, begitu. Saya ingin tahu bagaimana sikap Nyonya Betts dalam hal ini?"
"Dia ingin agar saya memanggil polisi," kata Kolonel Kingston Bruce dengan segan. "Tapi kami ingin mencarinya dulu sebelum lapor. Jangan-jangan mutiara itu hanya jatuh di suatu tempat."
'Tapi Anda sendiri sebenarnya kurang setuju?"
"Saya tidak suka publisitas. Begitu pula istri dan anak perempuan saya. Kemudian istri saya
42
teringat cerita St. Vincent muda tentang biro jasa Anda—dengan layanan dua puluh empat jam."
' Ya," kata Tommy dengan berat hati.
"Begini, cara apa pun yang akan Anda ambil, sebetulnya tidak merugikan. Seandainya besok kita lapor polisi, bisa kita anggap bahwa mutiara itu hilang dan kita telah berusaha mencarinya. Oh ya, tak seorang pun diperbolehkan meninggalkan rumah ini sejak pagi tadi."
"Kecuali putri Anda, tentunya," kata Tuppence untuk pertama kali.
"Kecuali anak saya," kata Kolonel setuju. "Dia langsung menawarkan jasa untuk menemui Anda."
Tommy berdiri.
"Kami akan berusaha sebaik-baiknya untuk membantu Anda, Kolonel," katanya. "Saya ingin melihat ruang duduk, dan meja tempat leontin kalung itu diletakkan. Saya juga ingin bicara dengan Nyonya Betts. Setelah itu saya—ah, sebaiknya asisten saya, Nona Robinson, yang bicara dengan para pelayan."
Tommy merasa agak ngeri ketika membayangkan dirinya mewawancarai para pelayan.
Kolonel Kingston Bruce membuka pintu dan membawa mereka masuk ke dalam ruangan besar. Mereka mendengar sebuah suara dari pintu yang ada di dekat mereka. Dan suara itu adalah suara gadis yang datang ke kantor tadi pagi.
"Ibu kan tahu persis bahwa dia membawa
43
pulang sebuah sendok teh di dalam sarung tangannya."
Pada menit berikutnya mereka pun diperkenalkan pada Nyonya Kingston Bruce, seorang wanita berwajah sedih dan bersikap lamban. Nona Kingston Bruce menyambut mereka dengan anggukan pendek. Wajahnya kelihatan bertambah muram.
Nyonya Kingston Bruce-lah yang bicara banyak.
"—tapi aku tahu siapa kira-kira yang mengambilnya," katanya. "Pasti pemuda sosialis yang mengerikan itu. Dia pro Rusia dan Jerman, dan anti Inggris—apa lagi yang bisa diharapkan?"
"Dia tak pernah menyentuh benda itu," kata Nona Kingston Bruce dengan sengit. "Aku memperhatikan dia—terus-terusan. Aku pasti melihatnya kalau dia memegang benda itu."
Gadis itu memandang mereka dengan sikap menantang.
Tommy membelokkan pembicaraan dengan mengajukan keinginannya untuk bicara dengan Nyonya Betts. Ketika Nyonya Kingston Bruce dan suami serta anaknya pergi untuk mencari Nyonya Betts, Tommy bersiul dalam hati.
"Hei," katanya pelan, "siapa sih yang menyembunyikan sendok teh di sarung tangan?"
"Itulah yang sedang kupikir," kata Tuppence.
Dengan diikuti suaminya; Nyonya Betts masuk ke dalam ruangan. Dia seorang wanita bertubuh
44
besar dengan suara tegas. Suaminya kelihatan lemas seperti orang penyakitan.
"Saya dengar Anda seorang detektif swasta yang bisa menyelesaikan persoalan dengan cepat."
"Saya ingin menanyakan beberapa hal, Nyonya Betts."
Semuanya berjalan lancar. Wanita ini menunjukkan leontin kalungnya, meja tempat dia meletakkan leontin kalung itu? Suara Tuan Betts pun terdengar, menyebutkan harga—dalam dollar— mutiara yang hilang.
Namun demikian, Tommy merasa bahwa usaha mereka belum apa- apa.
"Saya rasa cukup," katanya kemudian. "Nona Robinson, bisa Anda membantu mengambil peralatan foto spesial itu di ruang depan?"
Nona Robinson pun menurut.
"Penemuan saya, kecil saja," kata Tommy. "Sepintas lalu, benda itu kelihatan seperti kamera biasa."
Tommy merasa agak puas melihat Nyonya dan Tuan Betts yang kelihatan terkesan.
Dia kemudian memotret leontin kalung itu, meja kecil tempat meletakkannya, dan beberapa pemandangan ruangan di situ. Setelah itu Nona Robinson ditugaskan mewawancarai para pelayan. Karena Tommy melihat rasa ingin tahu di wajah Kolonel Kingston Bruce dan Nyonya Betts, dia mengeluarkan sebuah pernyataan.
45
"Posisinya begini," katanya. "Mutiara itu masih ada di rumah ini atau sudah di luar rumah ini."
"Ya, bisa dimengerti," jawab Pak Kolonel. Barangkali dia sudah agak puas dengan pernyataan tersebut.
"Kalau mutiara itu ada di luar rumah, dia pasti disembunyikan di tempat tertentu..."
"Dan kita harus mencarinya," kata Pak Kolonel, memenggal kalimat Tommy. "Baiklah, saya beri Anda kebebasan penuh, Tuan Blunt. Silakan mencari dari ruang bawah tanah sampai atap rumah."
"Oh! Charles," gumam Nyonya Kingston Bruce dengan kuatir. "Apa harus begitu? Aku yakin, para pelayan tidak akan menyukainya. Mereka pasti minta keluar."
"Kami akan menggeledah tempat mereka belakangan," kata Tommy menghibur. "Benda itu pasti disembunyikan di sebuah tempat yang aneh."
'Ya, rasanya saya pernah membaca hal seperti itu," kata Kolonel Kingston Bruce.
"Benar," jawab Tommy. "Barangkali Anda membaca kasus Rex lawan Bailey yang kemudian menimbulkan preseden."
"Oh—ya—ya—" kata Pak Kolonel dengan agak bingung.
"Dan tempat yang tidak terpikirkan oleh orang lain adalah kamar Nyonya Betts," kata Tommy melanjutkan.
"Oh—betuL" kata Nyonya Betts dengan kagum.
Tanpa menunggu terlalu lama, Tommy pun
46
dibawa ke kamar Nyonya Betts. Di situ dia memainkan kameranya lagi berkali-kali.
Akhirnya Tuppence pun datang.
"Anda tak keberatan bukan, kalau asisten saya membongkar-bongkar baju Anda?"
"Ah, tentu tidak. Apa saya perlu tinggal di sini?"
Tommy mengatakan bahwa Nyonya Betts tidak perlu menunggui mereka. Dia pun kemudian pergi.
"Kita bisa saja berpura-pura," kata Tommy. 'Tapi bisa saja kita tidak menemukan apa-apa. Tolol amat layanan dua puluh empat jammu itu," kata Tommy menggerutu.
"Dengar," kata Tuppence. "Para pelayan itu menurutku bersih. Tapi aku menemukan sesuatu dari pelayan Prancis itu. Pada waktu Lady Laura menginap di tempat ini tahun yang lalu, dia pergi minum teh di luar dengan beberapa teman keluarga Kingston Bruce. Ketika dia kembali ke rumah ini lagi, sebuah sendok teh terjatuh dari sarung tangannya. Semua orang mengira bahwa benda itu jatuh tanpa sengaja. Tapi aku punya cerita lebih banyak lagi. Lady Laura ternyata suka sekali menginap di rumah teman-temannya. Barangkali dia tak punya uang. Dan dia menginap di rumah teman-temannya yang kaya—mereka yang terpesona pada gelar kebangsawanan. Ini mungkin suatu kebetulan. Tapi bisa juga tidak. Ada lima pencurian terjadi waktu dia menginap di rumah teman- temannya. Kadang-kadang yang
47
hilang hanya barang-barang kecil, tapi kadang-kadang juga permata yang amat berharga."
"Wah!" kata Tommy sambil menyambung dengan siulan panjang. "Di mana kamar burung tua itu?"
"Di seberang gang."
"Kalau begitu kita menyelinap ke sana saja dan menggeledah."
Ruangan itu pintunya terbuka lebar. Ruangannya luas, dicat putih, dan bergorden merah muda. Ada sebuah pintu di dalam yang menghubungkan kamar tidur langsung dengan kamar mandi. Di pintu itu muncul seorang gadis langsing berkulit gelap.
Tuppertce membaca rasa terkejut yang tertahan pada bibir gadis itu.
"Ini Elise, Tuan Blunt," katanya tegas. "Pelayan Lady Laura."
Tommy melangkah masuk ke dalam kamar mandi, dan memandang senang pada perlengkapannya yang modern. Dia melihat mata curiga gadis itu dan berkata dengan cepat,;
""Kau sedang sibuk, Elise?"
"Ya, Tuan. Sedang membersihkan kamar mandi."
"Barangkali kau bisa membantuku dengan kameraku. Aku membawa kamera khusus dan akan memotret ruangan-ruangan di rumah ini dengan kameraku."
Perkataannya terpotong oleh suara pintu yang
48
tiba-tiba terdengar menutup di belakangnya. Elise sampai meloncat karena terkejut. "Apa itu?";
"Pasti angin," kata Tuppence.
"Kita masuk kamar mandi," kata Tommy.
Elise membuka handel pintu kamar mandi. Tapi pintu itu tidak bisa dibuka.
"Kenapa?" kata Tommy tajam.
"Tuan—barangkah ada yang menguncinya dari dalam." Gadis itu mengambil handuk dan mencoba membukanya. Kali ini handel pintu itu bisa berputar dengan mudah, dan pintu pun terbuka.
"Voila ce qui est curieux. Pasti macet," kata Elise. Ternyata tak ada siapa-siapa di dalam kamar mandi.
Tommy mengambil peralatan fotonya. Tup pence dan Elise bekerja menurut instruksinya. Sementara itu mata Tommy berkali-kali melirik pintu kamar mandi.
"Kenapa pintu itu macet?" katanya gemas sambil menggertakkan giginya.
Dia memeriksanya sebentar, membuka dan menutupnya kembali. Semuanya beres.
"Satu kali lagi," kata Tommy. "Kau bisa memegangi gorden merah muda itu, Elise? Terima kasih. Tolong dipegangi dulu."
Suara "klik" terdengar lagi. Dia memberikan sebuah alat pada Elise dan memberikan tripod pada Tuppence, lalu menutup lensa kameranya.
Dia membuat satu alasan untuk mengusir Elise
49
dari ruangan, dan begitu gadis itu pergi, dia pun bicara cepat pada Tuppence.
"Aku punya ide. Kau bisa tinggal di sini dan memeriksa ruangan-ruangan—itu perlu waktu yang cukup lama. Coba bicara dengan burung tua itu. Tapi, apa pun yang kauceritakan, jangan membuatnya lari dari sini. Aku akan pergi dengan mobil dan kembali secepatnya.
"Baik," kata Tuppence. 'Tapi jangan terlalu yakin pada teorimu. Kau melupakan satu hal."
"Apa itu?"
"Gadis itu. Ada yang aneh tentang dia. Aku kebetulan tahu jam berapa dia meninggalkan rumah untuk menemui kita tadi pagi. Dia menghabiskan dua jam untuk sampai ke kantor kita. Itu tidak betul. Ke mana saja dia pergi sebelum sampai ke tempat kita?"
"Ya, betul, memang mencurigakan," kata suaminya. "Kau bisa menyelidiki hal itu. Yang penting jangan biarkan Lady Laura pergi. Apa itu?"
Telinganya yang tajam menangkap suara ge-merisik di luar pintu. Dia berjalan ke pintu dengan cepat. Tapi tak ada seorang pun di sana.
"Oke. Sampai ketemu nanti."
50
4. Kisah Mutiara Merah Muda (Lanjutan)
Tuppence melihat suaminya keluar dengan sedikit prasangka. Tommy begitu yakin—sedang dia sendiri tidak. Ada satu atau dua hal yang tidak dia mengerti.
Dia masih berdiri di jendela memandang ke luar ketika seorang laki-laki menyeberangi jalan, masuk ke halaman dan membunyikan bel.
Seperti kilat Tuppence keluar kamar d an-menuruni tangga. Gladys Hill datang dari belakang berjalan ke pintu depan. Tapi Tuppence menyuruh dia masuk lagi. Kemudian dia membuka pintu depan.
Seorang pemuda langsing dengan pakaian norak dan mata mencurigakan, berdiri di depan pintu.
Dia ragu-ragu sejenak lalu bertanya. "Apa Nona Kingston Bruce ada?" "Silakan masuk," kata Tuppence. Tuppence memberi jalan pada pemuda itu untuk masuk, kemudian dia menutup pintu. "Anda pasti Tuan Rennie," katanya manis. Pemuda itu meliriknya dengan cepat.
51
"Er—ya."
"Silakan masuk ke ruang sini."
Tuppence membuka pintu ruang kerja. Ruangan itu kosong. Tuppence mengikuti pemuda itu masuk dan menutup pintu. Pemuda tersebut membalikkan badan dengan dahi berkerut.
"Saya ingin menemui Nona Kingston Bruce."
"Saya tidak tahu apakah Anda bisa melakukan hal itu," kata Tuppence dengan tenang.
"Anda ini siapa sih?" kata pemuda itu dengan kasar.
"Agen Detektif Internasional," kata Tuppence pendek. Pandangannya menangkap keterkejutan yang tak terkontrol dari lawan bicaranya.
"Silakan duduk, Tuan Rennie," lanjutnya. "Untuk Anda ketahui, kami tahu tentang kunjungan Nona Kingston Bruce ke tempat Anda tadi pagi."
Perkataan Tuppence merupakan sebuah terka-an saja. Tetapi rupanya berhasil. Karena dia melihat kekuatiran di wajah pemuda itu, Tuppence melanjutkan,
"Yang penting, mutiara itu kembali, Tuan Rennie. Tak seorang pun di rumah ini suka publikasi. Saya rasa bisa kita atur."
Pemuda itu memandangnya sambil berpikir.
"Saya tak tahu seberapa banyak yang Anda ketahui. Saya ingin berpikir dulu."
Dia mengacak-acak rambutnya dengan kedua tangannya—lalu menanyakan hal yang di luar dugaan.
52
i
"Apakah benar bahwa St. Vincent muda itu sudah bertunangan dan akan menikah?"
"Betul," kata Tuppence. 'Saya kenal tunangannya."
Tiba-tiba Tuan Rennie menjadi bersahabat.
"Ini benar-benar menjengkelkan," katanya. "Mereka meminta St. Vincent datang kemari—pagi, siang, malam, agar dia tertarik pada Beatrice. Ini karena dia kelak akan menerima suatu gelar. Kalau saya punya cara..."
"Sudah, jangan bicara tentang politik," potong Tuppence. "Apakah Anda tahu kenapa Nona Kingston Bruce mengambil mutiara itu?"
"Saya—saya tak tahu."
"Ah, Anda tahu. Anda sudah lama menunggu di pinggir jalan sampai detektifnya keluar dan keadaan aman bagi Anda. Anda datang dan menemui Nona Kingston Bruce. Itu jelas. Kalau Anda sendiri yang mengambil mutiara itu. Anda pasti tidak bingung."
"Sikapnya aneh sekali," kata pemuda itu. "Tadi pagi dia ke tempat saya dan cerita tentang pencurian itu. Dia juga mengatakan akan menemui seorang detektif swasta. Kelihatannya dia ingin mengatakan sesuatu—tapi tidak bisa."
"Begini," kata Tuppence. "Yang «saya perlukan hanya mutiara itu. Sekarang Anda temui dia saja."
Tapi pada saat itu Kolonel Kingston Bruce membuka pintu.
"Makan siang*sudah siap, Nona Robinson. Kami harap Anda bisa makan bersama kami."
53
Dia terdiam dan memandang pemuda itu. "Kelihatannya Anda tidak mengundang saya untuk makan siang. Baiklah, saya pergi saja," kata pemuda itu.
"Kembalilah nanti," bisik Tuppence ketika tamunya melewati dia.
Tuppence mengikuti Kolonel Kingston Bruce yang masih mengomel tentang ketidaksopanan. Mereka masuk ke ruang makan yang besar, di mana semuanya sudah duduk menunggu. Hanya satu orang yang tidak dikenali Tuppence.
"Lady Laura, ini Nona Robinson yang telah membantu kami."
Lady Laura menganggukkan kepalanya. Lalu dia memandang Tuppence melalui kacamata bulatnya. Dia seorang wanita jangkung bersuara lembut, bermata tajam, dan memiliki senyum melankolis. Tuppence balas memandangnya, dan mata Lady Laura pun tertunduk.
Setelah makan Lady Laura ikut ngobrol dengan penuh rasa ingin tahu. Bagaimana pemeriksaan itu berjalan? Tuppence berpura-pura curiga pada pelayan dalam. Tapi pikirannya tidak tertuju pada Lady Laura. Wanita itu mungkin saja menyembunyikan sendok teh atau benda benda lain. Tapi Tuppence merasa yakin bahwa dia tidak menyembunyikan mutiara itu.
Tuppence kemudian melanjutkan penyelidikan untuk menemukan mutiara itu. Waktu berjalan terus. Tommy masih belum kelihatan juga. Tapi yang menjengkelkan Tuppence ialah tak ada
54
tanda-tanda Tuan Rennie akan muncul lagi. Tiba-tiba Tuppence yang sedang keluar dari sebuah kamar bertabrakan dengan Beatrice Kingston Bruce yang- sedang akan turun. Gadis itu dalam dandanan siap untuk pergi.
"Saya rasa sebaiknya Anda tidak pergi dulu," kata Tuppence.
'   Gadis itu memandangnya dengan sombong.
"Saya pergi atau tidak, itu bukan urusan Anda," katanya dingin. •
"Ya, urusan saya ialah menghubungi polisi atau tidak," kata Tuppence tak mau kalah.
Pada detik itu pula wajah gadis tersebut menjadi pucat
"Jangan—jangan—jangan hubungi polisi. Saya tak akan pergi.'' Dia memegangi Tuppence erat-erat.
"Nona Kingston Bruce," kata Tuppence sambil tersenyum. "Persoalannya sudah jelas dari permulaan—. Saya..."
Tapi dia tidak melanjutkan kalimatnya. Karena asyik bicara dengan gadis itu dia tidak mendengar bunyi bel pintu depan. Tiba-tiba saja dia melihat Tommy menaiki tangga. Dan sepintas melihat seorang lelaki besar sedang membuka topinya di ruang depan di bawah.
"Inspektur Marriot dari Scotland Yard," kata Tommy sambil nyengir.
Sambil menjerit, Beatrice Kingston Bruce melepaskan diri dari pegangan Tuppence dan lari
55
turun ke bawah. Pada saat itu pula pintu depan terbuka lagi dan masuklah Tuan Rennie.
"Hm—kau mengacaukan semua," kata Tuppence sengit.    *
"Lho, kenapa?" kata Tommy sambil cepat-cepat menuju kamar Lady Laura. Dia masuk ke kamar mandi dan mengambil sebuah sabun besar. Inspektur itu sedang menaiki tangga.
"Dia menyerah dengan tenang," kata inspektur itu. "Dia memang sudah berpengalaman dan tahu persis kapan menghentikan permainannya. Bagaimana dengan mutiara itu?"
"Saya rasa, Anda akan menemukannya di sini," kata Tommy sambil memberikan sabun yang dipegangnya.
Mata inspektur itu bersinar gembira.
'Permainan yang cukup bagus. Potong sebuah sabun menjadi dua, buat lubang di tengahnya untuk tempat menyembunyikan mutiara itu, lalu tangkupkan kembali-sabun tersebut dan haluskan sambungannya dengan air panas. Anda memang cerdas."
Tommy menerima pujian itu dengan rendah hati. Kemudian dia menuruni tangga bersama Tuppence. Kolonel Kingston Bruce bergegas menemuinya dan menyalaminya dengan hangat.
"Saya benar-benar gembira dan mengucapkan terima kasih atas bantuan Anda. Lady Laura pun ingin mengucapkan terima kasih...."
"Saya juga gembira bisa memuaskan Anda,"
56
jawab Tommy. "Maaf, saya tak dapat terlalu lama. Ada anggota kabinet yang memerlukan."
Dia cepat-cepat keluar dan masuk ke dalam mobil. Tuppence pun ikut-ikut meloncat masuk dan duduk di dekatnya.
'Tommy," seru Tuppence. "Apa mereka menangkap Lady Laura?"
"Oh!" sahut Tommy. "Apa aku belum cerita? Mereka tidak menangkap Lady Laura. Mereka menangkap Elise."
Tommy melanjutkan ceritanya ketika Tuppence hanya bisa duduk dengan bingung. "Aku sering mencoba membuka pintu dengan tangan penuh sabun. Tapi tidak bisa—tanganku terlalu licin. Jadi aku berpikir-pikir, kenapa si Elise tangannya penuh sabun. Setelah itu dia mengambil handuk. Ingat, nggak? Jadi tak ada bekas sabun pada handel pintu itu. Lalu aku berpikir. Kalau kau memang pencuri profesional, amat bagus kalau bisa jadi pelayan seorang wanita yang punya penyakit kleptomania. Apalagi kalau dia senang bepergian dan menginap di rumah teman-temannya. Jadi aku berusaha mengambil foto Elise dan kamar majikannya, menipu dia supaya memegangi peralatan kameraku, lalu pergi ke Scotland Yard. Hasil film negatif dan sidik jarinya memang sangat meyakinkan. Elise memang telah lama dicari-cari. Scotland Yard ternyata tempat yang sangat berguna."
"Hm," kata Tuppence mencoba bersuara. "Aku
57
berpikir dua orang muda itu yang perlu dicurigai. Kenapa kau tidak cerita padaku?"
"Pertama-tama, aku kuahr jangan-jangan Elise menguping pembicaraan kita di luar pintu. Dan
kedua..." 'Ya?"
"Kawanku yang cerdik rupanya lupa bahwa Thorndyke hanya bicara pada babak terakhir," kata Tommy. "Sudahlah, Tuppence. Kau dan temanmu si Janet Smith kan sudah mengungguliku kemarin itu. Satu-satulah."
58
5. Petualangan Lelaki Jahat
"Hari yang membosankan," kata Tommy sambil menguap lebar.
"Hampir waktu minum teh," kata Tuppence sambil menguap juga.
Bisnis Agen Detektif Internasional memang tidak laricar. Surat pedagang yang diharap-harapkan itu tidak muncul juga. Dan kasus-kasus yang bonafide tidak kelihatan.
Albert, si pelayan, datang membawa paket tersegel. Dia meletakkannya di atas meja.
"Misteri Paket Bersegel," gumam Tommy. "Apa ya isinya? Mutiara-mutiara Putri Bangsawan Rusia? Atau bom tersembunyi untuk menghancurkan Blunf s Brilliant Detectives?"
"Bukan," kata Tuppence sambil merobek bungkusan itu. "Ini hadiah perkawinan dariku untuk Erancis Haviland. Bagus, ya?"
Tommy mengambil isinya, yaitu sebuah tempat rokok perak yang ramping. Dia membaca tulisan di kotak itu: Francis dari Tuppence—diukir dari tulisan tangan Tuppence sendiri. Dibuka dan
59
ditutupnya kembali kotak kecil itu sambil mengangguk.
"Kau memang suka membuang-buang uangmu, Tuppence," katanya. "Aku ingin juga yang seperti itu. Tapi dari emas. Untuk ulang tahunku bulan depan. Buat apa buang-buang duit untuk orang seperti Prancis Haviland? Dari dulu dia adalah salah satu dari keledai-keledai sempurna yang diciptakan Tuhan!"
"Kau lupa aku pernah menjadi sopirnya pada waktu perang, waktu dia masih seorang jenderal. Ah! Itu masa-masa yang menyenangkan."
"Ya," kata Tommy setuju. "Wanita-wanita cantik berdatangan dan menggenggam tanganku di rumah sakit. Aku ingat itu. Tapi aku tidak mengirimi mereka hadiah perkawinan. Aku rasa pengantin itu tidak terlalu peduli dengan hadiahmu ini, Tuppence."
"Kelihatan manis dan pas di saku, ya?" kata Tuppence tidak mempedulikan perkataan Tommy.
Tommy memasukkannya ke dalam sakunya.
"Ya, betul," katanya. "He, ini Albert dengan surat-surat siang hari. Barangkali Duchess of Perthshire memanggil kita untuk mencari permatanya yang hilang." _
Mereka berdua membuka surat-surat itu. Tiba-tiba Tommy bersiul panjang dan mengacungkan sebuah surat.
"Sebuah surat biru dengan perangko Rusia.
60
Kau ingat apa yang dikatakan Bos? Kita diminta memperhatikan surat seperti ini."
"Oh, mendebarkan sekali," kata Tuppence. "Akhirnya akan terjadi sesuatu juga. Bukalah dan baca apakah isinya cocok. Pedagang daging babi, kan? Sebentar. Kita perlu susu untuk minum teh. Mereka lupa meletakkannya di dapur. Aku suruh Albert beli dulu."
Ketika dia kembali dari ruangan luar, Tommy sedang memegang surat biru itu di tangannya.
"Dugaan kita betul, Tuppence," katanya. "Persis seperti yang dikatakan Bos."
Tuppence mengambil surat itu dan membacanya.
Surat itu ditulis dalam bahasa Inggris yang. kaku, dan dimaksudkan dari Gregor Feodorsky yang ingin mendengar tentang istrinya. Agen Detektif Internasional diminta untuk mengadakan pencarian tanpa peduli berapa pun biayanya. Feodorsky sendiri tidak dapat keluar dari Rusia sekarang karena ada krisis perdagangan daging babi.
"Apa ya kira-kira artinya?" kata Tuppence sambil membeber surat itu di meja di depannya.
"Aku rasa kode," kata Tommy. "Itu bukan urusan kita. Tugas kita ialah memberikannya pada Bos secepatnya. Sebaiknya kita basahi dan ambil perangkonya dan kita lihat apakah ada nomor di bawahnya."
"Baik," kata Tuppence. "Tapi aku rasa..."
Dia diam tidak melanjutkan kalimatnya. Dan
61
karena heran, Tommy pun memandang Tuppence. Tapi pada waktu itulah dia melihat tubuh besar seorang lelaki menutupi pintu.
Si pengacau ternyata seorang lelaki besar dengan kepala bulat dan rahang yang amat kuat. Umurnya kira-kira empat puluh lima tahun.
"Maaf," katanya sambil melangkah masuk dengan topi di tangan. "Ruangan di luar kosong, dan pintu ini terbuka. Jadi saya masuk. Ini Agen Detektif Internasional, kan?"
"Ya, betul."
"Dan Anda tentunya Tuan Blunt? Tuan Theodore Blunt?"
"Saya Tuan Blunt. Anda perlu menemui saya? Ini sekretaris saya, Nona Robinson."
Tuppence menundukkan kepalanya dengan luwes, tapi memperhatikan orang asing di depannya melalui celah-celah bulu matanya.
Dengan suara tajam, Tommy mengingatkan Tuppence.
"Nona Robinson, silakan mencatat. Anda bisa menceritakan persoalan Anda, Tuan." Tuppence mengambil buku catatan dan pensil. Laki-laki besar itu mulai berkata dengan suara N serak.
"Nama saya Bower. Dr. Charles Bower. Saya tinggal di Hampstead dan berpraktek di sana juga. Saya ingin menemui Anda karena ada beberapa hal aneh terjadi."
"Ya, Dr. Bower?"
"Seminggu yang lalu saya -dipanggil melalui
62
telepon, dua kali karena ada emerjensi. Panggilan pertama ternyata bohong. Saya mula-mula berpikir bahwa ada orang yang ingin iseng. Tapi ketika saya dipanggil untuk kedua kali, pada waktu saya pulang, ada yang tidak beres. Dokumen-dokumen pribadi saya rupanya diacak-acak orang. Saya mencoba menyelidiki dan sampai pada kesimpulan bahwa ada orang yang menggeledah meja kerja saya."
Dr. Bower diam dan memandang Tommy.
"Bagaimana, Tuan Blunt?"
"Hm," gumam Tommy tersenyum.
"Apa pendapat Anda?"
"Pertama-tama saya ingin mendengar tentang fakta. Apa yang Anda simpan di meja Anda?"
"Dokumen-dokumen pribadi."
"Betul. Sekarang, dokumen-dokumen yang Anda maksud itu apa saja? Apa nilainya untuk seorang pencuri biasa—atau orang-orang tertentu?"
"Saya tak melihat bahwa dokumen-dokumen itu punya arti penting bagi pencuri biasa. Tapi catatan saya mengenai alkaloids mungkin merupakan sesuatu yang menarik bagi orang yang mengerti. Saya memang melakukan suatu penyelidikan tentang hal itu beberapa tahun terakhir ini. Alkaloids ini merupakan racun yang mematikan dan sangat berbahaya—dan sulit untuk dilacak. Racun itu tidak memberikan reaksi-reaksi lain."
"Kalau begitu rahasia tersebut bisa menghasilkan uang?"
63
"Ya, bagi orang yang tak tahu diri." "Dan siapa yang Anda curigai?" Dokter itu hanya mengangkat bahunya yang lebar.
"Saya tidak melihat tanda-tanda perusakan dari luar terhadap rumah saya. Ini tentunya menunjuk pada kemungkinan bahwa pelakunya orang dalam. Tapi sulit untuk menerima..." Tiba-tiba saja dia diam tidak melanjutkan kalimatnya. Lalu dia berkata lagi dengan wajah yang amat muram.
'Tuan Blunt, saya tidak berani menghubungi polisi dalam hal ini. Saya ingin menyerahkan persoalan ini ke tangan Anda saja. Saya tidak meragukan ketiga pelayan saya. Mereka telah bekerja pada saya cukup lama dengan setia. Walaupun begitu, bisa saja terjadi kemungkinan yang tidak kita duga. Lalu ada dua orang kemenakan laki-laki saya, Bertram dan Henry. Henry adalah seorang pemuda yang baik—amat baik. Dia tak pernah menyusahkan saya dan dia seorang anak yang rajin. Sedangkan Bertram sebaliknya. Anak itu bandel, boros, dan pemalas."
"Hm," kata Tommy. "Anda curiga si Bertram ini, yang mungkin jadi pelakunya. Saya tak setuju dengan Anda. Saya justru curiga pada si Henry yang baik." "Kenapa?"
'Tradisi. Preseden." Tommy mengibaskan tangannya dengan ringan. "Dalam pengalaman kasus-kasus yang saya tangani, justru yang baik.
64
yang kelihatan tak berdosalah yang berbuat Ya, saya curiga pada Henry."
"Maaf, Tuan," kata Tuppence menyela. "Apakah Tuan Bower tadi mengatakan bahwa catatan tersebut—er—alkaloids, maksud saya—disimpan di meja bersama dokumen-dokumen lainnya?"
'Ya—catatan itu disimpan di meja, Nona. Tapi di dalam laci rahasia. Tempatnya hanya saya yang tahu. Karena itu selama ini mereka aman."
'Dan apa yang Anda ingin saya lakukan, Dr. Bower?" tanya Tommy. "Apa Anda menginginkan agar kami mencarinya?"
"Benar, Tuan Blunt. Siang tadi saya menerima telegram dari seorang pasien yang saya kirim ke Bournemouth beberapa minggu yang lalu. Tele-' gram itu mengatakan bahwa pasien itu dalam keadaan kritis dan minta agar saya segera datang memeriksanya. Karena pengalaman yang sudah-sudah, saya sendiri langsung mengirim telegram pada pasien itu untuk mengecek kebenarannya. Ternyata dia dalam keadaan sehat dan tidak pernah memanggil saya untuk datang. Saya kemudian berpikir, seandainya saya berpura-pura termakan oleh telegram itu lalu bersiap pergi ke Bournemouth, barangkali saya bisa menangkap basah si misterius itu. Mereka—atau dia—pasti menunggu sampai semuanya pergi tidur sebelum menjalankan aksinya. Saya ingin agar Anda datang ke tempat saya malam nanti jam sebelas untuk menangkap penjahat itu."
"Hm—berharap bisa menangkap basah mere-
65
ka," kata Tommy sambil mengetuk-ngetukkan pisau di meja. "Kelihatannya rencana Anda bagus sekali, Dr. Bower. Begini, alamat Anda?"
"The Larches, Hangman's Lane—agak terpencil tempatnya. Tapi pemandangannya bagus."
"Ya, ya," kata Tommy.
Tamu itu berdiri.
"Kalau begitu saya menunggu kedatangan Anda, Tuan Blunt. Di luar Larches, jam—sebelas kurang lima?"
"Baik, baik. Jam sebelas kurang lima. Sampai nanti, Dr. Bower."
Tommy berdiri sambil menekan bel di mejanya. Albert muncul dan membawa tamu itu keluar. Dokter itu berjalan dengan kaki pincang. Tapi badannya yang besar membuatnya kelihatan gagah.
"Hmh. Klien yang tidak menyenangkan," gumam Tommy. "He, Tuppence, apa pendapatmu?"
"Dua kata saja," jawab Tuppence. "Kaki Pekuk!"
"Apa?"
"Kaki Pekuk! Pelajaranku tidak sia-sia, Tommy. Ini sandiwara saja, Tommy. Alkaloids. Huh! Tak pernah kudengar cerita yang lebih menggelikan dari ini."
"Aku pun tidak percaya," kata Tommy.
"Kau lihat, bagaimana matanya menatap surat itu? Tom, dia pasti salah satu anggota gang itu. Mereka rupanya tahu bahwa kau bukan Tuan Blunt dan merencanakan untuk menghabisi kita."
"Kalau begitu," kata Tommy sambil membuka lemari samping dan memandang deretan buku-
66
nya dengan rasa sayang, "kita bisa memilih peranan dengan mudah. Kita jadi Okewood Bersaudara. Dan aku jadi Desmond," katanya tegas.
Tuppence hanya mengangkat bahu.
"Oke. Terserah maumu. Aku jadi Francis. Francis lebih cerdas. Desmond selalu membuat t kekeliruan. Dan Francis suka jadi tukang kebun atau apa untuk memberi uluran tangan pada waktu diperlukan."
"Ah!" kata Tommy. 'Tapi aku akan jadi super Desmond. Kalau aku tiba di di Larches—"
Tuppence memotongnya begitu saja.
"Kau tidak akan pergi ke Hampstead malam ini."
"Kenapa?"
"Berjalan ke perangkap dengan mata terpejam?"
Tidak, Sayang. Berjalan ke perangkap dengan mata terbuka. Banyak bedanya. Aku rasa Dr. Bower akan mendapat kejutan kecil."
"Aku tak suka," kata Tuppence. "Kau tahu, kan apa yang terjadi kalau si Desmond tidak mau mendengarkan bosnya dan berbuat semaunya? Perintah untuk kita sangat jelas. Agar mengirim surat itu dengan segera dan melapor bila terjadi sesuatu."
"Kau belum bisa mencerna, rupanya. Kita harus ' .segera melapor kalau ada seseorang masuk dan menyebut si Nomor 16. Dan sampai sekarang, belum ada yang melakukannya." v
"Itu cuma alasan."
67
'Tak ada gunanya," kata Tommy. "Aku sudah membayangkan akan menangani persoalan itu sendiri. Jangan kuatir. Tuppence. Aku akan berjuang mati-matian. Persoalannya di sini ialah— aku akan waspada dan mereka tak tahu. Bos pasti akan menepuk-nepuk punggungku karena keber-hasilanku malam ini."
Tokoknya aku tidak suka," kata Tuppence. "Orang itu sangat kuat, seperti gorila."
"Ah!" kata Tommy. "Kan ada si otomatis berhidung biru."
Pintu ruang depan terbuka dan Albert masuk dengan surat di tangan.
"Ada seorang tamu, Tuan. Ketika saya memberitahu dengan alasan yang sama bahwa Tuan sibuk dengan Scotland Yard, dia mengatakan bahwa dia tahu tentang hal .itu. Katanya dia sendiri dari Scotland Yard! Dan dia menulis sesuatu pada sebuah kartu—ada di dalam amplop ini."
Tommy mengambil kartu itu dan membacanya. Bibirnya menyeringai lebar.
"Apa yang dikatakan tamu itu benar, Albert. Bawa dia masuk," katanya.
Dilemparkannya kartu itu pada Tuppence. Di situ ada nama Inspektur Dymchurch dan di dekatnya ditulis—Teman Marriot.
Pada menit berikutnya detektif Scotland Yard itu muncul. Inspektur Dymchurch hampir sama dengan Inspektur Marriot, pendek, gempal, dan bermata tajam.
"Selamat siang," katanya ringan. "Marriot se-
68
dang pergi ke South Wales. Tapi sebelum pergi dia berpesan agar saya mengamat-amati Anda berdua, juga tempat ini. Begini, Tuan," lanjutnya dengan cepat ketika melihat Tommy akan bicara, "kami tahu hal itu. Memang itu bukan urusan departemen kami, kami tidak mau campur tangan. Tapi baru-baru ini ada orang-orang yang telah mencium kenyataan bahwa yang mereka lihat sebenarnya tidaklah seperti yang mereka lihat. Tadi ada seorang tamu yang datang kemari. Saya tidak tahu nama apa yang dipakainya, tapi saya tahu sedikit tentang laki-laki itu. Tapi yang sedikit itu cukup menimbulkan keinginan untuk tahu lebih banyak. Apakah dia datang kemari untuk membuat janji dengan Anda untuk bertemu di suatu tempat malam nanti?" "Benar."
"Kalau begitu perkiraan saya betul. Di Wester-ham Road 16, Finsbury Park?"
"Kali ini Anda keliru. Benar-benar keliru. The LaTches, Hampstead."
Dymchurch kelihatan terkejut. Rupanya dia tak menyangka hal itu.
"Saya tidak mengerti," gumamnya. "Pasti layout baru. Anda tadi bilang The Larches, Hampstead?"
"Ya. Saya harus menemui dia di sana jam sebelas malam nanti." 'Jangan pergi, Tuan." "Nah, dengar," kata Tuppence. Wajah Tommy menjadi merah.
69
"Kalau begitu, Inspektur.-," kata Tommy sengit.
Tapi inspektur itu mengangkat tangannya.
"Saya akan beritahu Anda, Tuan Blunt. Tempat yang harus Anda datangi jam sebelas malam nanti ialah tempat ini—kantor Anda sendiri."
"Apa?" kata Tuppence terkejut.
"Di sini, di kantor ini. Anda tidak perlu tahu bagaimana saya tahu—kadang-kadang yang dilakukan departemen-departemen bisa merupakan hal yang sama. Tapi hari ini Anda menerima salah satu dari surat-surat "biru" itu, kan? Ada orang yang mengincar surat itu. Dia berusaha memancing Anda ke Hampstead, sehingga dengan mudah malam nanti bisa menggeledah tempat ini."
'Tapi kenapa dia berpikir bahwa surat itu disimpan di sini? Kan bisa saja saya bawa atau saya kirimkan ke orang lain?"
"Justru itulah yang tidak dia ketahui. Mungkin dia sudah tahu bahwa Anda bukanlah Tuan Blunt yang asli, dan berpikir bahwa sebagai pengusaha biasa tentunya surat-suratnya akan dimasukkan ke dalam file—seperti biasa."
"Hm, ya," kata Tuppence.
"Dan kita harus membiarkan dia. berpikir begitu. Kita akan bisa menangkap basah dia nanti malam."
"Jadi begitu rencananya?"
"Ya. Ini betul-betul suatu kesempatan. Sekarang—jam enam, kan? Jam berapa Anda biasa pulang?"
70
"Kira-kira jam enam." ,
"Usahakan agar Anda kelihatan pulang seperti biasa. Saya sebetulnya akan memata-matai tempat ini begitu Anda pergi. Saya rasa mereka tak akan datang sebelum jam sebelas. Tapi siapa tahu. Sebaiknya saya keluar dan melihat-lihat, barangkali ada orang yang memperhatikan tempat ini."
Dymchurch keluar, dan Tommy mulai ribut lagi dengan Tuppence.
Perdebatan sengit itu berlangsung beberapa waktu. Akhirnya dengan tiba-tiba Tuppence menyerah.
"Baik," katanya. "Aku menyerah. Aku akan pulang dan duduk diam dengan manis di rumah dan kau akan menghadapi penjahat-penjahat itu bersama para detektif. Tapi lihat saja nanti. Aku akan berbuat sesuatu sehingga kita tetap akan duduk sama tinggi."
Pada saat itu Dymchurch muncul kembali.
"Kelihatannya aman," katanya. 'Tapi kita tak boleh gegabah. Sebaiknya Anda pulang seperti biasa. Mereka tak akan mengawasi tempat ini lagi kalau Anda pergi."
Tommy memanggil Albert dan memberinya instruksi agar mengunci pintu.
Kemudian keempatnya pergi ke garasi tempat mobil mereka diparkir. Tommy dan si detektif duduk di belakang. Tuppence menyetir dan Albert duduk di sampingnya.
Mereka terhenti karena jalanan macet. Tuppence berpaling ke belakang dan mengangguk.
71
Tommy dan si detektif membuka pintu kanan, dan keluar. Mereka berjalan di tengah Oxford Street yang ramai. Satu atau dua menit kemudian Tuppence melaju.
72
6. Petualangan Lelaki Jahat (Lanjutan)
"Lebih baik jangan langsung masuk," kata Dymchurch pada Tommy ketika mereka bergegas ke Haleham Street "Anda bawa kunci?" Tommy mengangguk.
"Bagaimana kalau kita makan dulu. Masih sore. Ada tempat makan lumayan di seberang situ. Kita cari tempat di dekat jendela. Jadi kita bisa melihat dan mengawasi kantor Anda."
Mereka memesan makanan. Cukup enak walaupun porsinya kecil. Ternyata Inspektur Dymchurch adalah kawan yang menyenangkan. Tugas-tugasnya kebanyakan berkaitan dengan kasus-kasus internasional. Dan banyak cerita-cerita yang mencengangkan pendengarnya yang lugu itu.
Mereka tetap berada di restoran kecil itu sampai pukul delapan. Dymchurch-lah yang mengajak Tommy mulai beraksi.
"Sudah cukup gelap sekarang. Rasanya kita bisa menyelinap diam-diam tanpa dilihat orang."
Hari memang sudah gelap. Mereka menyeberangi jalan, memperhatikan kiri kanan mereka
73
yang amat sepi, dan menyelinap masuk. Kemudian mereka menaiki tangga dan Tommy membuka pintu luar kantornya.
Pada saat itulah dia mendengar Dymchurch bersiul di sebelahnya.
"Kenapa Anda bersiul?" tanya Tommy tajam.
"Saya tidak bersiul," kata Dymchurch heran. "Saya pikir Anda yang bersiul."
"Kalau begitu ada orang...," kata Tommy.
Dia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena tiba-tiba saja tangan-tangan yang kuat menariknya dari belakang dengan keras. Sebelum dia sempat berteriak, hidung dan mulutnya telah ditutup dengan sebuah benda berbau manis dan memuakkan.
Dia berusaha melepaskan diri, tetapi sia-sia. Chloroform yang disumbatkan ke hidungnya bekerja dengan cepat, dan Tommy pun jatuh ke lantai, terbatuk-batuk, dan pingsan...
Dia sadar kembali dalam keadaan sakit, tetapi dengan pikiran terang. Chloroform itu hanya satu embusan saja. Mereka rupanya menyumpal mulut Tommy agar tidak bisa berteriak-
Ketika sadar, Tommy dalam keadaan setengah duduk dan setengah terbaring di sudut ruang kantornya. Dua orang laki-laki dengan seenaknya membongkar-bongkar lemarinya dan mengobrak-abrik mejanya sambil memaki-maki dengan kata-kata kotor.
'Tidak ada apa-apa, Pak," kata si Tinggi pada
74
yang lebih pendek. "Sudah dijungkir-balik begini." *
"Pasti ada di sini," katanya dengan geram. "Surat itu tak ada di sakunya. Jadi pasti di sini. Tak mungkin di tempat lain."
Sambil bicara orang itu menoleh kepada Tommy. Dan Tommy menjadi tercengang ketika ternyata bahwa orang itu adalah Inspektur Dymchurch. Ketika tahu bahwa Tommy sudah sadar, Dymchurch hanya menyeringai kepadanya.
"Jadi kawan kita sudah bangun rupanya," katanya. "Heran ya—pasti heran. Sebetulnya sederhana saja. Kami curiga pada Agen Detektif Internasional. Saya menawarkan diri untuk menyelidiki. Kalau Tuan Blunt yang baru itu benar-benar seorang mata-mata, dia pasti curiga. Jadi saya kirim Carl Bauer. Carl memang diinstruksikan supaya berlagak mencurigakan dan mengarang cerita yang aneh. Dia menjalankan tugasnya. Lalu saya ikut nimbrung. Nama Inspektur Marriot rupanya cukup meyakinkan. Yang lainnya sederhana saja."
D:a tertawa.
Tommy ingin sekali bicara. Tapi sumbat di mulutnya tidak memungkinkan. Dia juga ingin melakukan sesuatu—dengan kaki dan tangannya—tapi itu pun tak mungkin. Dia diikat.
Hal yang amat mengherankan ialah perubahan dalam diri laki-laki yang berdiri di depannya. Sebagai Inspektur Dymchurch, laki-laki itu kelihatan seperti orang Inggris asli. Sekarang, dia
75
berubah menjadi seorang asing yang bisa berbahasa Inggris tanpa aksen asing.
"Coggins," kata inspektur palsu itu kepada kawannya yang kelihatan seperti penjahat, "jaga tawananmu. Aku akan mengambil sumbat di mulutnya. Anda mengerti, kan. Tuan Blunt, bahwa Anda tidak perlu bersikap tolol dengan berteriak? Saya yakin Anda tidak sebodoh itu. Anda cukup cerdas, walaupun masih muda."
Dengan cekatan dia membuka sumbat dan mundur ke belakang.
Tommy menggerak-gerakkan dagunya yang kaku, menggerakkan lidahnya di dalam mulut, menelan ludah dua kali—dan tidak berkata apa-apa.
"Anda memang hebat. Selamat atas kekuatan Anda untuk bertahan. Saya lihat Anda lebih enakan sekarang. Apa tak ada sesuatu yang ingin Anda katakan?"
"Apa yang harus saya katakan akan saya simpan sendiri," kata Tommy. "Dan tak apa-apa, walaupun harus menunggu."
"Ah! Apa yang harus saya katakan tak bisa menunggu terlalu lama, Tuan Blunt. Dalam bahasa yang sederhana: di mana surat itu?"
"Kawan yang baik, saya tidak tahu," kata Tommy gembira. "Saya tidak menyimpannya. Dan Anda sendiri pun tahu. Saya akan terus mencarinya, kalau saya jadi Anda. Saya suka melihat Anda dan Coggins main petak-umpet."
Muka lelaki yang satu berubah menjadi gelap.
76
"Anda suka main-main rupanya, Tuan Blunt. Coba Anda perhatikan kotak persegi itu. Itu adalah perlengkapan kecil Coggins. Di situ ada vitriol.... ya, vitriol... dan besi yang bisa dipanaskan di api sehingga menjadi merah dan panas membara...."
Tommy menggelengkan kepala dengan sedih.
"Diagnosa yang keliru," gumamnya. 'Tuppence dan aku salah membuat nama. Ini bukan cerita si Kaki Pekuk, tapi Bulldog Drummond. Dan kau adalah Carl Peterson yang terlalu cerdik."
"Apa yang kauucapkan itu?" kata laki-laki itu dengan marah.
"Ah!" kata Tommy. 'Ternyata Anda tidak kenal cerita klasik. Sayang."
"Orang tolol! Kau mau melakukan apa yang kami minta atau tidak? Apa aku perlu memberitahu Coggins sekarang untuk membongkar perlengkapannya?"
"Jangan buru-buru," kata Tommy. 'Tentu saja aku akan melakukan apa yang kalian inginkan kalau kalian mau mengatakannya. Apa kaukira aku suka dipanggang seperti ikan atau digoreng di penggorengan? Aku tidak suka disakiti."
Dymchurch memandangnya dengan puas.
"Bagus! Orang Inggris memang penakut."
"Akal sehat, Kawan. Akal sehat saja. Jangan singgung- singgung si vitriol. Kita bicara sekarang."
"Aku perlu surat itu."
"Sudah kukatakan, aku tak menyimpannya."
77
"Kami tahu itu. Dan kami juga tahu siapa yang kira Jura mengambilnya. Gadis itu."
"Barangkali. Ya—mungkin dia/' kata Tommy. "Barangkili dia menyelipkan ke dalam tasnya waktu kawanmu si Cari itu mengejutkan kami."
"Oh, kau mengaku juga. Bagus. Bagus. Kautulis surat pada Tuppence, suruh dia datang membawa surat itu segera."
"Aku tak bisa melakukannya," kata Tommy.
Lelaki itu menyela sebelum kalimat Tommy selesai.
"Ah, tidak bisa? Coba kita lihat. Coggins!"
"Jangan terburu-buru," kata Tommy. 'Tunggu sampai kalimatku selesai. Aku tadi mau bilang aku tak bisa melakukannya kalau kau tidak melepas ikatan tanganku. Aku bukan orang pintar yang bisa menulis dengan hidung atau siku."
"Kau mau kalau begitu?"
'Tentu. Dari tadi kan sudah kukatakan. Aku berusaha berbuat baik dan menurut. Kau tidak akan apa-apakan Tuppence, kan? Pasti tidak. Gadis itu baik."
"Kami hanya perlu suratnya," kata Dymchurch. Tapi di mukanya tersungging senyum yang tak enak dilihat.
Setelah melihat anggukan si inspektur palsu, Coggins pun berlutut dan membuka ikatan lengan Tommy. Tommy mengguncang-guncang-kan lengannya ke depan dan ke belakang supaya lemas.
"Enakan sekarang," katanya dengan suara ri-
78
ang. "Apakah Coggins yang baik bersedia mengambilkan penaku? Kalau tak salah ada di atas meja."
Sambil menggeram, orang itu mengulurkan pena kepada Tommy dan memberinya selembar kertas.
"Hati-hati dengan apa yang kautulis," ancam Dymchurch.
"Kau boleh menulis apa saja, tapi kalau gagal berarti—mati—dan kematian yang pelan."
"Kalau begitu," kata Tommy, "aku akan benar-benar menulis yang baik."
Dia berpikir sebentar. Kemudian mulai menulis dengan cepat.
"Bagaimana dengan tulisan ini?" katanya sambil menunjukkan suratnya yang sudah selesai.
Tuppence yang baik,
Apa kau bisa datang sekarang juga dengan membawa surat biru itu? Kami perlu memecahkan kodenya sekarang dan di sini.
Maaf, nih, terburu-buru,
Francis »
"Francis?" tanya inspektur palsu itu sambil menaikkan alis matanya. "Apa dia memanggilmu dengan nama itu?"
"Karena kau tidak ada waktu aku dibaptis,"
79
kata Tommy, "aku rasa kau tidak tahu apakah itu namaku atau bukan. Tapi kurasa kotak rokok yang kauambil dari sakuku itu akan menunjukkan bah*va apa yang kulakukan benar."
Dymchurch palsu melangkah ke meja dan mengamini kotak rokok yang bertuliskan "Francis dari Tuppence". Dia menyeringai kecil dan meletakkan benda itu lagi.
"Untunglah kau mau mehgerti," katanya. "Coggins, berikan surat itu pada Vassily. Dia menjaga di luar. Katakan bahwa dia harus segera mengirimnya."
Dua puluh menit berikutnya berjalan amat lambat. Sepuluh menit berikutnya terasa lebih lambat lagi. Dymchurch berjalan hilir-mudik dengan muka yang semakin muram. Dia berbalik memandang Tommy dengan tampang bengis.
"Kalau kau berani mempermainkan aku..." geramnya.
, "Kalau kau punya kartu, kita bisa main sambil menunggu," kata Tommy. "Perempuan biasanya suka membuat orang lain menunggu. Kuharap kau tidak jahat pada Tuppence nanti."
"Oh, tentu," kata Dymchurch. "Kami akan mengatur agar kalian berdua dapat pergi ke tempat yang sama."
"Hm, dasar kurang ajar," gumam Tommy.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di liiar. Seorang laki-laki yang belum pernah dilihat Tommy menjulurkan kepala dan bicara dalam bahasa Rusia.
80
"Bagus," kata Dymchurch. "Dia datang—dan datang sendirian."
Sejenak mata Tommy menunjukkan rasa kuatir.
Menit berikutnya dia mendengar suara Tuppence.
"Oh! Akhirnya kita ketemu lagi. Inspektur. Saya sudah membawa surat itu. Mana Francis?"
Sambil bicara Tuppence memasuki pintu ruang dalam. Vassily menerkamnya dari belakang dengan cepat dan mendekap mulutnya. Dymchurch merobek tas Tuppence dan mengobrak-abrik isinya.
Tiba-tiba dia berseru gembira dengan sebuah tangan mengacungkan amplop biru dengan perangko Rusia. Coggins pun ikut menggeram senang.
Dan pada detik kemenangan mereka itu pintu yang lain, yaitu pintu yang menghubungkan ruangan Tuppence, terbuka pelan-pelan. Inspektur Marriot bersama dua orang polisi berpistol melangkah ke depan dan dengan suara tajam memerintah, "Angkat tangan!"
Tak ada perlawanan. Penjahat-penjahat itu diringkus dengan cepat. Pistol Dymchurch terletak di atas meja dan kedua -orang lainnya tak bersenjata.
"Bagus sekali," kata Inspektur Marriot sambil mengunci borgol terakhir. "Barangkali kita bisa menangkap lebih banyak lagi nanti."
Dengan marah Dymchurch membelalakkan mata pada Tuppence.
81
"Setan kecil," geramnya. "Kau rupanya yang memanggil mereka."
"Bukan aku saja. Aku seharusnya curiga waktu kau datang membawa nomor enam belas siang tadi. Tapi yang membuatku yakin ialah surat Tommy. Aku menelepon Marriot, menyuruh Albert memberikan kunci duplikat kantor, lalu , datang kemari dengan membawa amplop biru yang kosong itu. Aku sudah menyerahkan suratnya sesuai instruksi ketika kalian berdua turun dari mobil sore tadi."
Rupanya Dymchurch tertarik pada sebuah kata.
"Tommy?" tanyanya.
Tommy yang baru dibebaskan dari ikatan mendekati mereka.
"Bagus, Francis," katanya kepada Tuppence sambil menggenggam tangannya. Pada Dymchurch dia berkata,
"Saya tadi kan sudah bilang bahwa sebaiknya kaubaca cerita klasik."
82
7. Menyiasati Raja
Hari Rabu itu hujan turun. Tuppence yang masih berada di kantor membiarkan koran Daily Leader jatuh dari tangannya.
'Tahu nggak, Tom, apa yang kupikir?"
"Ah—susah," jawab suaminya. "Kau berpikir tentang banyak hal dan. kau memikirkannya sekaligus."
"Aku rasa sudah waktunya kita pergi dansa." Tommy mengambil koran yang jatuh itu dengan cepat.
"Iklan kita kelihatan bagus," katanya sambil memiringkan kepala. "Blunfs Brilliant Detectives. Kau sadar tidak, Tuppence, bahwa kau—kau sendirilah Blunfs Brilliant Detectives itu. Hebat lho!"
"Aku tadi bicara tentang dansa."
"Aku perhatikan ada yang aneh dengan koran ini. Kau sudah tahu? Lihat tiga copy Daily Leader ini. Coba, apa bedanya?" k   Tuppence memperhatikan dengan rasa ingin tahu.
83
"Kelihatannya mudah," katanya asal-asalan. "Satu koran hari ini, satu kemarin, dan satu kemarin dulu."
"Sangat brilian, Watson. Tapi bukan itu yang kumaksud. Perhatikan judul 'The Daily Leader'. Bandingkan tiga-tiganya—kaulihat bedanya?"
'Tidak," kata Tuppence, "dan lagi, aku rasa tak j, ada bedanya."
Tommy menarik napas dan merapatkan ujung-ujung jari tangan kiri dan kanan dengan gaya Sherlock Holmes.
'Tepat. Kau membaca koran—bahkan yang kaubaca lebih banyak dariku Tapi aku memperhatikan, sedang kau tidak. Kalau kauperhatikan Daily Leader hari ini baik-baik, kau akan melihat satu titik putih pada huruf D dalam kata Daily, dan ada satu lagi di huruf L dalam kata yang sama. Lalu ada dua titik putih pada huruf L dalam kata Leader. Nah, pada koran kemarin ada lagi dua titik di huruf D dalam kata Daily. Pokoknya titik-titik itu selalu ada tapi pada posisi yang berbeda, setiap hari."
"Mengapa?" tanya Tuppence.
"Itu adalah rahasia jurnalistik."
"Artinya kau tidak tahu dan tak bisa menebak."
"Aku hanya ingin mengatakan hal ini. Praktek seperti itu biasa dilakukan oleh koran-koran.".
"Wah, pandai amat kau," kata Tuppence. 'Terutama kalau mau membelokkan pembicaraan. Kita bicara saja soal tadi."
"Apa yang kita bicarakan tadi?"
84
• "Pesta dansa Three Arts." Tommy menggeram.
"Nggak—nggak. Nggak ah, Tuppence. Aku sudah bukan remaja lagi. Nggak—jangan ke pesta itu. Aku sudah terlalu tua."
"Ketika aku masih gadis remaja yang manis," kata Tuppence "aku mendengar bahwa laki-laki— terutama para suami—adalah orang yang suka bersenang-senang, suka minum-minum dan berdansa dan bergadang. Dan mereka memerlukan istri yang luar biasa cantik dan cerdik untuk membuat mereka betah tinggal di rumah. Satu ilusi telah hilang. Semua temanku yang sudah bersuami sekarang tidak mau keluar dan berdansa dan mereka menangis karena suami mereka mulai memakai sandal kamar dan tidur jam setengah sepuluh. Dan, Tommy, kau begitu pandai berdansa!"
"Wah, gombalnya keluar, ya."   ,
"Sebenarnya aku ingin keluar ini bukan hanya karena ingin bersenang-senang. Aku merasa ingin tahu tentang iklan ini."
Tuppence mengambil koran Daily Leader-nya dan membaca,
"Aku ingin tiga hati. 12 trick. As Sekop. Perlu untuk menyiasati Raja."
"Itu sih cara mahal untuk belajar main bridge," kata Tommy.
"Jangan tolol. Ini nggak ada hubungannya dengan bridge. Kemarin aku makan siang dengan seorang gadis di As Sekop. Tempat makan itu
'    JAYA ABADI »   85
^•ka,jurANg km S.« i
kecil dan aneh, terletak di bawah tanah di Chelsea. Gadis itu cerita bahwa banyak orang datang ke tempat itu setelah selesai pertunjukan besar di malam hari dan memesan telur dan daging babi untuk mengenyangkan perut mereka yang lapar. Tempat duduknya tertutup, dalam booth—jadi terasa panas."
"Dan apa yang kauinginkan?"
'Tiga hati berarti pesta dansa Three Arts besok malam, 12 tricks berarti jam 12, dan As Sekop ya As Sekop."
"Dan apa artinya perlu menyiasati Raja?"
"Justru itulah yang aku ingin tahu."
"Kau pasti tidak keliru. Tuppence," kata Tommy dengan sikap manis. 'Tapi aku tak mengerti kenapa kau mau ikut campur urusan cinta orang lain."
"Aku tidak akan ikut campur. Yang akan kulakukan ialah sebuah praktek menarik antuk keperluan pekerjaan detektif kita. Kita perlu praktek."
"Bisnis kita memang sedang seret," kata Tommy setuju. 'Tapi itu alasan saja. Sebenarnya kau ingin pergi ke tempat itu dan berdansa, Huh, gitu saja pakai belok sana belok sini."
Tuppence tertawa tanpa malu-malu.
"Sudahlah, Tommy. Lupakan bahwa umurmu sudah tiga puluh dua dan punya sehelai rambut putih di alis kiri."
"Aku memang lemah kalau berhadapan de-
86
ngan wanita," gumam suaminya. "Apa aku perlu menjadi keledai tolol dengan pakaian aneh?"
'Tentu saja. Jangan kuati r—aku akan membereskannya. Aku punya ide Hagus.'
Tommy memandangnya dengan curiga. Dia selalu curiga pada ide-ide Tuppence yang luar biasa.
*    Ketika dia sampai di rumah besok sorenya. Tuppence menyambutnya dengan senang-"Sudah datang," katanya. "Apanya?"
"Kostum. Coba lihat."
Tommy mengikutinya. Di atas tempat tidur terserak perlengkapan pakaian petugas pemadam kebakaran, lengkap dengan helmnya yang berkilat.
'Ya, ampun," geram Tommy. "Apa aku sudah jadi anggota pemadam kebakaran Wembley?"
"Pikir baik-baik," kata Tuppence. "Kau belum menangkap maksudku rupanya. Pakai sel abu-abumu, mon ami. Berpikirlah, Watson. Jadilah banteng yang sudah lebih sepuluh menit di arena."
'Tunggu—tunggu," kata.Tommy. "Rasanya aku mulai mengerti. Kostum apa yang akan kaupakai. Tuppence?"
"Jas tuamu, topi Amerika, dan kacamata tanduk."
"Norak," kata Tommy. 'Tapi aku ngerti apa maumu. McCarty yang menyamar. Dan aku Riordan."
87
•Tepat. Aku rasa kita perlu praktek cara-cara detektif Amerika juga. Kali ini aku jadi bintangnya dan kau jadi pembantuku."
"Jangan lupa," kaia Tommy, "bahwa sebetulnya kata-kata Denny yang sederhana yang menunjukkan jalan pada McCarty."
Tapi Tuppence hanya tertawa. Dia kelihatan sangat gembira.
Malam itu memang menyenangkan. Keramaian, musik, pakaian aneh—semuanya membuat pasangan muda itu gembira. Tommy lupa pada perannya sebagai suami yang bosan dan dipaksa melakukan sesuatu yang tak disukainya.
Pada pukul dua belas kurang sepuluh, mereka pergi ke As Sekop yang terkenal—atau tidak dikenal. Seperti dikatakan Tuppence, tempat itu penuh dengan pasangan-pasangan yang berpakaian aneh. Mereka duduk dalam booth kecil tertutup. Tommy dan Tuppence juga masuk dalam salah satu booth yang pintunya sengaja dibuka sedikit sehingga bisa melihat apa yang sedang terjadi di luar.
"Aku tidak tahu yang mana orang yang pasang iklan itu," kata Tuppence "Bagaimana dengan si Kembang di seberang itu—dengan si Setan Merah?"
"Aku rasa lebih cocok si Mandarin bengis dengan wanita yang menamakan diri Kapal Penjelajah—eh, bukan, si Kapal Pesiar."
"Bagus, ya?" kata Tuppence. "Bagus juga tetes-
88
an-tetesan minuman itu! Eh, siapa itu yang datang dengan baju Ratu Hati? Bagus juga, tuh."
Gadis yang mereka lihat itu masuk ke dalam booth dekat mereka. Dia ditemani seorang "lelaki .berbaju koran" seperti dalam cerita Alice in Wonderland. Keduanya memakai topeng—kelihatannya merupakan kostum yang biasa dipakai di As Sekop.
"Kita benar-benar ada di tempat bobrok," kata Tuppence dengan muka gembira. "Skandal di sekitar kita. Setiap orang bikin ribut."
Sebuah jeritan, seperti protes, terdengar dari booth sebelah. Tapi kemudian tertutup oleh tawa keras seorang lelaki. Setiap orang tertawa dan bernyanyi. Suara tinggi gadis-gadis terdengar melengking melebihi suara pasangan mereka.
"Lihat gembala itu," kata Tommy. "Itu... wanita yang berendeng dengan laki-laki Prancis. Barangkali mereka yang kita cari."
"Bisa siapa saja," kata Tuppence. "Aku tak peduli. Yang penting kita gembira."
"Aku akan merasa gembira seandainya tidak pakai kostum seperti ini," kata Tommy menggerutu. "Kau tidak pernah membayangkan rasa panas yang harus kutahan dengan pakaian begini."
"Jangan sedih," kata Tuppence. "Kau kelihatan cakep kok."
'Ya, syukurlah, aku gembira karena kelihatan lebih baik darimu. Tahu, enggak. Kau kelihatan seperti laki-laki kecil yang lucu"
"Apa jkau bisa menyimpan pikiran beradab, i
89
Denny? He, laki- laki berbaju koran itu keluar. Ke mana dia?"
"Paling-paling juga mengambil minuman," jawab Tommy. "Aku juga tak keberatan mengar-bU minuman."
"Lama amat dia," kata Tuppence ketika sudah lewat empat atau lima menit. 'Tommy, apa kau akan menganggapku keledai tolol..." Dia terdiam.
Tiba-tiba dia berdiri.
"Aku tak peduli kalau kau memanggilku keledai. Pokoknya aku mau masuk booth sebelah."
"He, Tuppence, jangan..."
"Aku merasa ada yang tidak beres. Aku tahu. Jangan mencoba menghalangi aku."
Dia keluar dengan cepat dan Tommy mengikutinya. Pintu booth sebelah itu tertutup. Tuppence membukanya dan masuk. Tommy berjalan di belakangnya.
"Gadis berkostum Ratu Hati itu duduk di pojok, seperti orang kedinginan yang bersandar di dinding. Matanya memandang mereka dengan tenang lewat topengnya. Tapi dia tak bergerak. Roknya yang berdisain belang warna merah putih kelihatan aneh di bagian kiri. Di bagian itu terlihat lebih banyak warna merah dari yang seharusnya...
Sambil menjerit Tuppence bergegas ke depan. Pada saat yang sama Tommy melihat apa yang dilihat Tuppence, pangkal sebuah pedang bergagang permata di bawah jantungnya. Tuppence berlutut di samping gadis itu.
90
"Cepat, Tom. Masih hidup. Panggil manajer dan dokter segera."
"Ya. Awas—jangan kausentuh ujung gagang itu, Tuppence."
"Aku akan hati-hati. Cepat."
Tommy keluar dan menutup pintu. Tuppence merangkul gadis itu. Dia membuat gerakan lemah dan Tuppence mengerti bahwa dia ingin melepas topengnya. Dengan hati-hati Tuppence melepaskannya. Dia melihat wajah segar seperti setangkai bunga, dan mata lebar yang ketakutan dan kesakitan.
"Kau bisa bicara, Sayang?" kata Tuppence lembut. "Kalau bisa, coba katakan siapa yang melakukan hal ini padamu?"
Tuppence merasa tatapan matanya. Gadis itu menarik napas dan tersengal. Dia memandang tenang pada Tuppence. Kemudian bibirnya bergerak.
"Bingo—" katanya berbisik.
Kemudian tangannya menjadi lemas, dan kepalanya menyandar lemah pada bahu Tuppence.
Tommy datang dengan dua orang laki-laki. Laki-laki yang lebih besar maju dengan sikap tegas. Kata "dokter" seolah-olah tertulis jelas pada sekujur badannya.
Tuppence melepaskan bebannya.
"Saya rasa dia telah meninggal," katanya dengan suara tertahan.
Dokter itu memeriksa dengan cepat.
"Ya," katanya. 'Tak ada yang bisa kita lakukan.
91
Lebih baik dibiarkan saja sampai polisi datang. Bagaimana kejadiannya?"
Tuppence menjelaskan dengan agak tergagap, sambil mencari-cari alasan yang masuk akal untuk memasuki booth tersebut.
"Aneh," kata dokter. "Anda tak mendengar apa-apa?"
'Saya mendengar suara seperti jeritan. Tapi laki-laki itu tertawa. Tentu saja saya tidak berpikir..."
'Tentu saja tidak," kata dokter itu setuju. "Dan Anda bilang tadi laki-laki itu bertopeng. Anda pasti tak mengenali dia, kalau begitu?"
"Rasanya tidak. Bagaimana kau, Tom?"
'Tidak. Dan dia pakai kostum."
"Yang pertama-tama harus kita lakukan ialah mencari identitas wanita ini," kata dokter. "Setelah itu, saya rasa polisi akan segera menangani kasus ini. Tentunya ini bukan kasus yang terlalu sulit. Oh, itu mereka datang."
Scanned book sbook ini hanya untuk koleksi pribadi. DILARANG MENGKOMERSLLKAN atau hidup anda mengalami ketidakbahagiaan dan ketidakberuntungan
BBSC
92
8. Lelaki Berbaju Koran
Dengan badan capek dan rasa sedih suami istri itu pulang setelah jam tiga lebih. Tuppence tidak bisa langsung tidur. Tubuhnya bergolek gelisah dan pikirannya dipenuhi bayangan wajah cantik dengan mata ketakutan.
Menjelang pagi barulah dia bisa tidur dengan pulas. Ketika bangun, hari sudah amat siang. Tommy sudah berdandan rapi, dan berdiri di samping tempat tidurnya sambil menggoyang-goyangkan lengan istrinya.
"Bangun, Tuppence. Inspektur Marriot dan seorang laki-laki sudah di depan, menunggumu."
"Jam berapa sekarang?"
"Jam sebelas. Aku akan menyuruh Alice membawa teh-mu sekarang juga."
'Ya. Bilang pada Inspektur Marriot, aku siap sepuluh menit lagi."
Seperempat jam kemudian dengan bergegas Tuppence berjalan ke ruang duduk. Inspektur Marriot yang sedang duduk dan memandang ke depan dengan serius, berdiri menyapanya.
93
"Selamat pagi, Nyonya Beresford. Kenalkan, Sir Arthur Merivale."
Tuppence menyalami seorang laki-laki jangkung dan kurus dengan mata kuyu dan rambut yang memutih.
"Kami datang sehubungan dengan urusan yang menyedihkan tadi malam," kata Inspektur Marriot. "Saya ingin agar Sir Arthur mendengar langsung dari Anda apa yang Anda ceritakan pada saya—4cata kata terakhir yang diucapkan almarhumah. Sir Arthur tidak mudah menerimanya."
"Saya tidak percaya dan tak akan percaya bahwa Bingo Hale sampai hati menyakiti ujung rambut Vere sekalipun."
Inspektur Marriot melanjutkan.
"Ada suatu kemajuan yang telah kami capai sejak malam tadi, Nyonya Beresford. Pertama-tama kami berhasil menemukan identitas korban sebagai Lady Merivale. Lalu kami menghubungi Sir Arthur ini. Beliau mengenali korban dan tentu saja sangat sedih. Lalu saya bertanya apakah beliau kenal dengan seseorang yang bernama Bingo."
"Begini, Nyonya Beresford," kata Sir Arthur, "Kapten Hale yang dikenal teman-temannya dengan sebutan Bingo, adalah teman dekat saya. Dia tinggal bersama kami dan dia ada di rumah kami ketika polisi datang dan menahannya tadi pagi. Saya yakin bahwa Anda pasti keliru—tentu bukan namanya yang diucapkan istri saya."
'Tidak mungkin ada kekeliruan dalam hal ini,"
94
kata Tuppence lembut. "Dia mengatakan Bingo yang melakukan...."
"Benar, kan, Sir Arthur," kata Inspektur Marriot.
Laki-laki yang malang itu bersandar di kursi dan menutupi mukanya.
"Luar biasa. Lalu motifnya apa? Oh! Saya bisa membaca pikiran Anda, Inspektur. Pasti Anda mengira bahwa Hale adalah pacar istri saya. Kalau toh itu benar—dan saya yakin tidak—apa motif pembunuhan itu?"
Inspektur Marriot berdehem.
"Ini bukan hal yang enak untuk dibicarakan, Tuan. Tapi Kapten Hale akhir-akhir ini menaruh perhatian cukup besar pada seorang wanita Amerika. Seorang wanita muda yang cukup kaya. Kalau Lady Merivale tidak suka dengan hal itu dan berbuat sesuatu yang tidak baik, itu bisa menghalangi rencana perkawinan Kapten Hale."
"Ini keterlaluan, Inspektur."
Sir Arthur berdiri dengan marah. Inspektur Marriot meredakannya dengan isyarat.
"Maaf, Sir Arthur. Anda tadi mengatakan bahwa Anda dan Kapten Hale bermaksud untuk melihat pertunjukan itu. Pada saat itu istri Anda pergi ke suatu tempat. Dan Anda tidak tahu bahwa dia ada di sana?"
"Sama sekali tidak."
Tolong tunjukkan iklan yang Anda baca, Nyonya Beresford." Tuppence menurut.
95
"Cukup jelas. Iklan ini dipasang oleh Kapten Hale agar dibaca istri Anda. Mereka berjanji untuk bertemu di situ. Tapi Anda memutuskan untuk pergi sehari sebelum pesta. Karena itu dia perlu diperingatkan. Saya rasa itulah sebabnya ada kata 'perlu untuk menyiasati Raja'. Anda memesan kostum dengan mendadak dari suatu biro penyewaan kostum teater, sedang kostum Kapten Hale adalah buatan sendiri. Dia memakai kostum Laki-laki Berbaju Koran. Anda tahu, Sir Arthur, apa yang kami temukan dalam genggaman tangan istri Anda? Sobekan koran. Bawahan saya sudah menerima perintah untuk mengambil kostum Kapten Hale, dan saya akan memeriksanya di kantor nanti. Kalau sobekan itu cocok, maka kasus ini akan segera beres."
"Anda tak akan mendapatkannya," kata Sir . Arthur. "Saya kenal betul Bingo Hale."
Setelah meminta maaf pada Tuppence karena telah mengganggu dia, mereka pun pergi.
Pada sore hari, mereka mendengar bel rumah berdering lagi. Suami-istri itu heran ketika melihat Inspektur Marriot kembali lagi.
"Saya pikir Blunfs Brilliant Detectives akan senang mendengar perkembangan kasus tadi," katanya dengan senyum kecil.
'Tentu," kata Tommy. "Mau minum?"
Dia memberikan minuman pada Inspektur Marriot.
"Kasus yang gamblang," kata Pak Inspektur. "Pedang itu milik korban. Idenya ialah memberi
96
kesan bunuh diri. Tapi untunglah ada Anda berdua-—jadi gagal. Kami menemukan banyak surat-surat. Rupanya mereka sudah berhubungan cukup lama tanpa sepengetahuan Sir Arthur. Lalu mata rantai terakhir..."
'Apa?" seru Tuppence dengan tajam.
"Mata rantai terakhir—sobekan koran Daify Leader. Sobekan itu dari baju koran yang dipakainya—pas sekali sobekannya. Benar-benar kasus yang amat jelas. Dan saya kebetulan membawanya—barangkali Anda tertarik. Jarang sekali kami menemukan kasus yang amat jelas seperti ini."
'Tommy," kata Tuppence ketika suaminya kembali lagi setelah mengantarkan polisi itu keluar. "Kenapa Inspektur Marriot berkali-kali bilang kasus ini amat jelas?"
"Aku tak tahu. Barangkali dia ingin menunjukkan rasa puasnya."
"Sama sekali tidak. Dia mencoba membuat kita penasaran. Tom, tukang daging kan tahu banyak tentang daging?"
"Aku rasa begitu. Lalu kenapa?"
"Juga pedagang sayur tentunya tahu tentang sayuran. Sedangkan nelayan tahu tentang ikan. Detektif-detektif profesional—tentunya juga tahu tentang perkara kriminal. Mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi pada waktu mereka melihatnya—dan mereka juga tahu bila hal itu bukan yang sebenarnya. Sebagai seorang ahli, Marriot tahu bahwa Kapten Hale bukanlah seorang kriminal. Tapi semua fakta menunjuk demikian.
97
Dan akhirnya Marriot mencoba menarik kita agar tergelitik untuk membongkar kasus, ini dan berharap—walaupun tipis—barangkali ada satu hal kecil yang bisa memberikan kemungkinan yang lain. Tommy, kenapa harus bunuh diri?"
"Ingat-ingat saja apa yang dia katakan pada mu."
"Ya—aku tahu. Tapi coba kita lihat dari sisi lain. Hal itu dilakukan Bingo—perbuatannya menyebabkan Lady Merivale bunuh diri. Itu mungkin."
"Betul, tapi tidak memberi jawaban untuk sobekan koran itu."
"Coba kita lihat foto-foto Marriot. Aku lupa menanyai dia tentang reaksi Hale."
"Aku menanyai dia tentang hal itu waktu keluar tadi. Hale mengatakan bahwa dia tak pernah bicara dengan Lady Merivale pada pertunjukan itu. Dia mengatakan ada orang menyelipkan kertas di tangannya dengan tulisan: 'Jangan coba bicara padaku malam ini.' Arthur curiga. Tapi dia tidak bisa menunjukkan kertas itu. Tapi kelihatannya cerita itu dibuat-buat saja. Kau dan aku kan melihatnya di As Sekop."
Tuppence mengangguk dan memperhatikan kedua foto. Yang satu adalah selembar potongan koran dengan tulisan DAILY LE yang kemudian sobek. Yang lain adalah halaman depan koran Daihj Leader yang terkoyak bagian atasnya. Tak diragukan lagi. Sobekan itu memang pas.
"Ini apa?" tanya Tommy.
98
"Jahitan," kata Tuppence. "Jahitan koran yang dipakai untuk baju."
"Hurt—aku pikir titik-titik model baru lagi," kata Tommy. Dia sedikit gemetar. "Heran, ya? Aneh rasanya. Bayangkan—kau dan aku bicara tentang titik-titik itu dan berdiskusi tentang iklan di koran dengan seenaknya."
Tuppence tidak menjawab. Tommy memandangnya, dan agak terkejut ketika melihat bahwa mata istrinya memandang kosong jauh ke depan dengan mulut agak terbuka dan ekspresi terkejut di mukanya.
'Tuppence," kata Tommy lembut sambil menggoyangkan lengannya. "Kenapa kau? Apa mau pingsan?"
Tapi Tuppence tetap diam tak bergerak. Akhirnya dia berkata dengan suara ngelantur jauh. "Denis Riordan."
"Eh?" kata Tommy sambil terus memandangnya.
"Seperti pernah kaukatakan. Satu kata yang sederhana! Coba ambilkan semua Daily Leader minggu ini."
"Apa yang akan kaulakukan?"
"Aku jadi McCarty. Sudah cukup pusing aku berpikir. Untung kau memberi inspirasi. Ini adalah halaman muka koran Selasa. Aku ingat betul bahwa koran Selasa punya dua titik pada huruf L dalam kata LEADER. Ini ada titiknya di huruf D dalam kata DAILY—dan satu titik pada
99
huruf L. Coba ambil koran-koran itu—kita cocokkan."
Dengan hati-hati dan asyik mereka mencocokkan titik-titik di koran. Tuppence ternyata benar.
"Ya, kan? Sobekan ini bukan dari koran Selasa."
'Tapi kita tidak bisa terlalu yakin. Barangkali titik-titik itu terjadi karena perbedaan edisi saja."
"Bisa jacU—tapi setidaknya memberikan suatu ide padaku. Dan itu bukan suatu kebetulan, tetapi kepastian. Hanya ada satu hal kalau ideku memang betul. Tolong panggil Sir Arthur, Tom. Suruh dia datang ke sini segera. Bilang saja kalau aku punya berita penting, lalu panggil juga Marriot. Scotland Yard pasti punya alamatnya kalau dia sudah pulang."
Karena sangat ingin tahu akan berita itu, Sir Arthur Merivale datang setengah jam kemudian. Tuppence keluar menyambutnya.
"Maaf, kami telah mengundang Anda dengan sangat mendadak. Tapi suami saya dan saya telah menemukan sesuatu yang kami anggap perlu Anda ketahui dengan segera. Silakan duduk."
Sir Arthur duduk dan Tuppence melanjutkan,
"Sepanjang pengetahuan kami, Anda sangat ingin membantu teman Anda itu supaya bebas."
Sir Arthur menggelengkan kepala dengan sedih.
'Tadinya begitu. Tapi saya terpaksa menyerah karena begitu banyak bukti yang menuding dia."
"Bagaimana seandainya ternyata saya punya suatu bukti yang bisa membebaskan dia?"
100
"Saya akan sangat gembira, Nyonya Beresford."
"Seandainya," lanjut Tuppence, "saya bertemu dengan seorang gadis yang berdansa dengan Kapten Hale tadi malam jam dua belas—pada jam yang ditetapkan agar dia datang ke As Sekop."
"Bagus," kata Sir Arthur. "Saya tahu bahwa ada kekeliruan dalam hal ini. Vere pasti bunuh diri."
"Bukan begitu," kata Tuppence. "Anda lupa laki-laki yang lainnya itu."
"Laki-laki yang mana?"
'Yang dilihat oleh suami saya dan saya sendiri. Laki-laki itu meninggalkan booth di sebelah booth kami. Jadi, Sir Arthur, pasti ada laki-laki kedua yang berbaju koran pada pesta itu. O, ya, Anda sendiri mengenakan kostum apa?"
"Saya? Memakai kostum pembunuh abad tujuh belas."
"Sangat cocok," kata Tuppence halus. "Cocok, Nyonya Beresford? Apa maksud Anda?"
"Untuk peran yang Anda mainkan^ Apa boleh saya ceritakan ide saya, Sir Arthur? Kostum koran itu dapat dipakai dengan mudah di luar kostum pembunuh. Sebelumnya, secarik surat diselipkan ke tangan Kapten Hale agar dia tidak bicara pada seorang wanita tertentu. Tapi wanita itu sendiri tidak tahu tentang surat itu. Dia pergi ke As Sekop pada waktu yang ditentukan. Mereka masuk ke dalam booth. Laki-laki itu merangkul wanita itu, saya kira, dan menciumnya—tapi ciuman Yudas. Sambil mencium dia menusukkan
101
pedang ke tubuh wanita itu. Korban hanya bisa menjerit lirih dan laki-laki itu menutupi jeritannya dengan tertawa. Kemudian dia keluar—sementara wanita yang kesakitan itu mengira bahwa pacarnyalah yang menusuknya.
'Tetapi wanita itu ternyata sempat merobek kostum koran yang dipakai laki-laki tersebut. Dan pembunuh itu sendiri sadar akan hal itu—dia memang orang yang memperhatikan detil-detil. « Agar kasus itu benar-benar menunjuk pada orang yang dituju, sobekan itu harus terlihat seolah-olah terambil dari kostum Kapten Hale. Untunglah kedua lelaki itu tinggal satu rumah. Tak ada persoalan. Dia lalu merobek kostum Kapten Hale—dan membakar kostumnya. Setelah itu dia berganti peran sebagai sahabat yang setia."
Tuppence berhenti.
"Bagaimana, Sir Arthur?"
Sir Arthur berdiri dan membungkuk hormat.
"Sebuah imajinasi yang cukup menarik dari seorang wanita manis yang terlalu banyak membaca buku-buku fiksi."
"Anda pikir demikian?" kata Tommy.
"Dan seorang suami yang selalu mengikuti kata istrinya," kata Sir Arthur. "Pasti Anda akan menemukan orang yang mau menanggapinya dengan serius."
Dia tertawa keras, dan tubuh Tuppence serasa kaku mendengarnya.
"Saya bersedia bersumpah bahwa saya mendengar tawa itu di As Sekop tadi malam. Dan Anda
102
agak keliru menilai kami. Nama kami memang Beresford. Tapi kami juga punya nama lain."
Tuppence mengambil sebuah kartu dari meja dan menyodorkan padanya. Sir Arthur membacanya dengan keras.
"Agen Detektif Internasional..." Dia menarik napas panjang. "Jadi itulah Anda yang sebenarnya! Karena itu Marriot membawa saya ke sini. Jebakan rupanya...."
Dia berjalan mendekati jendela.
"Pemandangan dari sini cukup bagus," katanya. "Menghadap London."
"Inspektur Marriot," seru Tommy dengan tajam.
Bagaikan kilat Inspektur Marriot muncul dari pintu penghubung.
Bibir Sir Arthur membentuk sebuah senyum kecil.
"Sudah kuduga," katanya. 'Tapi kali ini Anda tidak akan bisa menangkap saya. Inspektur. Saya lebih suka memilih jalan saya sendiri."
Dia meletakkan kedua tangannya di bingkai jendela dan meloncat ke luar tanpa halangan.
Tuppence menjerit dan menutup kedua telinganya dari suara yang sudah dibayangkannya—sebuah suara berdebam jauh di bawah. Inspektur Marriot memaki-maki.
"Seharusnya kita pikirkan jendela itu," katanya. "Walaupun kasus ini memang sulit dibuktikan, saya akan turun dan—membereskan semuanya."
103
"Kasihan," kata Tommy perlahan. "Kalau dia memang cinta pada istrinya..." Tapi inspektur itu menyelanya dengan gemas,
'Cinta' Barangkali. Dia sudah tidak tahu lagi dari mana bisa dapat uang. Lady Merivale adalah seorang wanita yang amat kaya, dan semua akan menjadi milik suaminya. Kalau dia berhubungan terus dengan Hale dan merukah dengannya, suaminya tak akan mendapat sepeser pun."
"Oh, begitu, ceritanya."
Tentu saja. Dari awal saya sudah merasa bahwa Sir Arthur bukan orang baik-baik, dan Kapten Hale tidak bersalah. Kami di Scotland Yard tahu cukup baik siapa yang benar dan siapa yang tidak. Tapi sulit kalau kami dihadapkan pada fakta yang berlawanan. Saya akan turun sekarang—sebaiknya Anda berikan segelas brandy pada istri Anda, Tuan Beresford—kelihatannya kejadian tadi membuatnya sedih."
"Petani sayur," kata Tuppence dengan suara •rendah, ketika pintu di belakang Inspektur Marriot tertutup. Tukang daging. Nelayan. Detektif. Aku benar, kan? Dia tahu."
Tommy yang sedang sibuk dengan minuman mendekati istrinya dengan sebuah gelas besar. "Minumlah ini." "Apa itu? Brandy?"
"Bukan. Kokril besar—cocok untuk kemenangan McCarty. Ya, Marriot memang benar. Memang begitu caranya. Menyiasati permainan."
104
Tuppence mengangguk.
Tapi dia menyiasati dengan cara sebaliknya."
"Jadi, Raja pun keluar," kata Tommy.
9. Kasus Wanita Hilang
Bel di meja Tuan Blunt—(Agen Detektif Internasional dengan manajernya, Theodore Blunt) terdengar memberi peringatan. Tommy dan Tuppence terbang ke posnya masing-masing dan mengintip dari lubang yang mereka siapkan untuk melihat ruang luar. Dan tugas Albert adalah mengulur-ulur waktu dengan bermacam alasan yang cukup artistik.
"Akan saya lihat dulu, Tuan," katanya. "Saya rasa Tuan Blunt sedang sibuk dengan Scotland Yard di telepon."
"Baik, saya tunggu," kata tamu itu. "Saya tidak membawa kartu, tapi nama saya Gabriel Sta-vansson."
Klien itu memang contoh sempurna seorang manusia. Tingginya kira-kira enam kaki. Wajahnya kecoklatan, dan matanya yang amat biru membuat suatu kontras yang menarik dengan kulit coklatnya.
Dengan cepat Tommy membuat keputusan. Dia memakai topinya, memakai sarung tangannya, dan membuka pintu. Dia berdiri di pintu.
106
'Tuan ini ingin menemui Anda, Mr. Blunt," kata Albert.
Muka Tommy berkerut sedikit. Dia mengeluarkan jamnya.
"Saya harus menemui Duke jam sebelas kurang seperempat." Kemudian dia memandang tamunya dan berkata, "Saya masih punya waktu beberapa menit kalau Anda ingin bicara. Silakan masuk."
Tamu itu mengikutinya masuk ke dalam ruang kerja Tommy, di mana Tuppence duduk dengan serius, memegang catatan dan pensil.
"Ini sekretaris pribadi saya, Nona Robinson," kata Tommy. "Sekarang, barangkali Anda bisa menceritakan persoalan Anda? Tentunya sangat mendesak karena Anda datang dengan taksi dan Anda baru kembali dari daerah Arktik atau Antartika, kan?"
Tamu itu memandang dengan heran. ' "Ini luar biasa," serunya. "Saya kira detektif-detekuf hebat hanya ada di buku-buku! Dan pesuruh kantor itu bahkan tidak memberitahukan nama saya pada Anda."
Tommy menarik napas.
"Itu mudah," katanya. "Sinar matahari tengah malam dan lingkaran Arktik punya pengaruh pada kulit—dan sinar arkhnik itu punya beberapa sifat Saya sedang menyiapkan sebuah artikel tentang hal itu. Tapi itu kan bukan tujuan Anda datang kemari. Apa sebenarnya yang membuat Anda datang kemari?"
107
"Pertama-tama, Tuan Blunt, nama saya Gabriel Stavansson...."
"Ah! Tentu saja," kata Tommy. "Penjelajah besar. Kalau tak salah baru-baru ini Anda pergi ke Kutub Utara, kan?"
"Saya mendarat di Inggris tiga hari yang lalu. Ada seorang teman yang kebetulan lewat di Laut Utara menawari saya untuk kembali naik kapalnya. Kalau tak ada dia, saya baru bisa pulang dua minggu lagi. Dan saya ingin memberitahu Anda, Tuan Blunt, bahwa sebelum memulai ekspedisi dua tahun yang lalu, saya beruntung bisa bertunangan dengan Nyonya Maurice Leigh Gordon..."
Tommy menyela,
"Nyonya Leigh Gordon sebelum menikah adalah..."
"Yang Mulia^ Hermione Crane, putri kedua Lord Lanchester," kata Tuppence dengan lancar.
Tommy mdiriknya dengan pandangan kagum.
"Suami pertamanya gugur waktu perang," tambah Tuppence lagi.
Gabriel Stavansson mengangguk.
"Benar. Seperti saya ceritakan tadi, Hermione dan saya bertunangan. Tentu saja waktu itu saya menanyakan padanya apa sebaiknya ekspedisi saya dibatalkan saja. Tapi—untunglah, dia bahkan memberi dorongan! Dia memang istri yang cocok untuk seorang penjelajah. Tentu saja setelah mendarat, yang pertama terlintas dalam pikiran saya ialah langsung akan menemuinya. Saya mengirim telegram dari Southampton dan naik
108
kereta paling awal. Saya tahu bahwa sementara itu Hermione tinggal bersama seorang bibinya, Lady Susan Clonray, di Pont Street. Karena itu saya langsung ke sana. Tapi saya kecewa karena Hermy rupanya sedang mengunjungi teman-temannya di Northumberland. Lady Susan amat ramah pada saya, walaupun dia terkejut melihat saya datang lebih awal. Dia katakan, Hermy pasti akan kembali beberapa hari lagi. Lalu saya menanyakan alamatnya. Tapi wanita tua itu tidak mau memberikannya dengan alasan macam-macam. Katanya Hermy tidak tinggal di satu tempat saja dan dia tak tahu di tempat yang mana sekarang dia. Sebaiknya saya ceritakan pada Anda juga, Tuan Blunt, bahwa Lady Susan dan saya tidak pernah cocok. Dia adalah seorang wanita gemuk dengan dagu dobel. Saya tidak suka wanita gemuk—dari dulu—wanita gemuk dan anjing gemuk, benar-benar menyebalkan—dan herannya mereka sering bersama-sama! Saya memang aneh—tapi bagaimana lagi. Saya memang tidak suka wanita gemuk."
"Anda memang mengikuti mode, Tuan Sta-vansson," kata Tommy. "Dan masing-masing orang punya selera. Lihat saja almarhum Lord Robert Dia paling benci pada kucing."
"Perlu Anda ingat. Saya tidak mengatakan bahwa Lady Susan bukan seorang wanita yang menarik. Bisa jadi dia seorang wanita yang menarik— tapi tidak untuk saya. Saya merasa bahwa sebenarnya dia kurang setuju dengan pertunangan
109
saya. Barangkali, dia mempengaruhi Hermy, kalau itu memungkinkan. Dan saya menceritakan hal ini karena mungkin ada gunanya. Bisa saja ini Anda anggap sebagai prasangka dari pihak saya. Kita teruskan saja hal ini. Untuk Anda ketahui, saya adalah orang yang keras kepala dan suka memilih cara sendiri. Jadi saya tidak mau meninggalkan Pont Street sampai dia memberikan nama dan alamat teman Hermy yang mungkin dikunjunginya. Lalu saya naik kereta api ke utara."
"Kelihatannya Anda orang yang suka bertindak cepat, Tuan Stavansson." kata Tommy sambil tersenyum.
"Ternyata perjalanan itu sia-sia, Tuan Blunt. Tak seorang pun dari mereka pernah bertemu Hermy. Dari tiga rumah yang saya datangi, hanya satu yang menunggu-nunggu kedatangannya. Lady Susan pasti membuat cerita tambahan dengan yang dua itu. Dan Hermy membatalkan janji dengan temannya itu melalui telegram yang mendadak. Tentu saja saya cepat-cepat kembali ke London, dan langsung menemui Lady Susan. Saya menuntut untuk diberi keterangan yang benar. Dan dia mengaku bahwa sebenarnya dia tidak tahu di mana Hermy berada. Tapi dia juga menolak dengan keras ketika saya usulkan untuk lapor pada polisi. Dia katakan bahwa Hermy bukanlah seorang gadis kecil yang tolol, tetapi seorang wanita dewasa yang sering punya rencana sendiri. Barangkali ada suatu hal yang sedang dilakukannya
110
"Saya pikir memang masuk akal kalau Hermy tidak selalu melaporkan apa yang dikerjakannya pada Lady Susan. Tapi saya masih kuatir Saya merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Ketika saya akan pergi, tiba-tiba ada telegram datang untuk Lady Susan. Dia membacanya dengan ekspresi lega, dan memberikan telegram itu pada saya. Bunyinya seperti ini: 'Rencana berubah. Ke Monte Carte seminggu. Hermy.'"
Tommy mengulurkan tangannya.
"Anda bawa telegram itu?" .
'Tidak. Tapi telegram itu dikirim dari Maldon, Surrey. Saya melihatnya waktu itu karena terasa aneh. Apa yang dilakukan Hermy di Maldon? Setahu saya dia tak punya teman di sana."
"Anda tidak pergi ke Monte Carlo?"
"Pernah terpikir oleh saya. Tapi saya putuskan untuk tidak ke sana. Walaupun Lady Susan kelihatan puas dengan telegram itu, saya tidak. Menurut saya, aneh kalau dia selalu memberitahu dengan telegram, bukannya surat. Satu atau dua kalimat yang ditulis dengan tulisannya bisa meredakan kekuabran saya. Tapi siapa pun bisa mengirim telegram dan memberi nama 'Herm/. Semakin saya pikir, semakin kuatir saya. Akhirnya saya pergi ke Maldon kemarin siang. Tempat itu biasa-biasa saja—ada dua hotel. Saya mencari di tempat-tempat yang mungkin didatangi Hermy, tetapi hasilnya nol. Waktu saya kembali dengan kereta, saya membaca iklan Anda dan berpikir untuk menyerahkan soal ini pada Anda.
111
Kalau Hermy memang pergi ke Monte Carlo, saya tidak ingin lapor pada polisi dan menimbulkan skandal. Tapi saya juga tidak ingin ke sana mencari sesuatu yang belum pasti. Saya akan tinggal di sini, di London, kalau kalau—terjadi sesuatu."
Tommy mengangguk sambil berpikir.
"Apa sebenarnya yang Anda curigai?"
'Terus-terang saya tidak tahu. Tapi saya merasa ada yang tidak beres."
Dengan gerakan cepat Stavansson mengambil dompet dari sakunya dan dibukanya di depan mereka.
"Inilah Hermione," katanya. "Saya tinggal dulu di sini." Foto itu adalah foto seorang wanita semampai. Dia bukan seorang wanita muda, tapi mempunyai senyum yang menawan dan mata yang indah.
'Tak ada lagi yang ketinggalan, Tuan Stavansson?" kata Tommy. 'Tidak ada."
'Tidak ada hal-hal kecil yang detil sekalipun?"
"Saya rasa tidak."
Tommy menarik napas panjang.
"Wah, ini membuat pekerjaan kami tambah sulit," katanya. "Saya rasa Anda mengerti. Tuan Stavansson, bahwa satu hal kecil yang kelihatannya biasa saja bisa menjadi petunjuk yang amat berharga untuk seorang detektif. Dan untuk kasus Anda, bisa saya katakan agak aneh. Otak saya memang sudah mulai bekerja. Tapi kami perlu waktu untuk membukakan kebenarannya."
112
Tommy mengambil biola yang tergeletak di atas meja, dan memainkan penggeseknya satu atau dua kali. Tuppence menggigit bibirnya sendiri, dan tamu itu pun menjadi bingung. Tommy meletakkan alat musik itu lagi.
"Beberapa paduan nada dari Mosgovskensky," gumamnya. 'Tinggalkan alamat Anda, Tuan Stavansson. Saya akan melaporkan perkembangan-perkembangan situasinya nanti."
Ketika tamu itu pergi, Tuppence langsung menyambar'biola dari meja, memasukkannya ke dalam lemari dan menguncinya.
i "Kalau kau mau jadi Sherlock Holmes, aku akan memberimu satu jarum suntik dan sebuah botol berlabel kokain. Tapi demi Tuhan, jangan kausentuh-senfuh lagi biola itu. Kalau penjelajah manis itu tidak bersikap jujur dan sederhana, dia akan bisa melihat dengan jelas siapa kau. Apa kau mau terus main jadi Sherlock Holmes?"
"Aku merasa bahwa aku bisa memainkannya dengan baik," kata Tommy dengan nada puas. "Deduksinya bagus, kan? Dan terus-terang, ten-
/ tang taksi itu aku untung-untungan. Sebetulnya gampang. Satu-satunya cara kemari kan dengan taksi?'
"Untunglah aku baru membaca tentang pertunangannya di Daily Mirror pagi ini," kata Tuppence.
"Ya. Memang bagus untuk memberi kesan betapa efisiennya Blunf s Brilliant Detectives. Ini benar-benar kasus Sherlock Holmes. Bahkan kau
113
pun bisa melihat persamaannya dengan menghilangnya Lady Frances Carfax."
"Apa kau membayangkan menemukan tubuh Nyonya Leigh Gordon di peti mati?"
"Biasanya, sejarah berulang lagi. Sebenarnya— ah, apa pendapatmu?"
"Hm, yang jelas, si Hermy ini kelihatannya takut menemui tunangannya. Alasannya belum jelas. Tapi Lady Susan memberi dukungan padanya. Barangkali bisa dikatakan bahwa wanita itu menghadapi suatu kegagalan dan berusaha menutupinya."
"Aku juga berpikir begitu," kata Tommy. 'Tapi aku rasa kita harus benar-benar yakin sebelum menyodorkan hal itu pada orang seperti Stavansson. Bagaimana kalau kita lihat-lihat Maldon sebentar? Kita bawa saja beberapa tongkat golf."
Tuppence setuju. Agen Detektif Internasional dipercayakan pada Albert.
Walaupun Maldon merupakan daerah perumahan yang terkenal, tempat itu tidak terlalu luas. Dengan cerdik Tommy dan Tuppence mencari informasi yang mereka perlukan. Tetapi hasilnya nol. Pada' waktu mereka kembali ke London sebuah ide yang cemerlang muncul di kepala Tuppence.
'Tommy, kenapa mereka menulis Maldon Surrey di telegram itu?" • "Karena Maldon ada di Surrey, Bodoh."
"Kau sendiri yang bodoh—bukan itu maksudku. Kalau kau terima telegram dari—misalnya
114
Hastings, atau Torquay, mereka biasanya tidak menuliskan nama wilayahnya, kan? Tapi dari Richmond, mereka menuliskan Richmond Surrey. Itu karena ada dua Richmond." Tommy memperlambat mobilnya. 'Tuppence, idemu memang bagus. Kita tanya kantor pos dulu, yuk."
Mereka berhenti di depan sebuah bangunan kecil di tengah-tengah jalan desa. Mereka hanya perlu beberapa menit untuk menemukan bahwa ada dua buah Maldon. Yang pertama adalah Maldon, Surrey, dan kedua Maldon, Sussex. Yang belakangan ini merupakan sebuah desa kecil, tetapi dilengkapi dengan kantor telegram.
"Itu dia," kata Tuppence senang. "Stavansson hanya tahu Maldon yang di Surrey. Jadi dia tak memperhatikan kata yang berhuruf depan S setelah Maldon." "Besok kita ke Maldon Sussex," kata Tommy. Maldon, Sussex memang beda dengan Maldon, Surrey. Tempat itu terletak empat mil dari stasiun kereta api, mempunyai dua gedung pertemuan untuk umum, dua toko, Sebuah kantor pos dan telegram yang juga menjual gula-gula dan kartu-pos bergambar, dan tujuh pondok kecil. Tuppence masuk ke dalam toko sedangkan Tommy masuk ke The Cock and Sparrow. Mereka bertemu setengah jam kemudian. "Bagaimana?" tanya Tuppence. "Birnya lumayan," jawab Tommy. "Tapi nggak ada info."
115
"Coba saja ke The King's Head," kata Tuppence. "Aku akan kembali ke kantor pos. Ada seorang wanita tua yang nyebelin tadi, tapi aku dengar mereka menyuruhnya pergi makan."
Dia kembali ke tempat itu dan melihat-Lihat kartupos bergambar. Seorang gadis berwajah segar dengan mulut mengunyah sesuatu, keluar dari ruang belakang.
"Saya mau beli yang ini," kata Tuppence. "Anda tak keberatan menunggu di sini sebentar—saya ingin melihat-lihat yang lucu."
Tuppence pun memilih satu paket, sambil terus bicara.
"Sayang sekali Anda tidak bisa memberitahu alamat saudara saya. Dia tinggal di dekat sini tapi alamatnya hilang. Namanya Deigh Wood."
Gadis itu menggelengkan kepalanya.
"Saya tak ingat. Kecuali itu tidak banyak surat-surat yang kami terima di sini—jadi saya pasti tahu kalau memang ada. Kecuali The Grange, tak banyak rumah-rumah besar di sekitar sini."
"The Grange itu apa? Siapa yang punya?" tanya Tuppence.
"Dokter Horriston pemiliknya. Tempat itu sekarang sudah diubah jadi klinik perawatan. Saya rasa banyak kasus-kasus penyakit saraf di situ. Banyak wanita-wanita yang datang untuk istirahat, dan sebagainya. Yah—di sini memang tenang," gadis itu tertawa kecil.
Dengan cepat Tuppence memilih beberapa kartu dan membayarnya.
"Itu mobil Dokter Horriston," kata gadis itu.
Tuppence cepat-cepat keluar dan dia melihat sebuah mobil kecil lewat. Penumpangnya adalah seorang lelaki jangkung berkulit gelap dengan jenggot rapi dan wajah yang kurang menyenangkan. Mobil itu berjalan terus. Tuppence melihat Tommy menyeberang jalan menuju dia.
'Tom, aku rasa sudah ketemu. Klinik Dokter Horriston."
"Aku juga dengar tentang tempat itu di King's Head, dan aku pikir barangkali kita bisa mencari di situ. Tapi seandainya dia memang menderita penyakit saraf, teman dan bibinya tentunya tahu, kan?"
'Yaaa—tapi bukan itu yang kumaksud. Kaulihat orang yang naik mobil kecil tadi?" "Nggak enak dilihat" "Itu Dokter Horriston." Tommy bersiul.
"Wah—wah. Bagaimana—perlu dilihat?"
Akhirnya mereka menemukan tempat itu. Sebuah rumah besar yang sepi, dengan pembangkit tenaga listrik berada di halaman belakang.
"Uh, jelek benar," kata Tommy. "Aku kok ngeri ya. Rasanya soal ini akan jadi lebih serius."
"Oh, jangan. Kalau saja kita bisa bertindak tepat pada waktunya. Wanita itu dalam bahaya. Aku merasakannya."
117
116
"Jangan hanyut dalam mimpimu," kata Tommy.
Tak bisa. Aku tak bisa percaya pada orang itu. Apa yang akan kita lakukan? Sebaiknya aku pijit bel saja, ya? Dan langsung tanya tentang Nyonya Leigh Gordon. Aku ingin tahu jawabnya, karena barangkali kita bisa mendapat informasi dengan cara terang-terangan."
Tuppence langsung bertindak. Pintu itu segera dibuka oleh seorang lelaki berwajah kosong.
"Saya ingin bertemu dengan Nyonya Leigh Gordon. Apa dia cukup sehat untuk menemui saya?"
Rasanya Tuppence melihat sebuah kilatan pada mata laki-laki itu. Tapi jawabannya cukup cepat.
"Nama itu tak ada di sini, Nyonya."
"Oh, masa? Ini klinik Dokter Horriston yang bernama The Grange, kan?"
"Betul, Nyonya, tapi tak ada yang bernama Nyonya Leigh Gordon di sini."
Karena bingung, Tuppence terpaksa mundur dan berkonsultasi dengan Tommy di luar.
"Barangkali dia tidak bohong. Kita kan tidak tahu."
Tidak. Dia bohong. Aku yakin."
Tunggu sampai dokter itu datang," kata Tommy. "Aku akan jadi wartawan yang ingin tahu sistem penyembuhan dia yang paling baru. Dengan begitu aku akan tahu letak ruangan-ruangan di tempat itu."
Dokter itu datang setengah jam kemudian.
118
Tommy masuk, tapi lima menit kemudian dia pun diusir keluar.
"Dokter itu sibuk dan tak bisa dihubungi. Dia tak pernah bicara dengan wartawan. Tuppence, aku rasa kau benar. Ada yang nggak beres "-dengan tempat ini. Lokasinya ideal—jauh dari tempat ramai. Dan apa pun bisa terjadi di tempat 5   ini tanpa diketahui orang."
"Ayolah," kata Tuppence tegas. "Apa yang akan kaulakukan?" "Aku akan naik ke atas rumah itu. Barangkali tak ada yang lihat." "Oke. Aku setuju."
Kebun itu memang rimbun dan bisa dipakai untuk bersembunyi. Tommy dan Tuppence berhasil memanjat bagian belakang rumah itu tanpa dipergoki orang.
Di situ ada sebuah teras yang lebar dengan anak tangga menurun. Di tengah tengah ada beberapa jendela besar yang terbuka ke arah teras, tapi keduanya tak berani memperlihatkan diri secara terang-terangan. Jendela tempat mereka mengintip rupanya terlalu tinggi untuk bisa melihat ruangan di dalamnya. Tiba-tiba Tuppence mencengkeram lengan Tommy.
Ada orang berbicara di kamar yang ada di w*    dekat mereka. Jendela kamar itu terbuka sehingga pembicaraan mereka dapat didengar dari luar.
"Masuk—masuk saja dan tutup pintunya," kata suara seorang laki-laki dengan jengkel. "Kau
119
bilang ada seorang wanita datang menanyakan Nyonya Leigh Gordon?"
Tuppence mengenali suara orang yang diajak bicara, yaitu laki-laki yang membukakan pintu tadi.
"Ya, Tuan."
"Dan kauhilang dia tidak di sini, kan?" 'Ya, Tuan."
"Dan sekarang wartawan itu," gumamnya.
Tiba-tiba dia mendekati jendela dan membuka gorden. Kedua orang yang bersembunyi di semak-semak itu bisa melihat Dr. Horriston.
"Aku justru kuatir dengan tamu wanita itu. Bagaimana rupanya?" tanya Dokter Horriston.
"Muda, cantik, dan modis, Tuan."
Tommy menggelitik tulang iga Tuppence.
"Hm, benar rupanya," kata dokter itu. "Aku rasa dia teman Nyonya Leigh Gordon. Huh— menyulitkan saja. Aku harus mulai..."
Dia tidak menyelesaikan kalimatnya. Tommy dan Tuppence mendengar jendela ditutup. Sepi.
Dengan hati-hati Tommy berjalan ke luar. Ketika mereka sudah agak jauh, dia berkata,
'Tuppence, persoalannya tambah serius. Mereka akan berbuat sesuatu yang tidak baik. Aku rasa kita harus segera kembali ke kota dan bicara dengan Stavansson."
Anehnya, Tuppence menggelengkan kepala.
"Kita harus tetap di sini. Apa kau tidak dengar bahwa dia akan mulai melakukan' sesuatu? Itu bisa berarti macam-macam."
120
"Sialnya, yang ini belum bisa dibilang sebagai kasus yang pantas kita laporkan pada polisi."
"Begini, Tom. Kautelepon Stavansson dari desa. Aku tunggu di sini."
"Ya—barangkali itu yang terbaik. Tapi, Tup-" pence...," kata suaminya.
"Kenapa?"
"Kau hati-hati, ya!"
'Tentu saja. Tolol. Jangan kuatir."
Dua jam kemudian Tommy kembali. Dia melihat Tuppence menunggu di dekat pintu pagar.
"Bagaimana?"
"Aku tak bisa menghubungi Stavansson. Lalu aku coba menelepon Lady Susan. Tapi dia juga tidak ada. Lalu aku menelepon Brady dan menyuruh lihat Horriston di Direktori Medis atau yang semacam itulah."
"Apa yang dikatakan Dr. Brady?"
"Oh! Dia langsung kenal nama itu. Horriston dulu memang seorang dokter yang bonafid. Tapi kemudian dia gagal. Brady menyebutnya sebagai dukun bejat, dan dia berkata tak akan heran kalau terjadi sesuatu yang aneh-aneh. Persoalannya sekarang, apa yang akan kita lakukan?"
"Kita Jwus tetap di sini," kata Tuppence tegas. "Aku merasa bahwa mereka akan melakukan sesuatu malam ini. O, ya ada tukang kebun yang memotong tanaman-tanaman jalar di pagar baru-baru ini. Dan aku tahu di mana dia meletakkan tangga."
121
"Bagus, Tuppence," kata suaminya memuji. "Kalau begitu malam ini..." „ "Begitu gelap..." "Kita akan melihat..." "Apa yang akan kita lihat?" Tommy ganti mengawasi rumah itu, sementara Tuppence pergi ke desa dan makan.
Kemudian Tuppence kembali dan mereka bersama-sama memperhatikan rumah itu. Pada jam sembilan mereka sepakat untuk mulai beraksi. Mereka dapat mengitari rumah itu dengan bebas. Tiba-tiba Tuppence mencengkeram lengan Tommy.
"Dengar."
Suara yang didengarnya terdengar kembali— samar-samar. Suara itu adalah suara rintihan seorang wanita yang kesakitan. Tuppence menunjuk ke atas, ke sebuah jendela di tingkat dua.
"Dari kamar itu," bisiknya.
Sekali lagi mereka mendengar suara kesakitan yang lirih memecah udara malam.
Kedua pendengar itu memutuskan untuk melaksanakan rencana mereka. Tuppence berjalan ke tempat tangga. Mereka membawa dan meletakkannya di dekat jendela di mana mereka mendengar suara orang kesakitan. Semua tirar jendela bawah sudah ditutup, tetapi jendela kamar yang satu itu masih terbuka.
Tommy meletakkan tangga dengan hati-hati.
"Aku akan naik. Kau di bawah saja," kata Tuppence. "Aku tak keberatan naik tangga dan
122
kau bisa memeganginya dengan baik. Dan kalau dokter itu datang kau bisa menghadapi dia lebih baikdariku."
Dengan hati-hati Tuppence merayap naik dan melongokkan, lehernya untuk melihat jendela. Lalu dia keluarkan lagi kepalanya dengan cepat. Satu atau dua menit kemudian dia melongok lagi. Dia memperhatikan selama kira-kira lima menit, lalu turun.
"Dia," katanya dengan kacau. "Oh, Tom, menyedihkan sekali. Dia tidur di atas tempat tidur, merintih sambil bergolek-golek. Dan ketika aku sedang memperhatikan, tiba-tiba ada seorang perawat masuk. Dia menunduk dan menyuntikkan sesuatu di bawah lengannya. Lalu pergi lagi. Apa yang akan kita lakukan?"
"Apa dia sadar?"
"Aku rasa begitu. Ya, aku yakin dia sadar. Apa dia tadi diikat, ya? Aku mau naik lagi. Dan kalau bisa, aku akan masuk ke kamar itu."
'Tuppence..."
"Kalau aku dalam bahaya, aku akan menjerit."
Karena tak ingin berbantah lagi, Tuppence cepat-cepat naik tangga. Tommy melihatnya masuk ke dalam kamar lewat jendela. Tuppence pun menghilang.
Sekarang Tommy yang menderita. Dia tidak dapat mendengar apa-apa. Tuppence dan Nyonya Leigh Gordon pasti bicara berbisik-bisik— seandainya mereka bicara. Akhirnya dia pun bisa
123
mendengar suara orang bergumam. Hatinya lega. Tapi tiba-tiba suara itu berhenti. Sepi.
Tommy meregangkan telinganya. Tak terdengar apa-apa. Apa yang mereka lakukan?
Tiba-tiba sebuah tangan memegang bahunya/'
"Ayo," kata Tuppence dalam gelap.
'Tuppence! Bagaimana kau datang ke tempat ini?"
"Lewat pintu depan. Kita pergi saja."
"Pergi?"
"Ya."
'Tapi—Nyonya Leigh Gordon?" Dengan nada pahit yang tak terlukiskan Tuppence menjawab, "Ngurusin badan!"
Tommy memandangnya tidak mengerti. "Apa maksudmu?"
"Aku bilang ngurusin badan. Ngurangi berat. Apa kau tidak dengar Stavansson bilang dia benci wanita gemuk? Dua tahun ditinggal, Hermy-nya itu jadi gemuk. Kelabakan waktu tahu bahwa tunangannya kembali dan cepat-cepat ke tempat Dr. Horriston untuk ngurusin badan. Dia punya cara baru. Dengan injeksi atau apa. Penemuannya dirahasiakan dan biayanya mencekik leher. Dia memang dukun. Tapi dukun sukses! Stavansson datang dua minggu lebih awal, ketika Hermy baru mulai mendapat perawatan khusus. Lady Susan telah disumpah untuk tidak membocorkan rahasia, dan dia pegang janji. Dan kita datang ke sini seperti orang tolol!"
124
Tommy menarik napas panjang.
"Watson, aku rasa ada sebuah konser bagus di Queen's Hall besok. Kita akan punya banyak waktu. Dan kau akan minta padaku agar tidak memasukkan kasus ini dalam rekor kita. Sama sekali tidak ada bagusnya!"
125
10. Lelaki Buta
"Benar," kata Tommy, lalu meletakkan telepon. Kemudian dia berpaling kepada Tuppence.
"Dari Bos. Kelihatannya orang yang harus kita hadapi telah tahu bahwa aku bukan Theodore Blunt asli. Kita harus siap setiap saat. Dan Bos bilang sebaiknya kau pulang dan tinggal di rumah, dan tak melibatkan diri dalam kasus ini. Kelihatannya sarang lebah yang kita kutak kuak lebih besar dari yang kita perkirakan."
"Pokoknya aku tak akan pulang," kata Tuppence dengan tegas. "Siapa yang akan menjagamu kalau aku pulang? Kecuali itu aku juga suka dengan keributan ini. Usaha kita kan sepi-sepi saja belakangan ini."
'Tentu saja pembunuhan dan perampokan tidak terjadi setiap hari. Yang logis sajalah. Aku pikir sebaiknya begini. Kalau nggak ada urusan, kita berlatih sendiri saja."
"Latihan berbaring telentang dan mengayun-ayunkan kaki di udara? Itu maksudmu?"
'Jangan menginterpretasikannya seperti anak
126
kecil, dong! Latihan yang kumaksud kan latihan seni detektif. Reproduksi dari para ahli, begitu. Misalnya..."
Dari laci yang ada di sisinya Tommy mengambil topeng mata hijau tua yang amat besar. Dipasangnya topeng itu dengan hati-hati. Kemudian dia mengambil jam dari sakunya.
"Kacanya pecah tadi pagi," kata Tommy. 'Jam itu jadi tidak punya kristal dan bisa kuraba-raba."
"Hati-hati," kata Tuppence. "Jarumnya yang pendek hampir jatuh."
"Coba kesinikan tanganmu," kata Tommy. Dia memegang tangan Tuppence dengan satu jari, merasakan nadinya. "Ah! Bisa ditebak. Wanita ini tidak punya penyakit jantung."
"Apa kau mau jadi Thornley Colton?" tanya Tuppence.
"Betul. Si Problemis buta. Dan kau—apa ya— mm—sekretaris berambut hitam..."
"Popok bayi yang ditemukan di pinggir kali," kata Tuppence menyelesaikan kalimatnya.
"Dan Albert jadi Fee alias Shrimp."
"Kita harus mengajarnya omong 'Gee'," kata Tuppence. "Dan suaranya harus agak melengking, bukan serak."
"Di dinding dekat pintu ada tongkat yang akan membantu jari-jariku yang sensitif."
Dia berdiri dan menabrak sebuah kursi.
"Sialan! Aku lupa ada kursi di situ."
"Pasti nggak enak ya jadi orang buta," kata Tuppence penuh perasaan.
127
"Benar," jawabTommy. "Aku paling kasihan pada mereka yang kehilangan penglihatan dalam perang daripada yang lainnya. Tapi katanya kalau kita hidup dalam kegelapan, kita bisa.mengembangkan perasaan-perasaan khusus. Itulah yang ingin kulihat. Dan tentunya akan menyenangkan kalau bisa melatih seseorang sampai terbiasa dalam gelap. Sekarang tolong kau jadi Sydney Thames yang baik. Berapa langkah kira-kira jarak ke tongkat itu?" Tuppence membuat perkiraan kasar. 'Tiga lurus, lima ke kiri," katanya cepat. Tommy mengira-ngira dan melangkah Tapi Tuppence berteriak ketika sadar bahwa langkah keempat ke kiri akan membuat suaminya menabrak dinding.
"Susah, susah," katanya. 'Susah membuat perkiraan berapa langkah yang diperlukan."
"Oh, ini menyenangkan," kata Tommy. 'Panggil Albert. Suruh masuk. Aku ingin salaman dengan kalian dan menebak tangan siapa yang kupegang
"Ya—ya. Tapi Albert harus cuci tangan dulu. Tangannya kan biasanya lengket karena permen yang dimakannya itu."
Albert, yang diberi tahu tentang permainan itu,
sangat senang.
Setelah selesai bersalaman, Tommy tersenyum
puas.
"Keyboard bisu itu tak bisa membohongi,"
128
gumamnya. 'Yang pertama Albert, yang kedua Tuppence."
"Salah!" seru Tuppence melengking. "Huh— pakai keyboard bisu segala! Kau menebak dengan cincin kawin, kan? Tapi cincin itu kupindah ke jari Albert."
Beberapa eksperimen mereka lakukan dengan hasil berbeda-beda.
"Aku sudah punya feeling sekarang," kata Tommy. 'Tentu saja pertama-tama kita tidak bisa selalu benar. Sekarang begini. Sebentar lagi kan makan siang. Kau dan aku makan di Blitz, Tuppence. Orang buta dan teman setianya. Kita praktek di sana."
"Kita pasti dapat kesulitan nanti," kata Tuppence.
'Tidak—tidak. Aku akan bersikap manis. Dan pada akhir makan siang nanti aku akan membuat kejutan."
Semua protes tidak diindahkan, dan seperempat jam kemudian terlihatlah Tommy dan Tuppence duduk dengan enak di sebuah sudut Gold Room Hotel Blitz.
Tommy meraba-raba menu dengan ujung jarinya.
"Aku mau Pilaff de Homard dan Grilled Chicken," gumamnya. *
Tuppence juga memilih makanannya. Pelayan pun pergi.
. "Sampai saat ini semua lancar," kata Tommy. "Sekarang eksperimen yang lebih jauh. Wah—
129
indah betul kaki gadis bergaun mini itu—yang baru datang:" "Kok kamu tahu?"
"Kaki-kaki yang indah memberikan getaran tertentu pada lantai yang kemudian diterima oleh tongkatku yang berongga ini. Atau—kalau mau jujur—di restoran besar seperti ini, biasanya ada seorang gadis berkaki indah yang berdiri di pintu mencari-cari temannya. Dan sekarang kan sedang musim rok mini—jadi kakinya pasti kelihatan bagus."
Mereka melanjutkan makan.
"Laki-laki yang duduk dua meja di dekat kita kelihatannya kaya," kata Tommy asal-asalan.
"Bagus," kata Tuppence memuji. "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Aku tidak bisa selalu menjelaskan padamu bagaimana aku melakukannya setiap kali, dong! Pelayan kepala itu sedang menuang sampanye di meja ketiga sebelah kanan. Seorang wanita gemuk akan melewati meja kita."
'Tommy, kamu kok bisa..."
"He—kau mulai melihat apa yang bisa kulakukan, ya? Nah, ada gadis manis berbaju coklat di belakangmu."
"Salah, seorang pemuda berbaju abu-abu," kata Tuppence.
"Oh!" kata Tommy kecewa sesaat.
Pada saat itu dua orang laki-laki yang duduk tidak jauh dari mereka dan memperhatikan
130
mereka cukup lama., berdiri dan mendatangi mereka.
"Maaf," kata yang lebih tua, seorang lelaki tinggi berbaju rapi, berkacamata dan berkumis-kecil, "ada yang mengatakan bahwa Anda adalah Tuan Theodore Blunt. Apakah itu benar?"
Tommy ragu-ragu sejenak dan merasa agak menyesal. Tapi kemudian dia menganggukkan kepalanya.
"Memang benar. Saya Tuan Blunt."
"Ah, ini sebuah kebetulan! Tuan Blunt, saya tadi bermaksud akan menelepon Anda di kantor, setelah makan siang. Saya dalam kesulitan—kesulitan besar. Tapi—maaf—apakah mata Anda cedera karena suatu kecelakaan?"
"Ah," kata Tommy dengan nada melankolis. "Saya memang buta—sama sekali buta."
"Apa?"
"Anda heran. Apa belum pernah dengar tentang detektif buta?"
'Sudah, tapi di buku cerita. Dan saya belum pernah dengar bahwa Anda buta."
"Memang tak banyak yang tahu," gumam Tommy. "Hari ini saya memakai tutup mata untuk melindungi bola mata saya dari cahaya. Kalau saya tidak memakainya, banyak yang tidak tahu kekurangan saya. Mata saya tak bisa membohongi saya. Tapi sudahlah. Kita tak perlu bicara tentang hal itu lagi. Apa kita sekarang pergi ke kantor saya? Atau Anda ingin menceritakan kasus Anda di sini? Saya rasa sebaiknya di sini saja."
131
Seorang pelayan membawa dua buah kursi untuk mereka dan keduanya pun duduk. Laki-laki satunya yang belum mengeluarkan sepatah kata pun, berbadan lebih pendek, kekar dan berkulit gelap.
"Ini amat rahasia, kata si tua dengan agak berbisik. Dia memandang Tuppence dengan ragu-ragu. Tuan Blunt kelihatannya merasakan pandangan itu.
'Saya kenaikan dulu sekretaris saya," katanya. "Nona Ganges. Ditemukan di pinggir Sungai Gangga—sewaktu^masih bayi dalam bedong. Sangat menyedihkan. Nona Ganges adalah mata saya. Dia selalu mengantarkan saya ke mana-mana."
Orang asing itu membungkukkan badannya.
'Sekarang saya bisa bicara. Tuan Blunt, anak perempuan saya yang berumur enam belas tahun, telah dibawa lari orang. Saya baru tahu setengah jam yang lalu. Karena situasi kasus itu sedemikian rupa, saya tak berani memanggil polisi. Tapi saya menelepon kantor Anda. Mereka katakan Anda sedang keluar makan dan akan kembali lagi jam setengah tiga. Saya datang kemari bersama kawan saya. Kapten Harker...."
Laki-laki yang lebih pendek itu menganggukkan kepalanya dan menggumamkan sesuatu.
"Secara kebetulan kita bertemu di sini. Kita tak boleh membuang-buang waktu. Anda harus ikut ke tempat saya sekarang juga."
Tommy bergumam dengan hati-hati.
132
"Saya dapat ikut Anda setengah jam lagi. Saya harus kembali ke kantor dulu."
Kapten Harker yang melirik Tuppence mungkin akan heran jika melihat senyum di ujung bibirnya.
'Tidak—tidak. Anda harus ikut saya." Laki-laki berambut abu-abu itu mengeluarkan sebuah kartu dari sakunya dan menyodorkannya pada Tommy. "Ini nama saya."
Tommy merabanya dengan ujung jari.
"Jari saya tidak cukup sensitif untuk membacanya," katanya sambil tersenyum dan memberikannya pada Tuppence, yang membacanya dengan suara rendah, "Duke of Blairgowrie."
Tuppence memandang kliennya dengan penuh . perhatian. Duke dari Blairgowrie dikenal sebagai seorang yang angkuh dan sulit didekati, seorang bangsawan yang menikah dengan anak seorang tukang daging dari Chicago yang jauh lebih muda darinya dan sangat lincah, sehingga kurang cocok dengan dirinya. Gosip tentang hubungan yang kurang serasi pun telah terdengar.
"Anda akan segera pergi, Tuan Blunt?" katanya dengan nada agak jengkel.
Tommy pun menyerah.
"Nona Ganges dan saya akan pergi bersama Anda," katanya tenang. "Anda bisa menunggu saya untuk minum kopi sebentar? Mereka akan segera menyiapkannya. Saya sering pusing karena sakit mata ini. Dan kopi itu akan membantu saya."
133
Dia memanggil seorang pelayan dan memesan kopi. Kemudian dia berkata kepada Tuppence.
"Nona' Ganges—saya akan makan siang besok di sini dengan Kepala Polisi Prancis. Tolong ditulis dan berikan pada kepala pelayan supaya menyiapkan meja saya seperti biasa. Saya sedang membantu polist-Francis. The fee—" dia diam— "cukupanlah. Anda siap, Nona Ganges?"
"Siap," kata Tuppence dengan gaya yang sesuai.
"Kita akan mulai dengan Salad of Shrimps yang spesial itu. Setelah itu—sebentar—diikuti dengan —ya. Omelette Blitz, dan barangkali dua Toun-dedos a l'Etranger."
Tommy mendongak, memandang mata Duke.
"Maafkan saya," katanya bergumam. "Ah! Ya, Souffle en surprise. Itu hidangan terakhir. Seorang pribadi yang sangat menarik Kepala Polisi itu. Barangkali Anda kenal?"
Yang ditanya tidak mengiakan. Tuppence berdiri dan bicara dengan kepala pelayan. Ketika dia kembali lagi, pelayan pun datang membawa kopi.
Tommy meneguk kopinya perlahan, lalu berdiri.
'Tongkat saya, Nona Ganges. Terima kasih. Beri arah." Tuppence merasa sulit.
"Satu ke kanan. Delapan belas lurus. Kira-kira langkah kelima ada seorang pelayan di meja sebelah kiri."
Tommy berangkat sambil mengayunkan tong-
134
katnya. Tuppence berjalan merapat sambil menyetir suaminya diam-diam. Semua berjalan lancar sampai mereka melewati pintu. Seorang laki-laki masuk dengan tergesa-gesa dan sebelum Tuppence sempat memperingatkan Tuan Blunt yang buta, dia langsung menabrak orang itu. ~ Ucapan maaf dan penjelasan pun menyusul.
Di dekat pintu hotel itu sebuah mobil kecil yang cantik sudah menunggu. Duke sendiri membantu Tuan Blunt masuk. .
. "Kau bawa mobil, Harker?" tanyanya.
'Ya, di ujung sana."
'Tolong bawa Nona Ganges."
Sebelum terdengar jawaban, dia meloncat naik dan duduk di samping Tommy. Mobil pun berjalan pergi, ¦y "Masalah yang amat peka," gumam Duke. "Saya akan segera memberitahu Anda tentang semua detilnya."
Tommy mengangkat tangannya di atas kepala.
"Saya bisa membuka topeng sekarang," katanya gembira. "Saya tidak tahan dengan cahaya lampu di restoran tadi."   -
Tapi lengannya diturunkan dengan paksa. Pada saat itu pula dia merasa sebuah benda keras dan bulat ditodongkan ke rusuknya. 'Tidak, Tuan » Blunt," kata Duke dengan nada suara yang tiba-tiba berubah. "Anda tak perlu membuka topeng itu. Yang harus Anda lakukan adalah duduk tenang dan tidak bergerak. Mengerti? Saya tak ingin pistol ini meletus. Tahu nggak, kebe-
135
tulan saya bukanlah Duke dari Blairgowrie. Saya cuma pinjam namanya karena saya yakin Anda tak akan menolak permintaan seorang terhormat seperti itu. Saya hanya seorang pedagang daging babi yang kehilangan istri."
Dia merasa banwa Tommy terkejut.
"Anda mengerti rupanya/' katanya sambil tertawa. "Kawan yang baik, kau benar-benar tolol. Aku kuatir—aku benar-benar kuatir—jangan-jangan kegiatanmu terputus nanti."
Dia mengatakan kalimatnya yang terakhir, dengan sinis.
Tommy duduk tak bergerak. Dia tak mau meladeni pancingan lawannya.
Akhirnya mobil itu mengurangi kecepatannya dan berhenti.
"Sebentar," kata Duke Palsu. Dengan cekatan dia memilin saputangan dan memasukkannya ke mulut Tommy. Setelah itu dia mengikatkan saputangannya di sekeliling mulut.
"Ini untuk jaga-jaga, barangkali kau akan berbuat tolol dan berteriak minta tolong," katanya.
Pintu mobil itu terbuka dan sopir berdiri siap. Dia dan tuannya mengapit Tommy dan membawanya naik dengan cepat masuk ke sebuah rumah.
Pintu di belakang mereka tertutup. Tommy menghirup udara berbau rempah-rempah. Kakinya menginjak sesuatu yang empuk seperti beludru. Kemudian dia dibawa naik lewat sebuah tangga yang kira-kira ada di bagian belakang
136
rumah, dan kemudian masuk ke sebuah kamar. Di sini kedua laki-laki itu mengikat tangannya Si sopir keluar lagi dan yang satu membuka sumbat mulut.
"Kau bisa omong bebas sekarang," katanya senang. "Coba ceritakan tentang dirimu?"
Tommy membersihkan tenggorokan dan melemaskan ujung mulutnya yang kaku.
"Kuharap kau tidak membuang tongkatku. Harganya cukup mahal."
"Kau memang berani," kata laki-laki itu setelah diam sejenak. "Atau kau barangkali tolol? Apa kau tidak mengerti bahwa kau ada di tanganku? Di bawah kekuasaanku? Bahwa orang yang mengenalmu tak akan bisa melihatmu lagi?"
"Apa kau perlu bersikap dramatis seperti itu?" tanya Tommy sedih. "Apa aku perlu berkata Tunggu pembalasanku. Bajingan'? Kata-kata seperti itu sudah kuno." t
"Bagaimana dengan gadis itu?" kata yang lain. "Apa kau tidak peduli?"
"Aku sudah mengambil kesimpulan pada waktu aku terpaksa bungkam," kata Tommy, "dan aku merasa yakin bahwa si Harker cerewet itu pun seorang berandal sekaliber kau, karena itu, sekretarisku pasti akan ikut ke sini tak lama lagi."
"Satu hal benar. Tapi yang lain salah. Nyonya Beresford—harap maklum bahwa aku tahu dengan baik siapa sesungguhnya kalian berdua— dia tak akan dibawa kemari. Ini merupakan suatu tindakan pencegahan yang harus kuambil, karena
137
mungkin teman-temanmu yang pejabat tinggi itu membayangi semua langkah-langkahmu. Dengan membagi perhatian seperti ini, mungkin kalian tak bisa dibuntuti. Setidaknya, aku punya satu orang dalam kekuasaanku. Sekarang aku menunggu...."
Dia diam ketika pintu terbuka. Si sopir bicara. 'Tak ada yang membuntuti kita, Pak. Semua beres."
"Bagus. Terima kasih, Gregory." Pintu itu tertutup lagi.
"Sejauh ini semua beres," kata Duke Palsu. "Sekarang, apa yang harus kita lakukan, Tuan Beresford Blunt?"
"Saya berharap Anda bersedia membuka topeng mata saya ini," kata Tommy.
"Aku rasa tidak perlu. Dengan topeng itu kau menjadi benar-benar buta. Dan tanpa benda itu kau akan bisa melihat seperti aku—dan itu tak akan cocok dengan rencana kecilku. Karena aku punya rencana. Kau memang suka dengan fiksi sensasional, Tuan Blunt. Permainan yang kaulakukan bersama istrimu tadi adalah sebuah bukti. Dan aku juga sudah merencanakan sebuah permainan kecil—suatu permainan yang cukup menarik—nanti akan kujelaskan padamu."
"Begini. Lantai tempatmu berdiri itu terbuat dari logam. Di sana-sini di permukaan lantai itu ada beberapa proyeksi. Dengan sentuhan sebuah tombol—begitu." Terdengar suara klik yang cukup keras. "Sekarang aliran listrik mengalir. Jika
138
salah satu tonjolan itu terinjak itu berarti—mati! Mengerti? Kalau kau bisa melihat... tapi kau tidak bisa. Kau dalam gelap. Itulah permainannya— permainan orang buta. Kalau kau bisa mencapai pintu dengan selamat—kau bebas! Tapi sebelum kau sampai di pintu, aku rasa kau pasti sudah menginjak salah satu tonjolan itu—dan itu merupakan suatu tontonan yang menarik—bagiku!"
Dia maju ke depan dan melepaskan ikatan tangan Tommy. Kemudian dia memberikan tongkatnya dan membungkuk dengan sinis.
"Problemis buta. Kita lihat saja apakah kau bisa menyelesaikan problem ini. Aku akan berdiri di sini dengan pistol siap di tangan. Kalau kau mengangkat tanganmu untuk melepas topeng itu, aku siap menembak. Jelas?"
"Sangat jelas," kata Tommy. Wajahnya agak pucat tetapi tetap penuh keyakinan. "Aku sama sekali tak punya kesempatan keluar, kan?"
"Oh! Itu..." Lawan bicaranya hanya mengangkat bahu.
"Kau memang betul-betul licik," kata Tommy. 'Tapi kau lupa satu hal. Apa aku boleh menyalakan rokok? Rasanya hatiku berdebar-debar "
"Boleh. Tapi jangan coba-coba menipu. Ingat, aku memperhatikanmu dengan pistol di tangan."
"Aku bukan anjing tontonan," jawab Tommy. "Jadi aku tak bisa memberi pertunjukan tipuan Dia mengambil sebuah rokok dari tempatnya, lalu meraba-raba mencari korek api. "Jangan kuatir, aku tidak mencari pistol. O, ya, kau kan tahu
139
bahwa aku tak punya senjata, bukan? Hm... ya, bagaimanapun, kau melupakan satu hal." "Apa itu?"
Tommy mengeluarkan sebatang korek api. Siap untuk menyalakannya.
"Aku buta dan kau bisa melihat. Itu suatu kenyataan. Keuntungan ada di pihakmu. Tapi seandainya—kita berdua dalam gelap? Apa keun-tunganmu?"
Dia menyalakan rokoknya.
"Duke" itu tertawa sombong.
"Kau berharap bisa mematikan tombol lampu sehingga ruangan ini gelap? Mana bisa?"
"Baik," kata Tommy. "Kalau aku tidak bisa memberimu kegelapan, aku akan memberimu yang sebaliknya. Bagaimana dengan terangi"
Sambil bicara, dia menempelkan korek pada suatu benda yang dipegangnya, dan melemparkannya ke atas meja.
Lidah-lidah api yang sangat besar menerangi ruangan.
Sesaat Duke Palsu itu terkejut dan silau dan merasa buta melihat sinar yang begitu terang. Dia terjatuh ke belakang dan tangannya yang memegang pistol pun ikut turun.
Dia membuka matanya lagi karena merasa ada sebuah benda tajam menempel di dadanya.
"Lempar pistol itu," perintah Tommy. "Lempar cepat. Aku pun sependapat denganmu bahwa tongkat berongga tak ada gunanya. Dan aku memang tak punya. Sebuah tongkat pedang adalah
140
senjata yang berguna. Benar, nggak? Sama pentingnya dengan kabel magnesium. Lempar pistol ituT
Orang itu menurut karena ancaman ujung pedang Tommy. Dia melempar pistolnya/lalu sambil tertawa meloncat ke belakang.     Y
'Tapi aku masih untung," katanya mengejek. "Karena bisa melihat dan kau tidak."     i
"Itulah kesalahanmu," kata Tommy. "Aku bisa melihat dengan jelas. Topeng mata ini palsu. Aku sengaja memakai yang palsu dulu dan setelah selesai makan siang bermaksud menggantinya ^ dengan yang asli. Sebetulnya aku bisa saja menghindari orang yang menabrakku di pintu tadi dengan mudah. Tapi aku tidak percaya bahwa kau bermain jujur. Aku tahu bahwa kau tak akan membiarkan aku keluar dari tempat ini dengan selamat. Jadi hati-hati sekarang...."
Dengan wajah merah karena marah, Duke Palsu meloncat ke depan, dan lupa meletakkan kakinya sendiri di tempat yang aman.
Terlihat sebuah kilatan biru. Tubuh laki-laki itu bergoyang, lalu jatuh seperti balok kayu. Bau daging terpanggang memenuhi ruangan itu, bercampur dengan bau ozone yang lebih keras.
"Huh," dengus Tommy.
Dia mengusap mukanya.
Dengan sangat hati-hati dia bergerak mendekati dinding dan memijit tombol.
Kemudian dia menyeberangi ruangan itu, membuka pintu dengan hati-hati dan melihat
141
keluar. Tak terlihat seorang pun di sekitar tempat itu. Dia menuruni tangga dan keluar lewat pintu depan.
Setelah sampai di jalan dengan selamat, dia perhatikan nomor rumah itu dengan perasaan ngeri. Kemudian dia bergegas pergi ke telepon umum.
Dia merasa begitu tegang. Tapi kemudian sebuah suara yang dikenalnya menjawab dan membuatnya lega.
"Tuppence, ya Tuhan!"
"Ya—aku tak apa-apa. Aku ngerti kodemu. Fee, Shrimp, datang ke Blitz dan mengikuti dua orang asing itu. Albert datang tepat pada waktunya, dan mengikutiku dengan taksi. Dia tahu tempatku disembunyikan, lalu menelepon polisi."
"Albert memang baik," kata Tommy. "Pemberani. Aku tahu bahwa dia membuntutimu. Bagaimanapun, aku tetap kuatir. Banyak yang ingin kuceritakan. Aku langsung pulang sekarang. Dan yang pertama akan kulakukan nanti ialah menulis sebuah cek dengan jumlah besar untuk. St. Dunstan. Menyedihkan sekali kalau kita tak bisa melihat"
142
11. Lelaki Dalam Kabut
Tommy merasa tidak bahagia. Blunfs Brilliant Detectives mengalami kemunduran. Ini tidak saja merugikan nama kebanggaan mereka, tapi juga kantong mereka. Mereka gagal memenuhi panggilan untuk menemukan kalung mutiara yang dicuri orang di Adlington Hall, Adlington. Pada waktu Tommy sibuk membayangi Countess yang suka berjudi dengan menyamar sebagai seorang pastor, dan Tuppence sibuk dengan seorang kemenakan pemilik kalung di lapangan golf, dengan tenang seorang inspektur polisi menangkap seorang pelayan yang ternyata memang seorang pencuri ulung yang sudah dikenal polisi. Dia mengakui perbuatannya tanpa membantah sedikit pun.
Karena itu, Tommy dan Tuppence pun mundur dengan rasa malu yang ditahan-tahan. Saat ini mereka menghibur diri dengan menikmati koktil di Hotel Grand Adlington. Tommy masih memakai pakaian pastornya.
"Sama sekali nggak ada sentuhan Father
143
Brown-nya," katanya sedih. "Padahal aku punya payung yang sesuai."
"Itu bukan kasus Father Brown," kata Tuppence. "Dari pertama kita perlu atmosfer tertentu. Harusnya, orang melakukan hal-hal yang sederhana dulu. Belakangan baru terjadi yang aneh-aneh. Begitu."
"Sayangnya, kita harus kembali pulang,".kata Tommy. "Barangkali sesuatu yang aneh akan terjadi di jalan ke stasiun."   -
Dia mengangkat gelas ke bibirnya. Tetapi cairan yang ada di dalamnya tiba-tiba saja tumpah karena sebuah tangan yang berat menepuk bahunya, dan terdengar suara nyaring.
"Hei—Tommy! Tommy, ya? Dan Nyonya Tommy? Kau muncul dari mana? Sudah seabad rasanya tidak melihatmu."
"Oli—Bulger!" kata Tommmy sambil meletakkan gelasnya. Dia menoleh pada seorang laki-laki besar berbahu lebar, berwajah kemerahan, dan berumur tiga puluhan dengan pakaian golf. Bulger!
"Ah," kata Bulger (yang nama sebenarnya adalah Mervyn Estcourt), "aku tak tahu bahwa kau mendapat panggilan. Rasanya pakaianmu itu nggak cocok,"
Tuppence tertawa terpingkal-pingkal dan Tommy kelihatan malu. Mereka kemudian sadar bahwa ada orang keempat
Seorang wanita tinggi langsing dengan rambut keemasan dan mata yang amat biru—sangat
144
cantik—berbaju hitam mahal dengan mantel bulu dan giwang mutiara yang.amat besar. Dia tersenyum. Dan senyum' itu penuh arti. Misalnya, -dia sadar bahwa dirinya adalah seorang wanita cantik—wanita tercantik di Inggris—bahkan di durda^barangkatv Dia tidak minta pengakuan untuk hal itu, tetapi dia memang tahu dan yakin. Itu saja.
,Baik Tommy maupun Tuppence segera mengenalinya Mereka pernah melihatnya tiga kali dalam Secret of the Heart, dan beberapa kali dalam sukses besar yang sama, yaitu dalam Pillars of Fire, dan beberapa pertunjukan lainnya. Barangkali tak ada aktris lain kecuali Nona Gilda Glen jtang dapat merebut hati orang Inggris. Semua orang tahu bahwa dia adalah wanita Inggris yang paling cantik. Dan—berdasarkan desas-desus— yang paling bodoh.
"Kawan-kawan lama saya, Nona Glen," kata Estcourt dengan nada minta maaf karena telah melupakannya. 'Tommy dan Nyonya Tommy, ini adalah Nona Gilda Glen."
Nada bangga terdengar dalam suaranya. Hanya karena mereka bersama-sama, kelihatannya si Cantik sudah melimpahkan kehormatan padanya.
Aktris itu memandang Tommy dengan penuh . perhatian.
"Apa Anda benar-benar seorang biarawan? Biarawan Katolik? Saya rasa mereka tidak punya istri."
Estcourt tertawa terpingkal-pingkal lagi.
145
"Bagus," katanya. "Kau memang penipu, Tommy. Untunglah dia tidak menceraikan Anda, Nyonya Tommy."
Gilda Gten tidak menangkap pernyataan itu. Dia terus memandang Tommy dengan mata bingung dan bertanya-tanya.
"Apa Anda pastor?"
"Sangat sedikit orang yang benar-benar seperti yang kelihatan oleh kita," kata Tommy dengan lembut. "Profesi saya bukan tidak seperti pastor. Saya tidak memberi pengampunan—tapi saya mendengar pengakuan dosa—saya..."
"Jangan dengarkan dia," kata Estcourt. "Dia hanya main-main."
'Tapi kalau Anda bukan pastor, kenapa pakai baju seperti itu?" katanya heran. "Kecuali..."
"Anda seorang kriminil yang sedang melarikan
Airi " cola Tommj/ "OohaliVriJKI "
"Oh!" katanya sambil memandang Tommy dengan mata cantik ketakutan.
Aku rasa dia tidak mengerti apa yang kumaksud, pikir Tommy. Kecuali kalau aku terjemahkan dalam satu kata saja.
Dia berkata dengan keras,
"Kau tahu kereta yang kembali ke kota, Bulger? Kami harus cepat pulang. Berapa jauh jarak ke stasiun?" *
"Sepuluh menit jalan. Tapi nggak usah cepat-cepat. Kereta itu akan berangkat jam 6.35. Dan sekarang baru jam enam kurang dua puluh. Kereta sebelumnya baru saja berangkat."
146
"Lewat mana kalau mau ke stasiun?" "Belok kiri langsung, begitu-kau keluar dari hotel. Lalu—sebentar—lewat Morgan's Avenue yang piling gampang aku rasa—"
"Morgan's Avenue?" Nona Glen memandangnya dengan mata terkejut.
"Saya tahu apa yang Anda pikir," kata Estcourt sambil tertawa. "Hantu. Di satu sisi Morgan's Avenue memang ada kuburan. Dan orang-orang percaya bahwa ketika ada seorang polisi meninggal karena kekerasan, hantunya gentayangan di jalan itu. Polisi jadi-jadian! Percaya, nggak? Tapi banyak yang bilang bahwa mereka pernah melihatnya."
. "Polisi?" tanya Nona Glen. Dia sedikit gemetar.* "Hantu, sebenarnya tidak ada, kan? Maksud saya, hal-hal seperti itu tak ada, kan?"
Dia berdiri dan merapatkan mantel pembungkus badannya. "Mari," katanya.
Dia sama sekali tidak memperhatikan Tuppence dan ketika pergi sedikit pun tak melirik padanya. Tapi dia sempat melihat Tommy sekilas dengan pandangan bertanya kebingungan.
Ketika sampai di pintu dia berpapasan dengan seorang laki-laki jangkung berambut abu-abu dan bermuka merah yangiljerseru heran. Tangannya langsung menggandeng lengan wanita itu dan mereka pun bicara dengan akrab.
"Cantik, ya?" kata Estcourt. "Otaknya otak kelinci. Orang banyak bergosip bahwa dia akan
147
menikah dengan Lord Leeonbury. Itu dia orangnya ada di pintu-
"KeLihatannya bukan tipe laki-laki yang baik untuk dikawini," kata Tuppence.
Estcourt hanya mengangkat bahu.
'Tapi sebuah titel bangsawan rupanya masih punya daya tarik juga," katanya. "Dan Leconbury bukannya orang yang miskin. Gadis itu akan hidup senang. Padahal tak seorang pun tahu asalnya dari mana. Aku rasa juga tak jauh dari selokan. Ada yang misterius dengan kedatangannya di tempat ini. Dia tidak tinggal di hotel. Dan ketika aku mencari tahu di mana dia tinggal, dia marah dan menghinaku dengan kasar. Kalau saja aku tahu."
Dia melirik jam tangannya dan berseru terkejut.
"Wah, aku harus pergi. Senang rasanya bisa ketemu kalian lagi. Kita harus kumpul dan ngojjrol lagi nanti. Aku pergi dulu, ya!"
Dia bergegas pergi. Pada saat itu seorang pelayan datang membawa sebuah surat di atas nampan. Surat itu tidak beralamat.
"Ini untuk Tuan," katanya. "Dari Nona Gilda Glen."
Tommy merobek dan membacanya dengan rasa ingin tahu. Dia membaca beberapa kalimat dengan tulisan tangan yang tidak rapi.
"Saya tidak terlalu yakin, tapi rasanya Anda bisa membantu saya. Pergilah ke stasiun lewat
148
jalan itu. Apa Anda bisa berada di White House, Morgan's Avenue, pukul enam lewat sepuluh?"
Salam, Gilda Glen.
Tommy mengangguk pada pelayan yang kemudian pergi, dan memberikan surat itu pada Tuppence.
"Luar biasa," katanya. "Apa ini karena dia mengira bahwa kau pastor?"
'Tidak," kata Tommy sambil merenung. "Justru sebaliknya—karena aku bukan seorang pastor, dan dia tertarik. He, apa itu?"
Yang ditanyakan Tommy adalah seorang pe-. muda berambut merah, dengan dagu menantang dan baju acak-acakan. Dia masuk ruangan itu dan sekarang berjalan hilir-mudik sambil mengomel sendirian.
"Neraka!" kata pemuda berambut merah itu dengan suara lantang. "Itulah—neraka!"
Dia menjatuhkan badannya di kursi yang ada di dekat Tommy dan Tuppence, lalu memandang keduanya dengan pandangan sendu.
"Dasar perempuan," katanya sambil melirik Tuppence dengan marah. "Oh! Bikinlah gara-gara kalau Anda mau. Usirlah saya dari hotel ini! Ini bukan pertama kalinya. Kenapa kita tak boleh mengatakan apa yang kita pikirkan? Kenapa kita harus menutup- nutupi perasaan sendiri? Dan hanya mengatakan hal-hal yang sama dengan
149
orang-orang lainnya? Saya tak merasa ingin menyenangkan seseorang atau berlaku sopan. Saya merasa seperti ingin mencekik seseorang dan pelan-pelan memerah nyawanya sampai habis." Dia diam.
"Ada orang tertentu yang menyebabkan?" tanya Tuppence. "Atau siapa saja?"
"Satu orang tertentu," kata pemuda itu dengan muram.
"Menarik sekali," lanjut Tuppence. "Bisa diceritakan?"
"Nama saya ReiHy," kata pemuda berambut merah itu. "James Reilly. Barangkali Anda pernah mendengarnya. Saya menulis beberapa sajak tentang perdamaian—cukup bagus."
"Sajak-sajak Perdamaian?" tanya Tuppence.
"Ya—kenapa tidak?" kata Tuan Reilly tersinggung-
"Oh! Tak apa-apa," kata Tuppence cepat.
"Saya selalu memihak perdamaian," kata Reilly dengan bersemangat. "Dan terkutuklah perang. Dan perempuan. Perempuan! Anda lihat makhluk yang baru berkeliaran di sini tadi? Gilda Glen. Dia menamakan dirinya Gilda Glen! Tuhan. Saya dulu memang memuja perempuan itu. Dan dengarkan \pi. Kalaupun dia punya hati—hati itu pasti ada pada saya. Dia pernah mencintai saya. Dan saya bisa membuatnya mencintai saya lagi. Oh, mudah-mudahan Tuhan melindungi dia. Dia akan menjual dirinya pada si Leconbury itu. Dan
150
saya akan membunuh perempuan itu dengan tangan saya sendiri."
Tiba-tiba dia berdiri dan keluar dari ruangan.
Tommy hanya mengernyitkan alis matanya.
"Seorang pemuda yang agak mengejutkan. Bagaimana, kita berangkat. Tuppence?" *^ Kabut tipis menyongsong mereka ketika mereka sampai di luar hotel. Mereka mengikuti arah N yang diberikan Estcourt. Keduanya berbelok ke kiri, dan beberapa menit kemudian sampai di sebuah belokan yang bernama Morgan's Avenue.
Kabut bertambah tebal. Kelihatan lembut dan putih. Di sisi kiri mereka terdapat dinding pagar kuburan yang tinggi, dan di sisi kanan terdapat deretan rumah-rumah kecil. Akhirnya deretan rumah kecil itu hilang dan terlihatlah sebuah «• pagar tanaman.
'Tommy," kata Tuppence. "Aku kok merasa ngeri, ya. Kabut ini. Dan begitu sepi. Seolah-olah kita ini jauh terpencil."
"Ya, memang bisa menimbulkan perasaan begitu," kata Tommy. "Sendiri di dunia. Itu efek dari kabut dan ketidakmampuan kita melihat ke depan."
Tuppence mengangguk. "Cuma langkah kaki kita saja yang kedengaran bprgema. Apa itu?" *     "Apa?"
"Rasanya aku juga mendengar langkah kaki lain di belakang kita."
"Sebentar lagi kau akan melihat hantu kalau ketakutan seperti itu," kata Tommy. "Jangan
151
takut. Apa kau takut polisi jadi-jadian itu menempelkan tangannya di bahumu?" Tuppence menjerit.
"Jangan, Tom. Sekarang kau membuatku berpikir tentang itu."
Tuppence menjulurkan kepala ke belakang, mencoba menembus kabut yang menghalangi mereka.
'Tuh, kedengaran lagi," bisiknya. "Sekarang ada di depan. Oh, Tommy, apa kau tidak mendengarnya?"
"Aku memang mendengar sesuatu. Ya, langkah kaki di belakang kita. Ada orang lain yang lewat jalan ini untuk mengejar kereta yang sama. Apa..."
Tiba-tiba dia berhenti dan berdiri kaku, dan Tuppence terperangah.
Karena tirai kabut di depan mereka terbuka dengan tiba-tiba dan kira-kira dua puluh kaki dari mereka berdiri seorang polisi yang amat besar, seolah-olah muncul dari balik kabut. Satu menit yang lalu dia tak ada di situ. Satu menit kemudian dia muncul di situ—seolah-olah begitulah yang dilihat kedua pasangan itu. Lalu ketika kabut itu lewat, sebuah pemandangan pun kelihatan—seolah-olah terjadi di atas panggung.
Polisi besar berbaju biru, pilar persegi berwarna merah, dan di sebelah kanan jalan samar-samar terlihat sebuah rumah putih.
"Merah, putih, dan biru," kata Tommy. "Benar-benar hidup. Ayo, Tuppence. Tak ada yang perlu ditakuti."
Dan memang benar. Polisi itu memang seorang polisi dan ternyata dia tidak sebesar yang mereka lihat ketika tertutup kabut.
Tapi ketika mereka berjalan ke depan, mereka mendengar langkah kaki di belakang. Seorang laki-laki melewati mereka dengan tergesa-gesa. Dia berbelok di pagar rumah putih, menuruni tangga, lalu mengetuk pintu dengan keras. Pintu itu dibuka ketika Tommy dan Tuppence sampaj di tempat polisi itu berdiri dan memandang mereka.
"Orang itu kelihatannya tergesa-gesa," kata si polisi berkomentar.
Dia bicara dengan suara pelan. Seperti orang yang bicara sambil berpikir.
"Dia memang selalu tergesa-gesa," kata Tommy.
Polisi memandangnya dengan agak curiga. 'Teman Anda?" tanyanya. Nada suaranya curiga.
"Bukan," kata Tommy. "Bukan teman saya. Tapi saya kebetulan tahu dia. Namanya Reilly."
"Ah!" kata polisi itu. "Sebaiknya saya terus jalan."
"Anda tahu di mana letaknya White House?" tanya Tommy.
Polisi itu memiringkan kepalanya.
"Itu dia. Rumah Nyonya Honeycott." Dia diam dan kemudian menambahkan. "Penakut. Selalu curiga ada" maling di sekitarnya. Selalu minta supaya saya melihat-lihat dan berjaga di rumah-
153
152
¦* *
nya. Wanita setengah baya memang begitu, barangkali."  
"Setengah baya, ya?" kata Tommy. "Apa Anda barangkali tahu seorang wanita muda yang tinggal di situ?" ; _
"Wanita muda," ulang pak polisi mencoba mengingat. "Wanita muda. Rasanya tidak."
"Barangkali dia tidak tinggal di situ, Tom," kata Tuppence. "Dan barangkali dia belum sampai. Mungkin dia berangkat setelah kita pergi."
"Ah!" kata polisi itu tiba-tiba. "Saya ingat. Memang ada seorang wanita muda masuk ke rumah itu. Saya melihatnya ketika saya baru datang dari ujung jalan. Kira-kira tiga atau empat menit yang lalu."
"Dengan baju mantel bulu?" tanya Tuppence.
"Ada semacam kelinci putih di lehernya," kata polisi.
Tuppence tersenyum. Polisi itu terus berjalan ke arah jalan Tommy dan Tuppence datang tadi. Mereka sekarang sudah dekat ke pintu masuk White House.
Tiba-tiba terdengar suara melengking dari dalam rumah. Tak lama kemudian pintu depan pun terbuka dan James Reilly keluar dengan terburu-buru. Wajahnya pucat-pasi, matanya terbelalak dan seolah tak melihat apa yang ada di depannya. Dia berjalan seperti orang mabuk.
Dia melewati Tommy dan Tuppence seolah-olah tak melihat mereka, sambil komat-kamit sendiri.
154
«
'Tuhanku! Tuhanku! Oh, Tuhanku!"
Tangannya kemudian mencengkeram pintu pagar, seolah-olah ingin menguatkan diri, lalu tiba-tiba saja dia lari ke jalan, ke arah yang berlawanan dengan si polisi tadi.
155
12. Lelaki Dalam Kabut (Lanjutan)
Tommy dan Tuppence saling berpandangan, bingung.
"Hm," kata Tommy. "Ada sesuatu yang terjadi di rumah itu, yang membuat Reilly ketakutan setengah mati."
Tuppence dengan tenang menggoreskan jarinya di pintu pagar.
"Dia pasti memegang cat berwarna merah di suatu tempat," katanya.
"Hm. Aku rasa kita sebaiknya cepat-cepat masuk," kata Tommy. "Aku belum mengerti persoalannya."
Di tengah pintu seorang pelayan bertopi putih berdiri dengan muka marah.
"Apa Pastor pernah melihat pemandangan seperti itu?" katanya ketika Tommy menuruni anak tangga. "Laki-laki itu datang dan menanyakan nona muda, lalu berlari naik tangga tanpa omong apa-apa. Nona muda menjerit seperti kucing buas—lalu saya nggak tahu kenapa—laki-laki itu berlari turun dengan muka pucat seperti
156
orang yang baru melihat hantu. Apa artinya ini semua?"
"Kau bicara dengan siapa, Ellen?" tanya sebuah suara tajam dari dalam. "Ini, Nyonya," katanya.
Pelayan itu masuk dan Tommy pun berhadapan dengan seorang wanita setengah baya berambut abu-abu, bermata biru, dan berkacamata bulat. Tubuhnya yang gemuk terbungkus baju hitam.
"Nyonya Honeycott?" kata Tommy. "Saya ingin bertemu dengan Nona Glen."
Nyonya Honeycott memandangnya dengan tajam. Lalu pandangannya beralih meneliti Tuppence dengan cermat.
"Oh! Kalau begitu silakan masuk," katanya.
Dia membawa mereka masuk ke sebuah kamar yang menghadap kebun di bagian belakang. Kamar itu sebenarnya cukup luas, tapi karena memuat meja dan kursi yang besar-besar, jadinya kelihatan kecil. Api besar menyala di perapian, dan sebuah sofa yang tertutup kain cita berdiri di satu sisinya. Kertas penutup dindingnya bergaris abu-abu kecil dengan bunga-bunga mawar menggerombol di bagian atas. Beberapa lukisan dan ukiran menghias dinding ruangan.
Ini adalah sebuah ruangan yang rasanya kurang cocok dengan penampilan mahal Nona Gilda Glen.
"Silakan masuk," kata Nyonya Honeycott. "Pertama-tama saya minta maaf dan harap Anda
157
mengerti bahwa saya tidak bersimpati pada agama Katolik. Saya tak pernah membayangkan seorang pastor Katolik masuk rumah saya. Tapi kalau Gilda telah pergi ke tempat pelacuran, ya —memang bisa dimengerti—barangkali juga lebih buruk keadaannya. Mungkin dia sama sekali tak beragama. Dan rasanya saya lebih bisa menerima agama Katolik kalau pendetanya boleh menikah—saya biasa bicara terus-terang. Saya tak^ bisa membayangkan biara-biara itu—begitu banyak gadis-gadis cantik dikurung di sana, dan tak seorang pun tahu apa yang terjadi dengan mereka—ah, saya nggak bisa membayangkan."
Nyonya Honeycott benar-benar berhenti. Dia menarik napas panjang.
Tanpa menyinggung hal-hal yang berkaitan dengan agama, Tommy langsung berkata,
"Nyonya Honeycott, saya dengar Nona Glen ada di sini."
"Benar. Tapi harap Anda ketahui. Saya tak setuju. Perkawinan adalah perkawinan. Dan suami ya suami. Kalau kita membersihkan tempat tidur kita, kita juga tidur di situ."
"Saya tidak mengerti," kata Tommy bingung.
"Ya, saya mengerti. Itulah mengapa saya ajak Anda masuk ke sini. Anda bisa menemui dia setelah saya bicara nanti. Dia datang kepada saya—setelah bertahun-tahun tidak ketemu—dan minta agar saya menolongnya. Dia ingin agar saya menemui laki-laki itu dan membujuk agar mau menceraikan dia. Saya katakan terus terang
158
bahwa saya tidak mau tahu tentang urusan itu. Cerai itu dosa. Tapi saya tak bisa menolak adik saya untuk menumpang di sini, kan?"
"Adik Anda?" seru Tommy.
'Ya. Gilda itu adik saya. Dia belum cerita?"
Tommy memandangnya dengan mulut terbuka. Rasanya hal itu terlalu fantastis. Kemudian Tommy ingat bahwa kecantikan Gilda Glen memang sudah menonjol dari dulu. Waktu dia masih kecil pun, dia sudah kelihatan menarik. Ya, memang mungkin. Tapi kok seperti langit dan bumi bedanya. Jadi dari keluarga kelas menengah rupanya dia berasal. Pandai benar dia menyembunyikan rahasia itu!
"Saya belum jelas," kata Tommy. "Adik Anda sudah menikah?"
"Kawin lari ketika umur tujuh belas," kata Nyonya Honeycott dengan jelas. "Dengan seorang pemuda biasa yang kelasnya di bawah dia. Dan ayah kami adalah seorang pendeta. Ini sebuah corengan. Lalu dia meninggalkan suaminya dan masuk dunia panggung. Berakting! Saya sendiri seumur hidup belum pernah masuk gedung teater. Saya tak ingin bersentuhan dengan kekejaman. Dan sekarang—setelah bertahun-tahun— dia ingin menceraikan suaminya. Saya rasa dia ingin menikah dengan orang yang lebih hebat. Tapi suaminya tetap berdiri tegak—dia tak mau dipermainkan dan tak mau disuap—saya mengagumi sikapnya itu."
"Siapa namanya?" tanya Tommy tiba-tiba.
159
"Nah, ini memang aneh—tapi saya benar-benar tidak ingat! Sudah dua puluh tahun berlalu. Ayah tidak ingin nama itu disebut-sebut. Dan saya menolak membicarakan soal itu dengan Gilda. Dia mengerti sikap saya dan tidak memaksa."
"Namanya bukan Reilly, kan?"
"Bisa saja. Saya benar-benar tidak tahu. Tidak ada di pikiran saya."
"Orang yang saya maksud itu baru dari sini."
"Oh, orang itu! Saya pikir orang gila yang lepas. Saya tadi ada di dapur memberi instruksi pada Ellen. Saya baru saja keluar dari ruang ini dan berpikir-pilar apa Gilda sudah datang (dia punya kunci sendiri) karena saya merasa mendengar dia. Dia ragu-ragu sejenak di lorong dan akhirnya naik ke atas. Kira-kira tiga menit kemudian mulailah keributan itu terjadi. Saya melihat di gang ada seorang laki-laki berlari naik lalu turun lagi terburu-buru seperti orang gila. Benar-benar brengsek."
Tommy berdiri.
"Nyonya Honeycott, mari kita ke atas. Jangan-jangan..." "Ada apa?"
"Jangan-jangan Anda tak punya cat merah di rumah ini."
Nyonya Honeycott memandangnya. "Tentu saja tidak."
"Itulah yang kukuatirkan, kata Tommy. "Izinkan kami pergi ke kamar adik Anda.'' Tanpa berkata apa-apa. Nyonya Honeycott
160
berjalan ke luar. Mereka melihat Ellen yang buru-buru masuk ke sebuah kamar.
Nyonya Honeycott membuka pintu pertama di lantai atas. Tommy dan Tuppence masuk di belakangnya
Tiba-tiba wanita itu berseru kaget dan jatuh ke belakang.
Sesosok tubuh bergaun hitam terbujur di atas sofa. Wajahnya bersih—cantik dan kelihatan seperti seorang anak yang tidur lelap. Tetapi dia mati. Luka yang ada di sisi kepalanya menunjukkan adanya pukulan keras dengan benda tumpul yang meremukkan tengkorak. Darah menetes pelan ke lantai, tapi luka itu sendiri telah beberapa waktu tak lagi mengeluarkan darah____
Tommy memeriksa mayat itu. Wajahnya menjadi pucat.
"Jadi dia sama sekali tidak mencekiknya," kata Tommy.
"Apa maksud Anda? Siapa?" seru Nyonya Honeycott. "Apa dia meninggal?"
"Oh, ya, Nyonya Honeycott. Dia mati. Dibunuh. Pertanyaannya ialah—oleh siapa? Sebetulnya itu bukan pertanyaan. Aneh—memang kata-katanya nyerocos begitu saja. Tapi aku rasa bukan dia."
Dia diam sejenak, lalu menoleh pada Tuppence dengan tegas.
"Kaurbisa keluar dan cari polisi atau menelepon polisi dari telepon umum?"
Tuppence mengangguk. Mukanya juga keli-
161
ha tari pucat. Tommy membawa Nyonya Honeycott ke bawah.
"Saya tidak ingin keliru dalam hal ini," katanya. "Apakah Anda tahu persis jam berapa adik Anda tadi datang?"
"Ya," kata Nyonya Honeycott. "Karena saya sedang mencocokkan jam waktu itu. Saya harus melakukannya tiap sore karena jam itu kecepatan lima menit. Waktu itu jam saya tepat jam enam lebih delapan menit. Jam itu tak pernah rusak."
Tommy mengangguk. Itu cocok dengan kata-kata polisi tadi. Dia melihat wanita berpakaian bulu putih itu masuk kira-kira tiga menit sebelum Tommy dan Tuppence datang. Waktu itu Tommy melihat jamnya dan dia tahu bahwa dia terlambat satu menit dari waktu yang dijanjikan.
Barangkali ada seseorang yang menunggu Gilda Glen di dalam kamar. Tapi kalau demikian dia pasti masih sembunyi di rumah itu. Dan tak seorang pun meninggalkan rumah kecuali James Reilly.
Tommy naik ke atas dan memeriksa kamar-kamar di sana, dengan cepat dan teliti. Tapi tak ada siapa-siapa yang bersembunyi di situ.
Kemudian dia bicara dengan Ellen Setelah memberitahu apa yang terjadi dan menunggunya selesai mengungkapkan rasa sedihnya, dia menanyai pelayan itu.
"Apakah ada orang datang ke rumah dan mencari Nona Glen siang tadi? Tak seorang pun. Apakah dia sendiri ada di loteng sepanjang
162
petang? Ya, dia pergi ke loteng jam enam untuk menutup gorden—atau barangkali beberapa menit sesudah .jam enam. Yang jelas dia naik sebelum laki-laki gila itu datang menggedor pintu depan. Dia turun membukakan pintu. Padahal lelaki itu seorang pembunuh berdarah dingin."
Tommy membiarkannya bicara. Tapi dia masih merasa kasihan pada Reilly dan merasa enggan untuk percaya bahwa dialah pembunuhnya. Tapi tak seorang pun punya kemungkinan itu kecuali dia. Nyonya Honeycott dan Ellen saja yang ada di rumah itu.
Dia mendengar suara orang di ruang depan. Ternyata Tuppence datang bersama polisi yang tadi. Polisi itu mengeluarkan buku catatan dan sebatang pensil yang agak tumpul, yang dijilat nya dengan sembunyi-sembunyi. Dia naik ke atas dan memeriksa korban. Dia hanya berkata bahwa tidak berani menyentuh apa-apa karena Inspektur akan marah. Dia mendengarkan keterangan Nyonya Honeycott yang kacau dan membingungkan dan kadang-kadang menulis sesuatu dalam catatannya. Kedatangannya memberi rasa tenang.
Akhirnya Tommy berhasil bicara satu-dua menit di luar, ketika polisi itu pergi untuk menelepon kantornya.
"Maaf," kata Tommy. "Anda tadi mengatakan melihat korban masuk di pintu pagar. Apa dia benar-benar sendiri?"
"Oh, ya, tak seorang pun bersama dia."
163
Dan antara waktu itu dan waktu kedatangan kami, tak seorang pun keluar dari pintu pagar?" 'Tak seorang pun."
"Kalaupun ada, Anda yakin pasti melihatnya?"
'Tentu saja. Tak ada siapa pun yang keluar sampai laki-laki gila itu pergi."
Hamba hukum itu berjalan dengan gagah dan berhenti di pintu pagar yang putih dan mengamati bekas jari yang merah karena darah.
"Pasti seorang amatir," katanya dengan nada kasihan.
Lalu dia melangkah ke luar.
Keesokan harinya. Tommy dan Tuppence masih menginap di Grand Hotel. Tapi Tommy menganggap bahwa sebaiknya dia membuang jubah pastornya.
James Reilly dicurigai dan ditangkap. Pembelanya, Tuan Marvell, baru saja bicara panjang-lebar dengan Tommy tentang apa yang terjadi.
"Saya tak percaya bahwa itu perbuatan James Reilly," katanya. "Omongannya memang kasar, tapi hanya sampai di situ saja."
Tommy mengangguk.
"Orang yang banyak bicara memang belum tentu banyak berbuat. Yang saya tahu adalah saya akan menjadi salah seorang saksi yang memberatkan dia. Dan kata-kata yang diucapkannya sebelum kejadian itu sangat memberatkan dia. Sebetulnya saya suka padanya. Kalau misalnya ada
164
orang lain yang bisa dicurigai, saya akan menganggap dia tak bersalah. Bagaimana ceritanya?"
Pengacara itu memonyongkan bibirnya.
"Dia bilang bahwa dia menemukan wanita itu terbaring mati. Tapi itu tentu saja tidak mungkin. Dia berbohong—asal Anda tahu saja."
"Karena kalau apa yang dikatakan itu benar, maka Nyonya Honeycott lah yang melakukan pembunuhan—dan itu terlalu fantastis. Ya, pasti dia yang melakukannya."
''Dan ingat, pelayan itu mendengar dia berteriak."
"Pelayan—ya..."
Tommy diam sesaat. Lalu dia berkata sambil merenung. ,
"Heran. Kenapa kita begitu mudah percaya akan sesuatu? Kita mempercayai bukti seolah-olah bukti merupakan kebenaran. Padahal, apa sebenarnya bukti itu? Hanya suatu kesan yang diteruskan ke pikiran oleh perasaan. Dan seandainya kesan itu keliru?"
Pengacara itu hanya tahu bahwa ada saksi-saksi yang kurang bisa dipercaya—yang bisa ingat lebih baik ketika waktu berjalan—tanpa tujuan atau maksud-maksud jahat tertentu.
"Bukan hanya itu yang saya maksud. Maksud saya, kita semua—kita mengatakan sesuatu yang bukan sebenarnya. Dan itu tidak kita sadari. Misalnya Anda, dan saya. Kita sama-sama berkata. Itu pos/ Padahal kita cuma mendengar ketukan dua kali dan suara kerotak kotak pos. Memang
165
kita benar—dan kemungkinannya hanya seorang anak kecil yang sedang bermain-main. Mengerti maksud saya?"
"Ya—a," kata Tuan Marvell perlahan. 'Tapi saya tak mengerti arah pembicaraan ini."
"Benarkah? Saya sendiri juga tak yakin apakah saya mengerti. Tapi saya mulai melihatnya. Ini seperti sebuah tongkat, Tuppence. Satu ujungnya menghadap ke satu arah dan ujung yang lain ke arah yang berlawanan. Ini tergantung dari mana kita melihatnya. Pintu terbuka—tapi juga tertutup. Orang naik ke lantai atas, tapi mereka juga turun ke bawah. Kotak-kotak tertutup, tetapi mereka juga terbuka."
"Apa maksudmu?" tanya Tuppence.
"Sebetulnya mudah saja," kata Tommy. 'Tetapi hal itu baru terpikir olehku. Bagaimana kau tahu ada orang masuk ke rumah? Kaudengar pintu dibuka dan dibanting. Dan kalau kau sedang menunggu seseorang, kau yakin bahwa dialah yang datang. Tapi bisa saja kan bahwa ternyata ada seseorang yang keluar?"
'Tapi Nona Glen tidak keluar, kan?"
'Tidak. Aku tahu bahwa dia tidak keluar. Tapi orang lain—si pembunuh." «
"Kalau begitu bagaimana Nona Glen masuk?"
"Dia masuk ketika Nyonya Honeycott sedang berada di dapur dan bicara dengan Ellen. Mereka tidak tahu dia datang. Nyonya Honeycott kembali ke ruang duduk sambil berpikir apakah adiknya sudah datang. Dia mencocokkan jam. Pada saat
166
itu dia seperti mendengar suara orang naik ke atas."
"Nah, kalau begitu bagaimana?" % "Sebenarnya Ellen-lah yang naik ke atas untuk menutup gorden. Ingat nggak, Nyonya Honeycott berkata bahwa adiknya berhenti sejenak sebelum naik? Padahal yang sebenarnya terjadi adalah Ellen berjalan dari dapur ke ruang depan. Waktu itulah si pembunuh lolos."
'Tapi, Tom!" seru Tuppence. "Nona Glen kan menjerit?"
"Itu suara James Reilly. Ingat nggak, suaranya tinggi? Pada waktu emosi naik, suara laki-laki bisa saja melengking seperti suara wanita."
'Tapi pembunuh itu? Tentunya kita bisa melihat dia, kan?"
"Kita memang melihat dia. Kita bahkan berdiri dan bicara dengan dia. Kau ingat betapa mengejutkan cara polisi itu muncul di depan kita? Itu karena dia keluar dari pintu pagar, tepat ketika kabut hilang dari jalan. Dia membuat kita terkejut. Ingat? Bagaimanapun, polisi adalah manusia juga. Mereka punya rasa cinta dan benci. Mereka menikah..."
"Aku rasa Gilda Glen bertemu dengan suaminya di luar pintu itu dan mengajak dia masuk untuk menyelesaikan persoalan. Laki-laki itu memang tak banyak bicara seperti Reilly. Dia juga tidak suka mengancam. Tapi sekali marah langsung... Dan dia memang selalu membawa-bawa pentungan karetnya...."
167
13. Crackler
'Tuppence," kata Tommy. "Kita harus pindah ke kantor yang lebih besar."
"He—apa-apaan?" kata Tuppence. "Jangan besar kepala. Kau kan bukan seorang milyuner. Kasus-kasus remeh dengan bayaran murah itu pun bisa kauselesaikan karena nasib baik saja."
"Ya—yang dikatakan sebagian orang nasib baik itu oleh orang lain disebut keahlian."
"Itu kalau kau merasa dirimu seorang Sherlock Holmes, Thorndyke, McCarty, dan Okewood Bersaudara yang digabung jadi satu. Tapi kau sendiri lebih suka punya nasib baik daripada segala macam keahlian itu."
"Barangkali kau betul juga," kata Tommy tidak membantah. 'Tokoknya sekarang kita perlu ruangan yang lebih luas, Tuppence."
"Kenapa?"
"Buku-buku klasik ini," kata Tommy. "Kita perlu tambahan beberapa ratus meter rak buku kalau mau menonjolkan Edgar Wallace."
168
"Kita kan belum pernah punya kasus seperti Edgar Wallace."
"Rasanya kita tak akan punya—karena dia tak bergaya amatir. Semuanya serba Scotland Yard," kata Tommy.
Albert muncul di pintu.
"Inspektur Marriot ingin bertemu. Pak," katanya.
"Manusia misterius dari Scotland Yard," gumam Tommy.
"Manusia paling sibuk," kata Tuppence.
Pak Inspektur mendekati mereka dengan senyum cerah,
"Apa kabar, nih?" katanya ramah. "Nggak ada yang mengecewakan, kan?"
"Oh, tidak," sahut Tuppence. "Sangat mendebarkan dan menyenangkan."
"Wah, barangkali saya tak akan begitu mengatakannya," katanya dengan hati-hati.
"Ada berita apa, Marriot? Tumben datang ke sini? Ada sesuatu yang khusus?" kata Tommy. "Bukan hanya sekadar kata-kata hiburan, kan?"
"Oh, bukan, bukan. Satu tugas untuk Detektif Blunt yang brilian."
"Ha!" kata Tommy. "Sebentar, saya mau kelihatan brilian sedikit."
"Saya datang untuk menawarkan sesuatu, Tuan Beresford. Bagaimana kalau Anda membereskan sebuah komplotan besar?"
"Apa itu ada?" tanya Tommy.
"Apa maksud Anda?"
169
"Bayangan saya, komplotan hanya ada di buku-buku cerita fiksi."
"Wah. Ada. Lumayan banyak,malah. Memang komplotan perusak tidak terlalu banyak. Tapi sekarang ini mereka mulai berkeliaran."
"Saya tak tahu apakah saya bisa menghadapi sebuah komplotan," kata Tommy. "Kalau kriminal amatir yang terjadi pada sebuah keluarga yang punya kehidupan tenang ya, boleh dikata saya cukup lihai. Sebuah-drama rumah tangga itu amat menarik dengan bantuan Tuppence yang kenal baik dengan detil-detil feminin yang amat penting, tapi terlalu sepele sehingga sering dilupakan laki-laki."
Omongannya yang bertele tele itu langsung dipotong Tuppence dengan melempar bantal kursi dan minta dia agar tidak bicara lagi.
"Anda akan menyukainya," kata Inspektur Marriot sambil tersenyum kebapakan pada mereka. "Saya benar-benar gembira melihat Anda berdua senang dan bahagia."
"Apa kami senang?" kata Tuppence sambil membelalakkan mata lebar-lebar. "Saya rasa ya. Saya tak pernah memikirkan hal itu sebelumnya."
"Kembali ke persoalan komplotan tadi," kata Tommy. "Dengan praktek penyelidikan privat yang biasa saya lakukan untuk para bangsawan, para milyuner, dan orang-orang terkenal, saya terpaksa 'turun derajat7 dengan menangani komplotan itu. Terus-terang saya tak ingin Scotland
170
Yard dipersalahkan. Dan Anda pasti akan dikejar-kejar Daily Mail."
"Seperti saya katakan tadi, Anda pasti menyukainya. Sebenarnya begini," Dia menyeret kursinya sedikit ke depan. "Kami mengetahui bahwa ada sejumlah uang palsu beredar saat ini— beratus-ratus! Dan jumlahnya 'akan membuat Anda tercengang. Memang cukup ahli mereka. Ini contohnya."
Dia mengeluarkan lembaran satu pound dan memberikannya kepada Tommy.
"Kelihatan asli, bukan?"
Tommy memperhatikan baik-baik.
"Wah, saya tak akan tahu kalau ini uang palsu."
"Ya juga orang-orang lain. Sekarang, ini yang asli. Saya tunjukkan bedanya sangat kecil,tapi Anda akan segera bisa membedakannya dengan mudah Pakai kaca pembesar ini."
Setelah dilatih selama lima menit. Tommy dan Tuppence pun menjadi ahli.
"Apa yang Anda ingin kami lakukan, Inspektur Marriot?" tanya Tuppence. "Mengawasi benda-benda ini?"
"Lebih dari itu, Nyonya Beresford. Saya percayakan pada Anda berdua untuk membongkar akarnya. Dari hasil penyelidikan, uang palsu ini ternyata beredar di West End. Seseorang dari kalangan atas yang mendistribusi uang itu. Mereka juga mensirkulasikannya di seberang Selat Inggris. Dan ada seseorang yang menarik perhatian
171
kami. Mayor Laidlaw Barangkali Anda pernah dengar namanya?"
"Rasanya pernah," kata Tommy. "Biasanya berhubungan dengan pacuan kuda, kalau nggak salah."
"Ya. Mayor Laidlaw dikenal baik dalam hubungannya dengan Turf. Sebenarnya tak ada hal khusus yang memberatkan dia, tapi ada kesan yang kurang baik mengenai dirinya sehubungan dengan satu atau dua transaksi yang tak jelas. Kalau kita sebut namanya di depan orang-orang yang dikenalnya, reaksi mereka aneh. Tak seorang pun tahu dengan baik masa lalunya, atau dari mana asalnya. Dia punya seorang istri Prancis yang cantik. Pergaulannya luas dan pengagumnya berderet-deret. Pasangan itu punya gaya hidup mewah dan saya ingin tahu dari mana mereka mendapatkan uang."
"Barangkali dari pengagumnya yang berderet-deret," kata Tommy.
"Memang begitu kesannya. Tetapi saya tidak yakin. Barangkali ini suatu kebetulan saja. Tapi banyak uang palsu keluar dari klub judi yang didatangi pasangan itu. Dan tempat-tempat judi serta arena pacuan kuda seperti itu memang merupakan tempat yang baik untuk mensirkulasikan uang palsu."
"Dan apa yang akan kita lakukan?"
"Begini. St Vincent muda dan istrinya adalah teman-teman Anda, kan? Mereka kenal baik dengan pasangan Laidlaw. Melalui mereka Anda
172
bisa kenal dengan pasangan Laidlaw dan mengawasi mereka. Kami sendiri tak akan bisa mengenal mereka dengan cara seperti itu. Mereka tak akan tahu siapa Anda sebenarnya. Dan Anda akan punya kesempatan baik."
"Sebenarnya apa yang harus kita cari?"
"Dari mana mereka mendapatkan benda itu kalau memang mereka yang mengedarkan."
"Hm, ya," kata Tommy. "Mayor Laidlaw keluar dengan koper kosong. Lalu ketika kembali kopernya penuh dengan uang. Bagaimana bisa begitu? Saya harus ikuti dan selidiki dia. Begitu?"
"Ya, kira-kira begitu. Tapi jangan melupakan istrinya, dan ayahnya, Monsieur Heroulade. Ingat, uang itu diedarkan di kedua sisi Selat Inggris."
'Tuan Marriot," kata Tommy agak tersinggung, "Blunf s Brilliant Detectives tidak mengenal kata lupa."
Inspektur itu berdiri.
"Baiklah kalau demikian, semoga berhasil," katanya, lalu pergi.
"Slush," kata Tuppence dengan antusias.
"Eh?" kata Tommy bingung.
"Uang palsu," jelas Tuppence. "Biasanya disebut slush.Ya, aku benar. Tom, akhirnya kita punya kasus' Edgar Wallace juga. Dan kita jadi Busies.""Ya," kata Tommy. "Dan kita keluar untuk menangkap si Crackler
"Kau bilang Krakler atau Kakler?"
173
"Crackler.""Oh, apa itu Crackler?"
"Sebuah kata baru yang kuciptakan," kata Tommy. "Artinya orang yang mendistribusikan atau mengedarkan uang palsu. Sederhana saja."
"Ah, ya. Cukup bagus, walaupun aku lebih suka Rustler. Rasanya lebih cocok."
"Nggak nggak," kata Tommy. "Aku yang pertama-tama memberi nama Crackler. Dan aku akan tetap pakai nama itu."
"Wah, aku akan menikmati permainan ini," kata Tuppence. "Bolak-balik kenite club dan minum-minum. Besok aku mau beli bulu mata palsu yang hitam."
"Bulu matamu sendiri kan sudah hitam," kata suaminya kurang setuju.
"Supaya lebih hitam lagi," kata Tuppence. "Dan lipstik merah ceri. Yang manyala. Pasti sangat dibutuhkan."
Tuppence, kau benar-benar membuat orang sedih. Apa gunanya benda-benda itu? Kau kan menikah dengan seorang laki-laki setengah baya yang tenang dan tak banyak tingkah."
Tunggu saja," kata Tuppence. "Kalau kau sudah masuk Python Club kau pasti berubah."
Dari lemari Tommy mengeluarkan beberapa botol, dua buah gelas, dan sebuah tempat pengocok kokul
"Kita mulai sekarang," kata Tommy. "Kami akan mengejar dan menangkapmu, Crackler. Dan kami serius."
174
14. Crackler (Lanjutan)
Berkenalan dengan Laidlaw tidaklah sulit. Tommy dan Tuppence yang muda, berpakaian mahal,bersemangat, dan kelihatan punya banyak uang untuk dihambur-hamburkan, dengan segera diterima dalam kelompok eksklusif pasangan Laidlaw.
Mayor Laidlaw adalah seorang laki-laki jangkung berkulit putih, khas tipe pria Inggris, bersikap sportif, dengan garis-garis lelah melingkari matanya dan pandangan mencuri-curi yang kelihatan janggal dan tak sesuai dengan penampilannya.
Dia adalah seorang pemain kartu yang ahli dan Tommy memperhatikan bahwa apabila taruhannya bertumpuk tinggi, dia tak pernah meninggalkan meja dengan kekalahan.
Marguerite Laidlaw punya penampilan berbeda. Dia adalah seorang wanita yang menarik, bertubuh semampai dan berwajah cantik. Bahasa Inggrisnya yang patah-patah itu amat menarik, dan Tommy pun maklum apabila pengagum
175
wanita itu berderet-deret. Dia kelihatan amat menaruh perhatian pada Tommy, dan Tommy pun memainkan peranan sebagai salah seorang pengagumnya.
"Tomme ku," itulah yang dia katakan. 'Tentu saya tak bisa pergi tanpa Tommee-ku. Rambut Tommee seperti warna matahari tenggelam. Ya?"
Ayahnya merupakan figur yang kurang menarik. Sangat teliti, berdiri tegak kaku, dengan jenggot hitam dan mata tajam.
Tuppence-lah yang pertama kali melaporkan perkembangan. Dia datang pada Tommy dengan sepuluh lembaran satu pound.
"Perhatikan ini. Uang palsu, kan?"
Tommy memeriksa lembaran-lembaran itu dan menganggukkan kepala.
"Kau dapat dari mana?"
"Dari si Jimmy Faulkener. Marguerite Laidlaw memberikannya pada si Jimmy untuk taruhan kuda. Aku pura-pura perlu duit kecil dan menukarnya dengan lembaran sepuluh pound."
"Semua baru dan masih kaku," kata Tommy sambil merenung. "Tak mungkin lewat terlalu banyak tangan. Apa kira-kira si Faulkener bersih?"
Jimmy? Oh, dia manis sekali. Kami menjadi akrab."
"Ya seperti yang kulihat. Apa itu perlu?" tukas suaminya dingin
"Oh! Itu kan bukan bisnis," kata Tuppence gembira. "Cuma senang-senang saja. Anak itu baik. Aku senang dia bisa lepas dari cengkeraman
176
wanita itu. Kau nggak tahu kan, berapa banyak uang yang sudah dia keluarkan untuk si Cantik "
"Kelihatannya dia menaruh perhatian padamu. Tuppence."
"Ya, kadang-kadang aku juga berpikir begitu. Senang juga rasanya—masih muda dan punya daya tarik."
"Eh, moralmu kok kelihatan rendah begitu, sih? Jangan besar kepala. Kau melihatnya dari sisi yang keliru."
"Rasanya sudah cukup lama aku tak menikmati hal-hal seperti itu," kata Tuppence tanpa malu. "Dan kau sendiri? Jarang kulihat kau belakangan ini. Kau tinggal di saku Marguerite Laidlaw, kan?"
"Bisnis," kata Tommy pendek.
'Tapi dia menarik, kan?"
"Bukan tipeku," kata Tommy. "Aku tidak mengaguminya."
"Pembohong," kata Tuppence sambil tertawa. 'Tapi rasanya lebih baik kawin dengan pembohong daripada dengan orang tolol."
"Apa seorang suami harus selalu pembohong atau tolol?"
Tapi Tuppence hanya memandangnya dengan rasa kasihan lalu pergi.
Di antara pengagum Nyonya Laidlaw yang berderet-deret itu ada seorang laki-laki yang sederhana tetapi amat kaya, namanya Hank Ryder.
177
Tuan Ryder berasal dari Alabama. Dia amat dekat dan bersahabat dengan Tommy.
"Dia memang wanita luar biasa," kata Tuan Ryder dengan mata mengikuti si cantik Marguerite. "Dan sangat sopan. Sulit menaklukkan ia gaio France, ya? Kalau saya berada di dekatnya, saya merasa seolah-olah saya adalah manusia hasil eksperimen Tuhan yang pertama-tama. Saya rasa Tuhan membuat eksperimen dulu sebelum akhirnya bisa menciptakan wanita yang begitu cantik dan sempurna."
Tommy hanya mengiakan pembicaraan Tuan Ryder dengan sopan. Rupanya masih ada juga yang akan dikatakan Tuan Ryder.
"Kasihan juga. Wanita cantik seperti dia kok menderita kesulitan uang."
"Apa begitu?" tanya Tommy.
"Pasti. Laidlaw itu aneh. Dan istrinya takut pada dia. Tidak berani menunjukkan tagihan-tagihan kecilnya."
"Apa benar-benar tagihan kecil?" tanya Tommy.
"Ya—kalau menurut saya kecil! Bagaimanapun, wanita kan harus memakai baju. Dan semakin sedikit bajunya, semakin mahal harganya. Itu pendapat saya. Dan wanita cantik seperti dia kan nggak mau ketinggalan mode. Juga kartu. Wanita malang itu kurang beruntung kalau main. Kemarin kalah lima puluh dengan saya."
"Dia menang dua ratus dari Jimmy Faulkener sebelumnya," kata Tommy.
"Benarkah? Syukurlah. Eh, ya. Sepertinya
178
akhir-akhir ini banyak uang palsu beredar di negara Anda, ya? Pagi tadi saya menyetor uang di bank dan mereka menolak dua puluh lima lembar."
"Wah, cukup banyak juga, ya? Apa uang itu baru?"
"Baru dan masih kaku seperti baru digunting.Kalau nggak salah uang itu dari Nyonya Laidlaw. Nggak ngeti Dari mana dia dapat uang itu? Barangkali salah seorang penjudi di pacuan kuda situ."
"Ya," kata Tommy. "Bisa jadi."
Terus terang saja, Tuan Beresford, saya baru saja kenal dengan kehidupan kalangan atas seperti ini. Wanita-wanita cantik dengan busana luar biasa—bisa membuat tumpukan uang saya semakin rendah tiap kali. Memang saya datang ke Eropa untuk menikmati hidup."
Tommy mengangguk. Dia membayangkan bahwa dengan bantuan Marguerite Laidlaw, Tuan Ryder pasti bisa menikmati hidup walaupun ongkosnya mahal.
Untuk kedua kalinya Tommy menemukan bukti bahwa uang palsu itu diedarkan dekat padanya. Ada kemungkinan Marguerite Laidlaw punya andil di sini.
Pada malam berikutnya, dia sendiri membuktikannya.
Dia berada di sebuah tempat pertemuan kecil yang pernah disebut-sebut Inspektur Marriot. Ada pesta dansa di sana. Tetapi atraksi yang

179
paling menarik ada di balik sepasang pintu. Di situ ada meja-meja bertutup laken hijau di mana jumlah-jumlah uang yang amat besar berpindah tangan setiap malam.
Marguerite Laidlaw berdiri siap untuk pulang. Dia memberikan sejumlah uang kecil pada Tommy.
Terlalu banyak, Tommy bisa tolong tukar, ya? Satu lembar besar. Lihat tas kecilku yang manis ini. Bisa rusak nanti."Tommy memberikan lembaran seratus yang diminta. Lalu di sebuah sudut yang. sepi dia memeriksa lembaran yang baru diterimanya. Setidaknya, seperempat dari uang itu palsu.
Tapi dari mana dia dapat uang itu? Dia belum menemukan jawabnya. Dengan bantuan Albert, dia hampir yakin bahwa Laidlaw bukanlah orang yang dicarinya. Gerak-geriknya telah diperhatikan dengan saksama dan hasilnya tak ada.
Tommy mencurigai ayah Nyonya Laidlaw yang serius dan kaku. Dia bolak-balik pergi ke Prancis. Bukankah amat sederhana bila uang palsu itu masuk ke dalam kopernya? Disembunyikan di bagian bawah. Kira-kira begitu.
Tommy berjalan pelan-pelan ke luar klub dengan pikiran penuh persoalan tersebut. Tapi tiba-tiba dia menjadi sadar.
Di jalan, di luar, ada Tuan Hank Ryder. Dan dia tidak kelihatan seperti orang normal. Pada saat itu dia berusaha menggantungkan topinya di
180
radiator sebuah mobil. Dan usahanya itu gagal terus.
"Ah gantungan topi sialan. Sialan," kata Tuan Ryder. Tidak seperti di Amerika. Kita bisa menggantungkan topi tiap malam tiap malam. Tuan. Anda pakai dua topi, ya? Tak pernah sebelumnya saya melihat orang pakai dua topi. ? Pasti karena iklim."
"Barangkali kepalaku yang dua," kata Tommy kesal.
"Ya ya, ya," kata Tuan Ryder. "Heran. Aneh itu. Tapi memang itu kenyataan. Ayo kita minum. Laranganya, larangan. Itu yang menghancurkan aku.. Aku mabok ya—ya, aku rasa aku mabuk. Koktil—campuran—Ciuman Bidadari— itu Marguerite—cantik, cantik. Dan menyukaiku—macam-macam dicampur—campur—hah..."Tommy menyela.
"Sudah, sudah," katanya menghibur. "Pulang saja, ya?"
'Tak punya rumah," kata Tuan Ryder sedih, lalu menangis.
"Anda tinggal di hotel apa?" tanya Tommy.
Tidak bisa pulang," katanya. "Memburu harta. Bagus. Dan dia berhasil—Whitechapel—hati putih—dan kepala putih karena sedih...."
"Sudahlah," kata Tommy. "Di mana Anda..."
Tiba-tiba saja Tuan Ryder menegakkan kepala. Tiba-tiba saja kata-katanya terdengar berwibawa, tak seperti orang mabuk.
"Dengar, Anak muda. Margee mengajakku.
181
Naik mobilnya. Berburu harta karun. Orang-orang Inggris memang gila. Di bawah batu-batu. Lima ratus pound. Pemikiran yang luar biasa. Kau benar-benar baik padaku. Dan aku suka kekayaanmu, Nak. Kami orang-orang Amerika..."
Kali ini Tommy menyela tanpa basa-basi,
"Apa Anda bilang tadi? Nyonya Laidlaw mengajak Anda naik mobilnya?"
Si Amerika mengangguk seperti burung hantu.
"Ke Whitechapel?" Kembali terlihat anggukan burung hantu. "Dan Anda menemukan lima ratus pound di sana?"
Tuan Ryder berusaha berbicara.
"Ya, dia menemukan," katanya. "Saya cuma tinggal di luar. Di luar pintu. Ya, sudah biasa begitu. Menyedihkan. Di luar. Selalu disisihkan."
"Anda ingat jalan ke sana?"
"Ya—saya rasa ya. Hank Ryder masih bisa menguasai diri...."
Tommy membawanya berjalan tanpa banyak cakap. Dia masuk ke dalam mobilnya, dan mereka berdua melaju ke timur. Udara sejuk rupanya membuat Tuan Ryder sadar. Setelah beberapa saat menyandarkan kepalanya di bahu Tommy seperti orang pingsan, dia bangun dengan kepala dingin dan pikiran segar.
"He, kita ada di mana?" tanyanya.
"Whitechapel," kata Tommy ketus. "Anda tadi ke sini bersama dengan Nyonya Laidlaw?"
"Rasanya ya—pernah lihat," kata Tuan Ryder sambil memperhatikan sekelilingnya. "Rasanya
182
tadi kami berbelok ke kiri di sekitar sini. Nah itu jalanitu."
Tommy berbelok. Tuan Ryder memberi instruksi.
"Ya, itu. Pasti. Belok ke kanan. Wah, baunya nggak enak, ya? Ya, lewat pub di sudut—belok dan berhenti di mulut gang itu. He, ada apa? Biar kubereskan. Ada yang ketinggalan? Apa akan kita bereskan?"
"Ya, betul," kata Tommy. "Akan kita bereskan. Lucu, ya?"
"Aku akan teriak ke seluruh dunia," kata Tuan Ryder. "Walaupun aku agak bingung tentang hal itu."
Tommy keluar dan membantu Tuan Ryder berdiri. Mereka berjalan masuk gang. Di sisi kiri mereka adalah deretan bagian belakang rumah-rumah yang sudah bobrok. Kebanyakan mempunyai pintu belakang yang menembus ke gang itu. Tuan Ryder berhenti di depan salah satu pintu-pintu tersebut.
"Dia masuk ke sini tadi," katanya. "Ya, pintu ini. Saya yakin sekali."
"Semua pintu kelihatan sama," kata Tommy. "Mengingatkan saya pada cerita Alibaba dan Empat Puluh Penyamun. Ingat nggak, ada yang mencoret pintu dengan kapur sebagai tanda? Kita kasih tanda juga pintu ini?"
Sambil tertawa dia mengeluarkan sebatang kapur putih dari sakunya dan mencoret bagian bawah pintu. Kemudian dia memandang bebe-
183
rapa bayangan samar di atas dinding gang itu. Salah satu bayangan itu mengeluarkan suara yang bisa membuat bulu kuduk berdiri.
"Banyak kucing," katanya gembira.
"Bagaimana sekarang?" tanya Tuan Ryder. "Kita masuk?"
"Ya—dengan hati-hati," kata Tommy.
Dia memandang ke arah kedua ujung gang itu, lalu pelan-pelan mencoba membuka pintu. Terbuka. Dia membuka pintu tersebut dan mengintip ke kegelapan.
Tanpa bersuara dia masuk. Tuan Ryder mengikutinya.
"Heh!" kata Tuan Ryder berbisik. "Ada orang datang di gang."
Dia keluar lagi. Tommy berdiri tak bergerak beberapa saat. Karena tak mendengar apa-apa dia pun mengambil sebuah senter dari sakunya, dan menyalakan tombol sebentar, lalu mematikannya. Terang yang cuma sekilas itu memberinya kesempatan untuk melihat suasana di sekitarnya. Dia melangkah ke depan dan membuka pintu di depannya. Ternyata tak dikunci. Pelan-pelan dia buka pintu itu dan masuk.
Setelah berdiri dan mendengarkan sesaat, dia menyalakan senternya lagi. Bagaikan memberi suatu sinyal, tiba-tiba saja dia dikepung orang. Dua orang berada di depan dan dua lainnya di belakang. Mereka menangkap dia.
"Lampu," kata sebuah suara.
Sebuah kompor pun dinyalakan. Di dalam
184
terang kompor itu Tommy melihat wajah-wajah yang tidak ramah. Matanya memperhatikan benda-benda di sekitarnya dan memperhatikan beberapa benda.
"Ah!" katanya dengan suara ringan. "Kantor pusat industri uang palsu kelihatannya."
'Tutup mulutmu," bentak salah seorang dari mereka.
Pintu di belakang Tommy terbuka, lalu tertutup lagi. Terdengar suara yang ramah dan dikenalnya dengan baik.
"Bagus. Sudah kalian tangkap rupanya. Tuan Sibuk, sekarang kami tahu bahwa kau adalah lawan kami."
"Ya," kata Tommy. "Menyenangkan, ya. Saya adalah laki-laki misterius dari Scotland Yard. Tuan Hank Ryder, ini benar-benar suatu kejutan."
"Aku rasa begitu. Aku sudah bersusah payah menekan rasa geli sepanjang sore—memancing kau kemari seperti anak kecil. Dan kau begitu gembira karena merasa diri cerdik. Dari permulaan juga aku sudah curiga. Kau tidak cocok dengan kelompok itu. Tapi aku membiarkanmu main-main sebentar. Dan ketika kau benar-benar curiga pada si cantik Marguerite, aku berkata pada diriku sendiri 'Sekaranglah waktunya Aku rasa kawan-kawanmu tak ada yang tahu tentang kau untuk beberapa waktu nanti."
"Mau- ngerjain aku? Ya, itu kata-kata yang tepat, aku rasa. Kau sudah melakukannya."Kau memang pemberani. Tidak, kami tak akan
185
melakukan kekerasan. Hanya membatasi gerakanmu saja."
"Aku rasa kau keliru. Aku bukanlah tipe orang yang bisa dibatasi seperti itu."
Tuan Ryder tersenyum ramah. Di luar seekor kucing mengeong sedih merayu bulan.
"Mengharap bantuan dengan tanda kapur silangmu di pintu, ya?" kata Tuan Ryder. "Aku tak akan melakukannya kalau aku jadi kau. Karena aku tahu cerita yang kausebut-sebut tadi. Pernah dengar waktu kecil. Aku tadi keluar untuk berperan menjadi anjing bermata sebesar roda kereta. Kalau kau keluar, kau akan melihat bahwa semua pintu punya tanda yang sama."
Tommy menundukkan kepalanya seperti orang yang putus asa.
"Merasa cukup pintar, ya?" kata Ryder. Begitu dia selesai berkata, terdengar suara ribut di pintu. "Apa itu?" katanya terkejut. Pada saat itu juga, bagian depan rumah itu diserbu polisi. Pintu di belakang rumah terbuka dengan mudah, dan Inspektur Marriot muncul.
"Bagus, Marriot," kata Tommy. "Dugaanmu betul. Aku ingin memperkenalkan Tuan Hank Ryder yang tahu banyak cerita-cerita kuno."
"Begini, Tuan Ryder," katanya lembut "Saya memang mencurigai Anda. Si Albert (anak laki-laki berkuping besar itu Albert) telah diperintahkan untuk membuntuti dengan sepeda motor kalau saya dan Anda pergi bersama-sama kapan
186
saja. Dan ketika saya mencoret pintu dengan kapur untuk menarik perhatian Anda, pada saat itu juga saya menuang habis botol kecil berisi valerian ke tanah. Baunya nggak enak. Tapi kucing-kucing menyukainya. Dan karena itu semua kucing di sekitar tempat ini berkumpul di depan pintu itu untuk menunjukkan pada Albert dan polisi ketika mereka datang."
Dia tersenyum memandang Tuan Ryder yang terlongong-longong, lalu berdiri.
"Aku sudah bilang bahwa aku akan menangkapmu, Crackler. Dan berhasil," katanya.
"Kau omong apa?" tanya Tuan Ryder. "Apa maksudmu—Crackler?"
"Kau bisa melihat artinya di kamus kriminologi yang akan terbit," kata Tommy, "atau kamus etimologi."
Dia memandang Tuan Ryder dengan gembira.
"Dan semua beres tanpa si Hidung Biru," gumamnya. "Selamat malam, Marriot Aku harus pergi sekarang. Akhir bagian cerita ini sudah menungguku. Tak ada hadiah yang lebih bagus daripada cinta seorang wanita yang baik untukku—dan hadiah itu sudah menungguku di rumah—aku harap begitu, kita kan tak bisa pasti akan sesuatu di zaman sekarang ini? Pekerjaan ini cukup berbahaya, Marriot. Kau tahu Kapten Jimmy Faulkener? Cara dia berdansa luar biasa. Dan selera koktilnya pun hebat Ya, Marriot. Tugas ini benar-benar berat."
187
15. Misteri Sunningdale
"Kau tahu kita akan makan siang di mana, Tuppence?"
Nyonya Beresford berpikir sejenak.
"Di Ritz?" katanya penuh harap.
"Pikir lagi."
"Restoran kecil menyenangkan di Soho itu?"
'Tidak," kata Tommy. Suaranya kedengaran serius. "Sebuah toko A.B.C. Yang ini."
Dia menarik istrinya masuk ke sebuah tempat dan membawanya ke sebuah meja marmer di sudut ruangan.
"Bagus," katanya dengan suara puas sambil duduk. "Bagus sekali."
"Kenapa kok seleramu jadi berubah sederhana seperti ini?" tanya Tuppence.
"Kau melihat, Watson, tapi tidak memperhatikan. Aku tak tahu apakah salah seorang gadis-gadis sombong itu mau melihat kita? Bagus. Dia kemari. Kelihatannya pikirannya tidak di sini. Tapi pikirannya pasti penuh dengan ham, telur, dan teh. Daging dan kentang untuk saya. Dan
188
kopi—cangkir besar, roti dan mentega—dan sepiring lidah untuk istri saya."
Pelayan itu mengulangi pesanan mereka dengan suara jengkel. Tiba-tiba" Tuppence membungkuk ke depan dan menyela,
'Tidak—jangan daging dan kentang. Kue keju dan segelas susu saja untuk suami saya."
"Sepotong kue keju dan segelas susu," kata pelayan wanita itu dengan suara bertambah jengkel. Dengan pikiran masih pada hal lainnya, dia pun beranjak dari situ.
"Itu namanya lancang," kata Tommy dingin.
'Tapi aku benar, kan? Kau mau jadi Laki-laki Tua di Sudut, kan? Mana talimu?"
Tommy mengeluarkan tali panjang dari sakunya dan membuat dua buah simpul.
"Sempurna sampai ke detil yang paling kecil," gumamnya.
'Tapi kau keliru memesan makananmu kata Tuppence.
"Wanita memang selalu apa adanya," kata Tommy. "Minuman yang paling kubenci itu susu. Dan kue keju tidak kelihatan menarik. Kuning dan menjijikkan."
"Sudanlah," kata Tuppence. "Kaulihat saja bagaimana aku menyerang lidah dinginku nanti. Hmh, lidah dingin. Rupanya aku sudah siap jadi Nona Polly Burton. Buat sebuah simpul besar dan mulai."
"Pertama-tama," kata Tommy. "Ini tidak resmi lho. Usaha kita tidak terlalu maju belakangan ini.
Kalau persoalan tidak datang pada kita, kitalah yang harus mencari persoalan. Kita tujukan perhatian pada misteri publik saat ini. Ini membuatku tertarik pada Misteri Sunningdale."
"Ah!" kata Tuppence dengan rasa tertarik. "MisteriSunningdale?"
Tommy mengeluarkan selembar kertas lecek dari sakunya dan meratakannya di meja.
"Itu foto terakhir Kapten Sessle di Daily Leader."
"Hm," kata Tuppence. "Kok nggak ada orang yang menuntut koran-koran itu. Yang kelihatan di sini adalah seorang laki-laki. Itu saja."
"Ketika aku mengatakan Misteri Sunningdale, yang kumaksud adalah yang disebut Misteri Sunningdale" kata Tommy dengan cepat. "Sebuah misteri bagi polisi, tapi bukan bagi mereka yang berotak encer.""Buat simpul lagi," kata Tuppence.
"Aku tak tahu berapa banyak yang masih kauingat," kata Tommy dengan tenang.
"Aku ingat semuanya," kata Tuppence, "tapi teruskan saja gayamu."
"Baru tiga minggu yang lalu," kata Tommy, "ada penemuan di lapangan golf terkenal itu. Dua anggota klub yang sedang main pagi-pagi, terkejut melihat mayat seorang lelaki tertelungkup di tee ketujuh. Sebelum mereka membalikkan mayat itu, mereka sudah dapat menebak bahwa korban adalah Kapten Sessle, orang yang cukup dikenal di kalangan mereka. Orang yang selalu memakai jaket golf berwarna biru manyala."
"Kapten Sessle sering kelihatan di situ pagi-pagi sekali untuk latihan. Perkiraan orang ialah dia meninggal karena tiba-tiba kena serangan jantung. Tapi pemeriksaan dokter menyatakan bahwa dia meninggal karena pembunuhan. Jantungnya ditusuk dengan sebuah jepit topi wanita. Pemeriksaan juga menyatakan bahwa dia telah meninggal sekurang-kurangnya 12 jam sebelumnya."
"Ini membuat ceritanya jadi lain. Tak lama kemudian beberapa fakta yang menarik muncul. Orang yang melihat Kapten Sessle terakhir kali sebelum meninggal adalah teman dan part-ner-nya, Tuan Hollaby dari Porcupine Assurance Co. Dia menceritakan pengalamannya begini.
"Sessle dan dia bermain lebih awal. Setelah minum teh, Sessle mengusulkan untuk main lagi sebelum hari gelap. Hollaby setuju. Sessle kelihatannya bersemangat dan main bagus. Di situ ada sebuah jalan setapak ke luar. Ketika mereka berada di green enam, Hollaby melihat seorang wanita datang melalui jalan itu. Wanita itu bertubuh tinggi dan berbaju coklat, tapi Hollaby tidak terlalu memperhatikannya. Dia pikir Sessle juga tidak tahu kedatangan wanita itu.
"Jalan setapak itu melewati tee tujuh," lanjut Tommy. "Wanita itu melewati jalanan itu dan berdiri saja di situ, seolah-olah menunggu. Kapten Sessle adalah orang pertama yang sampai di tee itu, sedangkan Hollaby mengganti pin di lubang. Ketika dia sampai ke tee tujuh, dia heran
191
190
melihat Sessle dan wanita itu bicara berdua. Ketika dia datang lebih dekat, mereka tiba-tiba berbalik terkejut. Sessle berseru, "Sebentar!"
"Keduanya berjalan dan bercakap-cakap dengan serius, jalan setapak itu keluar lapangan golf dan melewati dua sisi pagar tanaman suatu kebun, lalu keluar ke jalan besar ke Windlesham.
"Kapten Sessle menepati janji. Dia muncul kembali satu atau dua menit kemudian. Hollaby merasa lega ketika ada dua orang pemain lagi datang di belakang mereka. Hari menjadi gelap tak lama kemudian. Mereka masih terus bermain. Hollaby segera melihat bahwa ada sesuatu yang membuat kawan mainnya menjadi gelisah. Dia tidak hanya bermain buruk tetapi mukanya kelihatan kuaur dan dahinya berkerut. Dia tidak menjawab pertanyaan temannya dan permainannya semakin acak-acakan. Rupanya ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, hingga dia tidak bisa bermain dengan baik."Mereka bermain di hole ketujuh dan kedelapan. Kemudian Kapten Sessle berkata bahwa dia akan berhenti bermain"karena hari semakin gelap. Dia kemudian pulang. Di situ ada jalan setapak yang menuju ke jalan besar Windlesham. Kapten Sessle pulang melalui jalan pintas yang menuju rumahnya, yaitu sebuah bungalo kecil di jalan besar itu. Kedua orang pemain di belakang mereka muncul, yaitu Mayor Barnard dan Tuan Lecky. Hollaby bercerita pada mereka tentang perubahan emosi Kapten Sessle. Mereka juga
192
melihatnya bercakap-cakap dengan wanita berbaju coklat itu, tapi tidak cukup dekat untuk melihat siapa wanita tersebut. Dan ketiganya pun heran apa yang dikatakan wanita itu sehingga membuat kawan mereka gelisah seperti itu.
"Mereka kembali ke Club House bersama-sama dan sepanjang mereka tahu, merekalah orang-orang terakhir yang melihat Kapten Sessle dalam keadaan hidup. Hari itu hari Rabu. Dan setiap Rabu tiket kereta api ke London murah. Suami-istri yang menjaga rumah Kapten Sessle pergi ke London seperti biasa dan baru kembali dengan kereta yang terakhir. Mereka memasuki rumah seperti biasa dan mengira Kapten Sessle tidur di kamar. Nyonya. Sessle sendiri sedang keluar, mengunjungi seseorang.
"Pembunuhan Kapten itu merupakan teka-teki selama sembilan hari. Tak seorang pun dapat mengajukan kemungkinan motif yang mendasarinya. Identitas wanita jangkung berbaju coklat itu pun ramai dibicarakan—tapi tanpa hasil. Dan seperti biasa, polisi dipersalahkan karena kelambanan gerak mereka. Seminggu kemudian—seorang gadis bernama Doris Evans ditangkap dengan tuduhan membunuh Kapten Anthony Sessle.
"Polisi tak usah bersusah payah. Selembar rambut menyangkut di jari korban dan beberapa lembar benang wol berwarna terang tersangkut di kancing jaket birunya. Pemeriksaan yang cukup teliti di stasiun kereta api dan tempat-tempat lain memperkuat fakta-fakta ini.

193
"Seorang gadis muda yang memakai jaket dan rok berwarna manyala datang dengan kereta api sore jam tujuh hari itu. Dia menanyakan jalan ke rumah Kapten Sessle. Gadis itu muncul lagi di stasiun dua jam kemudian. Rambutnya berantakan dan topinya acak-acakan, dan dia kelihatan seperti gelisah. Dia menanyakan kereta yang ke London dan berkali-kali menoleh ke belakang, seolah-olah takut akan sesuatu.
"Dalam banyak hal polisi kita memang hebat. Dengan bukti seperti itu mereka berhasil melacak gadis itu dan menemukannya sebagai Doris Evans. Dia ditangkap dengan tuduhan membunuh dan diancam bahwa apa pun yang dia katakan akan dipakai sebagai alasan untuk memberatkan tuduhan. Tetapi dia berkeras dan tetap membuat suatu pernyataan yang dia ulangi lagi dalam persidangan- persidangan berikut.
"Ceritanya begini. Profesi gadis itu juru tik. Pada suatu malam dia berkenalan dengan seorang laki-laki di bioskop. Lelaki perlente itu kelihatannya tertarik padanya. Dia bilang namanya Anthony. Dan pria itu mengundangnya datang ke bungalonya di Sunningdale. Gadis itu tidak berpikir dan tak mengira bahwa pria itu sudah punya istri. Mereka membuat janji—gadis itu akan datang hari Rabu—hari di mana pelayan-pelayan dan istrinya tidak di Tumah. Akhirnya laki-laki itu memberitahu bahwa namanya adalah Anthony Sessle dan memberitahu alamat rumahnya.
194
"Gadis itu menepati janjinya datang ke bungalo pada hari itu dan disambut oleh Sessle yang baru keluar dari lapangan golf. Walaupun Sessle mengatakan bahwa dia gembira dengan kedatangannya, tapi tingkah lakunya menunjukkan bahwa dia sedang gelisah dan lain. Gadis itu menjadi takut dan menyesal dalam hati telah datang ke situ.
"Setelah makan hidangan yang telah disiapkan, Sessle mengajaknya jalan-jalan ke luar dan melewati jalan setapak menuju lapangan golf. Dan tiba-tiba, ketika mereka sedang melewati tee ketujuh, dia kelihatan berubah seperti orang gila. Dia mengambil pistol dan menembakkannya ke segala arah sambil berkata bahwa kesabarannya telah habis.
'"Semua harus pergi! Aku sudah habis-habisan. Dan kau akan pergi denganku. Aku akan menembakmu. Kemudian menembak diriku Mereka akan menemukan mayat kita berdekatan—mati bersama-sama/
'Dan banyak lagi yang dikatakannya. Dia mendekap Doris Evans dengan satu tangan dan ketika sadar bahwa dirinya berhadapan dengan orang gila, gadis itu meronta-ronta, berusaha melepaskan diri atau menjauhkan pistol darinya. Mereka bergulat dan ketika itu tentunya Sessle sempat mencengkeram rambut gadis itu dan kancingnya pun menyangkut di benang wol jaket gadis itu.
"Akhirnya, setelah berkelahi mati-matian,gadis itu pun berhasil melepaskan diri dan lari menye-
195
berangi lapangan golf dengan ketakutan karena membayangkan peluru pistol di belakangnya. Dia jatuh dua kali—menginjak bunga-bunga, tapi akhirnya sampai ke jalan besar yang menuju stasiun. Dia pun sadar bahwa dia tak dikejar.
"Itulah cerita Dorris Evans. Itu yang selalu diulang-ulangnya tanpa variasi apa pun. Dan dia menyangkal pernah melawan Sesle dengan jepitan topi pada waktu membela diri—walaupun ini merupakan hal yang bisa dimaklumi dalam kondisi seperti itu. Sebagai penguat cerita itu, sebuah pistol ditemukan di semak-semak dekat mayat Sessle menggeletak. Pistol itu belum dipakai.,Doris Evans telah dipanggil ke sidang berkali-kali, tapi misteri itu masih tetap merupakan misteri. Kalau cerita gadis itu bisa dipercaya, siapa yang membunuh Sessle? Wanita satunya? Wanita jangkung berbaju coklat yang membuatnya gelisah? Sejauh ini tak seorang pun bisa menjelaskan hubungannya dengan kasus itu. Wanita itu seolah-olah muncul begitu saja di jalan setapak itu—lalu lenyap di situ pula. Tak seorang pun pernah mendengar tentang dia. Siapa dia? Penduduk setempat? Tamu dari London? Apa dia datang dengan mobil atau kereta? Tak ada hal-hal yang luar biasa tentang dia, kecuali badannya yang tinggi. Tapi tak seorang pun bisa menjelaskan wajahnya. Dia pasti bukan Doris Evans yang kecil dan berkulit putih, dan lagi dia baru saja tiba di stasiun pada saat itu
196
"Istrinya?" tanya Tuppence. "Bagaimana istrinya?"
"Pertanyaan bagus. Tapi Nyonya Sessle bertubuh kecil, dan lagi Tuan Hollaby mengenalnya dengan baik. Dan kelihatannya dia memang pergi pada saat itu. Ada satu perkembangan lagi. Perusahaan Porcupine Assurance sedang dalam keadaan bangkrut dan akan dilikuidasi. Pembukuannya menunjukkan penggunaan dana yang tidak beres. Penyebab kata-kata yang meluncur dari mulut Sessle ke Doris Evans telah kelihatan. Tentunya dia menggelapkan uang dalam beberapa tahun terakhir itu. Baik Tuan Hollaby maupun anak laki lakinya tidak tahu apa yang terjadi. Mereka tiba-tiba saja bangkrut."
"Kasus itu begini. Kapten Sessle berada di bibir jurang kehancuran dan sadar, tak lama lagi pasti ketahuan. Bunuh diri merupakan jalan keluar yang mudah. Tapi cara dia meninggal tidak dapat didukung oleh teori itu. Siapa yang membunuh dia? Doris Evans? Atau wanita misterius berbaju coklat?"
Tommy diam, meneguk susunya, mengernyitkan muka dan menggigit kue kejunya dengan hati-hati.
197
16. Misteri Sunningdale (Lanjutan)
'Tentu saja," gumam Tommy, "aku segera bisa melihat di mana pokok persoalan kasus ini dan di mana polisi salah berbelok."
"Ya, teruskan," kata Tuppence ingin tahu.
Tommy menggelengkan kepala dengan sedih.
"Kalau saja aku tahu, Tuppence, pada suatu sisi, memang sangat mudah menjadi Lelaki Tua di Sudut. Tapi jalan keluarnya aku tak tahu. Siapa yang membunuh pengemis itu? Aku tak tahu."
Dia mengeluarkan beberapa guntingan koran lagi dari sakunya.
"Beberapa foto. Tuan Hollaby. Anak laki-lakinya. Nyonya Sessle. Doris Evans."
Tuppence mengambil yang terakhir dan memperhatikannya sejenak.
"Dia tidak membunuh Sessle," katanya. "Tidak dengan jepit topi."
"Kok begitu yakin?"
"Gampang. Rambutnya potongan pendek. Dan hanya satu dari dua puluh wanita memakai jepit topi sekarang ini—baik yang berambut panjang ataupun yang berambut pendek. Model topi
198
sekarang ini kencang, tinggal menariknya saja sudah pas. Tak perlu jepit topi lagi."
'Tapi masih ada kemungkinan dia punya satu, kan?"
"Ya, ampun, wanita tidak menyimpan jepit begitu sebagai benda warisan! Apa gunanya dia membawa-bawa jepit begitu ke Sunningdale?"
"Kalau begitu tentunya wanita yang satu lagi. Yang berbaju coklat"
"Kalau saja dia tidak tinggi. Dia bisa jadi istrinya. Aku selalu curiga pada istri yang tidak berada di tempat pada saat ada kejadian seperti itu, akan masuk akal kalau dia menemui suaminya dengan jepit topi."
"Kelihatannya aku harus hati-hati," kata Tommy.
Tapi Tuppence sedang berpikir serius dan menolak untuk bergurau.
"Bagaimana sih keadaan suami-istri Sessle?" tanyanya tiba-tiba. "Apa kata orang tentang mereka?"
"Sepengetahuanku, mereka adalah pasangan populer. Sessle dan istrinya saling mencintai. Itulah sebabnya urusan dengan gadis itu terasa aneh. Sulit membayangkan orang macam Sessle berbuat demikian. Dia bekas tentara. Punya uang cukup banyak, lalu pensiun dan memulai usaha asuransi itu. Orang tak akan mencurigainya mau berbuat seperti itu."
"Apakah memang sudah terbukti bahwa dia
199
yang melakukan kejahatan itu? Apa tidak mungkin yang dua itu yang menggelapkan uang?" "Hollaby? Katanya mereka bangkrut."
"OK Katanya! Barangkali mereka sudah menyimpannya di sebuah bank dengan nama lain. Aku tahu bahwa aku mengatakannya dengan keliru. Tapi kau pasti tahu apa maksudku. Bisa saja kan, mereka berspekulasi dengan uang itu untuk beberapa waktu. Dan Sessle tidak tahu. Lalu mereka kehilangan uang itu. Kematian Sessle seperti itu kan menguntungkan mereka."
Tommy mengetuk foto Tuan Hollaby tua dengan kukunya.
"Jadi kau menuduh orang terhormat ini sebagai pembunuh teman dan partner bisnisnya? Kau lupa bahwa dia berpisah dengan Sessle dan itu disaksikan oleh Barnard dan Lecky, dan mereka duduk-duduk di Dormy House. Di samping itu ada jepit topi itu."
"Jangan pedulikan jepit itu," kata Tuppence tak sabar.
"Kaupikir bahwa dengan jepit itu bisa ditunjukkan bahwa wanitalah pembunuhnya?" 'Tentu saja. Kau tak setuju?"
'Tidak. Laki-laki terkenal ketinggalan mode. Sulit menarik mereka dari ide yang telah melekat. Mereka mengasosiasikan jepit topi dan jepit rambut dengan wanita, dan menamakannya 'senjata wanita'. Barangkali hal itu benar pada zaman dulu. Tapi sekarang sudah ketinggalan zaman.
200
Aku sendiri tak punya jepit rambut ataupun jepit topi empat tahun belakangan."
"Kalau begitu kaupikir...?"
"Seorang laki-laki-lah yang membunuh Sessle. Jepit topi itu dipakai untuk mengelabui, seolah-olah wanitalah pembunuhnya."
"Aku rasa kau benar. Tuppence," kata Tommy perlahan. "Aneh juga—seolah-olah semuanya menjadi jelas kalau kau berbicara seperti itu."
Tuppence mengangguk.
"Semuanya harus masuk akal—kalau kau melihatnya dari sisi yang benar. Dan ingat apa yang dikatakan Marriot tentang pandangan seorang amatir—bahwa dia mengenal baik—ada kedekatan. Kita tahu tentang orang-orang dengan tipe seperti itu. Kapten Sessle dan istrinya. Kita tahu apa-apa yang mereka biasa lakukan. Dan kita masing-masing punya keahlian dalam bidang tertentu."
Tommy tersenyum.
"Maksudmu kau ahli dalam soal-soal yang biasa dimiliki orang-orang dengan rambut potongan pendek dan tahu dengan baik apa yang dirasakan dan dilakukan oleh istri-istri?"
"Semacam itulah."
"Bagaimana dengan aku? Pengetahuan spesial apa yang kumiliki? Apakah suami suka kencan dengan gadis? Begitu?"
'Tidak," kata Tuppence muram. "Kau tahu permainan golf—tahu hal-hal apa yang kira-kira
201
bisa membuat seorang .laki-laki kehilangan konsentrasi
"Pasti hal itu cukup serius untuk membuat Sessle bermain buruk. Handicap-nya cuma dua dan mereka bilang dari tee tujuh dan seterusnya dia main seperti anak-anak."
"Siapa yang bilang?"
"Barnard dan Lecky. Mereka main di belakangnya. Ingat?""Itu setelah dia menemui wanita itu—wanita jangkung berbaju coklat. Mereka melihat dia bicara dengan wanita itu, kan?"
"Ya—setidaknya begitulah...."
Tommy tiba-tiba berhenti. Tuppence memandangnya dengan heran. Dia memandang tali di depannya dengan pandarfgan yang aneh, seolah-olah melihat sesuatu yang lain.
'Tommy—ada apa?"
"Dia, Tuppence. Aku sedang bermain di hole keenam di Sunningdale. Sessle dan Hollaby main di green keenam di depanku. Hari mulai gelap tapi aku bisa melihat dengan jelas jaket Sessle yang berwarna biru manyala itu. Dan di jalan setapak di sebelah kiriku, seorang wanita datang. Dia tidak datang dari Lapangan Wanita—karena lapangan itu ada di kanan—kalau dia datang dari situ aku pasti bisa melihat dia di jalan setapak itu sebelumnya misalnya dari tee kelima."
Dia diam.
"Kau baru bilang bahwa aku punya bidang spesialisasi, Tuppence. Di belakang tee keenam
202
ada sebuah pondok kecil. Siapa pun bisa menunggu di situ sampai—saat yang tepat tiba. Mereka bisa mengubah diri di situ. Maksudku ah, ini bidang spesialisasimu—apakah sulit bagi seorang laki-laki untuk menyaru seperti wanita? Lalu berganti diri lagi sebagai laki- laki? Apa dia bisa memakai rok di atas celana?" -
'Tentu saja bisa. Wanita itu akan kelihatan agak gendut Itu saja. Misalnya saja rok coklat yang agak panjang, dengan sweater coklat yang biasa dipakai wanita maupun laki-laki, dan sebuah topi beludru dan rambut palsu di kiri kanan Itu saja yang diperlukan—tentu saja aku bicara tentang penampilan yang diperlukan supaya memberi kesan wanita dari jauh. Rasanya itu yang ingin kauketahui, kan? Lepas roknya, buka. topinya, dan pakai topi laki-laki yang bisa dibawa dengan mudah—nah, kau kembali jadi laki-laki."
"Dan waktu yang diperlukan untuk berganti?"
"Dari wanita ke laki-laki satu setengah menit, barangkali kurang sedikit Yang sebaliknya agak lama karena perlu waktu untuk mengatur rambut dan topi, dan roknya pun harus diatur."
"Itu tidak perlu kita hitung. Yang pertama tadi yang perlu. Aku bilang tadi aku' main di hole keenam Wanita berbaju coklat itu telah sampai di tee ketujuh sekarang. Dia menyeberang ke sana dan menunggu. Dengan jaket birunya Sessle mendatangi dia. Mereka berdiri bersama satu menit Kemudian mereka berjalan menyusuri jalan setapak, berbelok, dan menghilang di balik
203
pohon-pohonan. Hollaby ada di tee sendirian. Dua atau tiga menit berlalu. Aku di green sekarang. Laki-laki berjaket biru itu kembali dan bermain dengan acak-acakan. Hari bertambah gelap. Aku dan teman mainku melanjutkan permainan. Di depan kami ada Sessle yang memukul dan bermain jelek sekali. Di green kedelapan aku melihat dia pergi dan hilang di balik semak-semak. Apa yang menyebabkan dia bermain seperti orang lain?"
"Wanita berbaju coklat itu—atau laki-laki itu, kalau kaupikir dia seorang laki-laki."
'Tepat. Dan tempat mereka berdiri—tidak kelihatan oleh mereka yang datang kemudian— mereka tertutup semak-semak yang tebal. Kau bisa menyimpan sebuah mayat di situ tanpa ada yang tahu sampai pagi."
'Tommy! Kaupikir saat itu waktunya. Tapi orang pasti mendengar...""Mendengar apa? Dokter-dokter setuju bahwa kemauan itu terjadi seketika. Dan aku telah melihat orang terbunuh dengan begitu cepat waktu perang. Mereka biasanya tidak berteriak. Hanya mengeluh atau menarik napas panjang atau terbatuk. Sessle tiba di tee ketujuh. Dan wanita itu mendekatinya. Barangkali dia mengenali wanita palsu itu. Karena ingin tahu, dia mengikutinya saja dan terpancing ke tempat tersembunyi. Satu tusukan dengan jepit topi terjadi ketika mereka berjalan. Sessle jatuh—meninggal. Laki-laki yang satu menyeretnya ke semak-se-
204
mak, membuka jaket birunya dan melepaskan rok serta topi dan rambut palsunya. Dia memakai jaket biru Sessle dan topinya, dan kembali ke tee. Tiga memt cukup untuk melakukan itu semua. Orang-orang yang bermain di belakangnya tidak bisa melihat mukanya. Hanya jaket birunya saja yang mereka kenal. Mereka tak ragu-ragu bahwa dia adalah Sessle—tapi dia tidak memainkan permainan golf Sessle yang biasanya. Mereka semua bilang bahwa dia tidak bermain seperti bukan Sessle. Tentu saja. Dia memang bukan Sessle."
'Tapi..."
"Point kedua. Orang yang mengajak gadis itu ke Sunningdale adalah orang lain. Yang menemui Doris Evans di bioskop bukanlah Sessle. Dia adalah seorang laki-laki yang menamakan dirinya Sessle. Doris Evans ditangkap dua minggu kemudian. Gadis itu tak pernah melihat mayat itu. Seandainya dia melihat, dia pasti mengejutkan semua orang dengan mengatakan bahwa itu bukanlah laki-laki yang membawanya ke lapangan golf malam itu dan yang bicara tentang bunuh diri begitu seru. Plot ini memang direncanakan dengan hati-hati. Gadis itu diundang datang pada hari Rabu, ketika rumah Sessle sedang kosong. Kemudian jepit topi itu menunjukkan perbuatan seorang wanita. Pembunuh itu menjemput Doris, membawanya ke bungalo Sessle dan menjamu makan. Lalu dia membawa gadis itu ke lapangan golf. Setelah sampai, dia menembakkan pistolnya ke mana-mana untuk menakut-nakuti gadis itu.
205
Setelah gadis itu lari yang dia lakukan hanyalah menyeret mayat Sessle dan membiarkannya tergeletak di tee. Pistol itu dia lemparkan ke semak-semak. Lalu dia membungkus rok dan topinya dengan rapi dan—sekarang aku hanya menebak—barangkali dia berjalan ke Woking yang berjarak enam atau tujuh mil dari situ, lalu kembali ke kota."
Tunggu," kata Tuppence. "Ada satu hal yang belum kaujelaskan. Bagaimana dengan Hollaby?"
"Hollaby?"
"Ya. Memang orang-orang di belakangnya tidak bisa melihat dengan jelas apakah laki-laki itu Sessle atau bukan. Tapi orang yang sedang main golf bersamanya kan pasti tahu siapa kawan mainnya. Dia kan tidak bisa dihipnotis sedemikian rupa sehingga tidak bisa melihat muka kawan mainnya."
Tuppence, itulah persoalannya. Hollaby tentu saja tahu. Aku kan cuma melanjutkan teorimu— bahwa Hollaby dan anaknyalah yang sebenarnya menggelapkan uang itu. Pembunuh itu pasti orang yang tahu Sessle dengan baik—misalnya, dia tahu bahwa pembantu pembantunya selalu keluar rumah pada hari Rabu, dan bahwa istrinya pun sedang pergi. Dan juga pasti orang yang punya kunci rumah Sessle. Aku rasa Hollaby muda memenuhi semua persyaratan itu. Tinggi badan dan umurnya hampir sama dengan Sessle. Keduanya bersih, tak berjenggot. Barangkah Doris Evans melihat foto korban di beberapa koran.
206
Tapi kau sendiri melihat bagaimana keadaan foto itu, kan? Cuma kelihatan bahwa itu gambar seorang laki-laki."
"Apa gadis itu tak pernah melihatnya di sidang?"
"Si anak kan tak pernah muncul di ruang pengadilan. Untuk apa? Dia tak punya kesaksian atau bukti. Yang datang adalah Hollaby tua dengan alibinya yang kuat. Tak seorang pun punya pikiran untuk bertanya apa yang dilakukan Hollaby muda pada malam itu."
"Semua cocok," kata Tuppence. Dia diam sejenak, lalu bertanya, "Apa akan kaukatakan ini semua pada polisi?"
"Aku tak tahu apa mereka akan mau mendengarnya."
"Jangan kuaur, mereka akan mendengarnya," sebuah suara tiba-tiba terdengar di belakang mereka.
Tommy berputar dan menghadapi Inspektur Marriot. Inspektur itu duduk di meja dekat mereka. Di depannya ada sebutir telur mata sapi.
"Sering makan siang di sini," kata Inspektur Marriot. "Kami akan mendengar cerita Anda— sebenarnya saya sudah mendengarnya. Terus-terang kami memang belum puas dengan angka-angka Porcupine itu. Dan kami memang curiga dengan kedua Hollaby itu. Tapi tak ada hal-hal yang bisa kami selidiki. Mereka terlalu tajam. Lalu terjadi pembunuhan ini. Kecurigaan kami mejadi kabur. Untunglah ada Anda berdua. Kami
207
akan mempertemukan Doris Evans dengan Hollaby muda dan melihat apa gadis itu mengenalinya. Saya merasa dia akan mengenalinya. Ide Anda tentang jaket biru memang hebat. Saya akan membawa nama Blunf s Brilliant Detectives."
"Anda memang baik. Inspektur Marriot," kata Tuppence berterima kasih.
"Kami di Yard sangat menghargai Anda berdua," jawab Inspektur Marriot. "Anda pasti heran. Kalau boleh, saya ingin tanya apa arti tali itu?"
"Oh, ini bukan apa-apa," kata Tommy sambil memasukkannya ke dalam saku. "Kebiasaan buruk saja. Sedangkan kue keju dan susu itu—saya sedang berdiet. Nervous dyspepsia. Orang sibuk biasanya menderita penyakit itu."
"Ah!" kata si Detektif. "Saya pikir barangkali Anda baru membaca—ya, itu tak ada konsekuensinya."
Tapi mata Inspektur Marriot berkedip Jenaka.

208
17. Rumah Beracun
"Apa..." kata Tuppence dan tiba-tiba berhenti.
Dia baru saja masuk kamar pribadi Tuan Blunt dari ruang sebelah yang bertuliskan "Pegawai", dan heran melihat tuan besarnya sedang mengintip ke luar lewat lubang.
"Ssst," kata Tommy mengingatkan. "Kau tidak mendengar bel itu? Seorang gadis—cukup manis —kelihatannya manis sekali. Albert sedang mendongeng tentang kesibukanku bicara dengan Scotland Yard."
"Coba aku yang lihat," kata Tuppence.
Dengan agak segan Tommy bergeser. Tuppence menempelkan mata di lubang pengintip.
"Boleh juga," kata Tuppence. "Bajunya, mode terakhir."
"Dia cantik," kata Tommy. "Seperti gadis-gadis yang ditulis Mason—sangat simpatik dan cantik dan cerdas tanpa terlalu bawel. Aku rasa—ya. Aku pikir aku akan jadi Hanaud saja pagi ini."
"Hm, kalau toh ada detektif-detektif itu, maka karakter Hanaud adalah yang paling tidak cocok
209
buatmu. Kau bisa mengubah kepribadian begitu cepat? Kau bisa jadi pelawak, anak miskin, teman yang serius dan simpatik—semua dalam lima menit?"
"Aku tahu," kata Tommy sambil mengetukkan jari keras-keras di meja. "Aku adalah kapten kapal ini—kau jangan lupa, Tuppence. Aku akan menyuruh masuk gadis itu."
Dia menekan tombol di meja. Albert muncul mengantarkan tamunya.
Gadis itu berhenti di pintu, seolah ragu-ragu. Tommy mendekatinya.
"Silakan masuk, dan silakan duduk," kata Tommy ramah.
Tuppence tersedak, dan Tommy menoleh kepadanya dengan sikap yang sama sekali lain. Nada suaranya menakutkan.
"Ada yang akan Anda katakan, Nona Robinson? Ah! Saya rasa tidak."
Dia menghadapi gadis itu lagi. "Kita tak akan serius atau formal," katanya. "Ceritakan saja semua dan kita akan bicarakan jalan terbaik untuk membantu Anda."
"Anda baik sekali," kata gadis itu. "Maaf, apakah Anda orang asing?"
Tuppence tersedak lagi. Tommy melirik marah kepadanya.
'Tepatnya tidak," katanya agak kelabakan. 'Tapi beberapa tahun terakhir ini saya memang bekerja di luar negeri. Metode saya adalah metode Surete."
210
"Oh!" kata gadis itu kagum.
Gadis itu memang sangat menarik. Muda dan langsing. Rambut emasnya mengintip keluar dari topi beludrunya yang berwarna coklat. Matanya besar dan serius.
Dengan mudah orang bisa melihat bahwa dia gugup. Tangannya yang kecil itu saling meremas, dan dia mempermainkan penutup tas merahnya dengan membuka dan menutupnya berkali-kali.
"Pertama-tama, Tuan Blunt, saya ingin memberitahu bahwa nama saya adalah Lois Hargreaves. Saya tinggal di sebuah rumah kuno yang besar, bernama Thurnly Grange. Letaknya di pedalaman. Di dekat kami ada desa Thurnly. Desa itu kecil dan tak dikenal. Di sana orang biasa berburu di musim dingin dan'main tenis waktu musim panas. Dan saya tak pernah merasa kesepian di sana. Saya memang suka suasana pedesaan yang tenang.
"Saya cerita tentang hal ini supaya Anda ingat bahwa di desa seperti desa kami, segala sesuatu yang terjadi sangatlah penting. Kira-kira seminggu yang lalu saya menerima sekotak coklat yang dikirim lewat pos. Di dalamnya tidak ada pesan apa-apa dan tak ada nama pengirimnya. Saya sendiri kebetulan tidak begitu suka coklat. Tapi orang-orang lain di rumah suka. Kotak itu pun diedarkan. Akibatnya, orang-orang yang makan coklat itu menjadi sakit. Kami memanggil dokter. Setelah dia menanyai apa-apa saja yang kami makan, dia membawa sisa coklat itu untuk
211
dianalisa. Tuan Blunt, coklat-coklat itu mengandung arsenik! Tidak cukup kuat untuk membunuh orang, tapi cukup untuk membuat orang sakit."
"Luar biasa," kata Tommy.
"Dr: Burton sangat curiga dengan persoalan ini. Rupanya kejadian itu adalah kejadian ketiga yang terjadi di sekitar desa kami. Dalam setiap kasus, selalu sebuah rumah besar yang dijadikan sasaran. Dan semua penghuni menjadi sakit setelah makan coklat misterius. Kelihatannya seseorang dari daerah kami sedang mempraktekkan lelucon yang tidak lucu."
"Benar, Nona Hargreaves."
"Dr. Burton membawa persoalan itu pada para anggota Partai Sosialis—saya merasa heran dengan hal ini. Memang ada satu atau dua orang yang dicurigai di desa Thurnly, dan bisa jadi mereka yang melakukannya. Dr. Burton ingin agar saya menyerahkan hal ini pada polisi."
"Usul yang sangat masuk akal," kata Tommy. Tapi Anda belum melakukannya, Nona Hargreaves?"
"Belum," katanya mengaku. "Saya tidak suka tetek-bengek yang mengikutinya—publikasi, dan sebagainya, dan saya tahu bagaimana inspektur polisi daerah. Saya tak bisa membayangkan dia menemukan sesuatu! Saya sering membaca iklan Anda dan saya bilang pada Dr. Burton bahwa memanggil detektif swasta akan lebih baik."
"Hm."
212
"Anda menyebut-nyebut tentang kerahasiaan di dalam iklan. Apa itu berarti bahwa—bahwa— Anda tidak akan menyebarluaskan persoalan tanpa seizin saya?"
Tommy memandangnya dengan curiga, tetapi Tuppence-lah yang bersuara.
"Saya rasa," katanya tenang, "sebaiknya Nona Hargreaves menceritakan semuanya."
Tuppence memberi tekanan khusus pada kata-kata terakhir yang diucapkannya, dan wajah Lois Hargreaves pun memerah.
"Ya," kata Tommy dengan cepat. "Nona Robinson benar. Anda harus menceritakan semuanya."
"Anda tak akan..." dia ragu-ragu.
"Segala yang Anda ucapkan merupakan rahasia."
'Terima kasih. Saya tahu bahwa seharusnya saya berterus-terang pada Anda. Saya punya alasan untuk tidak menghubungi polisi. Tuan Blunt, kotak coklat itu dikirim oleh seseorang yang ada di rumah saya!"
"Bagaimana Anda tahu, Nona?"
"Sangat sederhana. Saya punya kebiasaan menggambar sebuah gambar kecil yang lucu— tiga ekor ikan bergandengan—kapan saja ada pensil di tangan saya. Sebuah paket kaus kaki sutera datang dari London beberapa waktu yang lalu. Ketika itu kami sedang duduk-duduk di meja makan. Tangan saya baru saja mencoret-coret sebuah gambar di koran. Dan tanpa berpikir apa-apa tangan saya mulai mencoretkan sebuah
213
gambar ikan di label paket itu sebelum talinya dipotong dan bungkusnya dibuka. Saya tak pernah memikirkan hal itu lagi. Tapi ketika saya memeriksa bungkus kertas coklat dari kotak coklat yang kami terima, saya melihat gambar konyol saya ada di atas sudut label yang asli itu."
Tommy menarik kursinya ke depan.
"Ini benar-benar serius. Memang hal ini menunjukkan bahwa pengirim coklat itu adalah seseorang dari rumah Anda. Tapi maaf, saya masih belum mengerti mengapa hal itu menyebabkan Anda tidak mau menghubungi polisi?"
Lois Hargreaves memandangnya dengan tajam.
"Akan saya beritahu. Tuan Blunt. Mungkin saya ingin agar cerita ini dibekukan."
Tommy menyandarkan diri dengan lega di kursinya.
"Dalam hal ini," katanya, "kami mengerti di mana posisi kami. Saya kira Anda tak berkeberatan menceritakan siapa yang Anda curigai?"
"Saya tidak mencurigai siapa-siapa. Tapi ada kemungkinan-kemungkinan."
"Benar. Sekarang coba Anda ceritakan isi rumah Anda pada kami."
"Pelayan-pelayan, kecuali pelayan rumah, adalah pelayan lama yang sudah bertahun-tahun ikut kami. Dan saya dibesarkan oleh bibi saya. Lady Raddyffe yang amat kaya. Suaminya mendapatkan suatu keuntungan besar. Dialah yang membeli Thurnly Grange. Dia meninggal dua tahun kemudian, dan setelah itu Lady Raddyffe minta
214
agar saya tinggal bersama dia di rumahnya. Saya adalah satu-satunya saudara yang masih hidup. Penghuni rumah lainnya adalah Dennis Raddyffe, kemenakan suaminya. Saya selalu menganggapnya saudara sepupu, walaupun sebenarnya itu tidak benar. Bibi Lucy selalu berkata secara terang-terangan bahwa dia bermaksud mewariskan kekayaannya kepada Dennis, dengan pengecualian sebagian kecil untuk saya. Uang itu adalah uang Raddyffe, katanya, dan seharusnya menjadi milik Raddyffe. Tetapi, ketika Dermis berumur dua puluh satu, Bibi bertengkar dengannya—mengenai utang yang dibuat Dennis. Ketika dia meninggal setahun kemudian, saya heran karena semuanya, diwariskan kepada saya. Saya mengerti bahwa Dennis amat kecewa dan saya merasa tidak enak padanya. Saya pasti rela memberikan padanya uang itu seandainya dia mau menerimanya, tapi rupanya hal seperti itu tak bisa dilakukan. Bagaimanapun, begitu saya berumur dua puluh satu tahun, saya langsung membuat surat wasiat untuk mewariskan semua uang itu kepadanya. Setidak-tidaknya itulah yang bisa saya perbuat. Jadi kalau saya celaka karena tertabrak mobil, dialah yang akan menerima warisan itu."
'Tepat," kata Tommy. "Dan kapan Anda berumur dua puluh satu?"
'Tiga minggu yang lalu."
"Ah!" kata Tommy. "Bisa Anda ceritakan tentang penghuni rumah lainnya?"
215
"Pelayan—atau yang lain?" "Keduanya."
"Pelayan-pelayan sudah cukup lama bersama kami. Ada Nyonya Kolloway tua, si juru masak, dan kemenakannya Rose. Lalu ada si tua Hannah bekas pelayan bibi yang sangat setia kepada saya. Pelayan rumah adalah Esther Quant, kelihatannya seperti seorang gadis pendiam yang manis. Yang lain adalah Nona Logan, teman Bibi Lucy yang menguruskan rumah untuk saya, dan Kapten Raddyffe—maksud saya Dennis, dan seorang gadis, Mary Chilcott, bekas teman akrab saya semasa sekolah dulu, yang tinggal bersama saya."
Tommy berpikir sejenak.
"Kelihatannya beres dan tak ada apa-apa, Nona Hargreaves," katanya kemudian. "Apakah Anda tak punya alasan khusus untuk mencurigai lebih dari satu orang? Anda kuatir kalau yang berbuat ternyata bukan—mm—salah seorang pelayan?"
'Tepat, Tuan Blunt. Saya benar-benar tidak tahu siapa yang telah menggunakah kertas coklat itu. Tulisannya dengan huruf cetak."
"Kelihatannya saya harus melihat sendiri," kata Tommy.
Gadis itu memandangnya dengan mata bertanya-tanya.
Tommy melanjutkan setelah berpikir sesaat.
"Saya usulkan agar Anda bersiap menerima kedatangan—sebut saja Tuan dan Nona Van Dusen —teman Amerika Anda. Apa Anda bisa mengatur hal itu tanpa menimbulkan prasangka?"
216
"Oh! Ya. Tak akan ada kesulitan sama sekali. Kapan Anda akan datang? Besok pagi atau lusa?"
"Sebaiknya besok. Kita tak boleh buang-buang waktu."
"Baiklah. Saya akan siapkan."
Gadis itu berdiri dan mengulurkan tangannya.
"Ingat, Nona Hargreaves, jangan ceritakan hal ini pada siapa pun—jangan ceritakan siapa kami sebenarnya."
"Apa pendapatmu, Tuppence?" kata Tommy ketika dia kembali dari mengantar tamunya.
"Aku tidak suka," kata Tuppence tegas. 'Terutama sekali fakta bahwa coklat itu mengandung arsenik yang cuma sedikit."
"Apa maksudmu?'
"Kau tak mengerti? Semua coklat yang diedar-<i kan di luar rumah itu cuma untuk mengelabui. Untuk memberi kesan adanya seorang maniak di daerah itu. Lalu, ketika gadis itu benar-benar kena racun, orang akan mengira perbuatan yang sama yang menyebabkannya. Tak seorang pun mengira bahwa coklat itu datang dari rumah itu sendiri."
"Ya, kau betul. Dan saat ini gadis itu cukup beruntung.
Kaupikir ini suatu plot yang sengaja dilakukan untuk menyerang gadis itu?"
"Aku rasa begitu. Aku pernah membaca tentang wasiat Lady Raddyffe. Dan gadis itu benar-benar mewarisi uang yang amat banyak "
"Ya. Dan umurnya genap dua puluh satu dan dia membuat wasiat tiga minggu yang lalu. Tidak
217
menyenangkan—bagi Dennis Raddyffe. Dennis akan mewarisi kekayaan dengan kematiannya."
Tuppence mengangguk.
"Dan yang lebih buruk lagi, gadis itu pun berpikir begitu! Itulah sebabnya dia tak mau memanggil polisi. Dia telah mencurigai Dermis. Tentunya dia jatuh cinta cukup dalam untuk bertindak seperti itu."
"Kalau demikian halnya," kata Tommy sambil merenung, "kenapa Dennis tidak menikahi dia saja? Lebih sederhana dan aman."
Tuppence memandangnya.
"Kau telah mengatakannya. Oh, aku harus siap jadi Nona Van Dusen."
"Kenapa melakukan tindak kriminal kalau ada jalan yang lebih baik?"
Tuppence berpikir sejenak.
"Aku tahu," katanya. "Dennis pasti telah menikahi seorang gadis bar ketika di Oxford. Ini pangkal perselisihan dengan bibinya. Semua jelas sekarang."
"Kalau begitu, kenapa tidak mengirim permen beracun saja pada gadis bar itu?" kata Tommy. "Lebih praktis, kan? Kurasa sebaiknya kau tidak meloncat pada konklusi semacam itu, Tuppence?"
"Itu bukan konklusi, tapi deduksi," kata Tuppence dengan berwibawa. "Ini adalah corrida-mu yang pertama, mon ami. Kalau kau sudah berada dua puluh menit di arena—"
Tommy melempar istrinya dengan bantalan kursi.

18. Rumah Beracun (Lanjutan)
Tuppence... Tuppence, cepat ke sini."
Saat itu sudah waktunya makan pagi. Tuppence cepat-cepat keluar dari kamar tidurnya dan lari ke ruang makan. Tommy sedang berjalan mondar-mandir dengan sebuah koran terbuka di . tangannya.
"Ada apa?"
Tommy mendekat, menyodorkan koran itu sambil menunjuk judul besar.
KASUS KERACUNAN MISTERIUS KEMATIAN AKIBAT SANDWICH ARA
Tuppence meneruskan membaca. Berita misterius tentang keracunan itu terjadi di Thurnly Grange. Korban keracunan adalah Nona Lois Hargreaves, pemilik rumah, dan pdayan rumah, Esther Quant. Kapten Raddyffe dan Nona Logan diberitakan dalam keadaan sakit. Penyebab keracunan itu diperkirakan dari pasta ara yang dipakai untuk mengolesi sandwich karena seorang
219
218
wanita lainnya. Nona Chilcott yang tidak makan roti itu, sehat-sehat saja.
"Kita harus segera ke sana," kata Tommy. "Gadis itu! Gadis yang sudah curiga itu! Goblok. Kenapa aku nggak ke sana saja kemarin?"
"Kalau kau ke sana kemarin," kata Tuppence, "barangkali kau juga ikut makan sandwich itu saat minum teh, lalu ikut mati. Sudahlah, kita ke sana sekarang. Di sini dikatakan bahwa Dennis Raddyffe juga dalam keadaan kritis."
"Barangkali pura-pura saja—buat mengelabui."
Mereka sampai di desa Thurnly yang kedi itu pada siang hari. Seorang wanita tua bermata merah membukakan pintu ketika" mereka sampai di Thurnly Grange.
"Begini," kata Tommy cepat, sebelum wanita itu sempat bicara "Saya bukan wartawan. Nona Hargreaves datang ke tempat saya kemarin dan minta agar saya datang kemari. Apa ada yang bisa saya temui?"
"Ada Dr. Burton kalau Anda mau bicara," kata wanita itu. "Atau Nona Chilcott. Dia yang mengatur segalanya."
Tapi Tommy sudah membuat keputusan.
"Dr. Burton," katanya berwibawa. "Saya ingin menemuinya sekarang juga kalau dia ada di sini."
Wanita itu membawa mereka ke dalam ruangan kecil. Lima menit kemudian pintu terbuka dan seorang lelaki tua bertubuh tinggi, berbahu melengkung, dan berwajah ramah tetapi cemas masuk.
220
"Dr. Burton?" kata Tommy. Dia mengeluarkan kartu namanya sebagai Tuan Blunt. "Nona Hargreaves ke tempat saya kemarin menceritakan tentang coklat beracun itu. Saya datang kemari dengan tujuan menyelidiki kasus itu atas permintaannya. Sayang terlambat."
Dokter itu memandangnya dengan penuh perhatian.
"Anda adalah Tuan Blunt sendiri?" "Ya, dan ini asisten saya, Nona Robinson." Dokter itu mengangguk hormat pada Tuppence.
"Dengan kondisi seperti ini rasanya tidak perlu bersikap tertutup. Tapi untuk episode coklat itu—saya yakin bahwa kematian ini diakibatkan oleh keracunan ptomaine yang hebat—yang sifatnya mematikan. Ada inflamasi gastro-intestinal dan haemorrhage. Saya sudah mengambil pasta itu untuk dianalisa."
"Anda curiga adanya keracunan arsenik?"
'Tidak. Racun itu—kalau toh yang digunakan adalah racun—merupakan sesuatu yang kuat dan cepat reaksinya. Kelihatannya seperti racun tumbuhan yang kuat"
"Hm, begitu. Saya ingin tanya, Dr.Burton, apakah Kapten Raddyffe menderita karena penyebab yang sama?"
Dokter itu memandangnya.
"Kapten Raddyffe saat ini tidak menderita apa-apa."
"Aha," kata Tommy. "Saya..."
221
"Dia meninggal jam lima pagi tadi." Tommy benar-benar terkejut. Dokter itu siap pergi.
"Dan korban satunya, Nona Logan?" tanya Tuppence.
"Saya rasa dia akan baik karena dia sejauh ini dapat bertahan. Kelihatannya racun itu tidak terlalu mempan pada wanita tua itu. Saya beri-tahu Anda hasil analisanya nanti. Sementara ini saya rasa Nona Chilcott dapat menjelaskan segala sesuatu yang ingin Anda ketahui."
Pada saat itu pintu terbuka dan seorang gadis masuk. Gadis itu bertubuh tinggi, berkulit kecok-latan, dan bermata biru yang amat tenang.
Dr. Burton memperkenalkan mereka.
"Saya gembira dengan kedatangan Anda, Tuan Blunt," kata Mary Chilcott. "Kejadian ini begitu menyedihkan. Apa ada sesuatu yang ingin Anda ketahui?"
"Pasta ara itu dari mana?"
"Pasta itu dari London. Kami sering menggunakannya. Tak seorang pun curiga bahwa pasta dalam botol itu beda dengan yang lain. Sebetulnya saya sendiri tidak suka bau ara itu. Karena itu saya tidak kena. Saya tidak mengerti bagaimana Dennis bisa kena, karena dia pergi pada waktu minum teh. Saya rasa dia mengambil sepotong sandwich ketika pulang."
Tommy merasa tangan Tuppence menekan lengannya perlahan.
"Jam berapa dia datang?" tanyanya.
222
"Saya tidak tahu. Tapi bisa saya tanyakan."
'Terima kasih. Nona Chilcott. Tidak perlu. Anda tidak keberatan kalau kami menanyai para pelayan?"
"Silakan. Anda bisa melakukan apa saja, Tuan Blunt. Saya benar-benar bingung. Apa Anda pikir—ada sesuatu yang tidak beres?"
Mata gadis itu benar-benar ingin tahu ketika menanyakan hal itu.
"Saya belum tahu sekarang ini. Mudah-mudahan nanti kita segera tahu."
"Ya. Saya rasa Dr. Burton pun akan menganalisa pasta itu."
Dia pamit ke luar dengan segera, lewat pintu yang membuka ke teras, lalu bicara dengan salah seorang tukang kebun.
"Kau bicara dengan para pelayan, Tuppence," kata Tommy. '"Aku akan ke dapur. Oh, ya. Nona Chilcott bilang dia merasa bingung, tapi dia tidak kelihatan bingung."
Tuppence hanya mengangguk setuju.
Suami-istri itu bertemu setengah jam kemudian.
"Sekarang kita bicarakan apa yang kita dapat," kata Tommy. "Sandwich itu keluar pada waktu minum teh sore, dan pelayan dalam memakannya satu potong. Karena itu flia ikut jadi korban. Koki yakin sekali bahwa Dennis Raddyffe belum kembali ketika waktu minum teh lewat. Pertanyaannya: bagaimana dia bisa keracunan?"
"Dia datang jam tujuh kurang seperempat,"
223
kata Tuppence. "Salah seorang pelayan melihatnya datang dari jendela. Dia minum koktil sebelum makan malam—di ruang perpustakaan. Koki baru saja mengangkat gelas itu waktu aku datang. Untunglah dia belum mencuci gelasnya. Setelah minum, Dennis mengeluh sakit."
"Bagus. Aku akan membawa gelas itu ke Burton. Ada lagi?"
"Aku rasa sebaiknya kaulihat Hannah, pelayan pribadi itu. Dia—dia aneh."
"Apa maksudmu?"
"Dia memandangku seperti orang sinting." "Coba kulihat."
Tuppence membawanya naik. Hannah punya ruang duduk sendiri. Pelayan itu duduk tegak di sebuah kursi yang tinggi. Di pangkuannya ada sebuah Alkitab yang terbuka. Dia tidak melihat pada tamunya ketika mereka masuk. Dia terus membaca dengan suara keras.
"Biarlah bara api panas menimpa kepala mereka, biarlah mereka dilempar ke dalam api yang panas sehingga tak bisa bangkit lagi."
"Boleh saya bicara sebentar?" tanya Tommy.
Hannah membuat gerakan tak sabar dengan tangannya."Bukan waktunya. Waktunya sudah dekat. Aku akan mengikuti musuhku dan menangkap mereka. Aku tak akan kembali lagi sebelum menghancurkan mereka. Begitulah yang telah ditulis. Kata-kata Tuhan
224
telah sampai padaku. Aku adalah cambuk Tuhan."
"Gila," gumam Tommy.
"Dia telah seperti itu cukup lama," bisik Tuppence.
Tommy mengambil buku yang tergeletak dan terbuka di atas meja. Dia membaca judulnya dan memasukkannya ke dalam sakunya.
Tiba-tiba wanita tua itu berdiri dan berpaling kepada mereka dengan muka mengancam.
"Keluar. Waktunya sudah tiba! Aku adalah cambuk Tuhan. Angin bertiup ke mana dia suka. Begitupun aku, menghancurkan. Orang yang tak beriman akan musnah Rumah ini rumah jahat— jahat! Berhati-hatilah dengan murka Tuhan."
Dia mendekati mereka dengan galak. Tommy mundur. Ketika menutup pintu, dia melihat wanita itu sudah mengambil Alkitab lagi.
"Apa dia selalu begitu?" gumamnya.
Dia mengeluarkan buku yang diambilnya dari meja tadi.
"Lihat, ini kan bacaan aneh untuk orang sederhana seperti dia."
Tuppence mengambil buku itu.
"Materia Medica" gumamnya. Dia memperhatikan sampurnya. "Edward Logan. Ini buku tua, Tommy. Apa kita bisa menemui Nona Logan? Dr. Burton bilang dia sudah baik."
"Apa kita perlu tanya Nona Chilcott?"
Tidak. Kita suruh saja seorang pelayan untuk memberitahu dia."
Sesaat kemudian mereka diberitahu bahwa Nona Logan bisa menerima mereka. Mereka dibawa ke sebuah kamar besar yang menghadap ke kebun luas. Di tempat tidur berbaring seorang wanita tua berambut putih. Wajahnya yang tua itu terlihat kesakitan.
"Saya sedang sakit," katanya lemah. "Dan saya tak bisa bicara banyak. Tapi Ellen bilang Anda detektif. Apa Lois datang pada Anda? Dia mengatakan begitu."
"Ya, Nona Logan. Kami tak ingin membuat Anda capek," kata Tommy. "Tapi barangkali Anda bisa menjawab beberapa pertanyaan. Si Hannah, pelayan itu, apa dia waras?"
Nona Logan memandang mereka dengan heran.
"Oh, ya—dia sangat religius, saleh—tak ada yang tidak beres dengannya."
Tommy mengulurkan buku yang diambilnya dari meja.
"Apa ini buku Anda?"
"Ya. Salah satu buku-buku ayah saya. Dia seorang dokter yang hebat. Seorang pionir di bidang serum therapeutics."
Suara wanita itu terdengar bangga.
"Ya," kata Tommy. "Rasanya saya pun pernah, dengar namanya," katanya berpura-pura. "Dan buku ini—apa Anda pinjamkan pada Hannah?"
"Pada Hannah?" Nona Logan duduk di tempat tidur dengan marah. 'Tentu saja tidak. Dia tak
226
akan mengerti satu kata pun dari buku ini. Buku ini sangat teknis."
"Ya, saya mengerti. Tapi saya menemukannya di kamar Hannah.""Kurang ajar," katanya. "Saya tak akan membiarkan pelayan-pelayan itu menyentuh barang-barang saya.""Di mana seharusnya tempat buku ini?"
"Di rak buku di ruang duduk saya—atau—sebentar, saya meminjamkannya pada Mary. Gadis itu sangat tertarik pada ramuan tumbuh-tumbuhan. Dia pernah membuat satu atau dua eksperimen di dapur kecil saya. Saya punya tempat masak sendiri dan biasanya saya membuat beberapa minuman atau makanan dengan cara kuno. Dan Lucy, Lady Raddyffe, sangat menyukai teh ramuan saya yang bisa menghilangkan masuk angin dan sakit kepala. Kasihan Lucy, dia sering sakit. Juga si Dennis. Ayah anak itu adalah sepupu saya."
Tommy menyela dongeng itu.
"Apa ada orang lain yang juga memakai dapur Anda itu? Kecuali Anda dan Nona Chilcott tentunya."
"Hannah membersihkan dapur itu. Dan biasanya dia memasak air di sana untuk membuat teh 9 Pagi"-
'Terima kasih, Nona Logan," kata Tommy. "Sementara ini cukup itu saja pertanyaan kami. Mudah-mudahan kami tidak membuat Anda lelah."
227
Dia meninggalkan kamar itu dan turun sambil mengernyitkan dahi.
"Ada sesuatu di rumah ini, Mr. Ricardo yang baik, yang aku tidak mengerti."
"Aku tidak suka rumah ini," kata Tuppence gemetar. "Kita jalan-jalan saja di luar sambil bicara."
Tommy setuju dan mereka pun pergi. Pertama-tama mereka tinggalkan gelas koktil itu di rumah dokter. Setelah itu mereka berjalan mengelilingi desa itu.
"Kondisinya memang memberi banyak peluang untuk berbuat jahat," kata Tommy. "Aku rasa ada orang yang menganggap bahwa aku tak peduli. Padahal tidak demikian. Aku merasa bahwa sebenarnya kita bisa mencegah kejadian itu."
"Kau jangan tolol," kata Tuppence. "Kita tidak menasihati Lois Hargreaves agar tidak melapor ke Scotland Yard. Dia bisa melakukan apa saja. Dan kalau dia tidak datang ke tempat kita, berarti dia tidak melakukan apa-apa."
"Dan akibatnya tetap sama. Ya, kau benar, Tuppence. Tidak wajar memang menyesali sesuatu yang memang tak terelakkan. Yang ingin kulakukan sekarang ialah berusaha sebaik-baiknya."
"Dan itu tidak mudah."
"Ya. Karena terlalu banyak kemungkinan. Dan semua kelihatan kacau-balau. Seandainya Dennis Raddyffe yang menaruh racun itu di sandwich.
228
Dia tahu dia kan pergi sore itu. Itu jadi mudah sekali."
"Ya," kata Tuppence. "Lalu kita bisa menyelidiki. Tapi dia meracuni diri sendiri—ini tidak klop. Kita tak boleh melupakan seseorang—Hannah."
"Hannah?"
"Orang bisa berbuat hal-hal yang aneh kalau mereka sedang kena religius mania."
"Dia memang agak aneh," kata Tommy. "Seharusnya kita juga menanyakannya pada Dr. Burton."
"Kelihatannya penyakit itu begitu tiba-tiba," kata Tuppence. "Itu kalau kita mendengar keterangan Nona Logan."
"Aku rasa penderita religius mania memang bisa begitu," kata Tommy. "Maksudku dia biasa menyanyikan hymne di tempat tidur dengan pintu terbuka selama bertahun-tahun. Tetapi tiba-tiba dia melewati batas dan menjadi ganas."
"Memang banyak bukti-bukti yang lebih memberatkan Hannah daripada yang lain," kata Tuppence sambil merenung, "tapi aku punya suatu ide..." Dia berhenti.
"Ya?" kata Tommy memberi dorongan.
"Ini bukan ide. Tapi cuma prasangka."
"Prasangka terhadap seseorang?"
Tuppence mengangguk.
'Tommy—apa kau suka Mary Chilcott?"
Tommy berpikir.
"Ya, aku rasa begitu. Dia seorang yang cekatan
229
"Ya, aku rasa begitu. Dia seorang yang cekatan dan efisien—barangkali sedikit berlebihan—tapi bisa dipercaya."
"Kaupikir tidak aneh kalau dia kelihatan biasa-biasa saja?"
"Hm, dari satu sudut tertentu justru itu merupakan hal yang baik untuknya. Maksudku, kalau memang dia melakukan sesuatu yang tidak baik, dia bisa berpura-pura sedih—agak mendramatisir situasilah."
"Aku rasa kau benar," kata Tuppence. "Dan lagi, kelihatannya tak ada motif yang membuatnya begitu. Aku tak melihat apa keuntungan yang bisa dia dapat dengan pembunuhan massal seperti ini."
"Aku rasa tak seorang pelayan pun terlibat, kan?"
"Aku rasa tidak. Mereka adalah orang-orang yang bisa di percaya. Si Esther Quant, pelayan rumah itu, seperti apa ya?"
"Maksudmu, kalau dia muda dan cantik, ada kemungkinan terlibat dalam persoalan ini?"
"Ya," kata Tuppence sambil menarik napas panjang. "Rasanya kok semua buntu."
"Aku rasa polisi akan membereskannya," kata Tommy. "Barangkali. Tapi aku lebih suka kalau kita yang membereskannya. Oh, ya, apa kau melihat bintik-bintik merah di lengan Nona Logan?"
'Tidak. Kenapa?"
"Kelihatannya seperti bekas suntikan hipoder-mik," kata Tuppence.
230
"Barangkali Dr. Burton memberinya suntikan hipodermik."
"Oh, bisa saja. Tapi tak sebanyak itu."
"Kecanduan kokain?" Tommy memberi ide.
"Aku berpikir begitu tadinya. Tapi matanya tidak apa-apa," kata Tuppence. "Dari mata kita bisa melihat orang yang terbiasa dengan kokain atau morfin. Kecuali itu dia bukan tipe wanita seperti itu."
"Sangat terhormat dan saleh," kata Tommy.
"Kacau," kata Tuppence. "Kita sudah bicara dan bicara tapi tak ada hasilnya. Jangan lupa mampir ke rumah dokter waktu kembali nanti."
Pintu rumah dokter itu dibukakan oleh seorang anak laki-laki jangkung berumur lima belasan
'Tuan Blunt?" tanyanya. "Ya, Pak Dokter sedang keluar, tapi ada surat yang dititipkan."
Dia memberikan surat itu dan Tommy merobek sampulnya.
"Tuan Blunt,
Penelitian menunjukkan bahwa racun yang digunakan adalah Ricin, toxalbumose sayur yang punya kekuatan tinggi. Informasi ini hanya untuk Anda saat ini."
Tommy menjatuhkan catatan itu. tapi cepat-cepat mengambilnya lagi."Ricin," gumamnya. "Kau pernah baca tentang
231
itu, Tuppence? Kau dulu cukup banyak tahu tentang hal-hal seperti itu."
"Ricin," kata Tuppence sambil berpikir. "Didapat dari minyak jarak aku rasa."
"Aku tak pernah menyentuh minyak jarak," kata Tommy. "Sekarang aku jadi siap untuk lebih hati-hati lagi."
"Minyaknya sih nggak apa-apa. Ricin didapat dari biji jarak. Kalau nggak salah aku melihat pohon jarak di kebun tadi—pohonnya besar dan daunnya berkilat."
"Maksudmu ada seseorang yang menyuling racun itu dari pohon di kebun? Apa Hannah bisa melakukan itu?"
Tuppence menggelengkan kepala.
"Rasanya tidak. Dia tak tahu apa-apa."
Tiba-tiba Tommy berseru,
"Buku itu. Apa masih di sakuku? Ya." Dia mengeluarkan buku tersebut dan membuka lembarannya dengan cepat. "Aku rasa ini. Ya, inilah halaman yang terbuka tadi pagi. Kau lihat, Tuppence? Ricin!"
Tuppence merebut buku itu dari tangannya.
"Kau mengerti? Aku tidak."
"Cukup jelas bagiku," kata Tuppence. Dia terus berjalan. Satu tangannya memegang buku dan satu lagi menggandeng lengan Tommy, sambil membaca. Akhirnya dia menutup buku itu. Mereka sampai di dekat rumah.
'Tommy, boleh kuambil alih persoalan ini?
232
Sekali ini saja. Aku banteng yang sudah berada di arena lebih dari dua puluh menit." Tommy mengangguk.
"Kau boleh jadi kapten kapal ini, Tuppence," katanya sedih. "Kita harus sampai ke akar-akarnya."
"Pertama-tama," kata Tuppence, "aku harus menanyakan satu pertanyaan pada Nona Logan "
Dia berlari ke atas. Tommy mengikutinya. Dia mengetuk pintu kamar wanita tua itu keras-keras dan masuk.
"Kaukah itu?" kata Nona Logan. "Kau terlalu muda dan cantik untuk menjadi detektif. Apa kau sudah menemukan sesuatu?"
"Ya," kata Tuppence. "Sudah."
Nona Logan memandangnya dengan mata bertanya.
"Saya tidak tahu apakah saya cantik," lanjut Tuppence'Tapi karena saya muda, saya pernah bekerja di suatu rumah sakit pada waktu perang. Saya tahu tentang serum therapeutics. Dan saya kebetulan tahu bahwa apabila Ricin disuntikkan dalam dosis-dosis rendah, maka akan terbentuklah imunisasi hipodermis dan anti ricin terjadi. Fakta itu menjadi dasar dari serum therapeutics. Dan Anda tahu hal itu, Nona Logan. Anda menyuntikkan ricin dosis rendah ke dalam tubuh Anda sendiri sehingga terbentuk imunisasi itu. Lalu Anda membiarkan diri Anda keracunan bersama yang lain. Anda pernah membantu ayah Anda dalam pekerjaan itu, Anda tahu tentang
233
Ricin dan bagaimana mendapatkannya dari biji jarak. Anda memilih waktu ketika'Dennis Raddyffe keluar, karena tidak baik baginya kena racun pada saat yang sama—dia bisa meninggal lebih dulu dari Lois Hargreaves. Tapi kalau gadis itu meninggal lebih dulu, Dennis akan mendapatkan warisan. Dan bila dia mati. Andalah yang mendapatkannya. Anda masih ingat bukan—Anda sendiri yang memberitahu kami bahwa ayah Dennis adalah sepupu Anda."
Wanita tua itu memandang Tuppence dengan mata jahat.
Tiba-tiba seseorang menghambur masuk dari kamar sebelah. Ternyata Hannah. Tangannya memegang sebuah obor yang menyala, yang di-acung-acungkannya.
"Kebenaran telah dikatakan. Dia benar-benar jahat. Aku melihat dia membaca buku itu, dan tersenyum sendiri. Dan aku tahu. Aku temukan buku itu dan halaman yang dibacanya—tapi aku tak mengerti. Tapi suara Tuhan bicara padaku. Wanita ini bend pada nyonyaku, almarhumah Nyonya Besar. Dia iri hati dan dengki. Dan dia bend pada Nona Lois yang manis. Tapi yang jahat akan binasa, api Tuhan akan membakarnya."
Sambil mengayun-ayunkan obor dia maju ke depan ke arah tempat tidur.
Wanita tua itu menjerit.
"Bawa dia keluar—bawa dia keluar. Semua benar—tapi bawa dia keluar." Tuppence mdoncat ke Hannah. Tapi wanita itu
234
telah berhasil menyulut kelambu tempat tidur itu sebelum Tuppence mengambil obor dari tangannya dan menginjaknya. Tommy berlari masuk. Dia menarik kelambu tempat tidur dan berhasil mematikan nyala api dengan karpet. Kemudian dia membantu Tuppence menenangkan Hannah. Pada saat itulah Dr. Burton datang tergopoh-gopoh.
Dengan penjelasan beberapa kata saja dia pun mengerti apa yang terjadi.
Dia cepat-cepat mendekati Nona Logan, mengangkat tangannya dan berteriak,
"Kejutan api itu terlalu berat untuknya. Dia meninggal. Barangkali baik juga dengan kondisi begini."
Dia diam lalu menambahkan, "Di gdas koktil itu juga ada Ricin."
"Barangkali ini yang terbaik," kata Tommy setelah mereka menyerahkan Hannah ke tangan dokter dan tinggal berduaan lagi.Tuppence, kau benar-benar hebat."
'Tak ada sentuhan Hanaud di sini," kata Tuppence.
"Terlalu serius untuk permainan akting. Aku masih sedih rasanya mengingat gadis itu. Aku tak akan mencurigainya. Tetapi kau—benar-benar luar biasa. Kau patut dapat bintang. Memang betul kata-kata mutiara tua itu. Sangat menguntungkan punya otak cemerlang, walaupun tampang tidak."
"Tommy, kau benar-benar kurang ajar."
235
19. Alibi yang Kuat
Tommy dan Tuppence sibuk mengecek surat-surat mereka. Tuppence berseru dan memberikan sepucuk surat pada Tommy. "Klien baru' katanya.
"Ha!" kata Tommy. "Apa yang kita simpulkan dari surat ini, Watson? Tak banyak, kecuali fakta bahwa Tuan—er—Montgomery Jones bukanlah orang yang bisa mengeja tulisan dengan baik. Itu menunjukkan bahwa pendidikannya amat mahal."
"Montgomery Jones?" tanya Tuppence. "Apa yang kuketahui tentang seorang Montgomery Jones? Oh ya, aku ingat. Aku rasa Janet St. Vincent pernah menyebutnya, ibunya adalah Lady Aileen Montgomery, pemarah dan angkuh. Dia menikah dengan seorang Jones yang amat kaya."
"Cerita lama yang itu-itu juga," kata Tommy. "Jam berapa Tuan M.J. ingin bertemu kita? Ah, sebelas tiga puluh."
Pada jam sebelas tiga puluh tepat seorang lelaki
236
muda bertubuh tinggi dan bermuka ramah masuk dan menemui Albert.
"Apakah saya bisa bertemu—er—Tuan—er— Blunt?"
"Anda punya janji, Tuan?" kata Albert.
"Saya tak tahu. Tapi rasanya ya. Maksud saya, saya menulis surat..."
"Siapa nama Tuan?"
"Montgomery Jones."
"Saya akan memberitahu Tuan Blunt."
Dia kembali tak lama kemudian.
'Silakan tunggu dulu, Tuan. Tuan Blunt sedang sibuk saat ini."
"Oh—er—ya—tentu saja," kata Tuan Montgomery Jones.
Setelah merasa cukup memberi kesan penting pada kliennya. Tommy memanggil Albert dengan belnya. Tuan Montgomery Jones pun dibawa masuk.
Tommy berdiri dan menjabat tangan tamunya dengan hangat, dan mempersilakannya duduk di sebuah kursi yang kosong.
'Tuan Montgomery, apa yang bisa kami lakukan untuk Anda?"
Tuan Montgomery memandang ragu-ragu kepada orang ketiga di ruang itu.
"Sekretaris pribadi saya yang terpercaya, Nona Robinson," kata Tommy. "Anda bisa bicara dengan bebas di depannya. Apa ini merupakan persoalan keluarga yang cukup peka?""Hm—tidak juga," kata Montgomery Jones.
237
"Wah, apa ya kalau begitu?" kata Tommy. 'Tak ada kesulitan yang serius, saya harap."
"Oh, tidak," kata Tuan Montgomery Jones.
"Kalau begitu Anda dapat memberikan fakta-fakta dengan jelas."
Tapi kelihatannya justru itulah yang tidak dapat dilakukan Tuan Montgomery Jones.
"Ini—hal yang saya minta tolong pada Anda ini memang aneh," katanya ragu-ragu. "Saya—er— saya tak tahu bagaimana menceritakannya."
"Kami tak melayani kasus perceraian," kata Tommy.
"Oh, Tuhan, bukan. Bukan itu," kata Tuan Montgomery Jones.. "Ini merupakan lelucon konyol. Itu saja."
"Ada orang yang mempermainkan Anda secara misterius?" tanya Tommy.
Tapi sekali lagi Tuan Montgomery Jones menggelengkan kepalanya.
"Baiklah," kata Tommy. "Silakan berpikir dulu. Kami tunggu cerita Anda."
Mereka diam.
"Begini," kata Tuan Montgomery Jones akhirnya, "kejadiannya waktu saya makan malam. Saya duduk dekat seorang gadis."
"Lalu?" kata Tommy.
"Dia—ah—saya tak bisa menjelaskannya. Dia adalah salah seorang gadis paling menarik yang pernah saya temui. Dia seorang gadis Australia yang tinggal di sini dan menyewa flat bersama seorang temannya di Clarges Street. Dia benar-
238
benar memikat. Saya tak bisa menceritakan pada Anda pengaruhnya pada diri saya."
"Kami bisa mengerti hal itu. Tuan Jones," kata Tuppence.
Dia mengerti dengan baik bahwa apabila dia ingin tahu persoalan Tuan Jones, maka dia perlu memberi sentuhan feminin, bukan metode resmi seperti yang dipraktekkan Mr. Blunt.
"Kami bisa mengerti," kata Tuppence memberi dorongan.
"Semua ini membuat saya bingung," kata Tuan Jones. "Seorang gadis bisa membuat orang kela-bakan. Sebelumnya ada seorang gadis lain—bukan, dua orang. Yang satu memang lincah, tapi saya kurang menyukai dagunya. Dia pintar dansa dan saya sudah lama kenal dia sehingga saya selalu merasa aman di dekatnya Lalu ada seorang gadis di'Frivolity'. Dia sangat menyenangkan, tapi pasti banyak suara-suara protes kalau saya menanggapinya. Kecuali itu saya memang tidak bermaksud merukah dengan gadis itu. Tapi pada waktu saya berpikir tentang hal itu—tiba-tiba saja—tahu-tahu saya duduk di sebelah gadis itu dan..."
"Segalanya pun berubah," kata Tuppence penuh perasaan.
Tommy bergeser dari tempat duduknya dengan tidak sabar. Dia merasa bosan dengan dongeng cinta Tuan Montgomery Jones.
"Memang seperti itulah. Hanya saja saya merasa bahwa gadis itu tidak terlalu kagum pada saya.
239
Anda mungkin tidak berpikir begitu, tapi sebenarnya saya bukan orang yang pandai."
"Ah, Anda memang suka merendah," kata Tuppence.
"Saya tahu bahwa saya bukan orang cerdas," kata Tuan Jones dengan senyum menawan. "Bukan untuk gadis secerdas dia. Karena itulah saya merasa bahwa saya harus bisa membereskan persoalan ini. Ini adalah satu-satunya kesempatan. Gadis itu sportif sekali dan dia akan melakukan apa yang dikatakannya."
"Ya, tentu saja kami ingin Anda berhasil dalam hal ini," kata Tuppence. 'Tapi kami tak mengerti apa yang perlu kami bantu."
"Ya, Tuhan. Apa saya belum menjelaskannya?" seru Tuan Montgomery Jones.
"Belum," kata Tommy.
"Begini," katanya. "Kami bicara tentang cerita-cerita detektif. Una—nama gadis itu—dan saya, sangat suka cerita detektif. Kami akhirnya bicara tentang alibi dan alibi palsu. Lalu saya bilang— oh, bukan, dia bilang—oh, siapa ya yang bicara?"
'Tak apa, itu tak penting," kata Tuppence.
"Saya katakan bahwa alibi palsu itu sulit. Dia tak setuju—dia bilang hal begitu hanya memerlukan sedikit otak logis. Kami serius tentang hal itu dan akhirnya dia membuat suatu tawaran, 'Apa yang mau kaupertaruhkan kalau aku bisa membuat alibi yang tak tergoyahkan? katanya."
"Saya bilang apa pun boleh, dan kami pun mengatur ini dan itu. Dia begitu yakin dengan
240
alibinya. Dan saya katakan jangan terlalu gegabah. Bagaimana kalau saya menang dan meminta sesuatu yang saya mau? Dia tertawa dan bilang bahwa dia berasal dan keluarga yang suka bertaruh. Dia setuju."
"Jadi?" kata Tuppence ketika Tuan Jones berhenti bicara dan memandangnya dengan sikap minta diperhatikan.
"Anda tidak mengerti? Artinya terserah pada saya. Ini adalah satu-satunya kesempatan bagi saya untuk mendapatkan respek dari gadis seperti dia. Dia benar-benar seorang pemberani. Musim panas yang lalu dia keluar berperahu dan ada seorang yang bertaruh bahwa dia pasti tak akan berani meloncat dari perahu itu dan berenang kembali ke pantai dengan pakaian biasa. Tapi dia melakukannya."
"Ini suatu hal yang aneh," kata Tommy. "Rasanya saya masih belum mengerti."
"Sebenarnya sederhana sekali," kata Tuan Montgomery Jones. "Anda tentunya sering melakukan hal itu. Menyelidiki alibi palsu dan mencari di mana kuncinya."
"Oli—er—ya," kata Tommy. "Kami memang melakukan pekerjaan semacam itu."
"Saya perlu bantuan pihak lain untuk memecahkan persoalan semacam itu," kata Montgomery Jones. "Saya sendiri tidak terlalu bisa menangani hal seperti itu. Yang perlu Anda lakukan hanya menangkap gadis itu. Mungkin hal ini kedengarannya seperti soal sepele bagi
Anda. Tapi bagi saya sangat berarti, dan saya bersedia membayar—berapa pun."
'Tidak apa-apa," kata Tuppence. "Saya yakin bahwa Tuan Blunt akan menerima tugas ini."
'Tentu, tentu saja," kata Tommy. "Ini merupakan kasus yang menarik. Amat menarik."
Tuan Montgomery Jones menarik napas lega dan menarik setumpuk kertas dari sakunya, lalu memilih selembar. "Ini dia," katanya. "Gadis itu berkata Aku mengirim bukti bahwa aku berada di dua tempat yang berbeda pada saat yang sama. Menurut sebuah cerita aku makan sore di Bon Temps Restaurant di Soho sendirian, lalu pergi ke Duke's Theatre dan makan malam dengan seorang teman, Tuan le Marchant, di Savoy—tapi pada saat yang sama, aku juga menginap di Castle Hotel, Torquay, dan kembali ke London besok paginya. Kau harus bisa menemukan cerita yang mana yang benar dan bagaimana aku melakukan cerita yang lainnya.'"
"Nah," kata Tuan Montgomery Jones. "Anda tahu apa yang saya perlukan, bukan?"
"Persoalan kecil yang menarik," kata Tominy. "Sangat naif."
"Ini foto Una," kata Tuan Montgomery Jones. "Anda pasti memerlukannya."
"Siapa nama lengkapnya?" tanya Tommy.
"Nona Una Drake. Alamatnya di Clarges Street 180."
'Terima kasih," kata Tommy. "Kami akan segera menyelesaikan soal ini bagi Anda, Tuan
242
Jones. Mudah-mudahan kami bisa memberikan kabar baik pada Anda dalam waktu singkat."
'Terima kasih. Terima kasih sekali," kata Tuan Jones sambil berdiri dan menjabat tangan Tommy. "Saya merasa ringan sekarang."
Setelah mengantar tamunya keluar, Tommy kembali lagi. Tuppence ada di dekat lemari yang berisi buku-buku klasik.
"Inspektur French," kata Tuppence.
"Eh?" kata Tommy.
"Inspektur French," kata Tuppence. "Dia selalu menangani alibi. Aku tahu prosedurnya. Kita harus mengecek semuanya. Pertama-tama kelihatannya biasa-biasa saja. Tapi setelah kita mengecek lebih jauh, kita akan menemukan kesalahannya."
'Tentunya tidak akan ada banyak kesulitan," kata Tommy. "Maksudku, karena kita sudah tahu bahwa satu cerita sebenarnya tidak benar. Itu yang membuatku kuatir."
"Rasanya tak ada yang perlu dikuabrkan
"Aku kuatir dengan gadis itu. Barangkali dia akan terpaksa mau menikah dengan laki-laki itu, senang atau tidak senang."
"Sayangku," kata Tuppence. "Jangan bodoh. Wanita bukanlah makhluk yang gemar bertaruh liar seperti itu. Gadis itu pasti tidak akan begitu saja mempertaruhkan kebebasannya untuk menikahi seorang laki-laki seperti dia kalau dia memang tidak siap. Tapi percayalah—gadis itu akan menikahi laki-laki itu dengan respek yang
243
lebih tinggi apabila dia tidak membiarkan dirinya dinikahi dengan jalan mudah."
"Kau selalu menganggap kau ini tahu segalanya," kata Tommy.
"Memang," kata Tupppence.
"Sekarang kita periksa datanya," kata Tommy sambil menarik tumpukan kertas-kertas itu. "Hm," katanya, "gadis yang amat manis. Dan foto ini begitu tajam. Mudah dikenali."
"Kita harus punya foto beberapa gadis lain," kata Tuppence.
"Mengapa?"
"Biasanya begitu," kata Tuppence. "Kita tunjukkan empat atau lima buah foto pada pelayan, dan dia akan memilih sebuah foto yang benar."
"Apa mereka selalu begitu—maksudku, memilih yang benar?" tanya Tommy.
"Mereka biasanya begitu—di buku," kata Tuppence.
"Sayang sekali hidup yang nyata berbeda dengan fiksi," kata Tommy. "Coba lihat, apa ini? Ya, ini memang London. Makan sore di Bon Temps jam tujuh tiga puluh. Pergi ke Duke's Theatre dan melihat Delphiniums Blue. Sobekan karcis bioskop itu ada di sini. Makan malam di Savoy dengan Tuan le Marchant. Aku rasa kita bisa menanyai Tuan le Marchant." r
"Itu tidak membuktikan apa-apa," kata Tuppence. "Karena kalau dia bersekongkol dengan gadis itu dia tinggal menganggukkan kepala. Lupakan saja apa yang bisa dikatakannya."
244
"Dan ini cerita Torquay," lanjut Tommy. "Kereta jam dua belas dari Paddington, makan siang di gerbong makan, ada bon makannya. Menginap di Castle Hotel semalam. Ada bukti pembayarannya."
"Aku rasa ini agak lemah," kata Tuppence. "Siapa pun bisa membeli karcis bioskop tanpa harus menonton. Kepergian gadis itu ke Torquay dan London hanya cerita bohong saja."
"Kalau begitu gampang," kata Tommy. 'Tapi aku rasa baik juga kalau kita menanyai Tuan le Marchant."
Tuan le Marchant ternyata seorang pemuda yang ramah dan terus terang. Dia tidak heran melihat kedatangan mereka.
"Una punya permainan baru, ya?" tanyanya. "Anak itu selalu punya permainan baru."
"Benarkah bahwa Nona Drake makan malam dengan Anda di Savoy hari Selasa malam?"
"Ya, betul," kata Tuan le Marchant. "Saya memang ingat karena Una menyuruh saya mengingatnya—bahkan meminta agar saya menuliskannya di buku."
Dengan bangga dia menunjukkan catatan kecil: "Makan malam dengan Una. Savoy. Selasa, tanggal 19."
"Apakah Anda tahu di mana Nona Drake sebelum makan malam dengan Anda?"
"Dia melihat bioskop sebuah film jelek, kalau nggak salah judulnya Pink Peonies."
245
"Anda yakin bahwa Nona Drake bersama Anda malam itu?"
Tuan le Marchant memandang Tommy.
'Tentu saja. Saya kan sudah cerita tadi?"
"Barangkali dia minta agar Anda bercerita begitu kepada kami," kata Tuppence menjelaskan.
"Dia memang mengatakan sesuatu yang aneh. Dia bilang—apa ya katanya? 'Kaupikir kau duduk di sini sedang makan malam denganku, Jimmy? Tapi sebenarnya aku sedang makan malam di Devonshire, dua ratus mil jauhnya dari sini' Itu aneh kan? Seperti ilmu sihir saja. Anehnya, seorang teman saya yang bernama Dicky Rice melihat dia di sana."
"Siapa Tuan Rice itu?"
"Oh, seorang teman. Dia tinggal di Torquay dengan bibinya yang sudah tua tapi belum mau mati juga. Dicky jadi kemenakan yang berbakti pada si tua itu. Dia bilang 'Aku lihat gadis Australia itu—Una siapa. Aku ingin ngobrol dengan dia tapi Bibi menarikku dan saya pun mengobrol dengan si Pus tua di kursi mandi.' Saya bertanya, 'Kapan kau lihat dia?' Dan dia bilang. 'Oh, Selasa sore. Kira-kira waktu minum teh Tentu saja saya bilang dia salah lihat. Tapi itu kan aneh? Karena Una bilang dia ada di Devonshire malam itu."
"Sangat aneh," kata Tommy. "Barangkali Anda ingat. Tuan le Marchant, seorang teman atau kenalan yang kebetulan duduk dekat Anda pada waktu makan malam itu?"
246
"Ada kenalan yang bernama Oglander duduk di meja sebelah."
"Mereka kenal Nona Drake?"
"Oh, ya. Walaupun bukan teman dekat."
"Baiklah, kalau tak ada lagi yang ingin Anda ceritakan pada kami, kami ingin pamit."
"Pemuda itu—kalau bukan seorang pembohong besar ya memang dia mengatakan yang sebenarnya," kata Tommy ketika mereka sampai di jalan.
"Ya," kata Tuppence. "Pendirianku berubah. Aku merasa bahwa Una Drake berada di Savoy malam itu."
"Kita ke Bon Temps sekarang," kata Tommy. "Rasanya perlu sedikit ekstra tip untuk beberapa orang. Kita cari foto beberapa gadis dulu."
Hal itu ternyata tidak mudah. Mereka mendatangi seorang tukang foto dan memilih beberapa foto untuk diambil. Tapi permintaan mereka ditolak.
"Kenapa sih soal yang gampang dan sederhana di buku menjadi sulit dalam kenyataan?" kata Tuppence mengomel. "Mereka begitu curiga. Dikiranya kita ini mau berbuat apa sih? Sebaiknya kita gedor saja apartemen Jane."
Jane, teman Tuppence, ternyata seorang yang pemurah. Dia membiarkan Tuppence mengobrak-abrik laci yang penuh dengan foto-foto temannya.
Dengan berbekal beberapa lembar foto gadis cantik, mereka melangkah ke Bon Temps di mana kesulitan-kesulitan baru dan biaya yang lebih
247
besar menunggu. Tommy terpaksa menangkapi pelayan satu demi satu, mengeluarkan tip, dan menunjukkan foto-foto cantik itu. Hasilnya tidak memuaskan. Setidaknya tiga buah foto ditunjuk sebagai orang yang pernah makan di situ pada Selasa malam yang lalu. Mereka kemudian kembali ke kantor.Tuppence membenamkan diri dalam buku ABC.
"Paddington jam dua belas. Torquay tiga tiga puluh lima. Itu keretanya. Dan teman le Marchant, Tuan Sagu, atau Tapioka, atau siapa, melihatnya pada waktu minum teh."
"Kita belum mengecek kata-katanya, lho," kata Tommy. "Kau pernah bilang, kalau le Marchant bersekongkol dengan Una, dia bisa saja mengarang cerita itu."
"Oke. Kalau begitu kita kejar Tuan Rice," kata Tuppence. "Rasanya le Marchant bicara benar. Tidak. Yang aku inginkan sekarang ini. Una Drake pergi ke London dengan kereta jam dua belas. Barangkali dia pesan kamar di hotel dan menginap. Lalu barangkali dia kembali ke London dengan kereta untuk ke Savoy. Ada satu kereta yang berangkat jam empat empat puluh. Sampai di Paddington jam sembilan lewat sepuluh."
"Lalu?" kata Tommy.
"Lalu," kata Tuppence sambil mengernyitkan dahi. 'Tambah sulit saja. Ada kereta jam dua belas dari Paddington. Tapi dia pasti tidak pergi dengan kereta itu. Terlalu cepat."
248
"Mobil yang kencang," kata Tommy.
"Hm," kata Tuppence. "Jaraknya dua ratus mil."
"Orang bilang, orang Australia suka ngebut seenaknya," kata Tommy.
"Oke. Kalau begitu dia sampai kira-kira jam tujuh," kata Tuppence.
"Kaupikir dia bisa diam-diam masuk hotel tanpa ada yang melihat? Atau dia bisa bilang bahwa dia tidak di hotel semalaman dan sekarang mau membayar?"
'Tommy," kata Tuppence, "kita/ memang bodoh. Dia tidak perlu ke Torquay. Dia bisa menyuruh seorang temannya ke hotel, mengambil tasnya dan membayar rekening hotel untuknya. Dan dia akan menerima tanda terima pembayaran dengan tanggal yang sesuai."
"Aku rasa hipotesa kita cukup bagus," kata Tommy. "Yang perlu kita lakukan ialah pergi ke Torquay dengan kereta jam dua belas besok, untuk membuktikan ide cemerlang ini."
Dengan bekal sederet foto, keesokan harinya Tommy dan Tuppence berangkat dengan kereta kelas satu. Mereka memesan tempat untuk makan siang kedua di kereta.
"Barangkali pelayan kereta makannya lain," kata Tommy. "Itu harapan yang terlalu tinggi. Aku rasa kita nanti akan perlu bolak-balik ke Torquay selama beberapa hari sebelum menemukan pelayan yang benar."
"Urusan alibi ini benar-benar melelahkan," kata Tuppence. "Di buku, urusan begini selesai dalam
249
dua atau tiga alinea. Inspektur Anu naik kereta ke Torquay dan menanyai pelayan kereta makan. Lalu ceritanya selesai."
Tetapi kali ini nasib baik berada di pihak mereka. Ternyata pelayan yang membawa bon makan mereka adalah pelayan yang bertugas pada hari Selasa itu. Yang disebut Tommy sebagai "Sentuhan sepuluh shilling bekerja begitu cepat", dan Tuppence pun mengeluarkan deretan fotonya.
"Aku ingin tahu," kata Tommy, "apakah salah seorang dari gadis-gadis ini makan siang di kereta ini hari Selasa yang lalu
Dengan sikap yang amat sopan, pelayan itu menunjuk foto Una Drake.
"Ya, Tuan. Saya ingat gadis itu, dan saya ingat hari itu hari Selasa karena dia berkata bahwa hari Selasa adalah hari keberuntungannya."
"Bagus," kata Tuppence setelah mereka kembali ke kompartemen mereka. "Barangkali kita juga akan menemukan bahwa dia memang tinggal di hotel itu. Akan lebih sulit membuktikan bahwa dia kembali lagi ke London. Tapi barangkali salah seorang kuli stasiun ingat."
Tetapi di stasiun mereka tidak mendapat keterangan apa pun. Tommy menanyai tukang karcis dan beberapa kuli. Setelah menerima tip, dua orang kuli dengan agak ragu-ragu menunjuk sebuah foto lain dan mengatakan bahwa kalau tidak salah seseorang seperti gadis itu pergi
250
dengan kereta ke London jam empat empat puluh sore itu. Tapi mereka tidak menunjuk Una Drake.
'Tapi itu tidak membuktikan apa-apa," kata Tuppence ketika mereka meninggalkan stasiun. "Bisa saja dia naik kereta tanpa diperhatikan orang lain,"
"Bisa juga dia berangkat dari stasiun Torre."
"Ya, betul," kata Tuppence. "Kita bisa ke sana nanti setelah dari hotel."
Castle Hotel adalah hotel besar yang menghadap laut. Setelah memesan kamar untuk satu malam dan menandatangani formulir, Tommy bicara dengan ramah.
"Kalau nggak salah ada seorang teman kami yang menginap di sini Selasa malam yang lalu. Nona Una Drake."
Gadis resepsionis itu menjawab dengan muka cerah.
"Oh ya, saya ingat sekali. Seorang gadis Australia kalau tidak salah."
Tuppence mengeluarkan foto ketika Tommy memberi isyarat.
"Fotonya cakep, ya?" kata Tuppence.
"Oh ya. Bagus sekali."
"Dia lama menginap di sini?" tanya Tommy.
"Hanya semalam. Dia kembali ke London dengan kereta ekspres esok paginya. Rasanya sayang, jauh-jauh ke sini cuma untuk sebentar. Tapi barangkali itu tidak jadi soal untuk gadis-gadis Australia."
"Dia memang begitu," kata Tommy, "suka ber-
251
tualang. Dia mengendarai mobil bersama teman-temannya, masuk selokan dan tak bisa kembali sampai pagi. Waktu kejadian itu, dia sedang di sini atau tidak?"
"Oh, tidak," kata gadis itu. "Nona Drake makan malam di hotel ini."
"Ah, ya?" kata Tommy. "Anda ingat itu? Maksud saya, bagaimana Anda tahu?"
"Oh, saya melihatnya sendiri."
"Saya bertanya karena kalau nggak salah dia makan malam dengan beberapa teman di Torquay," kata Tommy.
"Oh, tidak. Dia makan malam di sini." Gadis itu tertawa dan mukanya menjadi merah. "Saya ingat dia memakai baju yang amat manis. Baju sifon berkembang-kembang model terbaru."
"Wah, gawat," kata Tommy setelah mereka berada di kamar.
"Ya," sahut Tuppence. "Gadis itu bisa saja keliru. Kita tanya pelayan saja waktu makan malam nanti. Pasti tak banyak tamu datang musim begini."
Kali ini Tuppence-lah yang melakukan serangan.
"Apa kauingat, seorang teman saya datang kemari hari Selasa?" tanyanya kepada pelayan dengan senyum yang amat manis. "Namanya Nona Drake, berbaju kembang-kembang." Kemudian dia mengeluarkan fotonya. "Ini dia."
Pelayan itu tersenyum karena mengenali foto itu.
252
"Ya, ya. Nona Drake. Saya ingat sekali. Dia bilang dari Australia."
"Dia makan malam di sini?"
"Ya. Hari Selasa lalu. Dia menanyakan apa ada hal-hal menarik di kota."
"Lalu?"
"Saya beritahu ada Teater Pavilion. Tapi akhirnya dia tidak jadi pergi. Duduk-duduk saja di sini mendengarkan musik."
"Sialan," gumam Tommy.
"Kau ingat jam berapa dia makan malam?" kata Tuppence.
"Agak malam. Kira-kira jam delapan."
"Gila, konyol, sialan," kata Tuppence setelah dia dan Tommy meninggalkan ruang makan. 'Tom, semuanya nggak beres. Padahal mula-mula kelihatan jelas dan indah."
"Ya, aku rasa kita harusnya sudah bisa menduga sebelumnya, bahwa persoalannya tak segampang yang kita omongkan."
"Apa ada kereta yang ke London setelah jam itu?"
'Tak ada yang bisa membawanya ke London tepat pada waktunya untuk makan di Savoy."
"Baik. Aku akan bicara dengan pelayan kamar. Ini harapan terakhir," kata Tuppence. "Kamar Una Drake ada di lantai yang sama dengan kamar kita."
Pelayan kamar itu adalah seorang wanita yang informatif. Ya, dia ingat Nona Drake. Ya, itu
253
fotonya. Gadis yang amat manis, ramah dan ceria. Dia cerita banyak tentang Australia dan kanguru.
Gadis itu membunyikan bel kira-kira jam setengah sepuluh, minta agar botolnya diisi dan diletakkan di tempat tidurnya. Dia juga minta 'dibangunkan jam tujuh tiga puluh besok paginya—dan disediakan kopi, bukan teh.
Dan kau membangunkan dia,dan dia masih di tempat tidur?" kata Tuppence.
Pelayan itu memandangnya heran.
"Ya—tentu saja, Nyonya."
"Oh, barangkali saja dia berolahraga atau melakukan sesuatu," kata Tuppence mencari-cari alasan. "Banyak orang yang'melakukannya pagi-pagi sekali."
"Wah, benar-benar kuat alibinya," kata Tommy setelah pelayan itu pergi. "Hanya ada satu konklusi Kalau begitu. Pasti cerita London itu yang palsu."
'Tuan le Marchant ternyata pembohong kelas satu," kata Tuppence.
"Kita bisa mengecek omongannya," kata Tommy. "Dia bilang mereka duduk di dekat pasangan yang kenal Una. Siapa namanya—Oglander? Ya. itu namanya. Dan kita harus mengecek apartemen Una di Oarges Street."
Besok paginya mereka membayar kamar hotel dan berangkat ke London dengan agak putus asa.
Mencari pasangan Oglander dengan bantuan buku telepon tidaklah sulit Kali itu Tuppence yang membuka serangan dan berpura-pura men-
254
jadi wartawan. Dia mendatangi Nyonya Oglander dan menanyakan tentang pesta makan malam mereka yang "menarik" di Savoy pada hari Selasa. Dengan senang hati Nyonya itu menceritakan apa yang ditanyakan Tuppence. Ketika dia selesai dengan wawancaranya dan bersiap pergi, sambil lalu Tuppence bertanya. "Sebentar, kalau nggak salah Nona Una Drake duduk dekat Anda, ya? Apa benar dia bertunangan dengan Duke of Perth? Anda pasti kenal dia, kan?"
"Saya hanya tahu sedikit tentang dia," jawab Nyonya Oglander. "Seorang gadis yang menarik. Ya, dia duduk dekat kami, dengan Tuan le Marchant. Saya kira anak-anak saya lebih kenal dia daripada saya."
Kunjungan Tuppence berikutnya adalah apartemen di Oarges Street. Dia disambut oleh Nona Marjorie Leicester, teman seapartemen Nona Drake.
"Ada apa sih, sebenarnya?" tanya gadis itu dengan sedih. "Si Una punya mainan dan saya tak tahu apa-apa. Tentu saja dia tidur di sini hari Selasa itu."
"Anda lihat dia waktu datang?"
'Tidak, saya sudah tidur. Tapi dia memang punya kunci sendiri. Dia datang kira-kira jam satu malam, saya rasa."
"Kapan Anda melihatnya?"
"Oh, kira-kira jam sembilan atau—sepuluh, esok paginya."
Ketika meninggalkan apartemen itu, Tuppence
255
hampir bertabrakan dengan seorang wanita jangkung yang akan masuk ke apartemen.
"Maaf, Nona," kata wanita bermuka muram itu.
"Kau kerja di sini?" tanya Tuppence. "Ya, Non, tiap hari," katanya. "Jam berapa kau biasa datang?"jam sembilan, Non."
Tuppence menyelipkan selembar uang ke tangan wanita itu dengan cepat.
"Apa Nona Drake ada di sini hari Selasa pagi ketika kau datang?"
"Ya. Dia masih tidur nyenyak waktu saya masuk membawa tehnya."
'Terima kasih," kata Tuppence, lalu menuruni tangga dengan cepat.
Dia berjanji untuk bertemu dengan Tommy di sebuah restoran kecil di Soho untuk membandingkan catatan mereka.
"Aku ketemu si Rice itu. Dia memang melihat Una di Torquay."
"Oke. Kita sudah mengecek alibi itu. Pinjam pensil, Tom. Kita tulis semua dengan rapi seperti detektif-detektif lain."
1.30 Una Drake terlihat di gerbong makan
kereta api." 4.00 Tiba di Castle Hotel. 5.00 Terlihat oleh Tuan Rice. 8.00 Terlihat makan malam di hotel. 9.30 Minta botol air panas.
256
11.30 Terlihat di Savoy dengan Tuan
le Marchant. 7.30 pagi, dibangunkan pelayan
Castle Hotel. 9.00 pagi, dibangunkan pembantu di
Oarges Street.
Mereka saling berpandangan.
"Wah, kelihatannya Blunf s Brilliant Detectives sudah keok," kata Tommy.
"Oh, kita tak boleh menyerah," kata Tuppence. "Pasti ada yang berbohong."
"Anehnya, aku merasa bahwa tidak ada yang bohong. Mereka kelihatannya jujur dan bicara seadanya."
'Tapi pasti ada yang tidak benar. Pasti. Aku berpikir tentang penggunaan pesawat pribadi. Tapi kok nggak ada hasil apa-apa, ya."
"Aku lebih cenderung percaya pada adanya badan halus."
"Hm, jalan satu-satunya ialah tidur dengan pikiran itu," kata Tuppence. "Otak bawah sadar kita kan bekerja pada waktu kita tidur."
"Hm," kata Tommy. "Aku akan angkat topi kalau otak bawah sadarmu memberikan jawaban yang tepat untuk teka-teki ini."
Mereka tak banyak bicara malam itu. Tuppence berulang-ulang membolak-balik kertas. Dia menulis sesuatu pada kertas kecil-kecil. Dia bergumam sendiri. Dan dia memandang buku Petunjuk Kereta dengan pikiran penuh. Tapi akhirnya
257
mereka berdiri dan masuk kamar tidur tanpa berhasil memecahkan masalah.
"Ini benar-benar membuat orang kecil hati," kata Tommy.
"Salah satu malam yang tidak menyenangkan dalam hidupku," kata Tuppence.
"Seharusnya kita pergi ke gedung pertunjukan saja," kata Tommy. "Lawakan tentang ibu mertua, saudara kembar, dan beberapa botol bir akan meringankan kita."
'Tidak, kau akan lihat bahwa konsentrasi ini akan memberikan hasil," kata Tuppence. "Otak bawah sadar kita pasti akan sibuk dalam delapan jam kemudian!" Dengan harapan ini mereka pun tidur.
"Hei," kata Tommy besok paginya. "Apa otak bawah sadarmu sudah bekerja?"
"Aku punya sebuah ide," jawab Tuppence. "Begitu. Ide apa itu?"
"Idenya agak lucu. Sama sekali tidak seperti apa yang pernah kubaca di buku-buku detektif. Sebenarnya ide ini datang darimu
"Kalau begitu pasti bagus," kata Tommy serius. "Ayo, Tuppence, katakan."
"Aku harus mengirim telegram untuk mengecek ide itu," kata Tuppence. "Aku tak akan mengatakannya padamu. Ide ini aneh, tapi paling cocok dengan fakta-fakta yang kita hadapi."
"Baik," kata Tommy. "Aku ke kantor saja. Aku tak boleh mengecewakan klien yang sudah ber-
258
desak-desakan menunggu. Aku serahkan kasus ini ke tangan bawahanku yang amat brilian."
Tuppence mengangguk gembira.
Seharian Tuppence tidak muncul di kantor. Ketika Tommy pulang kira-kira jam setengah enam sore, dia mendapatkan Tuppence yang gelisah menunggunya.
"Aku sudah membereskannya, Tom. Aku sudah menemukan jawaban misteri alibi itu. Kita bisa minta ganti segala biaya pengeluaran untuk penyelidikan itu pada Tuan Montgomery Jones dan dia bisa menjemput gadisnya."
"Apa jawabannya?" tanya Tommy.
"Sangat sederhana," kata Tuppence. "Kembar."
"Kembar? Apa maksudmu?"
"Ya itu. Tentu saja jawabnya itu. Kau yang memberi ide padaku. Kau bicara tentang lawakan ibu mertua, saudara kembar, dan botol bir. Aku menelegram ke Australia dan mendapat jawaban yang kuinginkan. Una punya saudara kembar. Vera. Dia tiba di Inggris hari Senin lalu. Karena itu dia bisa membuat taruhan seperti itu. Dia pikir Montgomery Jones akan kelabakan. Saudaranya pergi ke Torquay dan dia sendiri tinggal di London."
"Apakah dia akan sedih kalau kalah?" tanya Tommy.
'Tidak," kata Tuppence. "Aku rasa tidak. Aku telah memberitahu kamu sebelumnya. Dia akan menghormati Montgomery Jones. Aku selalu berpendapat bahwa rasa hormat pada kemampuan
259
suami merupakan dasar kehidupan berumah tangga."
"Aku gembira bisa memberimu inspirasi itu."
"Ini bukan jawaban yang memuaskan," kata Tuppence. "Karena caranya tidak sehebat yang dilakukan Inspektur French."
"Omong kosong," kata Tommy. "Aku rasa caraku menunjukkan foto-foto itu kepada pelayan restoran sama seperti yang dilakukan Inspektur French."
"Kelihatannya dia tidak terlalu banyak memberi tip seperti yang kita lakukan," kata Tuppence.
'Tak apa," kata Tommy. "Kita bisa memasukkannya dalam biaya yang akan kita ajukan pada Tuan Jones. Dia pasti akan gembira sekali dan tak peduli berapa besar pun biaya yang harus dibayar."
"Harusnya begitu," kata Tuppence. "Bukankah Blunt's Brilliant Detectives sudah berhasil? Oh, Tom, aku rasa kita memang benar-benar brilian. Kadang-kadang aku kuatir, tahu?"
"Kasus berikutnya adalah kasus Roger Shering-ham,dan kau jadi Roger Sheringham, Tuppence."
"Aku harus banyak omong kalau begitu," kata Tuppence.
"Kau sudah melakukannya dengan luwes," kata Tommy.
"Sekarang kita pergi saja ke gedung pertunjukan, di mana banyak lawakan tentang ibu mertua, botol bir, dan saudara kembar."
260
20. Putri Pak Pendeta
"Aku ingin kita bertemu dengan putri seorang pendeta," kata Tuppence. "Kenapa?" tanya Tommy.
"Kau barangkah sudah lupa. Aku kan putri seorang pendeta. Aku ingat bagaimana rasanya. Dari situlah timbul dorongan untuk mencari kebenaran—pikiran yang tidak egois, yang memikirkan orang lain, yang..."
"Kelihatannya kau sudah bersiap-siap menjadi Roger Sheringham," kata Tommy. "Kalau aku boleh berkomentar, kau memang sudah banyak bicara seperti dia. Cuma tidak sebagus dia."
"Justru sebaliknya," kata Tuppence. "Cara bicaramu memang lain. Karena ada keluwesan yang khas wanita dalam percakapan, suatu je ne sais quoi yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Dan lagi, aku punya kekuatan yang tak diketahui oleh prototipeku—ah, apakah yang kumaksud prototipe? Kata-kata memang tak pernah pasti. Mereka bisa terdengar bagus tapi mempunyai arti sebaliknya dari yang kita maksud."
261
"Lanjutkan," kata Tommy berbaik hati.
"Aku hanya—hanya berhenti untuk mengambil napas. Dengan menyentuh kekuatan itu—hari ini aku ingin membantu putri seorang pendeta. Kau akan lihat, Tom, bahwa orang pertama yang minta bantuan Blunf s Brilliant Detectives adalah putri seorang pendeta."
"Aku taruhan, pasti bukan," kata Tommy.
"Oke. Setuju," kata Tuppence. "Sssst! Kembali ke mesin tik. Oh! Dia datang!"
Kantor Tuan Blunt tiba-tiba saja sibuk dengan ketukan mesin tik. Albert mengetuk pintu dan memberitahu,
"Nona Monica Deane."
Seorang gadis langsing berambut coklat dan berpakaian kumal masuk dengan ragu-ragu. Tommy datang mendekat.
"Selamat pagi, Nona Deane. Silakan duduk. Apa yang bisa kami lakukan untuk Anda? Sebentar, saya kenalkan dulu Anda dengan sekretaris pribadi saya, Nona Sheringham."
"Senang berkenalan dengan Anda, Nona Deane," kata Tuppence. "Ayah Anda bekerja untuk gereja?"
"Oh, ya. Bagaimana Anda bisa tahu?"
"Oh! Kami punya cara," kata Tuppence. "Jangan kuatir kalau saya cerewet. Tuan Blunt senang mendengar saya bicara. Katanya itu memberi inspirasi padanya."
Gadis itu memandang Tuppence. Tubuhnya langsing, tidak terlalu cantik, tapi cukup manis.
262
Rambutnya coklat lembut, matanya amat biru dan indah, walaupun saat itu kelihatan kuatir.
"Anda bersedia bercerita pada kami, Nona Deane?" kata Tommy.
Gadis itu berpaling kepadanya dengan rasa terima kasih.
"Ceritanya panjang dan tidak keruan," kata gadis itu. "Nama saya Monica Deane. Ayah saya pendeta di Little Hampsley, Suffolk. Dia meninggal tiga tahun yang lalu, meninggalkan Ibu dan saya dalam keadaan kekurangan. Lalu saya keluar, bekerja sebagai guru privat. Tapi Ibu sakit dan menjadi invalid. Saya terpaksa pulang untuk menjagainya. Kami benar-benar miskin. Tapi pada suatu hari kami menerima surat seorang pengacara yang mengatakan bahwa saya menerima warisan dari bibi ayah saya—jadi nenek saya juga—yang meninggal. Saya sering mendengar cerita tentang Nenek, yang sering bertengkar dengan Ayah sewaktu masih hidup, dan saya pun tahu bahwa dia amat kaya. Jadi saya merasa bahwa kesulitan kami akan selesai. Tapi rupanya keadaan tidak sebaik yang kami harapkan. Saya menerima warisan rumah yang dia tinggali. Tapi setelah membayar pajak warisan itu, ternyata tak ada lagi uang tersisa. Saya berpikir barangkali Nenek kehilangan uang pada waktu perang, atau dia hidup dengan uang tabungannya. Walaupun begitu kami masih memiliki rumah itu, dan bisa kami jual dengan harga yang cukup tinggi. Anehnya, saya menolak penawaran seseorang yang
263
ingin membeli rumah ku. Kami mengontrak rumah kecil tetapi mahal. Jadi saya pikir lebih baik kami tinggal di rumah Nenek supaya Ibu juga enak. Lalu kami bisa menyewakan beberapa kamar untuk biaya hidup.
"Saya berpegang teguh pada rencana ini dan tidak mempedulikan seorang calon pembeli yang mengajukan harga yang amat menggiurkan. Kami pindah dan saya mengiklankan kamar-kamar yang akan kami sewakan. Sesaat semua berjalan lancar. Beberapa orang berminat pada tawaran kami. Bekas pembantu Nenek yang sudah tua tetap tinggal bersama kami dan dia membantu saya membereskan rumah. Kemudian terjadilah hal yang tidak kami sangka."
"Kejadian apa?"
"Kejadian yang amat aneh. Segalanya seperti kena sihir. Gambar-gambar jatuh, peralatan dapur terbang dan pecah. Pada suatu pagi, kami bangun dan menemukan semua perabot berpindah tempat. Mula-mula kami mengira ada orang yang main-main. Tapi kami terpaksa menyingkirkan perkiraan tersebut. Kadang-kadang, ketika kami sedang makan malam, terdengar suara ribut di atas. Kami naik ke atas. Tak seorang pun ada di sana, tapi ada sebuah perabot terbanting keras."
"Poltergeist" seru Tuppence penuh perhatian.
"Ya, itu yang dikatakan Dr. O'Neil—walaupun saya tidak tahu apa artinya."
"Itu seperti makhluk halus yang suka main-main," jelas Tuppence yang sebenarnya juga tak
264
terlalu tahu tentang hal itu, bahkan kata poltergeist pun dia tak yakin benar.
"Ya—pendeknya akibatnya buruk. Tamu-tamu kami menjadi ketakutan, dan mereka pindah secepat mungkin. Tamu-tamu baru datang, tapi cepat-cepat pergi pula. Saya putus asa—dan pendapatan kami yang tak seberapa pun berkurang— usaha itu gagal."
"Kasihan," kata Tuppence dengan penuh simpati. "Pasti mengesalkan. Apa Anda ingin agar Tuan Blunt membereskan urusan setan itu?"
"Begini. Tiga hari yang lalu ada seorang tamu datang. Namanya Dr. O'Neill. Dia mengatakan bahwa dia adalah anggota Kelompok Riset Fisik, dan dia mendengar tentang hal-hal aneh di rumah kami. Dia begitu tertarik sehingga bersedia membeli rumah kami untuk mengadakan serentetan eksperimen."
"Lalu?"
'Tentu saja pertama-tama saya menjadi amat gembira. Kelihatannya hal itu memberi jalan keluar pada kesulitan kami. Tapi..."
"Ya?"
"Barangkali Anda menganggap saya suka mengada-ada. Barangkali juga memang demikian. Tapi—oh! Saya yakin bahwa saya tidak keliru. Dia adalah lelaki yang sama!"
"Lelaki yang mana?"
"Lelaki yang ingin membeli rumah itu sebelumnya. Oh! Saya yakin saya tidak keliru." 'Tapi kenapa?"
265
"Anda tidak mengerti? Kedua laki-laki itu beda, beda namanya dan segalanya. Laki-laki pertama adalah seorang muda dalam usia tiga puluhan, berkulit kehitaman. Dr. O'Neill berumur lima puluhan dengan jenggot abu-abu, berkacamata dan agak bongkok. Tapi ketika bicara, saya melihat sebuah gigi emas di satu sisi mulurnya. Gigi itu kelihatan kalau dia tertawa. Laki-laki muda itu juga punya gigi emas di posisi yang sama. Lalu saya memperhatikan telinganya. Saya teringat telinga lelaki muda itu karena bentuknya yang aneh. Hampir tidak ada cuping telinganya. Dan telinga Dr. O'Neill pun sama. Ini tak mungkin suatu kebetulan, kan? Saya berpikir dan berpikir, dan akhirnya saya tulis surat akan memberitahu seminggu kemudian. Saya pernah membaca iklan Tuan Blunt beberapa waktu yang lalu—di koran yang kami pakai untuk alas laci dapur kami. Saya gunting iklan itu dan pergi ke kota."
"Anda benar," kata Tuppence sambil menganggukkan kepala kuat-kuat. "Ini perlu dicek."
"Kasus yang amat menarik, Nona Deane," kata Tommy. "Kami dengan senang hati akan membantu Anda. Bukan begitu, Nona Sheringham?"
"Benar," kata Tuppence. "Akan kami selidiki sampai ke akar-akarnya."
"Kalau tak salah, isi rumah itu adalah Anda, ibu Anda, dan pembantu itu. Bisa Anda berikan informasi tentang pembantu Anda, Nona Deane?"
"Namanya Crockett. Dia ikut Nenek delapan
266
atau sepuluh tahun yang lalu. Dia sudah tua. Sikapnya tidak terlalu menyenangkan, tapi dia adalah pembantu yang baik. Dia memang agak sombong karena saudara perempuannya menikah dengan kalangan atas. Dia punya kemenakan laki-laki yang selalu dia ceritakan sebagai terpelajar'
"Hm," kata Tommy yang tidak tahu mau berkata apa.
Tuppence rupanya telah memperhatikan Monica baik-baik. Dia kemudian bicara dengan tegas.
"Saya rasa sebaiknya Nona Deane makan siang dulu bersama saya. Sekarang sudah jam satu. Saya bisa mendapat keterangan yang lebih rinci nanti."
Tentu, Nona Sheringham," kata Tommy. "Rencana yang bagus."
"Begini," kata Tuppence ketika mereka sudah duduk di tempat yang cukup nyaman di restoran yang tak jauh dari kantor, "saya ingin tahu, apa Anda punya alasan tertentu untuk penyelidikan kasus ini?"
Muka Monica menjadi merah.
"Mm—begini..."
'Terus terang saja," kata Tuppence mendorong.
"Mm—ada dua orang pria yang—yang—ingin menikahi saya."
"Cerita yang biasa, kan? Yang satu kaya, lainnya miskin, dan Anda suka yang miskin?"
"Saya tak mengerti bagaimana Anda bisa tahu hal ini," gumam gadis itu.
267
"Itu adalah hukum alam," jelas Tuppence. 'Terjadi pada setiap orang. Juga pada saya."Kalaupun saya jual rumah itu, uangnya tak akan cukup untuk menghidupi kami. Gerald sangat baik, tapi dia sangat miskin—walaupun dia insinyur yang cerdas. Kalau dia punya sedikit modal, perusahaan bersedia menjadi partnernya. Yang lain, Tuan Partridge, adalah seorang pria yang baik hati—dan kaya. Kalau saya menikah dengan dia, kami tak akan kesulitan. Tapi— tapi..."
"Saya mengerti," kata Tuppence simpatik. 'Tidak akan sama. Kita bisa membujuk diri sendiri dengan selalu mengatakan, 'Betapa baik dan berartinya dia sambil terus menambah kebaikan-kebaikan lainnya—tapi semua itu terasa hambar."
Monica mengangguk.
"Saya rasa kami sebaiknya datang ke sana," kata Tuppence, "dan mempelajari semua di tempat. Di mana alamatnya?"
"Red House, Stourton, Marsh."
Tuppence mencatat alamat itu di bukunya.
"Saya belum tanya—tentang biaya pada Anda," kata Monica dengan agak malu.
"Biaya kami hanya berdasarkan hasil," kata Tuppence menenangkan. "Kalau rahasia Red House memberi suatu keuntungan, yang kelihatannya memang begitu kalau diingat keinginan yang menggebu untuk memiliki rumah itu, kami hanya mengharapkan persentase kecil. Kalau tidak—tak apa-apa!"
268
'Terima kasih banyak," kata gadis itu dengan rasa terima kasih.
"Jangan kuatir," kata Tuppence. "Semuanya akan beres. Sekarang sebaiknya kita makan dan bicara tentang hal-hal yang menarik."
269
21. Red House
"Nah, kita sudah ada di Lubang Kodok atau apa pun namanya desa ini," kata Tommy sambil melihat ke luar dari jendela Crown and Anchor.
"Coba kita kaji kasus ini," kata Tuppence.
"Boleh, boleh," jawab Tommy. "Aku dulu ya yang komentar. Aku curiga pada ibunya yang invalid itu!"
"Kenapa?"
"Ingatlah kata poltergeist itu. Pasti ulah seseorang yang ingin agar gadis itu menjual rumahnya, pasti ada orang yang melempar barang-. barang itu. Gadis itu cerita bahwa keributan terjadi pada waktu makan malam. Berarti semua ada di ruang makan kecuali ibunya. Dia pasti di kamarnya, di atas."
"Kalau dia seorang invalid, dia tak akan bisa melempar perabot."
"Kalau begitu dia bukan invalid betul n Pura-pura saja."
"Kenapa?"
"Ya—karena aku mau mempraktekkan cara di
270
mana kita perlu mencurigai orang yang sama sekali tidak kita curigai."
"Kau selalu main-main," kata Tuppence serius. "Pasti ada sesuatu yang membuat orang itu ngotot mau membeli rumah itu. Dan kalau kau tidak tertarik menyelidiki kasus ini, aku yang akan menyelidikinya. Gadis itu baik."
Tommy mengangguk dengan serius.
"Aku setuju," katanya. 'Tapi rasanya nggak enak kalau nggak ngeledek kamu. Tentu saja ada yang aneh dengan rumah itu. Dan apa pun penyebabnya, pasti merupakan sesuatu yang sulit didapat. Kalau tidak, pencurian saja sudah cukup. Tapi untuk bersedia membeli rumah itu, berarti dia harus membongkar lantai atau menjebol tembok, atau barangkali ada tambang batubara di halaman belakang!"
"Aku tidak suka tambang batubara. Harta karun terpendam rasanya lebih romantis."
"Hm, kalau begitu aku perlu berkunjung ke manajer bank setempat. Aku akan cerita bahwa aku menginap di tempat ini sampai Natal, dan barangkali berniat membeli Red House. Aku akan pura- pura membuka rekening."
"Untuk apa...?Tunggu saja."
Tommy kembali setengah jam kemudian. Matanya bersinar.
"Ada kemajuan, Tuppence. Interview-nya berkisar pada soal tadi. Secara sambil lalu aku tanya apakah dia menerima banyak pembayaran de
ngan emas. Kan bank-bank desa kecil sekarang banyak yang begitu. Karena banyak petani-petani kecil yang menyimpan emas waktu perang. Dari situ kita berpindah bicara tentang kebiasaan-kebiasaan aneh wanita tua. Aku mengarang cerita tentang seorang bibi yang pada waktu pecah perang, langsung masuk toko-toko dengan sebuah mobil dan kembali pulang membawa enam belas ham. Dia langsung cerita tentang seorang kliennya yang menarik seluruh uangnya dalam bentuk emas, juga surat-surat berharga miliknya untuk disimpan sendiri Aku bilang itu perbuatan tolol, dan dia secara sambil lalu mengatakan bahwa orang itu adalah pemilik Red House yang dulu. Nah, kau lihat? Wanita itu menarik semua uangnya dan menyembunyikannya di suatu tempat. Kau ingat, Monica Deane bilang bahwa mereka heran dengan peninggalan uang yang begitu sedikit? Ya, dia menyimpan hartanya itu di rumahnya dan ada yang tahu tentang hal itu. Dan aku bisa menebak orangnya." "Siapa?"
"Bagaimana dengan Crockett yang setia? Dia pasti tahu tentang kebiasaan-kebiasaan majikannya."
"Dan Dr. O'Neill yang bergigi emas?"
"Tentu saja keponakannya yang terpelajar itu! Tapi di mana kira-kira dia menyimpan uangnya? Kau tahu lebih baik tentang wanita-wanita tua daripadaku, Tuppence. Di mana biasanya mereka menyembunyikan barang mereka?"
272
"Di bawah kasur, dibungkus stocking dan baju dalam." Tommy mengangguk.
"Aku rasa kau benar. Tapi dia tidak melakukan itu karena barang-barang itu pasti ketemu kalau ada orang yang membongkar-bongkar. Ini membuatku kuatir. Wanita tua seperti dia pasti tidak bisa menggali lubang di tanah atau di lantai. Yang jelas harta itu ada di Red House. Crockett belum menemukannya. Tapi kalau dia sudah bisa membeli rumah itu, dia dan keponakannya yang terpelajar itu pasti akan membongkar dan mengaduk-aduk rumah itu sampai ketemu. Kita harus bisa mendahului mereka. Ayo, kita ke sana saja."
Monica Deane menyambut mereka. Dia memperkenalkan mereka pada ibunya dan Crockett sebagai calon pembeli rumah, dan mereka pun dibawa berkeliling. Tommy tidak menjelaskan pada -Monica tentang kesimpulannya, tapi dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menyelidik. Tentang baju-baju dan barang-barang pribadi milik almarhumah. Beberapa diberikan pada Crockett, dan sebagian diberikan pada keluarga-keluarga miskin. Semua telah dilihat dan diperiksa.
"Apa dia meninggalkan surat-surat?"
"Mejanya penuh. Juga sebuah laci di kamarnya.Tapi kelihatannya tidak ada yang penting."
"Apa sudah dibuang?"
"Belum. Ibu tidak suka membuang kertas-kertas tua. Ada beberapa resep kuno yang masih dia simpan dan ingin dia coba nanti."
273
"Bagus," kata Tommy. Dia kemudian menunjuk seorang tukang kebun tua yang sedang bekerja. "Apa tukang kebun itu juga bekerja di sini waktu Nenek Anda masih ada?"
'Ya. Dia biasa datang tiga -hari seminggu. Dia tinggal di desa. Kasihan. Sebetulnya sudah terlalu tua untuk bisa bekerja dengan baik. Sekarang dia kemari seminggu sekali untuk merapikan tanaman. Kami tidak kuat membayar."
Tommy mengedipkan mata pada Tuppence, memberi isyarat agar dia menemani Monica. Dia sendiri kemudian mendekati tukang kebun itu. Dia menyapanya dengan ramah, lalu bertanya apakah dia sudah bekerja di situ waktu pemilik rumah masih ada, dan bertanya sambil lalu,
"Kau pernah mengubur sebuah kotak untuknya, kan?"
"Ah tidak, tak pernah. Untuk apa?"
Tommy menggelengkan kepala. Dia berharap akan mendapat suatu petunjuk dari kertas-kertas tua yang ditinggalkan wanita itu. Kalau tidak— jalan keluarnya pasti sulit. Rumah itu sendiri memang rumah kuno. Tapi tidak cukup kuno untuk menyembunyikan sebuah ruangan rahasia.
Sebelum pergi, Monica membawakan sebuah kotak besar dari kardus yang diikat dengan tali,
"Saya sudah mengumpulkan kertas-kertas dan dokumen Nenek," katanya berbisik. "Semua ada di sini. Anda bisa membawa dan memeriksanya nanti—tapi saya yakin Anda tak akan menemu-
274
kan apa-apa yang bisa memberi petunjuk pada kejadian-kejadian misterius di rumah ini..."
Kata-katanya terpotong oleh suara barang yang berdebam jatuh di atas. Tommy cepat-cepat lari ke atas. Sebuah jambangan dan tempat air pecah berantakan Tak seorang pun ada di situ.
"Setan itu main-main lagi," katanya sambil meringis.
Dia turun lagi sambil berpikir.
"Apakah saya bisa bicara dengan Crockett sebentar, Nona Deane?"
"Tentu. Biar saya suruh dia datang pada Anda."
Monica pergi ke dapur. Dia kembali dengan pembantu tua yang membukakan pintu untuk mereka pagi tadi.
"Kami bermaksud membeli rumah ini," kata Tommy ramah, "dan istri saya ingin tahu apakah kau juga mau tetap tinggal di rumah ini bersama kami?"
Wajah Crockett tidak menunjukkan ekspresi apa-apa.
'Terima kasih. Tuan," katanya. "Akan saya pikir dulu."
Tommy berpaling kepada Monica.
"Saya sudah cocok dengan rumah ini, Nona Deane. Saya mengerti bahwa ada pihak lain yang juga berminat. Dan saya juga tahu penawaran yang diberikan. Karena itu saya ingin menambahkan seratus pound lagi untuk tawaran saya. Saya rasa harga itu cukup pantas untuk rumah ini."
275
Monica menggumamkan sesuatu yang tidak memastikan, dan suami istri Beresford pun pergi.
"Aku tidak keliru," kata Tommy ketika mereka berjalan keluar. "Crockett memang terlibat. Kaulihat napasnya terengah-engah? Itu karena dia lari lewat tangga belakang setelah melemparkan jam-bangan. Aku rasa dia diam-diam pernah membukakan pintu untuk keponakannya itu dan melakukan tipuan-tipuan yang menakut-nakuti itu, sementara dia sendiri ada di antara penghuni rumah lainnya. Dan aku berani bertaruh bahwa Dr. O'Neill akan menaikkan tawarannya sebelum matahari tenggelam."
Memang benar. Setelah makan malam mereka menerima sebuah nota dari Monica.
'Saya baru dapat kabar dari Dr. O'Neill. Dia menaikkan tawaran 150 pound."
'Si keponakan itu pasti kaya," kata Tommy sambil merenung. "Dan harga yang ditawarkannya itu pasti tidak main-main."
"Oh! Kalau saja kita bisa menemukannya!"
"Kalau begitu, kita harus kerja cepat."
Mereka mulai membongkar onggokan kertas-kertas lama yang sama sekali tidak ditata itu. Setiap beberapa menit mereka saling mengecek hasil operasi.
"Kau dapat apa, Tuppence?"
"Dua kuitansi, tiga surat tidak penting, resep untuk menyimpan kentang baru dan satu lagi untuk membuat cake keju. Kau dapat apa?"
"Satu kuitansi. Sajak musim semi. Dua gun-
276
ringan koran tentang:Mengapa Wanita Membeli Mutiara—Suatu Investasi Bagus dan Lelaki dengan Empat Istri—Cerita Luar Biasa dan sebuah resep untuk Jugged Hare."
"Ini menyedihkan," kata Tuppence. Lalu mereka saling mengecek lagi. Akhirnya kotak itu pun kosong. Mereka saling berpandangan.
"Aku menyisihkan ini," kata Tommy, sambil menunjukkan setengah lembar kertas. "Karena kelihatan aneh. Tapi rasanya tak ada hubungannya dengan apa yang kita cari."
"Coba lihat. Oh, ini kan salah satu pantun lucu itu. Apa namanya? Anagram—ya." Dia "membacanya.
"Yang pertama di atas bara Dan ke dalamnya kaumasukkan aku Yang kedua sebenarnya pertama Yang ketiga tak suka embusan salju."
"Hm," kata Tommy kritis. "Aku tak suka sajaknya."
"Aku tak melihat hal yang aneh pada anagram ini," kata Tuppence. "Setiap orang punya koleksi seperti ini lima puluh tahun yang lalu. Mereka menyimpannya untuk dibaca baca di depan perapian di musim dingin."
"Bukan sajaknya yang kumaksud. Tapi kata-kata yang tertulis di bawahnya itu yang aneh."
"Lukas XI. 9," kata Tuppence. "Sebuah ayat."
"Ya. Bukankah aneh? Apakah seorang wanita
277
tua yang saleh akan menulis sebuah ayat di bawah anagram seperti itu?"
"Ya, aneh," kata Tuppence sambil berpikir.
"Sebagai putri seorang pendeta, tentunya kau menyimpan sebuah Alkitab."
"Benar. He, kau tidak mengira, kan? Sebentar."
Tuppence berjalan ke arah kopornya dan menarik sebuah buku merah kecil. Dia kembali ke rmeja. Dia membuka halaman-halaman Alkitab dengan cepat. "Ini dia. Lukas, pasal XI, ayat 9. Oh! Tommy, lihat."
Tommy membungkuk dan melihat bagian yang ditunjuk jari Tuppence yang kecil.
"Carilah, maka kamu akan mendapat."
"Itu dia," seru Tuppence. "Kita sudah dapat! Kita harus memecahkan cryptogram itu, dan harta itu menjadi milik kita—eh, milik Monica."
"Baik. Kita kerjakan dulu cryptogram itu. 'Yang pertama di atas bara Apa itu artinya? Lalu— Yang kedua sebenarnya pertama!' Ah, ini aneh-aneh saja
"Sebenarnya sangat sederhana," kata Tuppence dengan manis.Perlu ketrampilan saja. Coba lihat sebentar."
Dengan senang hati Tommy menyerahkannya. Tuppence menyandarkan tubuhnya di kursi santai dan mulai berpikir, memutar otak, dan mengerutkan alis.
"Sebenarnya sangat sederhana," gumam Tommy ketika setengah jam telah lewat.
"Jangan berisik! Kita bukan generasi yang
278
cocok untuk hal-hal seperti ini. Aku punya rencana untuk kembali ke kota besok dan mengunjungi seorang tua yang barangkah bisa membacanya semudah orang mengejapkan mata "Kita coba lagi saja."
Tak banyak yang bisa ditaruh di atas bara," kata Tuppence sambil merenung. "Ada air— untuk mematikannya, atau kayu, atau ketel."
"Harus satu suku kata. Bagaimana dengan wood—kayu?"
Tapi kau tidak bisa memasukkan apa-apa ke dalam kayu."
Tak ada kata-kata yang terdiri dari satu suku kata yang cocok,kecuali water—air. Tapi pasti ada benda-benda satu suku kata yang bisa dimasukkan ke dalam api. Benda semacam ketel."
"Penggorengan?" kata Tuppence."Pan? Pot? Kata apa yang berawalan pan atau pot yang bisa dimasak?"
"Pottery—tembikar," kata Tommy. "Dibakar dalam api. Cukup dekat, kan?"
"Yang lain nggak cocok. Pancake? Tidak. Oh!"
Percakapan mereka disela seorang pelayan yang memberitahu bahwa makan malam akan siap beberapa menit lagi.
"Nyonya Lumley ingin tahu apakah Anda mau fried potatoes atau boiled potatoes dengan kulitnya? Dia punya dua persediaan." Yang direbus dengan kulitnya," kata Tuppence cepat. "Saya suka potatoes..." Dia diam dengan mulut terbuka.
279
"Ada apa, Tuppence? Kau melihat hantu?"
'Tommy!" serunya. "Kau tidak tahu? Ya, itu! Maksudku kata yang kita cari itu. Potatoes!Yang pertama di atas bara'itu adalah pot.an ke dalamnya kaumasukkan aku Yang kedua sebenarnya pertama/ Itu huruf A pertama dalam alfabet.Yang ketiga tak suka embusan salju'tentu saja ujung jari kaki yang kedinginan—fogs!"
"Kau benar, Tuppence. Pandai kau. Tapi rasanya kita membuang-buang waktu untuk hal yang tak ada gunanya. Potatoes—kentang—tak ada hubungannya dengan harta yang hilang itu. Tunggu—tunggu. Apa yang kamu baca tadi waktu kita membongkar kardus itu? Resep kentang baru? Barangkali ada sesuatu di dalamnya."
Dia membalik-balik tumpukan resep.
"Ini dia. 'MENYIMPAN KENTANG BARU. Masukkan kentang baru dalam kaleng dan tanam di kebun. Walaupun di tengah musim dingin akan terasa seperti kentang yang baru dicabut!'
"Sudah dapat!" seru Tuppence. "Itu dia. Harta itu ada di kebun, dimasukkan dalam kaleng."
'Tapi aku sudah tanya tukang kebun itu. Katanya dia tak pernah menanam apa-apa."
"Ya, aku tahu. Tapi itu karena orang biasanya tidak menjawab apa yang ditanyakan, tapi apa yang mereka pikir ditanyakan. Dia tahu bahwa dia tidak pernah menanam sesuatu yang tidak biasa. Kita akan temui dia besok dan tanya di mana dia menanam kentang itu."
Keesokan paginya adalah hari sebelum Natal.
280
Dengan bertanya ke sana kemari, mereka akhirnya menemukan pondok tukang kebun. Setelah bercakap-cakap sebentar, Tuppence mengajukan pertanyaan.
"Rasanya saya ingin dapat kentang baru untuk Natalan," katanya. "Enak kan, dimakan dengan kalkun? Apa orang sini pernah menanam kentang dalam kaleng? Saya dengar cara itu membuat kentang jadi tetap segar."
"Ah, ya," kata lelaki tua itu. "Bu Deane tua, pemilik Red House, selalu menanam tiga kaleng kentang tiap musim panas dan sering lupa menggalinya lagi!"
"Biasanya di rumpun dekat rumah, kan?"
'Tidak, dekat tembok, dekat pohon cemara."
Setelah mendapat informasi yang mereka perlukan, mereka pun meninggalkan tip untuk lelaki tua itu, lalu pergi.
"Sekarang giliran Monica," kata Tommy.
'Tommy! Kau ini tak bisa bersikap dramatis. Biar aku yang membereskan. Aku punya rencana bagus. Kaupikir kau bisa minta, atau pinjam, atau mencuri sekop?"
Akhirnya mereka mendapat sebuah sekop. Dan tengah malam itu dua bayangan manusia masuk halaman Red House dengan diam-diam. Tempat yang ditunjukkan tukang kebun itu mudah ditemukan. Tommy pun mulai bekerja. Akhirnya sekop itu membentur suatu metal, dan beberapa detik kemudian dia mendongkel sebuah kaleng biskuit yang besar. Kaleng itu ditutup plester
281
berkeliling. Dengan bantuan pisau Tommy, Tuppence membuka kaleng itu. Dia menarik napas panjang. Kaleng itu penuh kentang. Dia mengeluarkan kentang itu sampai kalengnya kosong. Tak ada isi lainnya.
'Teruskan galianmu, Tommy."
Sesaat kemudian barulah kaleng kedua mereka temukan. Dan sekali lagi Tuppence membuka kalengnya.
"Bagaimana?" tanya Tommy ingin tahu.
"Kentang lagi!"
"Sialan!" kata Tommy sambil menggali lagi. "Yang ketiga pasti untung!" kata Tuppence menghibur.
"Aku rasa semua ini tipuan saja," kata Tommy geram sambil melanjutkan menggali.
Akhirnya kaleng yang ketiga pun ditemukan.
"Kentang la..." kata Tuppence dan tiba-tiba berhenti. "Oh, Tom! Ini yang kita cari. Kentang di bagian atas. Lihat!"
Dia menunjukkan sebuah tas kuno besar terbuat dari beludru.
"Cepat kembali," teriak Tommy. "Sudah tambah dingin. Bawa tas itu. Aku harus mengembalikan galian tanah ini. Dan awas—kau akan kena kutuk, Tuppence, kalau tas itu sudah kaubuka sebelum aku datang!"
"Aku akan main sportif. Huh—kaku rasanya." Tuppence kembali dengan cepat.
Dia tak perlu menunggu Tommy terlalu lama
282
di penginapan. Tommy datang dengan keringat bercucuran setelah menggali dan lari cepat.
"Sekarang," kata Tommy. "Agen penyelidik privat sudah berhasil! Buka tas itu. Nyonya Beresford."
Di dalam tas itu ada sebuah paket terbungkus dengan sutera minyak dan sebuah tas kulit kijang. Mereka membuka tas kulit itu. Tas itu penuh dengan uang emas. Tommy menghitungnya.
"Dua ratus pound. Aku rasa hanya itulah yang bisa dia dapat. Buka paket itu."
Tuppence memotongnya. Paket itu penuh dengan uang kertas. Tommy dan Tuppence menghitungnya dengan hati-hati. Uang itu berjumlah dua puluh ribu pound!
"Wah!" kata Tommy. "Untung ya Mohica, karena kita kaya dan jujur. Apa itu yang dibungkus kertas tisu?"
Tuppence membuka bungkusan kecil dan mengeluarkan seuntai mutiara yang amat indah.
"Aku tak tahu banyak tentang benda ini," kata Tommy perlahan. 'Tapi aku yakin bahwa mutiara itu berharga sekurang-kurangnya lima ribu pound. Lihat ukurannya. Sekarang aku mengerti kenapa dia menyimpan guntingan koran tentang nilai investasi mutiara itu. Dia tahu betul tentang kekayaannya dan menyimpannya dalam bentuk surat-surat berharga dan permata."
"Oh, Tommy! Luar biasa, ya? Si Monica itu. Ah, aku gembira dan ikut bahagia. Sekarang dia bisa
283
menikah dengan pacarnya yang baik itu, dan hidup bahagia seperti aku."
"Kau baik sekali. Jadi kau bahagia rupanya bersuami aku?"
"Yaaa, begitulah," Jawab Tuppence. "Sebetulnya aku tak bermaksud berkata begitu, tapi lidahku keseleo. Maklum. Sedang merasa senang. Mana malam Natal, lagi...."
"Kalau kau benar-benar sayang padaku," kata Tommy, "maukah kau menjawab satu pertanyaan?"
"Aku tidak suka jebakan-jebakan seperti ini. Tapi bolehlah."
"Bagaimana kau tahu bahwa Monica anak pendeta?"
"Oh, itu sih tipuan," kata Tuppence gembira. "Aku membuka suratnya—surat tentang janji bertemu denganmu. Aku ingat nama Deane— dulu adalah pembantu Ayah. Dan dia punya seorarig anak bernama Monica—empat atau lima tahun lebih muda dariku. Jadi mudah membuat kesimpulan."
"Kau memang tak punya malu," kata Tommy. "Hei, ini jam dua belas tepat. Selamat Natal, Tuppence."
"Selamat Natal, Tommy. Ini juga merupakan Natal yang membahagiakan buat Monica—itu karena KITA. Aku gembira. Kasihan. Gadis itu begitu bingung. Tahu enggak, Tom. Aku merasa terharu dan merinding kalau memikirkan hal itu."
'Tuppence sayang," kata Tommy.
284
'Tommy sayang," kata Tuppence. "Kita kok jadi sentimentil begini, sih?"
"Natal kan cuma sekali setahun," kata Tommy. "Itu yang dikatakan nenek moyang kita. Dan aku rasa memang betul."
285
22. Sepatu Tuan Duta Besar
"Sahabatku, sahabatku," kata Tuppence sambil melambai-lambaikan kue muffin bermentega tebal.
Tommy memandangnya sejenak, lalu dia menyeringai lebar sambil tersenyum. "Kita harus hati-hati."
"Benar," kata Tuppence. "Aku adalah Dr. Fortune yang terkenal itu dan kau Inspektur Bell."
"Kenapa kau mau jadi Reginald Fortune?"
"Nggak apa-apa. Cuma ingin yang banyak menteganya—sesuatu yang mengasyikkan saja'."
"Itu memang sisi yang enak—atau menyenangkan," kata Tommy. 'Tapi ada yang sebaliknya'. Kau harus meneliti wajah-wajah yang rusak dan mayat-mayat yang menyeramkan."
Tuppence menjawab dengan melempar sepucuk surat. Alis mata Tommy berdiri.
"Randolph Wilmott, Duta Besar Amerika. Apa ya yang dia perlukan?"
"Kita akan tahu besok pada jam sebelas."
Tepat pada waktu yang disebutkan, Tuan
286
Randolph Wilmott, Duta Besar Amerika untuk Inggris, dipersilakan masuk ke ruang kerja Tuan Blunt. Dia membersihkan tenggorokannya dan mulai bicara dengan penuh wibawa.
"Saya datang kepada Anda, Tuan Blunt—Anda adalah Tuan Blunt, bukan?"
"Ya, betul," kata Tommy. "Saya Theodore Blunt; pimpinan perusahaan ini."
"Saya memang lebih suka bicara langsung dengan para pimpinan," kata Tuan Wilmott. "Biasanya lebih memuaskan. Begini, Tuan Blunt, urusan ini membuat saya pusing. Saya merasa tak perlu merepotkan Scotland Yard—mungkin ini kekeliruan yang sepele saja, tapi kelihatannya sulit untuk mengerti kenapa bisa terjadi. Tidak ada tindak pidana di dalamnya, tapi bagaimanapun juga, saya ingin tahu betul persoalannya. Saya bisa marah kalau tidak mengerti ujung pangkal suatu persoalan."
"Tentu, saya mengerti," kata Tommy.
Tuan Wilmott melanjutkan ceritanya, pelan dan terinci. Akhirnya Tommy bisa menyela.
"Hm, jadi begini," katanya. "Anda datang naik' kapal Nomadic seminggu yang lalu. Ternyata tas Anda dan tas Tuan Ralph Westerham yang berinisial sama dengan Anda, tertukar. Anda membawa tas Tuan Westerham, dan dia membawa tas Anda. Tuan Westerham dengan cepat mengetahui bahwa tasnya tertukar, dan dia pun mengirimkan tas Anda ke Kedutaan Amerika, dan mengambil tasnya sendiri. Benar begitu?"
287
'Tepat sekali, kedua tas itu tentunya serupa. Apalagi kami punya inisial yang sama—R.W. Tertukarnya tas itu sangat mudah dimengerti. Saya sendiri tidak tahu hal itu sampai pelayan pribadi saya memberitahu—dan bahwa Tuan Westerham—dia seorang senat6r, dan merupakan pribadi yang saya kagumi—telah mengembalikan tas saya dan mengambil tasnya."
"Kalau begitu tak ada..."
Tunggu dulu. Itu hanya awal cerita. Kemarin, saya kebetulan bertemu dengan Senator Westerham, dan saya pun menyebut-nyebut kejadian itu sambil bercanda. Tapi saya jadi heran karena dia kelihatannya tidak mengerti apa yang saya katakan. Ketika saya ceritakan, dia jadi heran. Dia tidak keliru mengambil tas saya, bahkan mengatakan bahwa dia tidak mempunyai tas seperti itu."
"Aneh sekati!"
'Tuan Blunt, hal itu memang aneh. Kelihatannya tak ada alasan apa-apa di dalamnya. Kalau toh ada orang yang mau mencuri tas saya, dia bisa mengambilnya begitu saja tanpa perlu menukar-nukar tas itu! Dan tas itu pun tidak dicuri, karena segera dikembalikan pada saya. Sebaliknya, kalau tas itu memang salah ambil, kenapa pakai membawa-bawa nama Senator Westerham? Ini urusan gila—tapi saya benar-benar ingin tahu duduk persoalannya. Saya harap kasus ini tidak terlalu sepele bagi Anda untuk Anda selidiki?"
"Sama sekali tidak. Kasus ini merupakan sebti-
288
ah soal kecil yang menantang. Walaupun, seperti kata Anda, mungkin sederhana saja penjelasannya. Pertama-tama tentunya adalah alasan penu-
rannya—kalau toh ini kasus salah ambil. Anda katakan tadi tak ada yang hilang waktu tas itu dikembalikan?"
"Pelayan saya bilang tidak. Dia pasti tahu kalau ada yang hilang."
"Kalau saya boleh tahu, apa yang ada dalam tas itu?"
"Sepatu."
"Sepatu," ulang Tommy seperti kehilangan harapan.
"Ya," kata Tuan Wilmott. "Sepatu. Aneh, kan?"
"Maafkan saya atas pertanyaan saya," kata Tommy. "Anda tidak membawa kertas-kertas rahasia atau semacamnya yang tersimpan di lapisan sepatu atau tumit sepatu?"
Pak Duta Besar kelihatan geli mendengar pertanyaan itu.
"Diplomasi rahasia belum sejauh itu, saya rasa."
"Hanya dalam fiksi," kata Tommy sambil tersenyum dan bersikap meminta maaf. 'Tapi, bagaimanapun juga kita harus memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan itu. Siapa yang datang mengambil tas itu—maksud saya tas yang keliru Anda bawa?"
"Saya kira salah seorang pelayan Westerham. Orang biasa saja. Pelayan saya tidak melihat kejanggalan apa pun."
"Apakah tas itu sudah dibuka pelayan Anda?"
289
"Saya tak tahu. Rasanya belum. Barangkali Anda ingin menanyai pelayan saya? Dia akan bisa menjawab pertanyaan Anda dengan lebih baik."
"Saya rasa itu rencana yang bagus, Tuan Wilmott"
Duta besar itu menuliskan sesuatu di kartu dan memberikannya kepada Tommy.
"Saya rasa Anda lebih suka datang ke Kedutaan dan menginterview dia di sana, bukan? Kalau tidak, saya akan suruh dia—namanya Richards— ke sini."
'Tidak, terima kasih, Tuan Wilmott. Saya yang akan ke Kedutaan."
Duta Besar itu berdiri sambil melirik jam tangannya.
"Wah, cepat amat. Saya ada janji. Terima kasih, Tuan Blunt. Saya serahkan persolan ini kepada Anda."
Dia cepat-cepat pergi. Tommy memandang Tuppence yang selama ini berperan sebagai Nona Robinson yang efisien.
"Apa pendapatmu, Tuppence?" tanyanya. "Kau melihat alasan yang mendasari terjadinya kasus itu?"
"Sama sekali tidak," kata Tuppence dengan riang.
"Baiklah. Itu menunjukkan bahwa ada sesuatu yang benar-benar misterius di baliknya." "Kaupikir begitu?"
'Itu merupakan hipotesa yang bisa diterima secara umum. Ingat Sherlock Holmes dan seberapa
290
dalam mentega itu masuk ke dalam peterseli— maksudku, yang sebaliknya. Aku benar-benar ingin tahu kasus itu. Barangkali Watson akan menggalinya dari buku catatan. Kalau begitu aku bisa mati bahagia. Tapi kita harus kerja."
"Betul," kata Tuppence. "Aku rasa Yang Mulia Wilmott bukan orang yang cepat tanggap."
"Detektif wanita itu tahu karakter orang dengan baik," kata Tommy bercanda. "Atau, seharusnya kukatakan detektif pria? Memang sulit jika seorang wanita ingin jadi detektif pria."
"Oh! Sahabatku, sahabatku!"
Tambah sedikit aksi, Tuppence, dan kurangi pengulangan-pengulangan."
"Ungkapan klasik tak mungkin terlalu diulang-ulang," kata Tuppence berwibawa.
"Silakan ambil kue muffin," kata Tommy dengan manis.
'Tidak pada jam sebelas pagi. Terima kasih. Huh—kasus tolol. Sepatu—kenapa sepatu?"
"Hm, kenapa tidak?" kata Tommy.
"Nggak cocok. Sepatu." Dia menggelengkan kepala. "Nggak cocok. Siapa perlu sepatu orang lain? Gila."
"Barangkali mereka keliru mengambil tas?" kata Tommy.
"Bisa jadi. Tapi kalau mereka menginginkan surat-surat, briefcase lebih cocok. Satu-satunya yang bisa dihubungkan dengan duta besar ialah surat-surat."
"Sepatu ada hubungannya dengan jejak kaki,"
291
kata Tommy sambil merenung. "Apa mereka perlu mengikuti jejak Wilmott?"
Tuppence berpikir sejenak, menghentikan permainannya sebagai Dr. Fortune, lalu menggelengkan kepala.
"Kelihatannya tidak mungkin," katanya. "Aku rasa kita harus melepaskan kemungkinan itu dan kembali pada kenyataan bahwa sepatu-sepatu itu tak ada hubungannya dengan kasus ini."
"Oke," kata Tommy sambil menarik napas. "Langkah berikut ialah menginterview si Richards. Barangkali dia bisa memberi petunjuk-petunjuk untuk mengungkap misteri ini."
Setelah memberikan kartu Pak Duta Besar, Tommy diperbolehkan masuk ke Kedutaan. Tak lama kemudian dia berhadapan dengan seorang pemuda berwajah pucat yang sikapnya amat hormat dan suaranya amat sopan.
"Saya Richards, Tuan. Pelayan pribadi Tuan Wilmott. Tuan ingin menemui saya?"
"Ya, Richards. Tuan Wilmott datang ke tempat saya pagi tadi dan menyarankan agar saya datang kemari untuk menanyakan beberapa hal. Ini tentang tas yang tertukar."
"Ya, saya mengerti bahwa Tuan Wilmott merasa tidak senang dengan kejadian ini. Tapi saya tidak mengerti kenapa, karena tak ada kerugian yang diakibatkannya. Saya pun tahu dari orang yang mengambil tas itu bahwa tas yang kami bawa adalah tas Senator Westerham. Tapi saya mungkin keliru dalam hal ini."
292
"Bagaimana rupa orang itu?"
"Setengah baya. Rambut abu-abu. Terhormat— kelihatan seperti berpendidikan. Dia mengaku pelayan pribadi Tuan Westerham. Dia meninggalkan tas Tuan Wilmott dan membawa pergi tas yang satunya."
"Apa sudah dibongkar?"
"Yang mana, Tuan?"
"Yang kaubawa dari kapal. Tapi saya juga ingin tahu tentang yang lain—yang kepunyaan Tuan Wilmott. Apa kira-kira sudah dibongkar tas itu?"
"Saya rasa belum. Tuan. Saya rasa Tuan itu— siapa pun dia—membuka tas Tuan Wilmott—' lalu tahu bahwa itu bukan tasnya, dan menutupnya kembali."
'Tak ada yang hilang? Benda kecil sekalipun?"
"Saya rasa tidak, Tuan. Saya yakin tidak."
"Sekarang tas yang satunya. Kau sudah mulai membongkarnya?"
"Begini, Tuan. Saya waktu itu sedang membuka tas itu. Pada saat itu pula pelayan Tuan Westerham datang. Saya baru membuka talinya."
"Kau sama sekali tidak membukanya?"
"Kami melihat sedikit saja. Untuk meyakinkan bahwa kali itu tasnya benar. Orang itu berkata bahwa tidak salah. Dia menalikannya lagi lalu membawanya pergi."
"Barang-barang apa saja yang ada di dalam? Sepatu juga?"
"Bukan, Tuan. Kebanyakan peralatan kosmeti-
293
ka dan. perlengkapan mandi, kalau nggak salah. Saya melihat sekaleng garam mandi."
Tommy tidak melanjutkan pertanyaan tentang hal itu.
"Kau tak pernah melihat seseorang yang mencurigakan di kabin tuanmu?" "Oh, tidak, Tuan."
"Sama sekali tak ada hal-hal yang mencurigakan atau kelihatan aneh?"
He, apa tadi yang kukatakan? Mencurigakan dan aneh? pikir Tommy.
Tapi orang yang di hadapannya menjadi ragu-$agu.    *
"Sekarang saya ingat..."
"Ya?" kata Tommy bernafsu. "Apa?"
"Rasanya kok tidak ada hubungannya. Tapi, ada seorang gadis."
"Ya? Seorang gadis? Apa yang dia lakukan?"
"Dia hampir pingsan, Tuan. Gadis itu amat menyenangkan. Namanya Eileen O'Hara. Gadis yang menarik, tidak begitu tinggi, berambut hitam. Wajahnya agak asing kelihatannya."
"Lalu?" kata Tommy dengan lebih bernafsu.
"Dia hampir pingsan—di luar kabin Tuan Wilmott. Dia menyuruh saya memanggil dokter. Saya membantunya duduk di sofa, lalu keluar mencari dokter. Cukup lama juga. Ketika sudah ketemu dokter itu, saya cepat-cepat mengajak ke kabin. Tapi gadis itu sudah tidak apa-apa lagi."
"Oh!" kata Tommy. 1 "Anda pikir..."
294
"Sulit menjelaskannya," kata Tommy tanpa memberikan komentarnya. "Apa Nona O'Hara ini pergi sendirian?"
"Ya, saya rasa begitu."
"Kau tak pernah ketemu dia lagi setelah itu?" 'Tidak, Tuan."
"Baiklah," kata Tommy setelah berpikir sejenak. "Aku rasa cukup. Terima kasih, Richards." "Sama-sama, Tuan."
Tommy menceritakan apa yang dikatakan Richards pada Tuppence setelah kembali ke kantor.
"Apa pendapatmu, Tuppence?"
"Oh, Sahabatku! Kami, para dokter biasanya merasa skeptis dengan pingsan yang mendadak! Terlalu enak. Juga Eileen maupun O'Hara. Terlalu berbau Irlandia, bukan?"
'Tapi ini merupakan jejak yang perlu dilacak. Kau tahu apa yang akan aku lakukan? Pasang iklan cari gadis itu."
"Apa?"
"Ya. Informasi tentang Nona Eileen O'Hara, yang pernah berlayar dengan kapal anu tanggal anu. Dia pasti akan datang sendiri kalau memang ada, atau orang lain memberi informasi tentang dia. Ini satu-satunya harapan dari sebuah petunjuk."
"Ingat, dia juga pasti curiga." "Ya," kata Tommy. "Kita harus berani ambil risiko."
"Aku masih belum punya bayangan," kata
295
Tuppence sambil mengernyitkan kening. "Kalau sebuah komplotan penjahat menahan tas seorang duta besar selama satu-dua jam, lalu mengembalikannya lagi, keuntungan apa yang mereka dapat? Kecuali ada kertas-kertas berharga yang ingin mereka copy. Padahal Tuan Wilmott bilang tidak ada."Tommy memandangnya sambil berpikir.
"Bagus, Tuppence. Apa yang kaukatakan," katanya, "memberiku inspirasi."
Dua hari kemudian Tuppence keluar makan siang. Tommy yang ditinggal sendirian di ruang kerja Tuan Theodore Blunt membawa beberapa bacaan yang seru untuk mengasah otaknya.
Pintu ruangan itu terbuka dan Albert pun muncul.
"Seorang gadis ingin bertemu, Tuan. Nona Gcely March. Katanya dia datang untuk menjawab iklan."
"Suruh dia masuk segera," seru Tommy sambil menyembunyikan novelnya di laci.
Semenit kemudian Albert membawa masuk gadis itu. Tommy baru saja selesai memperhatikan bahwa gadis itu berambut pirang dan amat cantik ketika terjadi sesuatu yang mengejutkan.
Pintu dari tempat Albert muncul dibuka orang dengan kasar. Di tengah-tengah berdiri seorang lelaki besar berkulit gelap—kelihatan seperti orang Spanyol. Orang itu mengenakan dasi berwarna merah menyala. Mukanya kelihatan marah dan tangannya menggenggam pistol.
296
"Hah—jadi ini kantor Tuan Blunt yang usil itu," katanya dengan bahasa Inggris yang sempurna. Suaranya terdengar mengancam dan mengerikan. "Angkat tangan—atau ku tembak."
Dia tidak kedengaran main-main. Tangan Tommy pelan-pelan naik. Dan gadis yang menempel di dinding tembok itu menahan napas ketakutan.
"Gadis ini akan ikut aku," katanya. "Ya—kau akan ikut aku, Manis. Kau memang belum pernah melihatku, tapi tak apa-apa. Rencanaku tak boleh kacau hanya karena ulahmu. Rasanya aku ingat—" kau salah seorang penumpang kapal Nomadic. Kau pasti telah mengintip sesuatu yang bukan urusanmu. Tapi aku tak akan membiarkanmu membeberkan rahasia apa pun pada Tuan Blunt ini. Pandai juga Tuan Blunt dengan iklan menariknya itu. Sayang, aku cukup jeli untuk mengawasi kolom-kolom iklan. Itu sebabnya aku ada di sini."
"Ceritamu sangat menarik," kata Tommy. "Coba lanjutkan."
"Aku tak perlu bujuk gombalmu, Tuan Blunt. Hentikan saja penyelidikanmu. Kami tak akan mengganggumu. Kalau tidak—hanya Tuhan yang bisa menolongmu. Kematian tidak terlalu lama menunggu orang-orang yang merusak rencana kami."
Tommy tidak menjawab. Pandangannya menembus ke belakang bahu si pengacau, seolah- _ olah dia melihat hantu.
Sebenarnya dia melihat sesuatu yang lebih
297
menakutkan daripada sesosok hantu. Sampai saat itu dia belum pernah memperhitungkan Albert sebagai salah seorang pemain. Dia mengira bahwa Albert sudah dikerjai orang asing itu lebih dulu. Dia membayangkannya sudah terkapar di atas karpet di ruang luar.
Dan sekarang ternyata Albert lolos dari perhatian orang itu. Albert tidak meminta bantuan polisi Inggris, tetapi dia memilih untuk menghadapi situasi itu sendiri, dan Albert berdiri dengan tangan menggenggam tali.
Tommy berteriak melarang, tapi terlambat. Dengan penuh semangat Albert melemparkan tali itu ke kepala si pengacau dan menariknya ke belakang dengan kuat.
Hal yang tak terduga pun terjadi. Pistol yang digenggam pengacau itu meletus dan pelurunya terbang menyerempet kuping Tommy, dan bersarang di dinding di belakangnya.
"Beres, Tuan!" seru Albert penuh kemenangan. "Bagus juga laso saya. Saya selalu berlatih di waktu senggang. Tuan bisa membantu saya? Orang ini sangat kuat."
Tommy cepat-cepat mendekat untuk membantu. Dia berpikir dan memutuskan, tidak akan memberi kesempatan pada Albert untuk berlatih laso lagi.
'Tolol, kau," katanya. "Kenapa tidak memanggil polisi saja? Gara-gara permainanmu, aku hampir kena peluru. Untunglah cuma nyerempet!"
"Cukup tepat waktunya untuk melaso dia,"
298
kata Albert dengan gembira. "Hebat juga ya, orang-orang itu bisa main laso di padang rumput."
"Ya, tapi kita tidak di padang rumput," kata Tommy. "Kita kebetulan ada di tengah masyarakat yang berbudaya tinggi. Dan Anda, Tuan," katanya berpaling pada musuh yang tak berdaya, "apa yang sebaiknya kami lakukan untuk Anda?"
Laki-laki itu menjawab dengan rentetan kata-kata asing yang kedengaran seperti kata-kata makian.
"Sstt. Saya tak mengerti apa yang Anda katakan. Tapi rasanya kata-kata itu bukan kata-kata bagus yang bisa diucapkan di depan wanita terhormat. Anda bisa memaafkan dia, bukan, Nona...? Wah, maaf, gara-gara ada permainan kecil ini saya lupa menanyakan nama Anda."
"March," kata gadis itu. Wajahnya masih pucat dan tangannya gemetar. Tapi dia sekarang melangkah mendekati Tommy dan melihat sosok tertelungkup di bawah. "Apa yang akan Anda lakukan padanya?"
"Saya bisa menjemput polisi sekarang," kata Albert
Ketika mendongak, Tommy menangkap isyarat kecil dari gerakan kepala gadis itu, dan dia pun mengerti.
"Baik. Kita lepaskan dia kali ini. Tapi dengan senang hati saya akan membantu menendang dia turun ke bawah—supaya tahu bagaimana menghadapi seorang wanita."
299
Dia melepaskan tali laso itu, dan mendorongnya ke luar dengan cepat.
Serentetan jeritan terdengar, diikuti dengan suara berdebam. Tommy kembali berkeringat, tapi tersenyum.
Gadis itu memandangnya dengan mata bertanya-tanya.
"Anda—menghajarnya?"
"Saya harap begitu. Tapi orang-orang asing itu sudah biasa berteriak dulu sebelum kesakitan. Jadi saya tidak tahu pasti. Kita kembali masuk ruangan saja dulu. Dan melanjutkan percakapan. Bagaimana? Saya rasa kita tak akan diganggu lagi."
"Saya akan siap dengan laso saya, Tuan. Untuk jaga-jaga," kata Albert.
"Simpan saja lasomu," kata Tommy tegas.
Dia mengikuti gadis itu memasuki ruangannya dan duduk di kursi menghadapi tamunya.
"Saya tak tahu harus mulai dari mana," kata gadis itu. "Seperti Anda dengar dari dia, saya memang pernah naik kapal Nomadic. Dan gadis yang Anda iklankan, Nona O'Hara, juga-salah satu penumpang kapal."
"Tepat," kata Tommy. "Kami juga tahu bahwa dia adalah penumpang Nomadic. Tapi saya rasa ada sesuatu yang Anda ketahui di kapal itu yang membuat orang asing itu begitu mekat masuk ke tempat ini."
"Akan saya ceritakan semuanya," kata gadis itu. "Duta Besar Amerika ada di kapal itu. Pada
300
suatu kali, ketika saya melewati kabinnya, saya melihat wanita itu ada di dalam. Dia melakukan sesuatu yang aneh, sehingga saya berhenti melihat. Wanita itu memegang sebuah sepatu lelaki...."
"Sepatu?" seru Tommy terkejut, tapi senang. "Maaf, Nona March, teruskan."
"Dengan sebuah gunting dia membuka pelapis sepatu itu. Lalu dia seperti memasukkan sesuatu ke dalamnya. Pada saat itu dokter kapal dan seorang lelaki datang. Dengan cepat wanita itu tidur di sofa dan merintih kesakitan. Saya tetap diam dan mendengarkan Rupanya wanita itu berpura-pura pingsan. Saya bilang berpura-pura, karena ketika saya melihatnya pertama kali dia kelihatan tidak apa-apa."
Tommy mengangguk. "Lalu?"
"Saya tidak suka menceritakan bagian berikutnya. Saya curiga. Barangkali saya membaca buku-buku konyol. Saya curiga jangan-jangan wanita itu meletakkan bom atau jarum beracun atau benda semacamnya itu di dalam sepatu Tuan Wilmott. Saya tahu bahwa pikiran saya aneh. Tapi saya memang berpikir begitu. Lalu ketika saya melewati kabin itu lagi—waktu itu kosong— saya masuk dan mencari sepatu itu. Dari pelapisnya saya dapatkan selembar kertas. Tapi pada saat itu juga saya mendengar langkah seseorang. Saya cepat-cepat keluar. Kertas itu masih di tangan saya. Setelah saya masuk dalam kabin

saya, baru saya baca kertas itu. Ternyata hanya tulisan beberapa ayat Alkitab."
"Ayat-ayat Alkitab?" tanya Tommy dengan rasa ingin tahu.
"Itulah yang saya tahu waktu itu. Saya tak mengerti. Tapi saya berpikir, jangan-jangan itu ulah seorang maniak religi. Pokoknya saya merasa tidak ada gunanya mengembalikan kertas itu ke tempatnya. Saya simpan kertas itu tapi saya tidak* berpikir apa-apa lagi tentang hal itu. Tapi kemarin, ketika saya membuat kertas itu menjadi perahu kertas untuk kemenakan saya dan memasukkannya di air, saya melihat sesuatu yang aneh pada waktu kertasnya basah. Saya cepat-cepat mengambil perahu itu dan meluruskannya lagi. Air itu telah memunculkan berita yang tersembunyi. Gambarnya seperti sebuah pelacakan— kelihatan seperti mulut pelabuhan. Tak lama kemudian saya membaca iklan Anda."
Tommy meloncat dari kursinya.
"Ini penting sekali Saya mengerti sekarang. Gambar itu mungkin gambar suatu rencana pertahanan yang penting dari sebuah pelabuhan. Dan gambar itu dicuri wanita tadi. Dia kuatir dukuh seseorang. Karena tak berani menyimpan di dalam tasnya sendiri, dia menitipkannya dalam sepatu itu. Ketika dia membuka sepatu itu, kertas itu sudah lenyap. Apakah Anda membawa kertas itu, Nona March?"
Gadis itu menggelengkan kepala.
"Ada di tempat usaha saya—sebuah salon
302
kecantikan di Bond Street. Saya seorang agen 'Cyclamen', dari New York. Karena itu saya pergi ke sana. Saya pikir kertas itu tentunya penting. Karena itu saya menguncinya dalam lemari besi. Apa Scotland Yard perlu tahu soal ini?" "Ya, tentu saja."
"Kalau begitu kita ambil kertas itu untuk dibawa ke Scotland Yard?"
"Saya sibuk sekali saat ini," kata Tommy dengan gaya profesional dan melirik jamnya. "Uskup dari London meminta saya agar menyelesaikan sebuah kasus. Persoalan yang amat mencurigakan, mengenai jubah gereja dan pembantu gereja."
"Kalau begitu saya pergi sendiri saja," kata Nona March sambil berdiri.
Tommy mengangkat tangan tidak setuju.
"Saya baru akan berkata, uskup bisa menunggu. Saya akan meninggalkan pesan pada Albert. Saya yakin Anda dalam bahaya sebelum kertas itu berada di tangan Scotland Yard."
"Anda pikir begitu?" kata gadis itu ragu-ragu.
"Bukan saya pikir, tapi saya yakin. Sebentar." Dia menuliskan sesuatu di buku catatan di depannya, merobek dan melipatnya.
Diambilnya topi dan tongkatnya. Dia siap menemani gadis itu. Sambil keluar dia berikan lipatan kertas itu pada Albert.
"Saya harus keluar untuk kasus yang mendesak. Beritahukan kepada Yang Mulia kalau beliau
303
datang, bu ada catatan tentang kasus itu untuk Nona Robinson."
"Baik, Tuan," kata Albert menanggapi permainan itu. "Bagaimana dengan mutiara Duchess...?"
Tommy melambaikan tangan dengan jengkel.
"Itu juga harus menunggu."
Dia cepat-cepat keluar bersama Nona March. Di tangga turun mereka bertemu Tuppence. Tommy hanya berkata, 'Terlambat lagi, Nona Robinson. Saya keluar untuk menangani kasus penting."
Tuppence berdiri tegak di tangga dan memperhatikan mereka. Dengan alis mata terangkat dia meneruskan masuk ruangannya.
Ketika mereka sampai di luar, sebuah taksi menjemput mereka. Tommy tidak jadi memanggilnya.
"Anda biasa jalan, Nona March?" tanyanya serius.
'Ya, kenapa? Apa tak sebaiknya kita naik taksi? Akan lebih cepat, kan?"
"Barangkali Anda tidak memperhatikan. Taksi itu menolak dipanggil orang lain. Dia menunggu kita. Musuh Anda rupanya sudah bersiap. Kalau Anda sanggup, kita akan jalan ke Bond Street. Di jalan ramai mereka tak akan berani melakukan sesuatu yang membahayakan." * "Baik," kata gadis itu agak ragu-ragu.
Mereka berjalan ke arah barat. Seperti dikatakan Tommy, jalan itu memang ramai. Mereka tak bisa berjalan cepat. Tommy sangat waspada.
304
Kadang-kadang dia menarik gadis itu ke samping dengan cepat, walaupun dia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.
Sambil memandang gadis itu, Tommy tiba-tiba saja sadar akan apa yang dilihatnya.
"Wah, maaf. Anda benar-benar kelihatan semrawut. Barangkah karena kejutan tadi. Kita masuk ke tempat ini saja dulu dan minum kopi pahit. Saya rasa Anda tak ingin minum brandy."
Gadis itu menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil.
"Kopi kalau begitu," kata Tommy. "Pasti tidak ada racunnya."
Mereka istirahat sebentar minum kopi. Setelah itu melanjutkan perjalanan dengan cepat"Kita sudah mengelabui mereka, saya rasa," kata Tommy sambil melirik ke belakang lewat bahunya.
Cyclamen Ltd. adalah sebuah usaha kecil di Bond Street. Etalasenya dihiasi gorden sutera berwarna merah muda, satu atau dua botol krim wajah dan sebuah sabun.
Cicely March masuk, dan Tommy mengikuti. Toko itu amat kecil. Di sisi kiri ada sebuah counter kaca dengan perlengkapan mandi. Di belakang counter itu berdiri seorang wanita setengah baya berambut abu-abu dan berkulit halus Dia menganggukkan kepala ketika Cicely March masuk sebelum melanjutkan bicara dengan seorang tamu yang sedang dia layani.
Tamu itu seorang wanita kecil berkulit gelap.
305
Punggungnya menghadap mereka dan wajahnya tak kelihatan. Dia bicara dalam bahasa Inggris, pelan-pelan dan sulit. Di sisi kanan ada sebuah sofa dan dua buah kursi, dan sebuah meja dengan beberapa majalah di atasnya. Di situ duduk dua orang laki-laki—kelihatannya suami-suami yang sudah bosan menunggu istri mereka.
Gcely March berjalan ke ujung dan melewati sebuah pintu yang dibukanya lebar-lebar untuk Tommy. Pada saat itu tamu wanita itu berseru. "Ah! Saya kira dia amico saya," dan berlari mengikuti mereka. Dengan cepat dia menyelipkan kakinya ke pintu untuk menahan agar tidak menutup. Pada saat itu pula kedua laki- laki yang duduk itu berdiri. Yang seorang mengikuti si tamu wanita ke pintu dan seorang lainnya membekap mulut wanita pelayan toko itu agar tidak berteriak.
Kejadian di balik pintu itu berlangsung amat cepat. Ketika Tommy masuk, selembar kain dilempar ke atas kepalanya. Hidungnya segera mencium bau tajam yang memusingkan. Tapi dengan cepat kain itu pun terangkat dan terdengar teriakan seorang wanita.
Tommy mengejapkan mata dan terbatuk ketika melihat pemandangan di depannya. Di sisi kanan dia melihat orang asing yang menyerbu kantornya tadi. Laki-laki yang duduk di depan dan kelihatan bosan menunggu tadi sedang sibuk memasang borgol di tangan si pengacau. Persis di depannya, Cecily March berusaha melepaskan
306
diri dari cengkeraman tamu salon yang ada depan tadi. Ketika tamu itu menolehkan kepalanya, cadar yang dipakainya puh jatuh, dan terlihatlah wajah Tuppence.
"Bagus, Tuppence," kata Tommy sambil melangkah ke depan. "Sini kubantu. Saya tak akan melawan kalau saya jadi Anda. Nona O'Hara— atau Anda lebih suka dipanggil Nona March?"
"Ini Inspektur Grace, Tommy," kata Tuppence. "Aku langsung mengontak Scotland Yard begitu selesai membaca catatanmu. Inspektur Grace dan seorang polisi menemuiku di luar sini."
"Beruntung bisa menangkap dia," kata Pak Inspektur sambil menunjuk pada orang asing itu. "Dia buronan kelas berat. Tapi kami tak punya alasan untuk mencurigai tempat ini—kami kira ini salon kecantikan betulan
"Kita memang harus hati-hati," kata Tommy menjelaskan dengan pelan. "Kenapa orang memerlukan tas seorang duta besar untuk waktu dua jam saja? Saya menanyakan yang sebaliknya. Misalnya tas yang lain itu yang penting. Seseorang ingin agar tas itu ada di tangan Pak Duta Besar selama kira-kira satu jam. Ini lebih cocok! Barang-barang diplomat kan tidak diperiksa petugas pabean. Pasti penyelundupan. Tapi penyelundupan apa? Bukan sesuatu yang besar. Seketika itu saya berpikir tentang obat terlarang. Kemudian komedi itu pun dipentaskan di kantor saya. Mereka melihat iklan saya dan ingin melenyapkan saya. Tidak berhasil. Kebetulan saya melihat
307
ekspresi kecewa pada mata wanita cantik ini ketika Albert berhasil melaso si pengacau. Itu tidak cocok dengan peranan yang sedang dia mainkan. Serangan orang asing ini dimaksudkan untuk membuat saya percaya pada ceritanya. Saya mencoba sebaik-baiknya untuk bisa memainkan peranan tolol—menelan ceritanya yang tak masuk akal, dan membiarkannya memancing saya ke tempat ini. Tentu saja saya tak lupa memberi instruksi yang diperlukan untuk menghadapi situasi. Dengan berbagai dalih saya mengulur waktu kedatangan agar kalian siap."
Cicely March memandangnya dengan mata benci.
"Kau gila. Apa yang ingin kautemukan di sini?"Saya ingat Richards cerita melihat garam mandi. Bagaimana kalau kita mulai dengan garam mandi. Inspektur?"
"Ide yang bagus."
Dia mengambil salah satu kaleng merah muda dan menuang isinya di atas meja. Gadis itu tertawa.
"Kristal asli, ya?" kata Tommy. 'Tak ada yang lebih berbahaya dari soda karbon?"
"Coba lemari besinya," kata Tuppence.
Ada sebuah lemari dinding kecil di sudut. Kuncinya tergantung. Tommy membukanya dan berseru puas. Bagian belakang lemari itu terbuka ke sebuah lubang besar di dinding. Pada lubang itu terdapat berkaleng-kaleng garam mandi, berderet-deret banyak sekali. Dia mengambil satu
308
kaleng dan membuka tutupnya. Bagian atas menunjukkan kristal merah muda, tapi di bawahnya terdapat bubuk putih.
Inspektur itu berseru gembira.
"Ah, sudah Anda temukan! Satu dari sepuluh kaleng penuh dengan kokain. Kami tahu bahwa ada suatu area distribusi di sini, yang gampang menuju ke West End, Tapi kami belum bisa menemukannya. Ini benar-benar penemuan luar biasa."
"Ya—suatu kemenangan untuk Blunts Brilliant Detectives," kata Tommy pada Tuppence ketika mereka keluar dari tempat itu bersama-sama. "Aku bahagia jadi seorang suami. Karena pelajaranmu, aku bisa mengenali peroxide. Kita harus membuat surat resmi untuk Pak Duta Besar, memberitahu dia bahwa kasus ini telah kita selesaikan dengan baik. Bagaimana kalau kita minum teh sekarang? Dan makan kue muffin dengan mentega sebanyak-banyaknya?"
309
23. Laki-laki Nomor 16
Tommy dan Tuppence sedang bicara dengan bos mereka di ruang kerjanya. Sambutan dan pujiannya hangat dan tulus.
"Kalian berdua telah berhasil dengan baik sekali. Karena jasa kalian kami bisa menangkap lima orang buron yang amat penting. Dari mereka kami mendapat informasi yang sangat berharga. Sementara itu, dari sebuah sumber kami tahu bahwa markas besar di Moskow menjadi panik karena agen mereka tidak memberi laporan. Saya rasa mereka mulai curiga. Mereka mulai mencium bahwa ada yang tidak beres dengan pusat distribusi informasi mereka—yaitu kantor Tuan Theodore Blunt—Agen Detektif Internasional."
"Kalau begitu mereka pasti akan menyelidikinya, Pak," kata Tommy.
"Ya, saya pun berpikir begitu. Saya agak kuaur dengan—Nyonya Tommy."
"Saya bisa menjaganya dengan baik," kata Tommy, bersamaan dengan Tuppence yang berkata, "Saya bisa menjaga diri dengan baik."
310
"Hm," kata Tuan Carter. "Penuh percaya diri merupakan ciri kalian. Saya tak tahu—imunitas kalian merupakan kecerdasan manusia super atau suatu nasib baik. Tapi nasib baik bisa berubah. Tapi saya tak akan mempersoalkan hal itu. Sepanjang pengetahuan saya, tak ada gunanya bukan kalau saya menyembunyikan sesuatu dari Nyonya Tommy untuk satu atau dua minggu ini?"
Tuppence menggelengkan kepala dengan tegas.
"Kalau begitu saya harus memberi informasi yang saya peroleh. Kami mendapat berita bahwa seorang agen khusus telah dikirim dari Moskow kemari. Kami tidak tahu nama yang dipakainya dan kapan dia datang. Tapi kami tahu sesuatu tentang dia. Dia adalah orang yang pernah mengacau kita pada waktu perang. Orang yang muncul di tempat-tempat yang tidak kita inginkan. Dia orang Rusia, dan pandai berbahasa asing, termasuk bahasa kita. Dia juga pandai menyamar. Dan dia cerdas. Dialah yang membuat kode 16 itu.
"Kapan dan bagaimana dia akan muncul, saya tak tahu. Tapi saya yakin bahwa dia akan muncul. Kami tahu ini—dia tidak mengenal Tuan Theodore Blunt secara pribadi. Saya rasa dia akan muncul, berpura-pura minta bantuan kalian untuk sebuah kasus dan dia akan menyelipkan kode rahasianya. Yang pertama-tama adalah ucapan nomor enam belas—dan dijawab dengan kalimat
311
yang menyebut nomor yang sama. Yang kedua ialah suatu pertanyaan, apakah kalian pernah menyeberangi Selat Inggris. Jawabannya: 'Saya ada di Berlin tanggal 13 bulan lalu/ Itu saja yang kita tahu. Saya harap kalian menjawab dengan tepat, sehingga dia percaya. Tahan dulu keinginan untuk meniru tokoh-tokoh fiksi itu kalau bisa. Walaupun kelihatannya dia bisa dikelabui, kalian harus waspada. Kawan kita ini benar-benar lihai. Dia bisa bermain dobel atau lebih baik dari kalian. Bagaimanapun, saya ingin menangkapnya melalui kalian. Mulai hari ini dan seterusnya saya membuat penjagaan ketat. Sebuah dictaphone tadi malam telah dipasang di ruang kerja kalian, sehingga salah satu bawahanku bisa mendengar segala yang dikatakan dari bawah. Dengan demikian mereka bisa segera menghubungiku kalau ada sesuatu, dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi kalian dan menangkap orang yang kucari itu."
Setelah mendengar beberapa instruksi lagi dan membicarakan taktik-taktik umum, keduanya pun keluar dan dengan cepat menuju ke kantor mereka.
"Sudah siang," kata Tommy sambil melihat jamnya. "Hampir jam sebelas. Kita cukup lama juga bicara dengan Bos. Mudah-mudahan kita tak kehilangan kasus paling panas ini."
"Secara umum kita tidak terlalu jelek," kata Tuppence. "Aku menghitung-hitung apa yang sudah kita kerjakan kemarin. Kita telah menye-
312
lesaikan empat kasus pembunuhan yang membingungkan, menggulung komplotan pemalsu uang, dan komplotan penyelundup..."
"Sebetulnya dua komplotan," sela Tommy. "Wah, hebat juga ya. Aku suka itu. Komplotan— kedengarannya profesional."
Tuppence melanjutkan sambil menghitung dengan jari-jarinya.
"Satu pencurian permata, dua kesempatan lepas dari kematian, satu kasus hilangnya seorang wanita karena ingin langsing, satu gadis yang baik, satu alibi yang dipecahkan dengan sukses, dan ya... satu kasus di mana kita sendiri berbuat konyol. Secara keseluruhan—cukup bagus! Aku rasa kita sangat cerdik."
"Kau memang selalu berpikir begitu," kata Tommy. "Padahal aku merasa bahwa satu atau dua kali sebenarnya kita ini hanya bernasib baik."
"Nonsense" kata Tuppence. "Semua karena sel abu-abu kecil."
"Hm—aku pernah bernasib baik," kata Tommy. "Waktu Albert muncul dengan lasonya! Eh, kau kok jadi menghitung-hitung, seolah-olah ini semua mau selesai".
"Memang," kata Tuppence. Dia merendahkan suaranya dan berkata dengan impresif. "Ini adalah kasus kita yang terakhir. Setelah mereka berhasil menangkap mata-mata super itu, detektif detektif besar ini akan pensiun, menanam sayur mayur dan beternak lebah. Selalu begitu."
"Sudah bosan, ya?"
313
"Yaa—aku rasa begitu. Di samping itu, kita sudah menikmati sukses yang begitu besar. Jangan-jangan nasib baik berubah." *
"Siapa yang omong tentang nasib baik sekarang?" kata Tommy memojokkan.
Pada saat itu mereka berbelok memasuki pintu blok gedung yang ditempati Agen Detektif Internasional. Tuppence tidak menjawab.
Albert sedang bertugas di ruang depan, mengisi waktu luangnya dengan memainkan keseimbangan penggaris di atas hidungnya.
Dengan wajah kurang senang, Tuan Blunt berjalan melewatinya dan masuk ke dalam ruangannya. Dia membuka mantel dan topinya, lalu membuka lemari yang berisi buku-buku detektif klasik.
"Pilihannya semakin sempit," gumamnya. "Siapa yang akan kujadikan model hari ini?"
Terdengar suara Tuppence yang bernada lain. Tommy segera menoleh kepadanya.
"Tommy," katanya. 'Tanggal berapa sekarang?"
"Sebentar—tanggal sebelas—kenapa?"
"Lihat tanggalan itu."
Di dinding tergantung sebuah tanggalan harian, di mana orang harus menyobek tanggalnya setiap hari. Di situ tertulis Minggu, tanggal 16. Padahal hari itu hari Senin.
"He, itu aneh. Pasti Albert menarik terlalu banyak. Anak itu memang sembrono."
Ketika dipanggil dan ditanyai, Albert menjadi heran. Dia bersumpah hanya merobek satu lem-
314
bar—yaitu lembar kemarin. Pernyataannya memang dapat dibenarkan, karena lembar yang dirobeknya dilempar ke perapian, sedangkan lembar-lembar lainnya tergeletak rapi di tempat sampah.
"Kriminal yang rapi dan sangat lihai," kata Tommy. "Siapa yang kemari tadi pagi, Albert? Ada klien?"
"Hanya satu, Tuan."
"Siapa dia?"
"Seorang wanita. Seorang perawat. Sangat bingung dan ingin sekali bertemu dengan Tuan. Dia .bilang mau menunggu sampai Tuan datang. Saya menyuruh duduk di ruang 'Pegawai', karena di situ lebih hangat."
"Dan dari situ dia dapat masuk ke sini tanpa kauketahui, bukan? Kapan dia pergi?"
"Kira-kira setengah jam yang lalu. Tuan. Katanya mau datang lagi siang ini. Orangnya baik dan keibuan."
"Baik dan keibuan—oh! Keluar, kau, Albert!"
Albert keluar dengan hati sakit, f
"Permulaan yang aneh." kata Tommy. "Kelihatannya tak ada maksudnya. Membuat kita supaya waspada. Apa ada bom disembunyikan di perapian? Atau hal semacam itu?"
Dia memeriksa sekitarnya lalu duduk sambil bicara pada Tuppence.
" "Mon ami," katanya, "kita dihadapkan pada suatu soal yang amat berat. Kau masih ingat lelaki nomor empat, bukan? Yang aku hancurkan
315
seperti kulit telur—dengan bantuan bahan peledak yang hebat, bien entendu. Tapi dia tidak benar-benar mati—oh! Tidak. Mereka tidak benar-benar mati—para kriminal super itu! Inilah dia—tapi dia lebih hebat lagi. Dia merupakan kelipatan empat—dengan kata lain dialah si Nomor 16. Kau mengerti, mon ami?"
"Mengerti sekali," kata Tuppence. "Kau adalah Hercule Poirot yang hebat itu."
'Tepat. Tak ada kumis. Tapi banyak sel abu-abu."
"Aku punya firasat," kata Tuppence, "bahwa petualangan khusus ini akan dinamai 'Keme-. nangan Hastings'."
'Tidak," kata Tommy. "Belum pernah terjadi. Sekali dia seorang kawan yang bodoh, dia tetap bodoh. Ada etiketnya untuk hal-hal seperti ini. Oh ya, mon ami, apa kau tak bisa membelah rambutmu di tengah, dan bukan di samping seperti itu? Efeknya tidak simetris dan menyedihkan."
Bel berbunyi keras di meja Tommy. Dia mengembalikan sinyal dan Albert datang membawa sebuah kartu.
"Pangeran Vladiroffsky," kata Tommy membaca dengan suara rendah. Dia memandang Tuppence. "Bawa dia masuk, Albert."
Laki-laki yang muncul bertinggi badan sedang, kelihatan luwes, berjenggot, dan berumur kira-kira tiga puluh lima tahun.
'Tuan Blunt?" tanyanya. Bahasa Inggrisnya
316
sempurna. "Anda mendapat rekomendasi yang amat tinggi. Apakah Anda bisa menangani kasus saya?"
"Barangkali Anda bisa memberikan detilnya?"Tentu. Mengenai anak perempuan teman saya —gadis berumur enam belas tahun. Kami tak menghendaki skandal. Anda pasti mengerti.Tuan," kata Tommy. "Usaha kami telah sukses selama enam belas tahun karena kami memperhatikan apa yang Anda kehendaki itu."
Tommy merasa melihat ada kilauan pada mata laki-laki itu, tapi secepat itu pula kilasan itu hilang.
"Anda punya kantor-kantor cabang? Kalau tak salah di seberang Selat Inggris."
"Oh! Ya. Saya berada di Berlin tanggal 13 bulan lalu," kata Tommy menegaskan kalimatnya.
"Kalau demikian," kata orang asing itu, "tidak perlu lagi membuat fiksi-fiksi kecil itu. Kalian tahu siapa aku. Setidaknya kalian sudah siap dengan kedatanganku."
Dia mengangguk memandang kalender di dinding.
"Begitulah," kata Tommy.
"Kawan—aku datang kemari untuk memeriksa beberapa hal. Apa yang telah terjadi?"
"Pengkhianatan," kata Tuppence yang tidak tahan berdiam diri.
Si Rusia mengangkat alisnya dan memandang kepadanya.
317
"Ah—dia. Ternyata itu? Dugaanku benar rupanya. Apa si Sergius?"
"Kelihatannya begitu," kata Tuppence dengan tenang.
'Tak membuatku heran. Tapi kalian sendiri— tak ada yang curiga?"
".Rasanya tidak. Kami mengelola suatu bisnis yang cukup bonafid," kata Tommy.
Si Rusia mengangguk.
"Bagus. Kalau begitu sebaiknya aku tak usah kemari lagi. Saat ini aku tinggal di Blitz. Aku akan pergi dengan Marise—ini Marise, kan?"
Tuppence mengangguk.
"Siapa namanya di sini?"
"Oh! Nona Robinson."
"Baik, Nona Robinson. Kau ikut aku ke Blitz untuk makan siang denganku di sana. Kita semua akan bertemu di markas besar jam tiga. Jelas?" Dia memandang Tommy.
"Sangat jelas," jawab Tommy sambil berpikir di mana gerangan markas besar itu.
Dia merasa bahwa markas besar itulah yang ingin diketahui Tuan Carter.
Tuppence berdiri dan memakai baju hangatnya yang berwarna hitam berkerah kulit macan. Kemudian dengan tenang dia mengatakan siap mengawani Sang Pangeran.
Mereka keluar bersama, dan Tommy pun ditinggal sendiri dengan perasaan tidak keruan.
Bagaimana kalau ada yang tidak beres dengan
318
dictaphone itu? Bagaimana kalau perawat itu menemukan dictaphone itu dan merusaknya?
Dia mengangkat telepon dan memutar sebuah nomor. Setelah menunggu sesaat dia pun mendengar suara yang amat dikenalnya.
"Beres. Kita ke Blitz sekarang juga."
Lima menit kemudian Tommy dan Tuan Carter bertemu di Palm Court, Hotel Blitz. Tuan Carter kelihatan serius dan menghibur.
"Kau melakukannya dengan baik. Sang Pangeran dan Nona Robinson sedang makan siang di restoran. Dua anak buahku siap sebagai pelayan di sini. Aku tak tahu apakah dia curiga atau tidak. Aku rasa tidak. Tapi kita akan menangkapnya. Ada dua orang ditempatkan untuk menjaga kamarnya, dan beberapa orang lagi di. luar, siap untuk mengikuti dia. Jangan kuatirkan istrimu. Dia akan selalu dijaga. Aku tak ingin ambil risiko."
Sesekali seorang petugas rahasia melaporkan perkembangan yang terjadi. Yang pertama adalah seorang pelayan yang mencatat pesanan makanan mereka. Berikutnya seorang lelaki berwajah kosong dengan dandanan modis.
"Mereka keluar," kata Tuan Carter. "Kita duduk di belakang pilar saja—kalau kalau mereka duduk di sini. Tapi aku rasa dia akan membawa istrimu ke kamarnya". Ah! Ya, aku rasa benar."
Dari tempat duduknya Tommy melihat Tuppence dan si Rusia menyeberang ruangan dan masuk lift.
319
Beberapa menit berlalu. Tommy mulai gelisah.
"Bagaimana—eh, maksud saya, mereka berduaan saja di kamar..."
"Salah satu orang-orangku ada di dalam—di belakang sofa. Jangan kuatir."
Seorang pelayan datang kepada Tuan Carter.
"Dapat isyarat dia datang, Pak—tapi mereka belum muncul. Bagaimana?" - "Apa?" Tuan Carter berputar. "Aku lihat mereka masuk lift..." dia memandang jamnya, "...empat setengah menit yang lalu. Dan mereka belum muncul...."
Dia cepat-cepat berjalan ke lift yang kebetulan turut pada saat itu.
"Kau tadi membawa naik seorang tuan berjenggot putih dengan seorang wanita ke lantai dua beberapa menit yang lalu."
"Bukan lantai dua. Tuan itu minta lantai tiga."
"Oh!" Bos meloncat masuk dan memberi isyarat pada Tommy agar mengikutinya. "Bawa kami ke lantai tiga."Aku tak mengerti," gumamnya dengan suara rendah. "Tapi tenang saja. Setiap jalan keluar dari hotel ini sudah dijaga. Bahkan di setiap lantai. Aku tak mau ambil risiko."
Pintu lift terbuka di lantai tiga. Mereka meloncat keluar dan berjalan cepat di koridor. Di tengah jalan seorang lelaki berpakaian pelayan menyambut mereka.
"Beres, Pak. Mereka di kamar 318."
Carter melepas napas lega.
320
"Bagus. Tak ada jalan keluar lagi?"
"Kamar itu sebuah suite. Tapi hanya ada dua pintu ini yang menuju koridor. Kalau mereka keluar dari kamar itu mereka harus melewati kita untuk sampai ke tangga lift."
"Baik kalau begitu. Telepon ke bawah dan tanya siapa yang menempati kamar itu."
Pelayan itu kembali dua menit kemudian.
"Nyonya Cortlandt Van Snyder dari Detroit."
Tuan Carter berpikir keras.
"Aku tak mengerti. Nyonya Van Snyder ini merupakan korban atau..."
Dia tidak menyelesaikan kalimatnya.
"Dengar suara-suara dari dalam?" katanya tiba-tiba.
"Sama sekali tidak. Tapi pintunya rapat. Kita pasti tak bisa mendengar banyak."
Tiba-tiba Tuan Carter berkata tegas.
"Aku tak suka urusan ini. Kita masuk. Kau punya kunci serep?"
'Tentu, Pak."
"Panggil Evans dan Clydesly."
Dengan bantuan dua orang tersebut mereka maju ke pintu. Pintu itu terbuka pelan ketika kuncinya dibuka.
Mereka menghadapi ruang kosong. Di sebelah kanan ada pintu kamar mandi yang terbuka. Di depan mereka adalah ruang duduk. Di sebelah kiri ada sebuah pintu yang tertutup dan dari balik pintu terdengar suara lirih—seperti keluhan
321
orang berpenyakit asma. Tuan Carter membuka pintu itu dan masuk.
Ruangan itu ternyata ruang tidur yang diisi dengan sebuah tempat tidur besar, tertutup dengan penutup berwarna merah muda dan keemasan. Di atasnya tergeletak seorang wanita setengah baya berpakaian modis dengan tangan dan kaki terikat. Mulutnya tersumbat dan matanya seolah-olah keluar karena marah dan kesakitan.
Setelah mendengar perintah singkat Tuan Carter, kedua laki- laki lain pun memeriksa dan menjaga ruangan lain. Hanya Tommy dan bosnya yang masuk ke ruang tidur. Pada waktu dia membungkuk dan mencoba melepaskan ikatan wanita itu, mata Carter memeriksa ruangan itu dengan heran. Kecuali sebuah peti barang buatan Amerika yang amat besar, ruangan itu kosong. Tak ada tanda-tanda Tuppence atau si Rusia di situ.
Dalam menit berikutnya pelayan datang tergesa-gesa dan melaporkan bahwa kamar-kamar yang lain juga kosong. Tommy melihat ke jendela, tetapi kembali tanpa hasil. Di situ tak ada balkon.
"Ini betul-betul kamar yang mereka masuki?" tanya Carter tegas.
'Tentu. Kecuali..." Laki-laki itu menuding ke arah wanita di atas tempat tidur.
Dengan bantuan sebuah pisau lipat Carter membuka syal yang dipakai menyumbat mulut wanita itu. Jelas bahwa apa pun penderitaan yang
322
dialami Nyonya Snyder, kemampuannya berbicara masih ada.
Ketika marah dan caci makinya telah reda, Tuan Carter bicara perlahan.
"Anda bersedia menceritakan apa yang telah terjadi—dari awal?"
"Saya akan menuntut hotel ini. Benar-benar keterlaluan. Saya sedang mencari botol Killa-grippe' saya ketika tiba-tiba seorang lelaki meloncat dari belakang dan memecahkan sebuah botol gelas kecil tepat di depan hidung saya. Sebelum saya sempat menarik napas, saya sudah tidak sadar. Ketika sadar, saya sudah terbaring di situ dengan tangan dan kaki terikat. Wah, saya belum lihat permata saya. Saya rasa sudah dia bawa."
"Saya rasa permata Anda aman," kata Tuan Carter. Dia berputar dan mengambil sesuatu dari lantai. "Anda tadi berdiri di tempat saya ketika dia meloncat masuk?"
"Ya," kata Nyonya Van Snyder.
Yang diambil Tuan Carter ternyata pecahan gelas. Dia menciumnya dan memberikannya kepada Tommy.
"Ethyl Chloride," gumamnya. "Pembius yang kuat. Tapi cepat hilang efeknya. Tentunya dia masih ada di ruang ini ketika Anda sadar, Nyonya Van Snyder?"
"Saya kan cerita itu pada Anda tadi? Oh! Menjengkelkan sekali melihat dia keluar begitu saja tanpa bisa berbuat apa-apa."
323
"Keluar?" kata Tuan Carter tajam. "Lewat mana?"
"Lewat pintu itu." Dia menunjuk pintu di depannya. "Dia dan seorang gadis. Tapi gadis itu seperti lumpuh. Barangkali dibius juga."
Carter memandang bertanya pada bawahannya.
"Pintu ke kamar sebelah, Pak. Tapi pintunya dobel. Masing-masing digerendel."
Tuan Carter memeriksa pintu itu dengan teliti. Kemudian dia berdiri tegak dan kembali ke tempat tidur.
"Nyonya Van Snyder," katanya tenang. "Apa Anda masih akan tetap mengatakan bahwa laki-laki itu keluar lewat pintu ini?"
"Lho, ya—tentu saja. Kenapa tidak?"
"Karena pintu itu digerendel dari sini," kata Carter dengan suara kering. Dia mengguncangkan handel pintu itu sambil bicara.
Wajah Nyonya Snyder kelihatan heran dan bingung.
"Kecuali ada seseorang yang menggerendel pintu ini di belakangnya, dia tak akan bisa keluar," kata Tuan Carter.
Dia berpaling pada Evans yang baru masuk.
"Pasti—mereka tak ada di kamar ini? Ada pintu penghubung lain?"
'Tidak, Pak. Saya yakin."
Carter melihat ke sana kemari. Dia membuka lemari gantung yang besar, melihat di bawah kolong tempat tidur, ke atas ke cerobong asap dan
di balik semua gorden. Akhirnya, tanpa mempe-dulikan teriakan Nyonya Snyder, dia membuka peti baju besar itu dan membalik-balik isinya.
Tiba-tiba Tommy, yang dari tadi memeriksa gerendel pintu, berteriak,
"Pak, coba lihat ini!"
Gerendel itu memang kelihatan terkunci, tetapi tidak saling mengait. Dan itu tidak kelihatan jelas.
"Pintunya tak mau dibuka karena terkunci dari sisi yang lain," jelas Tommy.
Pada menit berikutnya mereka keluar lagi ke koridor dan pelayan pun membuka pintu di kamar samping. Kamar itu kosong, dan pintunya terkunci. Kuncinya tidak ada. Ketika sampai di pintu penghubung, mereka melihat hal yang sama. Gerendel itu kekuatan terkunci tapi kuncinya tidak saling mengait. Tapi mereka tidak menemukan Tuppence maupun si Rusia di situ. Padahal tidak ada pintu penghubung lainnya. Satu-satunya pintu adalah yang menghadap ke koridor.
'Tapi saya tidak melihat mereka keluar," kata si pelayan. "Saya pasti melihat bila mereka keluar. Saya berani bersumpah."
"Sialan," seru Tommy kesal. "Mereka kan tak bisa menghilang begitu saja di udara!"
Carter sekarang tenang kembali. Otaknya yang encer bekerja.
'Telepon ke bawah, tanyakan siapa yang terakhir menempati kamar ini dan kapan mereka pergi."


Evans yang bersama-sama mereka bergerak ke telepon mematuhi instruksi bos-nya. Akhirnya dia meletakkan gagang telepon dan mengangkat kepalanya.
"Seorang pemuda Prancis yang cacat,Paul de Varez. Dia dan perawatnya. Mereka pergi pagi tadi."
Sebuah seman terdengar dari petugas rahasia lainnya,pelayan. Wajahnya pucat.
"Pemuda cacat—perawat rumah sakit," katanya dengan gemetar. "Saya—mereka melewati saya di gang. Tapi—saya tak pernah mengira—saya pernah melihat mereka beberapa kali sebelumnya."
"Kau yakin mereka orang yang sama?!" seru Tuan Carter. "Apa kau yakin? Kauperha tikan mereka?" .
Laki-laki itu menggelengkan kepala.
"Melihat pun tidak. Saya menunggu—siap dengan yang lain, yaitu lelaki berjenggot dan seorang wanita.Tentu saja," kata Tuan Carter mengeluh. "Mereka sudah menyiapkan itu."
Tiba-tiba Tommy berseru dan membungkuk. Dia menarik sesuatu dari bawah sofa. Ternyata sebuah bundelan berwarna hitam. Tommy membuka gulungan itu, dan beberapa benda pun berjatuhan. Pembungkus luar adalah mantel hitam yang dipakai Tuppence hari itu. Di dalamnya ada rok, topi, dan sebuah jenggot palsu.
"Sudah jelas," kata Tommy dengan sedih. "Mereka menyandera Tuppence. Setan Rusia itu
326
telah lolos. Perawat dan pemuda cacat itu ternyata palsu. Mereka tinggal di hotel ini satu atau dua hari, sehingga orang orang di sekitar terbiasa dengan kehadiran mereka. Laki-laki itu pasti tahu pada waktu makan siang tadi bahwa dia terperangkap. Lalu dia melakukan rencana itu. Barangkali dia sudah memperhitungkan bahwa kamar sebelah itu kosong, karena pada saat itu dia menggerendel pintu. Pokoknya dia berhasil membungkam wanita di sebelah dan membawa Tuppence masuk, mendandani dia sebagai seorang pemuda, dan mengganti pakaian dan rupanya sendiri sebagai perawat, lalu keluar dengan gagah. Baju- baju itu pasti sudah disiapkan lebih dahulu. Tapi yang membingungkan saya—bagaimana mungkin Tuppence menurut begitu saja?"
"Aku bisa mengerti," kata Tuan Carter sambil membungkuk dan mengambil sebuah metal dari karpet. "Ini bagian dari jarum suntik. Tuppence pasti dibius."
"Ya, Tuhan!" seru Tommy. "Dan dia lolos!"
"Kita belum pasti akan itu. Setiap jalan keluar dijaga," kata Tuan Carter dengan cepat.
"Untuk seorang lelaki dan wanita. Tapi bukan untuk seorang pemuda cacat dan perawatnya. Mereka pasti telah meninggalkan hotel jni sekarang."
Memang benar. Setelah dicek, perawat dan pemuda cacat itu ternyata telah meninggalkan hotel dengan sebuah taksi, lima menit sebelumnya.
"Beresford," kata Tuan Carter. "Jangan putus
327
asa. Aku tak akan melewatkan tempat sekecil apa pun untuk mencari istrimu. Aku akan kembali ke kantor dan memberi instruksi agar semua bergerak. Kita akan menemukan mereka."
"Benar, Pak? Setan Rusia itu licin. Lihat saja apa yang telah dia lakukan. Tapi saya yakin Bapak akan berusaha keras. Mudah mudahan—tidak terlambat. Kita sudah dikerjai."
Tommy meninggalkan hotel dan berjalan seperti orang buta yang tak tahu ke mana mesti berjalan. Dia merasa lumpuh. Mencari ke mana? Apa yang harus dilakukan?
Dia masuk ke Green Park dan menjatuhkan diri di sebuah bangku. Dia tidak melihat ketika ada seseorang duduk di ujung yang lain, dan sangat terkejut ketika mendengar sebuah suara yang dikenalnya.
"Maaf, Tuan, kalau saya boleh mengganggu...."
Tommy mendongak.
"Halo, Albert," kata Tommy tak bersemangat.
"Saya tahu apa yang terjadi, Tuan, tapi tidak putus asa seperti itu."
'Tidak putus a..." Tommy tertawa kecil. "Gampang diucapkan, ya?"
"Coba pikir, Tuan. Blunt's Brilliant Detectives! Tak pernah terkalahkan. Maaf. Tadi pagi saya kebetulan mendengar apa yang Tuan katakan dengan Nyonya. Tuan Poirot dengan sel abu-abunya. Nah, kenapa Tuan tidak memakai sel abu-abu Tuan?"
"Menggunakan sel abu-abu di dalam buku fiksi
328
itu lebih mudah daripada kenyataan yang sebenarnya, Albert."
'Tapi." kata Albert keras kepala, "saya tak yakin ada seseorang yang bisa mengalahkan Nyonya semudah itu. Tuan tahu kan, bagaimana Nyonya. Dia seperti tulang-tulangan dari karet yang biasa diberikan pada anjing- Dijamin mutunya dan tak gampang patah."
"Albert," kata Tommy, "terima kasih atas hiburanmu."
"Kalau begitu Tuan bisa menggunakan sel abu-abu Tuan, kan?"
"Kau memang keras kepala. Permainan kami memang berhasil, sampai saat itu. Kita coba saja lagi. Kita kumpulkan dulu fakta-faktanya dan kita atur dengan metode yang rapi. Pada jam dua lebih sepuluh tepat, buron kita masuk lift. Lima menit kemudian kita bicara pada penjaga lift. Setelah itu kita pergi ke lantai tiga. Kira-kira jam dua lewat sembilan belas menit kita masuk ke kamar Nyonya Van Snyder. Sekarang, fakta apa yang menonjol?"Mereka diam. Tak ada fakta apa pun yang menonjol dan menarik perhatian mereka.
Tak ada peti di dalam kamar?" tanya Albert dengan mata bersinar.
"Mon ami," kata Tommy. "Kau tak mengerti wanita Amerika yang baru pergi ke Paris. Ada sembilan belas peti di kamar itu."
"Maksud saya, peti itu merupakan tempat yang cukup baik untuk menyembunyikan sesosok
329'
mayat yang ingin kita singkirkan—bukan, bukannya pasti Nyonya sudah meninggal."
"Kita sudah memeriksa dua peti yang cukup besar untuk menyembunyikan mayat. Fakta apa lagi?"
'Tuan sudah melewatkan satu fakta—ketika Nyonya dan penjahat yang menyamar sebagai perawat itu keluar lewat koridor."
"Pasti terjadi sebelum kami keluar dari lift," kata Tommy. "Hampir saja mereka berhadapan langsung dengan kami. Cepat sekali gerakannya. Aku..."Dia diam.
"Ada apa, Tuan?"
"Diam, mon ami. Aku punya suatu ide kecil— yang hebat dan mengagumkan—yang selalu datang pada Hercule Poirot. Tapi kalau begitu— kalau begitu—oh, Tuhan. Mudah-mudahan tidak terlambat."
Tommy meloncat dan lari keluar taman. Albert menempel di belakangnya dan bertanya dengan napas tersengal, "Ada apa, Tuan? Saya tidak mengerti."
"Nggak apa-apa," kata Tommy. "Kau tidak harus tahu. Si Hastings tak pernah tahu. Kalau sel abu-abumu tidak lebih buruk dari punyaku, kaupikir permainan apa yang sedang kulakukan? Omonganku kacau—tapi memang begitulah. Kau anak yang baik, Albert. Kau tahu betapa berharganya Tuppence—harganya selusin kali hargamu dan hargaku."
330
Sambil terengah-engah Tommy memasuki gerbang Hotel Blitz. Dia melihat Evans dan menariknya sambil menyemburkan beberapa patah kata. Keduanya dan Albert masuk dalam lift.
"Lantai tiga," kata Tommy.
Mereka berhenti di depan pintu nomor 318. Evans punya kunci serep, dan dia memasukkannya ke lubangnya. Tanpa permisi mereka memasuki kamar Nyonya Van Snyder. Wanita itu masih tiduran di tempat tidur, tapi sekarang dengan pakaian tidur yang lebih pantas. Dia memandang mereka dengan heran.
"Maaf, saya tidak mengetuk," kata Tommy dengan manis. 'Tapi saya memerlukan istri saya. Bisakah Anda bangun dari tempat tidur itu?"
"Anda sudah gila barangkali," teriak Nyonya Van Snyder.
Tommy memandangnya dengan tajam. Kepalanya miring.
'Sangat artistik," katanya. Tapi tidak jalan. Kami telah mencari di bawah tempat tidur. Tapi tidak di dalam tempat tidur. Saya ingat pernah memakai tempat itu untuk bersembunyi ketika masih kecil. Melintang di tempat tidur. Dan peti baju itu pun siap untuk tempat membawa dia kemudian. Tapi kami datang terlalu cepat sekarang. Kau telah membius Tuppence dan menyembunyikannya di dalam tempat tidur, dan membiarkan diri disumbat dan diikat teman komplotmu yang di kamar sebelah. Kami memang menelan ceritamu sesaat pada waktu itu. Tapi
331
kalau hal itu kami pikirkan lagi—dengan logika yang benar—sangat tidak mungkin untuk membius seorang wanita, menggantinya dengan pakaian seorang pemuda, membungkam dan mengikat seorang wanita lain, dan mendandani wajah seseorang—semua dalam waktu lima menit. Benar-benar sesuatu yang tak masuk akal. Perawat dan pemuda itu merupakan sebuah umpan. Dan kami diharapkan mengikuti umpan itu. Sedangkan Nyonya Van Snyder adalah seorang korban yang perlu dikasihani. Tolong bangunkan dia dari tempat tidur, Evans. Kau punya pistol? Bagus."
Dengan jeritan memprotes, Nyonya Van Snyder diangkat dari tempatnya. Tommy membuka penutup tempat tidur dan kasur.
Di situ terlihat Tuppence terbaring dengan mata tertutup dan muka kaku. Sesaat Tommy merasa sesak. Tapi kemudian dia melihat gerakan naik turun di dadanya. Dia dibius, bukan mati.
Tommy berbalik ke Albert dan Evans.
"Dan sekarang. Tuan-tuan," katanya dengan dramatis. "Pukulan terakhir!"
Dengan gerakan cepat yang tak terduga, tangannya melesat menarik rambut Nyonya Van Snyder yang amat rapi. Rambut itu terlepas dari genggamannya.
"Seperti sudah kuperkirakan," kata Tommy, "Nomor 16!"
Setengah jam kemudian Tuppence membuka mata dan melihat seorang dokter dan suaminya membungkuk di atasnya.
332
Kejadian seperempat jam kemudian sebaiknya kita tutup dengan tirai kesopanan. Tapi setelah itu Pak Dokter pun pergi dengan lega karena semuanya baik
"Kawanku, Hastings," kata Tommy dengan gembira. "Aku bahagia karena kau tetap hidup."
"Kita sudah menangkap Nomor 16?"
"Sekali lagi aku sudah meremukkannya seperti memecahkan kulit telur—dengan kata lain, Carter sudah menangkapnya. Sel abu-abu kecil! Pokoknya gaji Albert akan kunaikkan."
"Coba ceritakan."
Tommy memberinya cerita yang penuh semangat dengan menghilangkan bagian-bagian tertentu.
"Apa kau tidak kuatir akan nasibku?" tanya Tuppence ragu-ragu.
'Tidak. Kita kan harus tetap tenang dalam situasi apa pun."
"Pembohong!" seru Tuppence. "Lihat—rupamu sendiri yang menunjukkannya."
"Hm, ya, barangkah aku agak kuatir. Sayang. Kita akan menyudahi permainan ini, kan?"
'Tentu saja."
Tommy menarik napas lega.
"Aku rasa kau sebaiknya bersikap tahu diri. Setelah kejutan ini..."
"Bukan karena kejutan ini. Aku tak peduli dengan kejutan."
"Dasar tulang-tulangan dari karet—tak bisa patah," gumam Tommy.
333
"Aku punya, rencana bagus," kata Tuppence. "Sesuatu yang sangat mendebarkan. Yang tak pernah kulakukan sebelumnya."
Tommy memandangnya dengan sangat kuatir.
"Jangan, Tuppence."
"Kau tak bisa melarang," kata Tuppence. "Ini hukum alam."
"Kau omong tentang apa?"
"Aku ngomong tentang," kata Tuppence, "bayi kita. Istri-istri zaman sekarang tidak berbisik. Mereka berteriak. BAYI KITA! Tommy, bukankah semua begitu indah?"


AMZA SILABAN

GRAMEDIA penerbit buku utama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar