PASANGAN DETEKTIF
Setelah berhasil dalam Musuh Dalam Selimut (Gramedia, 1984),
Tommy dan Tuppence menikah dan hidup bahagia.
Tapi... enam tahun kemudian, mereka mulai bosan. Tak ada kejadian menarik dan mendebarkan
yang mereka alami. Padahal, mereka terlanjur kecanduan bahaya. Mereka butuh
tantangan untuk mengasah otak mereka yang brilian dan memuaskan kehausan mereka
akan petualangan-petualangan yang penuh risiko.
Sebuah tawaran
disodorkan. Mereka mengambil alih biro detektif swasta yang hampir bangkrut. Kasus-kasus
aneh segera bermunculan lelaki jahat, lelaki berbaju koran, lelaki buta, lelaki
dalam kabut, dan...
Tommy-Tuppence,
pasangan detektif cemerlang tetapi konyol, sering sial tetapi pantang menyerah.
Benarkah? Apakah Tommy akan terus beraksi meski tahu bahwa nyawa Tuppence
menjadi taruhannya?
Penerbit
PT Gramedia
Pustaka Utama
JL Palmerah
SeLAtan 24-26 Lt. 6
Sanksi
Pelanggaran Pasal 44: Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta
1. Barangsjapa
dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau
memberi izin
untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp*100.000.000,— (seratus juta rupiah).
2. Barangs apa
dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum
suatu
ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 50.000.000,— lima puluh juta rupiah).
Agatha Christie
PASANGAN DETEKTIF
Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 1991
PARTNERS IN CRIME
By Agatha Christie
© 1929 Agatha Christie Mallowan
PASANGAN DETEKTIF
Alihbahasa: Mareta GM 402 91.053
Hak cipta terjemahan Indonesia: Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama, . Jl. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PTGramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI,
Jakarta, Januari 1991
Perpustakaan
Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)
CHRISTIE, Agatha
Pasangan Detektif
/ oleh Agatha Christie; alihbahasa, Mareta. — Jakarta : PT GramediaJ'ustaka
Utama, 1991. 336 hal.; 18 cm. ~
Judul asli: Partners in Crime. ISBN 979-511-053-5.
1. Fiksi Inggris. I. Judul. II. Mareta.
823
Dicetak oleh Percetakan
PTGramedia, Jakarta
Daftar Isi
1. Peri di Dalam
Rumah 7
2. Sepoci Teh 17
3. Kisah Mutiara
Merah Muda 33
4. Kisah Mutiara
Merah Muda (Lanjutan) 51
5. Petualangan
Lelaki Jahat 59
6. Petualangan
Lelaki Jahat (Lanjutan)73
7. Menyiasati
Raja 83
8. Lelaki Berbaju
Koran 93
9. Kasus Wanita
Hilang 106
10. Lelaki Buta
126
11. Lelaki Dalam
Kabut 143
12. Lelaki Dalam
Kabut (Lanjutan) 156
13. Crackler • 168
14. Crackler
(Lanjutan) ? 175
15. Misteri
Sunningdale 188
16. Misteri Sunningdale
(Lanjutan) 198
17. Rumah Beracun
209
18. Rumah Beracun
(Lanjutan) 219
19. Alibi yang
Kuat 236
20. Putri Pak
Pendeta 261
21. Red House 270
22. Sepatu Tuan
Duta Besar 286
23. Laki-laki
Nomor 16 310
5
1. Peri di Dalam
Rumah
Nyonya Thomas
Beresford menggeser duduknya sedikit dan memandang ke luar jendela flatnya
dengan sedih. Pemandangan di depannya bukanlah pemandangan yang menarik. Yang
terlihat hanya satu blok kecil yang terletak di seberang jalan. Nyonya
Beresford menarik napas panjang dan menguap.
"Mudah-mudahan
akan terjadi sesuatu," katanya.
Suaminya
memandang tidak setuju.
"Hati-hati,
Tuppence. Keinginanmu akan sensasi kotor ini membuatku cemas."
Tuppence menarik
napas dalam-dalam dan menutup matanya.
"Jadi Tommy
dan Tuppence menikah," katanya seperti orang mendongeng. "Mereka pun
hidup bahagia. Dan enam tahun kemudian mereka tetap hidup bahagia. Memang luar
biasa," katanya. "Apa yang terjadi selalu lain dengan apa yang kita
angankan."
"Sebuah
pemikiran yang dalam. Tuppence.
7
Tapi tidak orisinil.
Penyair-penyair terkenal, bahkan orang-orang terkenal lainnya, pernah meng
ucapkan hal itu—dan, maaf—mereka mengucapkannya lebih baik."
"Enam tahun
yang lalu," lanjut Tuppence, "aku bisa bersumpah bahwa dengan uang
cukup untuk membeli keperluan sehari-hari dan mempunyai suami kau, hidupku bisa
seperti sebuah lagu yang indah, seperti kata salah seorang penyair yang
kelihatannya kaukenal baik.
"Sekarang
apa yang membuatmu bosan? Aku atau uang?" tanya Tommy dengan suara dingin.
"Bosan
bukanlah kata yang tepat," kata Tuppence dengan manis. "Aku hanya
merasa terbiasa dengan berkat-berkat ini. Itu saja. Seperti orang yang tak
pernah berpikir betapa bahagianya dia dapat bernapas melalui hidung sampai dia
kena penyakit flu pada suatu saat"
"Apa
sebaiknya aku bersikap tidak terlalu mempedulikanmu?" usul Tommy.
"Bagaimana kalau aku kencan dengan wanita lain dan pergi ke niteclubT
'Tak ada
gunanya," jawab Tuppence. "Kau pasti akan melihatku di tempat itu
dengan lelaki lain. Dan aku tahu pasti bahwa kau sebetulnya tidak tertarik pada
wanita itu. Sedang kau sendiri pasti tidak tahu apakah aku benar-benar tertarik
pada laki-laki itu atau tidak. Wanita biasanya lebih teliti dari
laki-laki."
"Angka
tertinggi yang bisa dicapai seorang lelaki memang dalam hal kerendahan hati,"
8
gumam Tommy.
"Sebenarnya kenapa sih kau7 Apa yang membuatmu tidak puas?"
"Aku tak
tahu. Aku hanya ingin mengalami sesuam. Sesuatu yang mendebarkan. Ap' kau tak
ingin mengejar-ngejar mata-mata Jerman lagi, Tom? Bayangkan pengalaman kita di
hari-hari yang mendebarkan itu. Tentu saja aku sadar bahwa kau bekerja di Dinas
Rahasia sekarang. Tapi yang kaulakukan kerja kantoran."
"Kau ingin
agar mereka mengirimku ke pelosok Rusia sana dan menyamar sebagai seorang
aktivis Bolshevik atau semacamnya?"
"Itu nggak
enak," kata Tuppence. "Mereka tak akan membolehkan aku pergi
menemanimu, padahal akulah yang ingin melakukan sesuatu. Sesuatu untuk
dilakukan. Itulah yang aku inginkan dari tadi."
"Dunia
wanita," kata Tommy sambil mengibaskan tangannya.
"Kerja dua
puluh menit setelah sarapan sudah membuat flat ini kelihatan rapi. Tak ada yang
tak beres, kan?"
'Tugas-tugas
rumahmu terlalu sempurna, Tuppence, hampir monoton."
"Aku suka
mendengar orang berterima kasih," kata Tuppence. • *
"Memang kau
punya pekerjaan," lanjutnya, '"•tapi apa tak timbul sedikit keinginan
pun dalam dirimu—untuk melakukan sesuatu yang mendebarkan?"
'Tidak,"
jawab Tommy. "Aku rasa tidak Me-
9
mang asyik
mengharapkan dan membayangkan akan terjadi sesuatu. Tapi yang datang tidak
selalu hal yang menyenangkan."
"Laki-laki
memang selalu hati-hati," kata Tuppence sambil menarik napas. "Apa
kau tak pernah diam-diam punya keinginan untuk—bertualang dalam hidup
ini?"
"Apa yang
baru saja kaubaca, Tuppence?" tanya Tommy.
"Bayangkan,
betapa akan mendebarkan seandainya kita mendengar ketukan keras di pintu— lalu
kita membukanya—dan ternyata ada seorang laki-laki sempoyongan yang mati."
"Kalau dia
mati tak akan sempoyongan," kata Tommy dengan kritis.
,"Ah, kau
kan ngerti apa yang kumaksud," kata Tuppence. "Mereka selalu
sempoyongan sebelum mati dan jatuh di depan kita sambil mengucapkan beberapa
patah kata yang membingungkan, misalnya 'Macan Tutul Bertotol atau yang semacam
itu."
"Sebaiknya
kau ikut kursus Schopenhauer atau Emmanuel Kant," kata Tommy.
"Itu akan bagus
buatmu," jawab Tuppence. "Kau menjadi gemuk dan keenakan."
"Mana
bisa," kata Tommy marah. "Kau sendiri selalu berolah-raga supaya
langsing."
"Semua orang
kan berolahraga," kata Tuppence. "Aku mengatakan kau gemuk tadi kan
kiasan saja. Kau tambah makmur dan rapi dan enak."
10
"Aku tak
tahu apa yang terjadi padamu," kata suaminya.
"Semangat
bertualang," gumam Tuppence. "Itu kan lebih baik daripada keinginan
untuk membuat affair Walaupun aku juga melakukannya. Aku membayangkan bertemu
dengan seorang laki-laki. Laki-laki yang sangat tampan...." „
"Kau kan
sudah bertemu denganku," kata Tommy. "Apa itu belum cukup?"
"Seorang
laki-laki tegap berkulit kecoklatan dan kuat. Dia bisa menunggang apa saja dan
bisa menangkap kuda-kuda liar dengan lasso..."
"Dan memakai
celana kulit kambing dan topi koboi," sahut Tommy dengan sinis.
"...dan
pernah tinggal di daerah-daerah berbahaya," sambut Tuppence. "Aku
bayangkan dia jatuh cinta padaku. Dan tentu saja aku menolaknya, dan setia pada
sumpah perkawinanku. Tapi diam-diam hatiku pergi bersamanya." >>
"Ah,"
kata Tommy. "Aku juga suka .membayangkan bertemu dengan seorang gadis yang
sangat cantik. Gadis berambut jagung yang jatuh cinta padaku. Tapi rasanya aku
tidak akan menolak dia—aku yakin itu."
"Wah,"
kata Tuppence. "Kau nakal juga, ya?"
"Kau kenapa
sih. Tuppence? Tak pernah kau berkata seperti ini."
"Memang.
Tapi perasaan itu telah lama kupen-dam dan rasanya sudah mendidih di
dalam," kata Tuppence. 'Tahu, enggak? Sangat berbahaya kalau kau selalu
mendapat sesuatu yang kauingin
11
kan—termasuk uang
untuk membeli macam-macam. Dan memang banyak topi dijual orang."
"Kau sudah
punya empat puluh topi," kata Tommy. "Dan semua kelihatan sama."
'Topi sih memang
begitu," jawab Tuppence. "Sebetulnya tidak semua sama, ada nuansa
pada warna-warnanya. Aku lihat ada topi bagus di Violette tadi pagi."
"Kalau tak
ada lagi yang kaukerjakan kecuali membeli topi, kau tak perlu..."
"Persis,"
kata Tuppence. "Memang itu yang kumaksud. Kalau ada hal lain yang lebih
baik yang bisa kulakukan. Rasanya aku memerlukan sebuah pekerjaan yang baik.
Oh, Tommy, aku benar-benar mengharapkan akan terjadi sesuatu yang mendebarkan.
Aku merasa—aku benar-benar merasa bahwa hal itu akan baik untuk kita.
Seandainya kita bisa menemukan sesosok peri..."
"Ah!"
kata Tommy. "Aneh benar perkataanmu!"
Dia berdiri dan
melangkah ke sisi lain ruangan itu. Lalu membuka laci meja tulisnya, mengambil
sebuah foto dan memberikannya pada istrinya.
"Oh!"
kata Tuppence. "Rupanya sudah dicetak, ya? Ini yang mana, yang kauambil
atau yang kuambil?"
"Yang
kuambil. Yang kau ambil rusak. Kurang cahaya. Seperti biasa."
"Bagus juga
kau bisa melakukan sesuatu lebih baik dariku," kata Tuppence.
"Komentar
tolol," kata Tommy. "Tapi biar saja
12
untuk sementara.
Yang ingin kutunjukkan padamu ini."
Dia
menunjuk sebuah noda putih kecil pada foto.
"Itu kan
guratan pada film," kata Tuppence. "Bukan," jawab Tommy.
"Itu gambar peri." 'Tommy, kau memang tolol." "Lihat
saja."
Dia memberikan
kaca pembesar. Tuppence memperhatikan dengan baik. Noda putih itu memang
kelihatan seperti sebuah makhluk bersayap yang sedang hinggap di atas penutup
perapian.
"Ada
sayapnya!" seru Tuppence. "Lucu, ya. Ada peri. hidup di flat kita.
Kita surati Conan Doyle, yuk. Oh, Tom, apa dia akan mengabulkan keinginan
kita?"
"Nanti juga
kita tahu," jawab Tommy. "Keinginanmu kan cukup menggebu-gebu dari
tadi."
Pada saat itu
pintu mereka terbuka dan seorang anak laki-laki jangkung berumur lima belasan
masuk dengan ragu-ragu. Dia bertanya dengan amat sopan.
"Apa Nyonya
ada di rumah? Bel depan berbunyi."
"Ah,
mudah-mudahan Albert tidak nonton," kata Tuppence setelah anak itu keluar
lagi. "Dia sedang praktek menirukan kepala pelayan dari Long Island.
Untunglah aku bisa mengubah kebiasaannya meminta kartu nama tamu dan membawanya
masuk dengan nampan."
Pintu terbuka
lagi dan Albert berkata, 'Tuan
13
Carter,"
dengan nada seseorang yang menyebutkan gelar kebangsawanan
"Bos,"
kata Tommy terkejut.
Tuppence meloncat
berdiri dengan gembira dan menyalami seorang lelaki tinggi berambut abu-abu
dengan mata tajam dan senyum letih.
'Tuan
Carter—senang sekali bertemu dengan Anda." * -
"Bagus,
Nyonya Tommy. Sekarang coba jawab pertanyaan saya. Bagaimana keadaan
Anda?"
"Memuaskan
tapi bosan," jawab Tuppence-dengan kedipan mata.
"Bagus,
bagus," kata Tuan Carter. "Rupanya saya datang pada waktu yang
tepat."
"Ah, ini
mendebarkan," kata Tuppence.
Dengan gaya Long
Island, Albert menyuguhkan teh. Ketika prosedur itu dilewati tanpa kesalahan
dan pintu ditutup lagi, Tuppence pun meledak.
"Anda punya
sesuatu untuk kami, kan, Tuan Carter? Apa Anda akan mengirim kami ke pelosok di Rusia?"
"Bukan
itu," jawab Tuan Carter.
'Tapi ada
sesuatu."
"Ya—ada
sesuatu. Anda bukan orang yang takut bahaya kan, Nyonya Tommy?"
Mata
Tuppence bersinar gembira.
"Ada
suatu pekerjaan yang harus dilakukan -untuk Departemern^dan saya pikir—saya
hanya berpikir—bahwa pekerjaan itu cocok untuk kalian berdua."
14
"Lanjutkan,"
kata Tuppence.
"Anda
berlangganan Daily Leader rupanya," lanjut Tuan Carter sambil mengambil
koran itu dari meja.
Dia
membalik kolom advertensi dan menunjuk sebuah advertensi serta menyorongkan
koran itu pada Tommy.
"Coba
baca ini," katanya.
Tommy menurut.
"Agen
Detektif Internasional, Theodore Blunt, ^ Manajer. Penyelidikan Swasta.
Konfidensial. Staf profesional. Konsultasi bebas. 118 Haleham St. W.C"
Dia memandang
Tuan Carter dengan mata bertanya. Tuan Carter mengangguk.
"Agen
detektif itu sudah hampir ambruk," gumamnya. "Seorang teman
membelinya dengan murah. Kami punya rencana akan menghidup-kannya lagi—yah,
kira-kira enam bulan untuk percobaan. Dan selama waktu itu harus ada
manajernya."
"Bagaimana
dengan Tuan Theodore •Blunt?" tanya Tommy.
'Tiian Blunt orangnya ceroboh. Scotland Yard harus ikut
campur. Dia sekarang ditahan, dan tak mau menjawab hal-hal yang ingin kita
ketahui."
"Saya
mengerti," kata Tommy. "Setidaknya saya merasa bahwa saya
mengerti."'
"Sebaiknya
kauambil cuti enam bulan. Cuti sakit. Dan kalau kau berminat untuk menangani^
15
usaha itu dengan
nama Theodore Blunt, tentunya tak akan ada hubungannya denganku."
Tommy memandang
bosnya dengan tenang.
"Adai.istruksi?"
"Kelihatannya
Tuan Blunt melakukan bisnis dengan orang asing. Perhatikan surat-surat biru
dengan perangko dari Rusia. Dari seorang pedagang daging babi yang ingin
mencari istrinya yang mengungsi kemari beberapa tahun yang lalu.
Basahi perangko
surat itu dan kau akan menemukan angka 16 di bawahnya. Buatlah copy surat-surat
itu dan kirimkan aslinya kepadaku. Dan kalau ada seseorang yang datang ke
kantor dan menanyakan tentang nomor 16, segera beri-tahu aku."
"Saya
paham," kata Tommy. "Dan yang lain-lainnya?"
Tuan Carter
mengambil sarung tangannya di meja dan siap berangkat.
"Kau bisa
menanganinya sesukamu. Aku pikir—" matanya berkedip sedikit— "usaha
itu bisa menyenangkan Nyonya Tommy untuk mencoba-coba kemampuannya menangani
pekerjaan detektif."
16
2. Sepoci Teh
Tuan dan Nyonya
Beresford mengambil alih kantor Detektif Internasional beberapa hari kemudian.
Mereka berada di lantai dua sebuah gedung yang agak bobrok di Bloomsbury. Di
ruangan kecil di bagian luar kantor, Albert melepaskan peran pelayan Long
Island-nya, dan berganti peran sebagai pesuruh kantor, suatu tugas yang
dilakukannya dengan sempurna. Sekantong permen, tangan yang berlepotan tinta,
dan rambut agak acak-acakan memberi kesan yang dia anggap cocok sebagai
pesuruh.
Dari ruangan di
luar itu ada dua buah pintu ke ruang kantor dalam. Di sebuah pintu ada tulisan
"Pegawai". Dan di pintu satunya tertulis "Manajer". Di
belakang pintu itu ada sebuah ruang kecil dilengkapi dengan sebuah meja tulis
besar dengan tumpukan file yang mempunyai label macam-macam, tetapi kosong
isinya. Di ruangan itu juga terdapat seperangkat kursi tamu dari kulit yang
kuat. Di belakang meja tulis itu duduklah Tuan Blunt gadungan yang mencoba
memberi
17
kesan bahwa dia
sudah menangani bisnis itu seumur hidupnya. Dan tentu saja ada sebuah telepon
di ujung sikunya. Tuppence dan dia telah mernprakteWtaT beberapa percakapan
telepon yang mereka perlukan, dan Albert pun mendapat instruksi-instruksi.
Di ruang sebelah
ada Tuppence, sebuah mesin tik, meja dan kursi yang kelihatan lebih rendah
kualitasnya dari yang ada di ruang Bos. Juga ada sebuah kompor gas untuk
membuat teh.
Tak ada yang
kurang—kecuali klien.
Tuppence yang
sedang bersemangat itu mempunyai harapan- harapan cemerlang dengan usaha
barunya.
"Akan
menyenangkan sekali," celotehnya. "Kita akan memburu pembunuh,
menemukan permata warisan keluarga yang hilang, menemukan orang*orang yang
hilang, menemukan jejak penggelap uang."
Pada saat itulah
Tommy merasa bahwa dia tidak bisa membiarkan angan-angan Tuppence terlalu
melambung.
"Tenang,
Tuppence. Lupakan saja cerita murah-an yang biasa kaubaca itu. Klien kita—kalau
ada lho—akan terdiri dari suami-suami yang ingin membayangi istrinya dan
istri-istri yang ingin membayangi suaminya. Bukti perceraian merupakan bukti
prestasi agen detektif swasta."
"Uh!"
kata Tuppence sambil mengernyitkan hidungnya. "Kita tak akan menangani
kasus-
18
kasus perceraian.
Kita harus menaikkan kualitas bisnis kita."
"Ya-a,"
kata Tommy ragu-ragu.
Dan seminggu setelah
ih1 mereka berdiskusi lagi.
'Tiga wanita
tolol yang suaminya pergi berakhir minggu," kata Tommy menarik napas.
"Ada yang datang waktu aku makan siang di luar?"
"Laki-laki
gendut bersama istrinya yang bawel," kata Tuppence sambil menarik napas
sedih. "Aku sudah tahu dari koran bahwa banyak perceraian terjadi. Tapi
baru benar-benar sadar sampai minggu terakhir ini. Aku capek dan bosan menjawab
'Kami tidak melayani kasus perceraian.'"
~ "Kita kan
sudah mengumumkannya di advertensi sekarang," kata Tommy mengingatkan.
"Jadi tak akan merepotkan lagi."
"Dan kita
mengiklankannya dengan ba.gus," kata Tuppence dengan suara melankolis.
"Bagai-v manapun, aku tak akan mundur. Kalau perlu, aku yang akan
melakukan tindak kriminal dan kau yang menangkapnya."
"Apa untungnya?
Pikir dong perasaanku waktu mengucapkan selamat tinggal padamu di Bow
Street—atau Vine Street?"
"Kau
membayangkan masa mudamu," kata Tuppence.
"Si Bailey.
Memang dia yang kumaksud," kata Tommy.
'Pokoknya kita
harus berusaha. Dengan bakat
19
dan kemampuan
tinggi seperti yang kita miliki, seharusnya kite kan bisa berpraktek"
"Aku suka
sikap optimismu, Tuppence. Kelihatannya kau tik ragu -<gu bahwa kau punya
bakat yang harus dipraktekkan."
'Tentu
saja," kata Tuppence sambil membelalakkan matanya.
"Padahal
kau tak punya kemampuan apa-apa."
"Hm.
Aku telah membaca semua novel detektif yang diterbitkan sepuluh tahun terakhir
ini."
"Aku
juga sudah baca," kata Tommy, "tapi aku merasa bahwa hal itu tak
terlalu membantu kita."
"Kau
memang selalu pesimis. Percaya pada diri sendiri. Itu yang penting."
"Ya—kau kan
sudah punya sikap itu," kata Tommy.
'Tentu saja di
cerita-cerita detektif begitu," kate Tuppence merenung, "karena
penulis bekerja mundur. Maksudku, kalau seseorang tahu solusinya, dia bisa
mengatur petunjuknya. Apakah—"
Dia diam dan
mengernyitkan dahinya.
'Ya?" tanya
Tommy.
"Aku punya
sebuah ide," jawab Tuppence. "Belum terlalu jelas, tepi aku bisa
membayangkannya." Dia berdiri dengan sikap pasti. "Aku rasa aku akan
pergi dan membeli topi yang kuceritakan padamujtu."
'Ya, Tuhan!"
kata Tommy. 'Topi lagi!"
'Topi itu
cantik," kata Tuppence mantap.
Dia keluar dengan
wajah yakin.
Pada hari-hari
berikutnya Tommy sesekali
20
menanyakan
tenteng ide Tuppence. Tapi istrinya itu hanya menggelengkan kepala sambil berkata
agar Tommy memberi waktu padanya.
Kemudian, pada
suatu pagi yang cerah, seorang klien datang. Segalanya pun terlupakan.
Sebuah ketukan
terdengar di pintu ruang luar. Albert yang baru saja memasukkan permen asam di
antara bibirnya berteriak, "Masuk". Dia kemudian menelan permen
asamnya karena terkejut dan senang. Ini benar-benar temu.
Seorang pemuda
jangkung dengan pakaian mahal dan rapi berdiri ragu-ragu di pintu.
"Benar-benar
hebat," kate Albert pada dirinya sendiri. Dan pandangannya memang tidak
keliru.
Pemuda itu
kira-kira berumur dua puluh empat tahun, rambutnya yang bagus disisir ke
belakang, sebuah lingkaran merah pucat terlihat pada kedua matanya, dan mukanya
kelihatan seperti tak punya dagu.
Dalam kegembiraan
yang meluap, Albert menekan bel di bawah mejanya. Pada saat itu juga terdengar
bunyi mesin tik dari arah ruang bertulis "Pegawai". Rupanya Tuppence
telah kembali ke posnya dengan cepat. Akibat kerja rajin Tuppence tersebut
adalah rasa kagum pada temu muda itu.
"Maaf,"
katenya. "Apa ini kantor agen detektif—Blunf s Brilliant Detectives?"
"Apa Tuan
ingin bicara dengan Tuan Blunt sendiri?" tanya Albert dengan wajah
ragu-ragu, seolah-olah tidak pasti apakah hal itu bisa dilakukan.
21
"Ya—betul.
Apa bisa?"
'Tuan belum bikin
janji kelihatannya?"
Tamu itu merasa
bersalah.
"Ya—memang
beium."
"Sebaiknya
Tuan telepon dulu. Tuan Blunt selalu sibuk. Dia sedang bicara di telepon saat
ini. Dari Scotland Yard—minta konsultasi."
Pemuda itu tambah
terkesan.
Dengan sikap
bersahabat, Albert membisikkan suatu informasi pada tamunya.
"Pencurian
dokumen penting dari kantor Pemerintah. Mereka ingin agar Tuan Blunt
menanganinya."
"Wah! Dia
pasti sibuk sekali."
"Memang
begitu," kata Albert.
Pemuda itu duduk
di kursi keras, sama sekali tak sadar bahwa dirinya menjadi obyek pandangan dua
pasang mata dari lubang-lubang yang tersembunyi—yaitu mata Tuppence yang
mencuri lihat di sela-sela kesibukannya mengetik, dan mata Tommy, yang sedang
menunggu waktu yang tepat.
Akhirnya bel di
meja Albert berbunyi nyaring.
"Bos sudah
selesai. Sebentar, saya tanya apakah bisa menerima Anda sekarang," kata
Albert dan menghilang di balik pintu bertuliskan "Manajer".
Tak lama
kemudian dia muncul kembali.
"Mari,
Tuan."
Tamu itu
dibawa masuk ke ruangan pribadi sang Manajer. Seorang laki-laki muda dengan
22
wajah ramah,
rambut merah, dan sikap yang cekatan berdiri menyambut dia.
"Silakan
duduk. Anda ingin bertemu dengan saya? Saya Tuan Blunt."
"Oh! Tidak
saya sangka. Anda begitu muda."
"Periode
Orang Tua sudah lewat," kata Tommy sambil mengibaskan tangannya.
"Siapa yang menyebabkan perang? Orang Tua. Siapa yang bertanggung jawab
atas situasi pengangguran seperti ini? Orang Tua. Siapa yang bertanggung jawab
atas hal-hal buruk yang timbul sekarang ini? Sekali lagi, Orang Tua!"
"Saya rasa
Anda benar," kata si klien. "Saya kenal dengan seorang
penyair—katanya sih, penyair—dan dia selalu berkata begitu."
"Begini.
Untuk informasi Anda saja. Tak seorang pun dari staf ahli saya berumur lebih
dari dua puluh lima tahun. Ini
benar."
Karena staf ahli
yang dikatakannya terdiri dari Tuppence dan Albert, maka kata-katanya itu pun
tidak bohong.
"Sekarang—faktanya,"
kata Tuan Blunt.
"Saya butuh
bantuan Anda untuk mencari seseorang yang hilang," kata pemuda itu.
"Hm, begitu.
Bisa Anda menceritakannya secara detil?"
"Mm, ya.
Agak sulit sebenarnya. Maksud saya, urusan ini agak peka. Dia barangkali tidak
suka. Maksud saya—ah, sulit diceritakan."
Dia memandang
Tommy dengan putus asa. Tommy menjadi jengkel. Sebenarnya dia tadi
23
akan berangkat
makan ketika tamu itu datang Dan dia bisa meramalkan akan makan waktu lama
apabila menghadapi orang di depannya itu.
"Apakah dia
... z. ^hilang dengan kemauan sendiri atau apa**!* Anda mencurigai adanya
penculikan?" tanyanya agak ketus.
"Saya tak
tahu," jawab pemuda itu. "Saya tak tahu apa-apa."
Tommy mengambil
buku catatan dan pensil.
"Pertama-tama,
saya ingin tahu siapa Anda," katanya. "Pesuruh saya memang dilatih
untuk tidak menanyakan nama tamu-tamu. Dengan cara itu konsultasi bisa berjalan
dengan rahasia."
"Oh!
Bagus...," katanya. "Nama saya—er— nama saya Smith."
"Oh,
tidak," kata Tommy. "Tolong beritahu nama yang sebenarnya."
Tamu itu
memandangnya heran.
"Er—St.
Vincent," katanya. "Lawrence St. Vincent."
"Aneh,"
kata Tommy. "Begitu sedikit orang yang bernama Smith. Bahkan saya sendiri
tak punya kenalan dengan nama Smith. Tapi sembilan dari sepuluh orang yang
ingin menyembunyikan nama aslinya memberi nama samaran Smith. Saya memang
sedang menulis hal itu."
Pada saat itu
terdengar dering telepon di mejanya.
Itu adalah kode
rahasia yang menyatakan bahwa Tuppence ingin menangani orang tersebut Tommy
yang sedang merasa lapar dan tidak
24
\
terlalu
bersimpati pada tamunya, merasa gembira.
"Maaf,"
katanya sambil mengangkat teleponnya.
Ekspresi wajahnya
pun jadi berubah-ubah.
"Ah,
masa?" katanya. "Pak Menteri mendiri? Ya, y tentu saja aku akan
segera datang."
Dia meletakkan
teleponnya dan berbalik menghadapi tamunya.
"Maaf, Tuan.
Saya benar-benar minta maaf. -Panggilannya mendadak. Saya harap Anda bersedia
memberikan keterangan pada sekretaris kepercayaan saya. Dia yang akan menangani
kasus Anda." i.
Dia berjalan ke
pintu ruang sebelah.
"Nona
Robinson."
Dengan penampilan
sopan dan rapi Tuppence keluar dari ruangannya. Tommy memperkenalkan dia pada
tamunya, lalu pergi.
"Seorang
wanita yang telah menarik perhatian Anda telah hilang, rupanya," kata
Tuppence dengan suara lembut ketika dia duduk sambil mengambil catatan Tuan
Blunt. "Seorang gadis muda?"
"Oh,
ya," jawab Tuan Vincent. "Muda—dai*— dan—sangat cantik—dan
menarik."
Wajah Tuppence
menjadi ikut sedih.
"Ah,"
katanya, "mudah-mudahan dia..."
"Apa
pendapat Anda? Tidak terlalu serius mudah-mudahan," kata Tuan
Vincent cemas.
"Oh, mudah-mudahan saja tak apa-apa," kata
25
Tuppence dengan optimisme palsu yang membuat sedih'tamunya.
"Nona Robinson, bagaimanapun caranya—Anda harus
menolong saya. Jangan kuatir tentang biaya. Saya tak ingin hal-hal yang jelek
terjadi padanya. Kelihatannya Anda sangat simpatik. Dan saya tak ragu-ragu
memberitahu Anda bahwa saya sangat mencintai gadis itu. Dia adalah segalanya
bagi saya. Dia luar biasa, benar-benar seorang gadis yang istimewa."
"Coba Anda ceritakan tentang dia dan siapa
namanya."
"Namanya Janet. Saya tak tahu nama keluarganya. Dia
bekerja di toko topi—toko Madame Violette di Brook Street. Tapi gadis itu gadis
baik-baik—dan saya sangat tertarik padanya. Kemarin saya pergi ke sana—menunggu
dia selesai kerja. Teman-temannya sudah keluar semua, tapi dia tidak kelihatan.
Lalu saya mendengar bahwa dia tidak datang pagi itu—dan dia tidak mengirim
berita apa-apa. Nyonya pemilik toko itu amat marah. Saya mendapat alamat
pondokannya dan saya pun ke sana. Mereka mengatakan bahwa dia tidak pulang
malam sebelumnya, dan mereka tak tahu di mana dia berada. Saya benar-benar
cemas. Saya berpikir mau lapor polisi. Tapi Janet pasti akan marah pada saya
kalau saya melakukan itu padahal dia pergi atas kemauannya sendiri. Saya
teringat bahwa Janet pernah menunjukkan iklan Anda di surat kabar, dan cerita
bahwa salah seorang pembeli topi di tokonya memuji-muji
26
kemampuan dan kerahasiaan yang terjamin dari usaha Anda.
Jadi, saya pun kemari."
"Hm, begitu," kata Tuppence. "Di mana alamat
pondokannya?" Pemuda itu memberinya alamat. "Saya rasa itu saja yang
kami perlukan. Oh, ya, . apa Anda telah bertunangan dengan gadis ini?"
Wajah Tuan Vincent berubah jadi merah. "Mm—sebetulnya belum. Saya belum
pernah . menyatakan hal itu. Tapi begini. Saya akan . meminangnya begitu saya
bisa menemukan dia lagi—kalau saya menemukan dia." Tuppence meletakkan
catatannya. "Apakah Anda memerlukan layanan dua puluh empat jam
kami?" "Apa itu?"
"Biayanya dobel. Tapi kami akan mengerahkan semua staf
ahli kami untuk kasus ini. Tuan Vincent, kalau gadis itu masih hidup, saya akan
memberitahu Anda di mana dia berada besok pada jam yang sama."
"Apa? Wah, luar biasa."
"Staf kami adalah staf ahli. Dan kami memberi-• kan
hasil yang diinginkan," kata Tuppence tegas.
,!Wah, staf Anda pasti luar biasa," kata Tuan Vincent.
"Memang demikian," kata Tuppence. 'Tapi Anda belum
menceritakan bagaimana kami bisa mengenali gadis itu."
"Rambutnya sangat indah—keemasan—emas tua—seperti warna
matahari tenggelam—ya, se-
27
perti matahari tenggelam. Tahu nggak, saya sebetulnya tidak
pernah memperhatikan matahari yang sedang tenggelam kecuali belakangan ini.
Juga puisi. Begitu banyak yang terkandung di dalamnya. Dan itu tak pernah
terpikir oleh saya sebelumnya."
"Rambut merah," kata Tuppence tanpa emosi sambil
menulisnya di catatan. "Seberapa tinggi gadis itu?"
"Oh, lumayan tinggi. Dan matanya bagus sekali. Saya
rasa biru tua. Dan sikapnya tegas— kadang-kadang membuat kita segan."
Tuppence menuliskan beberapa patah kata lagi. Dia menutup
catatannya lalu berdiri.
"Kalau Anda bisa kemari besok jam dua siang, saya rasa
kami akan punya berita untuk Anda," katanya. "Sampai besok, Tuan
Vincent."
Ketika Tommy kembali, Tuppence sedang membuka-buka Debrett.
"Aku sudah punya detilnya," kata Tuppence.
"Lawrence Vincent adalah kemenakan dan ahli waris Earl of Cheriton. Kalau
kita berhasil, kita akan dapat publisitas gratis di kalangan tinggi."
Tommy membaca catatan Tuppence
"Apa pendapatmu tentang kemungkinan yang bisa terjadi
pada gadis itu?" tanya Tommy.
"Aku rasa dia pergi karena ingin pergi. Dia merasa
terlalu cinta pada pemuda itu."
Tommy memandangnya dengan ragu-ragu.
"Aku memang pernah membaca hal seperti itu
28
di buku-buku," katanya. "Tapi aku belum pernah
benar-benar bertemu dengan gadis seperti itu."
"Belum?" kata Tuppence. "Barangkali kau
benar. Tapi si Vincent itu pasti akan menelan cerita seperti itu. Dia sedang
mabuk cinta. Oh, ya. Aku tadi memberi garansi hasil layanan dua puluh empat
jam. Ini layanan khusus kita."
'Tuppence—kau ini tolol atau apa? Kenapa pakai layanan
khusus seperti itu?"
'Tiba-tiba saja ide itu muncul di kepalaku. Dan
kedengarannya cukup menarik. Jangan kuatir. Percayakan saja pada Ibu. Ibu kan
tahu yang terbaik."
Tuppence kemudian keluar meninggalkan Tommy yang merasa
tidak puas.
Akhirnya dia berdiri, menarik napas panjang dan keluar untuk
melakukan apa yang bisa dilakukan sambil mengomeli tingkah Tuppence.
Ketika dia kembali pukul setengah lima dengan loyo dan
kesal, dia menemukan Tuppence sedang mengeluarkan kantong biskuit dari
persembunyiannya di salah satu file.
"Kau kelihatan capek," katanya. "Apa saja
yang kaulakukan?"
"Keliling rumah sakit cari keterangan tentang gadis
itu."
"Aku kan sudah bilang, biar aku saja yang
membereskan," kata Tuppence.
"Kau tak akan bisa menemukan gadis itu sendiri sebelum
jam dua besok."
"Siapa bilang? Aku sudah menemukannya."
29
"Sudah? Apa maksudmu?"
"Problem yang sederhana, Watson. Sangat
sederhana."
"Di mana dia sekarang?"
Tuppence menunjuk ke belakang dengan tangannya.
"Di ruang kerjaku. Di sebelah."
"Apa yang dilakukannya di situ?"
Tuppence tertawa.
"Ah, pokoknya beres. Dengan sebuah kompor, sebuah
ketel, satu ons teh, sambil memandang wajahnya, hasilnya adalah sebuah konklusi
yang bisa ditebak:"
'Toko Madame Violette ialah toko tempat aku membeli
topi," Tuppence menerangkan dengan sabar dan lembut. "Pada suatu
hari, aku bertemu dengan seorang teman lama waktu aku tugas di rumah sakit
dulu. Dia berhenti menjadi perawat setelah perang, lalu membuka toko topi
tetapi gagal. Akhirnya dia bekerja di toko Madame Violette ini. Kami
merencanakan sesuatu. Yang perlu dia lakukan ialah menyodorkan iklan-iklan kita
ke Vincent muda tadi, lalu menghilang. Ini suatu efisiensi yang bagus dari
Blunt Brilliant Detectives. Kita mendapat publisitas dan dia mendapat keyakinan
bahwa St. Vincent akan meminangnya. Janet sudah mengharapkan hal itu."
'Tuppence, kau benar-benar keterlaluan. Ini namanya bisnis
busuk. Kau membantu dan memberi dorongan pada pemuda itu untuk menikah dengan
gadis dari tingkat..."
30
"Stop," kata Tuppence. "Janet gadis
baik-baik— tapi anehnya, dia kok cinta sama pemuda lembek seperti itu. Kau bisa
segera melihat apa yang diperlukan keluarga pemuda itu. Setetes darah merah
yang baik dan segar. Janet akan sesuai untuk mereka. Dia akan melayani pemuda
itu . seperti seorang ibu yang baik, mengurangi pesta-* pesta liar dan
kehidupan malam yang tak keruan, dan membawanya pada kehidupan sehat seorang
bangsawan yang terhormat. Sekarang kau bisa menemuinya."
Tuppence membuka pintu ruang sebelah dan Tommy mengikutinya.
Seorang gadis jangkung dengan rambut kemerahan dan wajah
ramah yang menyenangkan sedang mengangkat ketel dari kompor. Dia berpaling
kepada mereka. Senyumnya memamerkan sederet gigi yang bersih.
"Maaf, Suster Cowley—eh, Nyonya Beresford. Barangkali
sudah waktunya Anda minum teh. Ingat nggak berapa cangkir teh yang telah Anda
buat untuk saya pagi-pagi jam tiga waktu masih di rumah sakit?"
'Tommy," kata Tuppence. "Aku ingin memperkenalkan
kawan lamaku, Suster Smith."
"Smith? Kau bilang Smith? Aneh!" kata Tommy sambil
menyalami dia. "Eh! Oh? Nggak—nggak— aku teringat pada sebuah buku yang
ingin kutulis."
'Tenang, Tommy," kata Tuppence. Dia menuang secangkir
teh untuknya.
31
"Sekarang mari kita minum bersama-sama. Demi suksesnya
Agen Detektif Internasional. Blunt's Brilliant Detectives'. Semoga selalu
sukses!"
32
3. Kisah Mutiara Merah Muda
"Apa-apaan ini?" tanya Tu"ppence ketika
melihat bosnya duduk di lantai dengan buku-buku bertebaran di sekitarnya.
Dengan susah-payah Tommy berdiri.
"Aku tadi sedang mengatur buku-buku ini di rak bagian
atas itu. Tapi kursiku rupanya tak mau diajak bekerja sama," jawab Tommy
mengeluh.
"Ini buku apa sih?" tanya Tuppence sambil
mengambil sebuah buku.
"The Hound of Baskervilles. Ah, aku tak keberatan
membaca lagi—kapan-kapan.'1
"Jadi kau setuju ideku?" kata Tommy, sambil
membersihkan debu dari pakaiannya—dengan hati-hati. "Setengah Jam Bersama
Para Ahli—buku buku semacam itulah. Aku selalu merasa bahwa kita ini
benar-benar amatir dalam bisnis seperti ini. Memang kita ini amatir—tapi kita
kan bisa mempelajari tekniknya. Buku-buku ini buku-buku detektif. Aku ingin
mencoba cara-cara yang berbeda dan membandingkan hasilnya."
"Hm," kata Tuppence. "Aku sering berpikir-
33
pikir bagaimana detektif-detektif itu akan bekerja dalam
alam yang nyata." Dia mengambil sebuah buku lagi. "Kau akan mengalami
kesulitan kalau jadi Thorndyke. Kau tak punya pengalaman medis. Dan pengalaman
legal. Dan aku tak pernah dengar bahwa kau punya bakat science yang kuat."
"Barangkali tidak," kata Tommy. 'Tapi setidak- ¦
nya aku telah membeli sebuah kamera yang sangat bagus. Dan aku bisa memotret
jejak 1-aki dan membesarkan fotonya. Nah, mon ami, coba pakai sel abu-abumu.
Apa kira-kira yang tersirat oleh benda-benda di laci ini?"
Dia menunjuk ke laci bawah lemari. Di dalamnya terdapat
beberapa benda yang kelihatan aneh, yaitu baju tidur bermotif futuristik,
sandal turki dan sebuah biola.
"Sudah jelas, Watson," kata Tuppence.
"Ya," kata Tommy. "Sentuhan Sherlock
Holmes."
Tommy mengambil biola itu dan memainkannya dengan seenaknya,
sehingga telinga Tuppence terasa sakit.
Pada saat itu terdengar bel berbunyi di meja, tanda bahwa
seorang klien datang di ruang kantor Albert.
Dengan cepat Tommy mengembalikan biola itu ke dalam lemari
dan menyepaki buku-buku ke bawah meja.
•Sebenarnya tak perlu buru-buru seperti ini," kata
Tommy. "Si Albert pasti mengulangi cerita
34
bahwa aku sibuk dengan Scotland Yard di telepon. Cepat
kembali ke ruangmu dan mengetik. Biar kedengaran sibuk dari luar. Eh, nggak
usah. Sebaiknya kau pura-pura sedang kudikte. Cepat, sebelum Albert
masuk."
Mereka mengintip dari sebuah lubang yang tersembunyi
sehingga bisa melihat situasi di ruang Albert.
Tamu itu adalah seorang gadis seumur Tuppence. Tinggi' dan
berkulit geiap dengan muka keruh dan mata marah.
"Bajunya murahan dan norak," kata Tuppence.
"Suruh dia masuk, Tom."
Pada menit berikutnya gadis itu pun bersalaman dengan Tuan
Blunt. Tuppence hanya duduk dengan mata tertunduk pada catatan. Tangannya
memegang pensil.
"Sekretaris pribadi saya, Nona Robinson,"-kata
Tommy sambil mengibaskan tangannya. "Anda bisa bicara dengan bebas di
depannya." Dia kemudian bersandar sejenak di kursi, menutup matanya dan
berkata dengan suara bosan, "Tentunya bis yang Anda naiki tadi penuh sesak
pada jam-jam seperti ini."
"Saya tadi naik taksi," kata gadis itu.
"Oh!" kata Tommy kecewa. Matanya memandang karcis
bis berwarna biru yang nongol dari sarung tangan gadis itu. Pandangan gadis itu
mengikuti mata Tommy. Dia tersenyum dan mengambil karcis bisnya.
"Anda maksudkan ini? Saya memungutnya
35
tadi dari trotoar. Anak tetangga kami yang masih kecil
mengumpulkan karcis bis."
Tuppence terbatuk dan Tommy melirik marah kepadanya.
"Baiklah, kita langsung saja pada urusan kita,"
kata Tommy. "Anda memerlukan layanan kami. Nona...?"
"Nama saya Kingston Bruce," kata gadis itu.
"Kami tinggal di Wimbledon. Tadi malam, seorang tamu wanita yang menginap
di rumah kami kehilangan mutiara merah muda yang sangat mahal Tuan St. Vincent
kebetulan makan malam bersama kami. Dan pada waktu itu dia menyebutkan
perusahaan Anda. Pagi tadi Ibu menyuruh saya untuk datang ke sini dan
menanyakan apakah Anda bersedia membantu kami."
Gadis itu bicara dengan segan dan agak sedih. Kelihatannya
dia tidak sependapat dengan ibunya dan datang ke situ dengan terpaksa.
"Hm, begitu," kata Tommy. "Anda belum melapor
pada polisi?"
"Belum," katanya. "Kami belum melapor. Pasti
akan memalukan seandainya kami lapor polisi lalu ternyata benda itu cuma jatuh
di dekat perapian atau di suatu tempat."
"Oh, kalau begitu ada kemungkinan bahwa mutiara itu
hanya jatuh atau hilang di suatu tempat?" tanya Tommy.
Gadis itu hanya mengangkat bahu.
"Orang kan sering ribut dengan hal-hal seperti
itu," katanya.
36
Tommy membersihkan tenggorokannya dengan batuk-batuk kecil.
'Tentu," katanya. "Saat ini saya benar-benar
sibuk...."
"Ya, saya mengerti," kata gadis itu sambil
berdiri. Ada sebuah kilatan puas pada mata gadis itu yang tidak lepas dari
pandangan Tuppence.
"Akan tetapi, rasanya saya sempat juga datang ke
Wimbledon," lanjut Tommy. "Apa Nona bisa memberikan alamat
Nona?"
"Keluarga Laurel, Edgeworth Road."
'Tolong dicatat, Nona Robinson."
Nona Kingston Bruce ragu-ragu. Kemudian dia berkata,
"Kalau begitu kami tunggu Anda. Selamat pagi"
"Gadis aneh," kata Tommy. "Aku tak bisa
menebak dia."
"Barangkali dia sendiri yang mencuri benda itu,"
kata Tuppence sambil merenung. "Ayo, Tom. Kita bereskan buku-buku ini dan
kita ke sana dengan mobil. O, ya, apa kau masih ingin jadi Sherlock
Holmes?"
"Rasanya aku perlu praktek dulu," kata Tommy.
"Nggak berhasil dengan tipuan karcis bis tadi."
"Betul. Kalau aku jadi kau, tak perlu coba-coba yang
seperti itu dengan gadis tadi. Dia tajam seperti jarum. Dan kelihatannya tidak
bahagia."
"Kelihatannya kau sudah tahu banyak tentang
37
dia," kata Tommy menyindir, "hanya dengan melihat
bentuk hidungnyaj"
"Dengar pendapatku tentang apa yang akan kita temukan
di rumah Laurel itu," kata Tuppence taK acuh. "Mereka pasti keluarga
snob yang ingin mendaki tangga sosial lebih tinggi. Si ayah— kalau ada—punya
pangkat militer. Gadis itu terpaksa ikut arus, kehidupan seperti itu walaupun
dia sendiri tidak menyukainya."
Tommy memperhatikan susunan buku yang sudah rapi.
"Aku rasa, aku.akan jadi Thorndyke hari ini,"
katanya.
"Aku merasa tak ada hal-hal yang berbau medicolegal
dalam kasus ini," kata Tuppence.
"Barangkali kau benar," kata Tommy. 'Tapi aku
ingin sekali memakai kameraku! Lensanya luar biasa—tak ada duanya."
"Ah—aku tahu lensa seperti itu," kata Tuppence.
"Waktu kau menyesuaikan lensa itu dengan banyak-sedikitnya cahaya yang
masuk, kau akan membuat letih matamu dan pikiranmu. Pada waktu itulah kau
menginginkan sebuah kamera yang sederhana."
"Hanya orang yang tidak ambisius yang puas dengan
kamera sederhana."
"Lihat saja. Aku akan mendapat hasil yang lebih bagus
daripada kau nanti."
Tommy tidak mempedulikan tantangan itu.
"Seharusnya aku punya Smoker's Companion. Di mana ya
kita bisa beli benda itu?"
38
"Kau kan punya pembuka sumbat bagus dari Bibi
Araminta—hadiah Natal yang lalu," kata Tuppence mengingatkan.
"Oh, ya, ya. Benda itu kelihatan seperti alat perusak
yang aneh waktu aku buka. Dan anehnya lagi dikirim oleh seorang bibi yang sama
sekali tak pernah minum."
"Aku akan jadi Polton," kata Tuppence.
Tommy memandang dia dengan marah.
"Uh—Polton. Kau tak 'akan bisa melakukan satu hal saja
yang dia lakukan."
"Bisa saja," kata Tuppence. "Aku bisa
menggosok-gosok kedua tanganku kalau aku senang. Itu kan cukup untuk memulai?
Dan kau akan ambil jejak-jejak kaki?"
Tommy diam saja. Dia mengambil pembuka botol, lalu keduanya
pergi ke garasi dan berangkat ke Wimbledon.
Rumah keluarga Laurel sangat besar. Atapnya tinggi dan
mempunyai menara-menara kecil. Kelihatannya seperti baru dicat dan dikelilingi
petak-petak geranium merah yang rapi dan cemerlang.
Seorang lelaki jangkung berkumis pendek berwarna putih
dengan sikap gagah membukakan pintu sebelum Tommy sempat memijit bel.
"Saya sudah menunggu-nunggu Anda, katanya cerewet.
"Anda Tuan Blunt, kan? Saya Kolonel Kingston Bruce. Silakan masuk ke ruang
kerja saya."
39
Dia membawa mereka ke sebuah ruang kecil di bagian belakang
rumah.
"St. Vincent muda itu pernah cerita tentang biro jasa
Anda yang cukup mengagumkan. Dan saya sendiri pernah membaca iklan Anda.
Layanan bergaransi dua puluh empat jam Anda itu benar-benar bagus. Dan itulah
yang saya perlukan."
Walaupun hatinya memaki-maki sikap Tuppence yang sembrono.
Tommy hanya bisa berkata, "Ya, begitulah, Kolonel."
"Kejadian ini sangat menyedihkan. Sangat
menyedihkan."
"Barangkali Anda bisa memberikan fakta-faktanya,"
kata Tommy dengan nada kurang sabar.
'Tentu—sekarang juga. Kami punya kawan lama yang saat ini
bertamu dan menginap di sini, Lady Laura Barton. Putri almarhum Earl of
Carroway. Earl yang sekarang—yaitu kakak laki-lakinya—mengucapkan pidato yang
luar biasa di Majelis Tinggi beberapa waktu yang lalu. Seperti yang saya
katakan tadi, dia adalah kawan lama dan kawan baik kami. Ada teman-teman
Amerika saya yang baru datang, yaitu pasangan Hamilton Berts, yang sangat ingin
berkenalan dengannya. Saya bilang tak ada masalah. Dia tinggal di tempat saya
sekarang. Datanglah pada akhir pekan, kata saya. Anda pasti mengerti bagaimana
sikap orang-orang Amerika terhadap para bangsawan. Tuan Blunt."
'Ya—dan orang-orang lain juga, di samping mereka, Kolonel
Kingston Bruce."
40
"Ya—ya, benar sekali. Saya paling benci pada
orang-orang snob seperti itu. Nah, seperti saya katakan, pasangan Betts itu
datang pada akhir pekan kemarin. Tadi malam—kami waktu itu sedang main
bridge—leontin kalung-Nyonya Hamilton Betts patah. Jadi dia melepaskannya lalu
meletakkannya di sebuah meja kecil untuk dibawa naik kalau sudah selesai main.
Tapi dia kemudian lupa membawa benda itu. Leontin kalung itu terdiri dari dua
butir berlian kecil yang mengapit sebuah mutiara besar berwarna merah muda.
Leontin kalung itu tadi pagi ditemukan di meja kecil itu, tapi mutiaranya tidak
ada."
"Siapa yang menemukannya?"
"Pelayan dalam—Gladys Hill."
"Ada hal-hal yang bisa dicurigai pada dia?"
"Dia sudah bertahun-tahun kerja di sini. Dan dia
seorang gadis yang jujur. .Tapi, tentu saja, orang tak bisa yakin...."
'Ya, tepat. Barangkali Anda bisa menceritakan staf Anda dan
memberitahu siapa-siapa saja yang hadir dalam jamuan makan malam kemarin?"
"Baik. Turn masak—baru dua bulan kerja di sini tapi
tentunya dia tak punya kesempatan untuk mendekati ruang duduk, kan?—Begitu pula
pembantu dapur. Lalu ada pelayan rumah—Alice Cummings. Dia juga sudah di sini
beberapa tahun. Dan ada pelayan Lady Laura. Orang Prancis."
Sikap Kolonel Kingston Bruce sangat menge- • sankan ketika
dia mengucapkan kalimat terakhir
41
nya itu. Tommy, yang tidak mempedulikan kebangsaan si
pelayan melanjutkan dengan bertanya, "Ya. Dan tamu-tamunya?"
'Tuan dan Nyonya Betts, kami sendiri—(istri dan anak
perempuan saya)—dan Lady Laura. St. Vincent juga datang, dan Tuan Rennie datang
sebentar setelah makan malam."
"Siapa Tuan Rennie?"
"Seorang laki-laki yang menyebalkan—sosialis yang
menjemukan. Memang ganteng—dan punya kemampuan berargumentasi. Tapi bukan
laki-laki yang bisa dipercaya. Bahkan berbahaya."
"Apakah Anda mencurigai dia?" tanya Tommy tanpa
tedeng aling-aling.
"Betul, Tuan Blunt. Saya yakin bahwa orang seperti dia
tak punya prinsip-prinsip hidup yang baik. Tidak sulit baginya kan untuk
melepaskan mutiara itu pada. waktu kami sedang asyik? Ada saat-saat yang
memerlukan konsentrasi penuh dalam permainan seperti itu—sebuah dobel ulang No
Trump, dan kami bertengkar cukup seru ketika istri saya main jelek."
"Hm, begitu. Saya ingin tahu bagaimana sikap Nyonya
Betts dalam hal ini?"
"Dia ingin agar saya memanggil polisi," kata
Kolonel Kingston Bruce dengan segan. "Tapi kami ingin mencarinya dulu
sebelum lapor. Jangan-jangan mutiara itu hanya jatuh di suatu tempat."
'Tapi Anda sendiri sebenarnya kurang setuju?"
"Saya tidak suka publisitas. Begitu pula istri dan anak
perempuan saya. Kemudian istri saya
42
teringat cerita St. Vincent muda tentang biro jasa
Anda—dengan layanan dua puluh empat jam."
' Ya," kata Tommy dengan berat hati.
"Begini, cara apa pun yang akan Anda ambil, sebetulnya
tidak merugikan. Seandainya besok kita lapor polisi, bisa kita anggap bahwa
mutiara itu hilang dan kita telah berusaha mencarinya. Oh ya, tak seorang pun
diperbolehkan meninggalkan rumah ini sejak pagi tadi."
"Kecuali putri Anda, tentunya," kata Tuppence
untuk pertama kali.
"Kecuali anak saya," kata Kolonel setuju.
"Dia langsung menawarkan jasa untuk menemui Anda."
Tommy berdiri.
"Kami akan berusaha sebaik-baiknya untuk membantu Anda,
Kolonel," katanya. "Saya ingin melihat ruang duduk, dan meja tempat
leontin kalung itu diletakkan. Saya juga ingin bicara dengan Nyonya Betts.
Setelah itu saya—ah, sebaiknya asisten saya, Nona Robinson, yang bicara dengan
para pelayan."
Tommy merasa agak ngeri ketika membayangkan dirinya
mewawancarai para pelayan.
Kolonel Kingston Bruce membuka pintu dan membawa mereka
masuk ke dalam ruangan besar. Mereka mendengar sebuah suara dari pintu yang ada
di dekat mereka. Dan suara itu adalah suara gadis yang datang ke kantor tadi
pagi.
"Ibu kan tahu persis bahwa dia membawa
43
pulang sebuah sendok teh di dalam sarung tangannya."
Pada menit berikutnya mereka pun diperkenalkan pada Nyonya
Kingston Bruce, seorang wanita berwajah sedih dan bersikap lamban. Nona
Kingston Bruce menyambut mereka dengan anggukan pendek. Wajahnya kelihatan
bertambah muram.
Nyonya Kingston Bruce-lah yang bicara banyak.
"—tapi aku tahu siapa kira-kira yang
mengambilnya," katanya. "Pasti pemuda sosialis yang mengerikan itu.
Dia pro Rusia dan Jerman, dan anti Inggris—apa lagi yang bisa diharapkan?"
"Dia tak pernah menyentuh benda itu," kata Nona
Kingston Bruce dengan sengit. "Aku memperhatikan dia—terus-terusan. Aku
pasti melihatnya kalau dia memegang benda itu."
Gadis itu memandang mereka dengan sikap menantang.
Tommy membelokkan pembicaraan dengan mengajukan keinginannya
untuk bicara dengan Nyonya Betts. Ketika Nyonya Kingston Bruce dan suami serta
anaknya pergi untuk mencari Nyonya Betts, Tommy bersiul dalam hati.
"Hei," katanya pelan, "siapa sih yang
menyembunyikan sendok teh di sarung tangan?"
"Itulah yang sedang kupikir," kata Tuppence.
Dengan diikuti suaminya; Nyonya Betts masuk ke dalam
ruangan. Dia seorang wanita bertubuh
44
besar dengan suara tegas. Suaminya kelihatan lemas seperti
orang penyakitan.
"Saya dengar Anda seorang detektif swasta yang bisa
menyelesaikan persoalan dengan cepat."
"Saya ingin menanyakan beberapa hal, Nyonya
Betts."
Semuanya berjalan lancar. Wanita ini menunjukkan leontin
kalungnya, meja tempat dia meletakkan leontin kalung itu? Suara Tuan Betts pun
terdengar, menyebutkan harga—dalam dollar— mutiara yang hilang.
Namun demikian, Tommy merasa bahwa usaha mereka belum apa-
apa.
"Saya rasa cukup," katanya kemudian. "Nona
Robinson, bisa Anda membantu mengambil peralatan foto spesial itu di ruang
depan?"
Nona Robinson pun menurut.
"Penemuan saya, kecil saja," kata Tommy.
"Sepintas lalu, benda itu kelihatan seperti kamera biasa."
Tommy merasa agak puas melihat Nyonya dan Tuan Betts yang
kelihatan terkesan.
Dia kemudian memotret leontin kalung itu, meja kecil tempat
meletakkannya, dan beberapa pemandangan ruangan di situ. Setelah itu Nona
Robinson ditugaskan mewawancarai para pelayan. Karena Tommy melihat rasa ingin
tahu di wajah Kolonel Kingston Bruce dan Nyonya Betts, dia mengeluarkan sebuah
pernyataan.
45
"Posisinya begini," katanya. "Mutiara itu
masih ada di rumah ini atau sudah di luar rumah ini."
"Ya, bisa dimengerti," jawab Pak Kolonel.
Barangkali dia sudah agak puas dengan pernyataan tersebut.
"Kalau mutiara itu ada di luar rumah, dia pasti
disembunyikan di tempat tertentu..."
"Dan kita harus mencarinya," kata Pak Kolonel,
memenggal kalimat Tommy. "Baiklah, saya beri Anda kebebasan penuh, Tuan
Blunt. Silakan mencari dari ruang bawah tanah sampai atap rumah."
"Oh! Charles," gumam Nyonya Kingston Bruce dengan
kuatir. "Apa harus begitu? Aku yakin, para pelayan tidak akan menyukainya.
Mereka pasti minta keluar."
"Kami akan menggeledah tempat mereka belakangan,"
kata Tommy menghibur. "Benda itu pasti disembunyikan di sebuah tempat yang
aneh."
'Ya, rasanya saya pernah membaca hal seperti itu," kata
Kolonel Kingston Bruce.
"Benar," jawab Tommy. "Barangkali Anda
membaca kasus Rex lawan Bailey yang kemudian menimbulkan preseden."
"Oh—ya—ya—" kata Pak Kolonel dengan agak bingung.
"Dan tempat yang tidak terpikirkan oleh orang lain
adalah kamar Nyonya Betts," kata Tommy melanjutkan.
"Oh—betuL" kata Nyonya Betts dengan kagum.
Tanpa menunggu terlalu lama, Tommy pun
46
dibawa ke kamar Nyonya Betts. Di situ dia memainkan
kameranya lagi berkali-kali.
Akhirnya Tuppence pun datang.
"Anda tak keberatan bukan, kalau asisten saya
membongkar-bongkar baju Anda?"
"Ah, tentu tidak. Apa saya perlu tinggal di sini?"
Tommy mengatakan bahwa Nyonya Betts tidak perlu menunggui
mereka. Dia pun kemudian pergi.
"Kita bisa saja berpura-pura," kata Tommy. 'Tapi
bisa saja kita tidak menemukan apa-apa. Tolol amat layanan dua puluh empat
jammu itu," kata Tommy menggerutu.
"Dengar," kata Tuppence. "Para pelayan itu
menurutku bersih. Tapi aku menemukan sesuatu dari pelayan Prancis itu. Pada
waktu Lady Laura menginap di tempat ini tahun yang lalu, dia pergi minum teh di
luar dengan beberapa teman keluarga Kingston Bruce. Ketika dia kembali ke rumah
ini lagi, sebuah sendok teh terjatuh dari sarung tangannya. Semua orang mengira
bahwa benda itu jatuh tanpa sengaja. Tapi aku punya cerita lebih banyak lagi.
Lady Laura ternyata suka sekali menginap di rumah teman-temannya. Barangkali
dia tak punya uang. Dan dia menginap di rumah teman-temannya yang kaya—mereka
yang terpesona pada gelar kebangsawanan. Ini mungkin suatu kebetulan. Tapi bisa
juga tidak. Ada lima pencurian terjadi waktu dia menginap di rumah teman-
temannya. Kadang-kadang yang
47
hilang hanya barang-barang kecil, tapi kadang-kadang juga
permata yang amat berharga."
"Wah!" kata Tommy sambil menyambung dengan siulan
panjang. "Di mana kamar burung tua itu?"
"Di seberang gang."
"Kalau begitu kita menyelinap ke sana saja dan
menggeledah."
Ruangan itu pintunya terbuka lebar. Ruangannya luas, dicat
putih, dan bergorden merah muda. Ada sebuah pintu di dalam yang menghubungkan
kamar tidur langsung dengan kamar mandi. Di pintu itu muncul seorang gadis
langsing berkulit gelap.
Tuppertce membaca rasa terkejut yang tertahan pada bibir
gadis itu.
"Ini Elise, Tuan Blunt," katanya tegas.
"Pelayan Lady Laura."
Tommy melangkah masuk ke dalam kamar mandi, dan memandang
senang pada perlengkapannya yang modern. Dia melihat mata curiga gadis itu dan
berkata dengan cepat,;
""Kau sedang sibuk, Elise?"
"Ya, Tuan. Sedang membersihkan kamar mandi."
"Barangkali kau bisa membantuku dengan kameraku. Aku
membawa kamera khusus dan akan memotret ruangan-ruangan di rumah ini dengan
kameraku."
Perkataannya terpotong oleh suara pintu yang
48
tiba-tiba terdengar menutup di belakangnya. Elise sampai
meloncat karena terkejut. "Apa itu?";
"Pasti angin," kata Tuppence.
"Kita masuk kamar mandi," kata Tommy.
Elise membuka handel pintu kamar mandi. Tapi pintu itu tidak
bisa dibuka.
"Kenapa?" kata Tommy tajam.
"Tuan—barangkah ada yang menguncinya dari dalam."
Gadis itu mengambil handuk dan mencoba membukanya. Kali ini handel pintu itu
bisa berputar dengan mudah, dan pintu pun terbuka.
"Voila ce qui est curieux. Pasti macet," kata
Elise. Ternyata tak ada siapa-siapa di dalam kamar mandi.
Tommy mengambil peralatan fotonya. Tup pence dan Elise
bekerja menurut instruksinya. Sementara itu mata Tommy berkali-kali melirik
pintu kamar mandi.
"Kenapa pintu itu macet?" katanya gemas sambil
menggertakkan giginya.
Dia memeriksanya sebentar, membuka dan menutupnya kembali.
Semuanya beres.
"Satu kali lagi," kata Tommy. "Kau bisa
memegangi gorden merah muda itu, Elise? Terima kasih. Tolong dipegangi
dulu."
Suara "klik" terdengar lagi. Dia memberikan sebuah
alat pada Elise dan memberikan tripod pada Tuppence, lalu menutup lensa kameranya.
Dia membuat satu alasan untuk mengusir Elise
49
dari ruangan, dan begitu gadis itu pergi, dia pun bicara
cepat pada Tuppence.
"Aku punya ide. Kau bisa tinggal di sini dan memeriksa
ruangan-ruangan—itu perlu waktu yang cukup lama. Coba bicara dengan burung tua
itu. Tapi, apa pun yang kauceritakan, jangan membuatnya lari dari sini. Aku
akan pergi dengan mobil dan kembali secepatnya.
"Baik," kata Tuppence. 'Tapi jangan terlalu yakin
pada teorimu. Kau melupakan satu hal."
"Apa itu?"
"Gadis itu. Ada yang aneh tentang dia. Aku kebetulan
tahu jam berapa dia meninggalkan rumah untuk menemui kita tadi pagi. Dia
menghabiskan dua jam untuk sampai ke kantor kita. Itu tidak betul. Ke mana saja
dia pergi sebelum sampai ke tempat kita?"
"Ya, betul, memang mencurigakan," kata suaminya.
"Kau bisa menyelidiki hal itu. Yang penting jangan biarkan Lady Laura
pergi. Apa itu?"
Telinganya yang tajam menangkap suara ge-merisik di luar
pintu. Dia berjalan ke pintu dengan cepat. Tapi tak ada seorang pun di sana.
"Oke. Sampai ketemu nanti."
50
4. Kisah Mutiara Merah Muda (Lanjutan)
Tuppence melihat suaminya keluar dengan sedikit prasangka.
Tommy begitu yakin—sedang dia sendiri tidak. Ada satu atau dua hal yang tidak
dia mengerti.
Dia masih berdiri di jendela memandang ke luar ketika
seorang laki-laki menyeberangi jalan, masuk ke halaman dan membunyikan bel.
Seperti kilat Tuppence keluar kamar d an-menuruni tangga.
Gladys Hill datang dari belakang berjalan ke pintu depan. Tapi Tuppence
menyuruh dia masuk lagi. Kemudian dia membuka pintu depan.
Seorang pemuda langsing dengan pakaian norak dan mata
mencurigakan, berdiri di depan pintu.
Dia ragu-ragu sejenak lalu bertanya. "Apa Nona Kingston
Bruce ada?" "Silakan masuk," kata Tuppence. Tuppence memberi
jalan pada pemuda itu untuk masuk, kemudian dia menutup pintu. "Anda pasti
Tuan Rennie," katanya manis. Pemuda itu meliriknya dengan cepat.
51
"Er—ya."
"Silakan masuk ke ruang sini."
Tuppence membuka pintu ruang kerja. Ruangan itu kosong.
Tuppence mengikuti pemuda itu masuk dan menutup pintu. Pemuda tersebut
membalikkan badan dengan dahi berkerut.
"Saya ingin menemui Nona Kingston Bruce."
"Saya tidak tahu apakah Anda bisa melakukan hal
itu," kata Tuppence dengan tenang.
"Anda ini siapa sih?" kata pemuda itu dengan
kasar.
"Agen Detektif Internasional," kata Tuppence
pendek. Pandangannya menangkap keterkejutan yang tak terkontrol dari lawan
bicaranya.
"Silakan duduk, Tuan Rennie," lanjutnya.
"Untuk Anda ketahui, kami tahu tentang kunjungan Nona Kingston Bruce ke
tempat Anda tadi pagi."
Perkataan Tuppence merupakan sebuah terka-an saja. Tetapi
rupanya berhasil. Karena dia melihat kekuatiran di wajah pemuda itu, Tuppence
melanjutkan,
"Yang penting, mutiara itu kembali, Tuan Rennie. Tak
seorang pun di rumah ini suka publikasi. Saya rasa bisa kita atur."
Pemuda itu memandangnya sambil berpikir.
"Saya tak tahu seberapa banyak yang Anda ketahui. Saya
ingin berpikir dulu."
Dia mengacak-acak rambutnya dengan kedua tangannya—lalu
menanyakan hal yang di luar dugaan.
52
i
"Apakah benar bahwa St. Vincent muda itu sudah
bertunangan dan akan menikah?"
"Betul," kata Tuppence. 'Saya kenal
tunangannya."
Tiba-tiba Tuan Rennie menjadi bersahabat.
"Ini benar-benar menjengkelkan," katanya.
"Mereka meminta St. Vincent datang kemari—pagi, siang, malam, agar dia
tertarik pada Beatrice. Ini karena dia kelak akan menerima suatu gelar. Kalau
saya punya cara..."
"Sudah, jangan bicara tentang politik," potong
Tuppence. "Apakah Anda tahu kenapa Nona Kingston Bruce mengambil mutiara
itu?"
"Saya—saya tak tahu."
"Ah, Anda tahu. Anda sudah lama menunggu di pinggir
jalan sampai detektifnya keluar dan keadaan aman bagi Anda. Anda datang dan
menemui Nona Kingston Bruce. Itu jelas. Kalau Anda sendiri yang mengambil
mutiara itu. Anda pasti tidak bingung."
"Sikapnya aneh sekali," kata pemuda itu.
"Tadi pagi dia ke tempat saya dan cerita tentang pencurian itu. Dia juga
mengatakan akan menemui seorang detektif swasta. Kelihatannya dia ingin
mengatakan sesuatu—tapi tidak bisa."
"Begini," kata Tuppence. "Yang «saya perlukan
hanya mutiara itu. Sekarang Anda temui dia saja."
Tapi pada saat itu Kolonel Kingston Bruce membuka pintu.
"Makan siang*sudah siap, Nona Robinson. Kami harap Anda
bisa makan bersama kami."
53
Dia terdiam dan memandang pemuda itu. "Kelihatannya
Anda tidak mengundang saya untuk makan siang. Baiklah, saya pergi saja,"
kata pemuda itu.
"Kembalilah nanti," bisik Tuppence ketika tamunya
melewati dia.
Tuppence mengikuti Kolonel Kingston Bruce yang masih
mengomel tentang ketidaksopanan. Mereka masuk ke ruang makan yang besar, di
mana semuanya sudah duduk menunggu. Hanya satu orang yang tidak dikenali
Tuppence.
"Lady Laura, ini Nona Robinson yang telah membantu
kami."
Lady Laura menganggukkan kepalanya. Lalu dia memandang
Tuppence melalui kacamata bulatnya. Dia seorang wanita jangkung bersuara
lembut, bermata tajam, dan memiliki senyum melankolis. Tuppence balas
memandangnya, dan mata Lady Laura pun tertunduk.
Setelah makan Lady Laura ikut ngobrol dengan penuh rasa
ingin tahu. Bagaimana pemeriksaan itu berjalan? Tuppence berpura-pura curiga
pada pelayan dalam. Tapi pikirannya tidak tertuju pada Lady Laura. Wanita itu
mungkin saja menyembunyikan sendok teh atau benda benda lain. Tapi Tuppence
merasa yakin bahwa dia tidak menyembunyikan mutiara itu.
Tuppence kemudian melanjutkan penyelidikan untuk menemukan
mutiara itu. Waktu berjalan terus. Tommy masih belum kelihatan juga. Tapi yang
menjengkelkan Tuppence ialah tak ada
54
tanda-tanda Tuan Rennie akan muncul lagi. Tiba-tiba Tuppence
yang sedang keluar dari sebuah kamar bertabrakan dengan Beatrice Kingston Bruce
yang- sedang akan turun. Gadis itu dalam dandanan siap untuk pergi.
"Saya rasa sebaiknya Anda tidak pergi dulu," kata
Tuppence.
' Gadis itu
memandangnya dengan sombong.
"Saya pergi atau tidak, itu bukan urusan Anda,"
katanya dingin. •
"Ya, urusan saya ialah menghubungi polisi atau
tidak," kata Tuppence tak mau kalah.
Pada detik itu pula wajah gadis tersebut menjadi pucat
"Jangan—jangan—jangan hubungi polisi. Saya tak akan
pergi.'' Dia memegangi Tuppence erat-erat.
"Nona Kingston Bruce," kata Tuppence sambil
tersenyum. "Persoalannya sudah jelas dari permulaan—. Saya..."
Tapi dia tidak melanjutkan kalimatnya. Karena asyik bicara
dengan gadis itu dia tidak mendengar bunyi bel pintu depan. Tiba-tiba saja dia
melihat Tommy menaiki tangga. Dan sepintas melihat seorang lelaki besar sedang
membuka topinya di ruang depan di bawah.
"Inspektur Marriot dari Scotland Yard," kata Tommy
sambil nyengir.
Sambil menjerit, Beatrice Kingston Bruce melepaskan diri
dari pegangan Tuppence dan lari
55
turun ke bawah. Pada saat itu pula pintu depan terbuka lagi
dan masuklah Tuan Rennie.
"Hm—kau mengacaukan semua," kata Tuppence
sengit. *
"Lho, kenapa?" kata Tommy sambil cepat-cepat
menuju kamar Lady Laura. Dia masuk ke kamar mandi dan mengambil sebuah sabun
besar. Inspektur itu sedang menaiki tangga.
"Dia menyerah dengan tenang," kata inspektur itu.
"Dia memang sudah berpengalaman dan tahu persis kapan menghentikan
permainannya. Bagaimana dengan mutiara itu?"
"Saya rasa, Anda akan menemukannya di sini," kata
Tommy sambil memberikan sabun yang dipegangnya.
Mata inspektur itu bersinar gembira.
'Permainan yang cukup bagus. Potong sebuah sabun menjadi
dua, buat lubang di tengahnya untuk tempat menyembunyikan mutiara itu, lalu
tangkupkan kembali-sabun tersebut dan haluskan sambungannya dengan air panas.
Anda memang cerdas."
Tommy menerima pujian itu dengan rendah hati. Kemudian dia
menuruni tangga bersama Tuppence. Kolonel Kingston Bruce bergegas menemuinya
dan menyalaminya dengan hangat.
"Saya benar-benar gembira dan mengucapkan terima kasih
atas bantuan Anda. Lady Laura pun ingin mengucapkan terima kasih...."
"Saya juga gembira bisa memuaskan Anda,"
56
jawab Tommy. "Maaf, saya tak dapat terlalu lama. Ada
anggota kabinet yang memerlukan."
Dia cepat-cepat keluar dan masuk ke dalam mobil. Tuppence
pun ikut-ikut meloncat masuk dan duduk di dekatnya.
'Tommy," seru Tuppence. "Apa mereka menangkap Lady
Laura?"
"Oh!" sahut Tommy. "Apa aku belum cerita?
Mereka tidak menangkap Lady Laura. Mereka menangkap Elise."
Tommy melanjutkan ceritanya ketika Tuppence hanya bisa duduk
dengan bingung. "Aku sering mencoba membuka pintu dengan tangan penuh
sabun. Tapi tidak bisa—tanganku terlalu licin. Jadi aku berpikir-pikir, kenapa
si Elise tangannya penuh sabun. Setelah itu dia mengambil handuk. Ingat, nggak?
Jadi tak ada bekas sabun pada handel pintu itu. Lalu aku berpikir. Kalau kau
memang pencuri profesional, amat bagus kalau bisa jadi pelayan seorang wanita
yang punya penyakit kleptomania. Apalagi kalau dia senang bepergian dan menginap
di rumah teman-temannya. Jadi aku berusaha mengambil foto Elise dan kamar
majikannya, menipu dia supaya memegangi peralatan kameraku, lalu pergi ke
Scotland Yard. Hasil film negatif dan sidik jarinya memang sangat meyakinkan.
Elise memang telah lama dicari-cari. Scotland Yard ternyata tempat yang sangat
berguna."
"Hm," kata Tuppence mencoba bersuara. "Aku
57
berpikir dua orang muda itu yang perlu dicurigai. Kenapa kau
tidak cerita padaku?"
"Pertama-tama, aku kuahr jangan-jangan Elise menguping
pembicaraan kita di luar pintu. Dan
kedua..." 'Ya?"
"Kawanku yang cerdik rupanya lupa bahwa Thorndyke hanya
bicara pada babak terakhir," kata Tommy. "Sudahlah, Tuppence. Kau dan
temanmu si Janet Smith kan sudah mengungguliku kemarin itu. Satu-satulah."
58
5. Petualangan Lelaki Jahat
"Hari yang membosankan," kata Tommy sambil menguap
lebar.
"Hampir waktu minum teh," kata Tuppence sambil
menguap juga.
Bisnis Agen Detektif Internasional memang tidak laricar.
Surat pedagang yang diharap-harapkan itu tidak muncul juga. Dan kasus-kasus
yang bonafide tidak kelihatan.
Albert, si pelayan, datang membawa paket tersegel. Dia
meletakkannya di atas meja.
"Misteri Paket Bersegel," gumam Tommy. "Apa
ya isinya? Mutiara-mutiara Putri Bangsawan Rusia? Atau bom tersembunyi untuk
menghancurkan Blunf s Brilliant Detectives?"
"Bukan," kata Tuppence sambil merobek bungkusan
itu. "Ini hadiah perkawinan dariku untuk Erancis Haviland. Bagus,
ya?"
Tommy mengambil isinya, yaitu sebuah tempat rokok perak yang
ramping. Dia membaca tulisan di kotak itu: Francis dari Tuppence—diukir dari
tulisan tangan Tuppence sendiri. Dibuka dan
59
ditutupnya kembali kotak kecil itu sambil mengangguk.
"Kau memang suka membuang-buang uangmu, Tuppence,"
katanya. "Aku ingin juga yang seperti itu. Tapi dari emas. Untuk ulang
tahunku bulan depan. Buat apa buang-buang duit untuk orang seperti Prancis
Haviland? Dari dulu dia adalah salah satu dari keledai-keledai sempurna yang
diciptakan Tuhan!"
"Kau lupa aku pernah menjadi sopirnya pada waktu
perang, waktu dia masih seorang jenderal. Ah! Itu masa-masa yang
menyenangkan."
"Ya," kata Tommy setuju. "Wanita-wanita
cantik berdatangan dan menggenggam tanganku di rumah sakit. Aku ingat itu. Tapi
aku tidak mengirimi mereka hadiah perkawinan. Aku rasa pengantin itu tidak
terlalu peduli dengan hadiahmu ini, Tuppence."
"Kelihatan manis dan pas di saku, ya?" kata
Tuppence tidak mempedulikan perkataan Tommy.
Tommy memasukkannya ke dalam sakunya.
"Ya, betul," katanya. "He, ini Albert dengan
surat-surat siang hari. Barangkali Duchess of Perthshire memanggil kita untuk
mencari permatanya yang hilang." _
Mereka berdua membuka surat-surat itu. Tiba-tiba Tommy
bersiul panjang dan mengacungkan sebuah surat.
"Sebuah surat biru dengan perangko Rusia.
60
Kau ingat apa yang dikatakan Bos? Kita diminta memperhatikan
surat seperti ini."
"Oh, mendebarkan sekali," kata Tuppence.
"Akhirnya akan terjadi sesuatu juga. Bukalah dan baca apakah isinya cocok.
Pedagang daging babi, kan? Sebentar. Kita perlu susu untuk minum teh. Mereka
lupa meletakkannya di dapur. Aku suruh Albert beli dulu."
Ketika dia kembali dari ruangan luar, Tommy sedang memegang
surat biru itu di tangannya.
"Dugaan kita betul, Tuppence," katanya.
"Persis seperti yang dikatakan Bos."
Tuppence mengambil surat itu dan membacanya.
Surat itu ditulis dalam bahasa Inggris yang. kaku, dan
dimaksudkan dari Gregor Feodorsky yang ingin mendengar tentang istrinya. Agen
Detektif Internasional diminta untuk mengadakan pencarian tanpa peduli berapa
pun biayanya. Feodorsky sendiri tidak dapat keluar dari Rusia sekarang karena
ada krisis perdagangan daging babi.
"Apa ya kira-kira artinya?" kata Tuppence sambil
membeber surat itu di meja di depannya.
"Aku rasa kode," kata Tommy. "Itu bukan
urusan kita. Tugas kita ialah memberikannya pada Bos secepatnya. Sebaiknya kita
basahi dan ambil perangkonya dan kita lihat apakah ada nomor di bawahnya."
"Baik," kata Tuppence. "Tapi aku
rasa..."
Dia diam tidak melanjutkan kalimatnya. Dan
61
karena heran, Tommy pun memandang Tuppence. Tapi pada waktu
itulah dia melihat tubuh besar seorang lelaki menutupi pintu.
Si pengacau ternyata seorang lelaki besar dengan kepala
bulat dan rahang yang amat kuat. Umurnya kira-kira empat puluh lima tahun.
"Maaf," katanya sambil melangkah masuk dengan topi
di tangan. "Ruangan di luar kosong, dan pintu ini terbuka. Jadi saya
masuk. Ini Agen Detektif Internasional, kan?"
"Ya, betul."
"Dan Anda tentunya Tuan Blunt? Tuan Theodore
Blunt?"
"Saya Tuan Blunt. Anda perlu menemui saya? Ini
sekretaris saya, Nona Robinson."
Tuppence menundukkan kepalanya dengan luwes, tapi
memperhatikan orang asing di depannya melalui celah-celah bulu matanya.
Dengan suara tajam, Tommy mengingatkan Tuppence.
"Nona Robinson, silakan mencatat. Anda bisa
menceritakan persoalan Anda, Tuan." Tuppence mengambil buku catatan dan pensil.
Laki-laki besar itu mulai berkata dengan suara N serak.
"Nama saya Bower. Dr. Charles Bower. Saya tinggal di
Hampstead dan berpraktek di sana juga. Saya ingin menemui Anda karena ada
beberapa hal aneh terjadi."
"Ya, Dr. Bower?"
"Seminggu yang lalu saya -dipanggil melalui
62
telepon, dua kali karena ada emerjensi. Panggilan pertama
ternyata bohong. Saya mula-mula berpikir bahwa ada orang yang ingin iseng. Tapi
ketika saya dipanggil untuk kedua kali, pada waktu saya pulang, ada yang tidak
beres. Dokumen-dokumen pribadi saya rupanya diacak-acak orang. Saya mencoba
menyelidiki dan sampai pada kesimpulan bahwa ada orang yang menggeledah meja
kerja saya."
Dr. Bower diam dan memandang Tommy.
"Bagaimana, Tuan Blunt?"
"Hm," gumam Tommy tersenyum.
"Apa pendapat Anda?"
"Pertama-tama saya ingin mendengar tentang fakta. Apa
yang Anda simpan di meja Anda?"
"Dokumen-dokumen pribadi."
"Betul. Sekarang, dokumen-dokumen yang Anda maksud itu
apa saja? Apa nilainya untuk seorang pencuri biasa—atau orang-orang
tertentu?"
"Saya tak melihat bahwa dokumen-dokumen itu punya arti
penting bagi pencuri biasa. Tapi catatan saya mengenai alkaloids mungkin
merupakan sesuatu yang menarik bagi orang yang mengerti. Saya memang melakukan
suatu penyelidikan tentang hal itu beberapa tahun terakhir ini. Alkaloids ini
merupakan racun yang mematikan dan sangat berbahaya—dan sulit untuk dilacak.
Racun itu tidak memberikan reaksi-reaksi lain."
"Kalau begitu rahasia tersebut bisa menghasilkan
uang?"
63
"Ya, bagi orang yang tak tahu diri." "Dan siapa
yang Anda curigai?" Dokter itu hanya mengangkat bahunya yang lebar.
"Saya tidak melihat tanda-tanda perusakan dari luar
terhadap rumah saya. Ini tentunya menunjuk pada kemungkinan bahwa pelakunya
orang dalam. Tapi sulit untuk menerima..." Tiba-tiba saja dia diam tidak
melanjutkan kalimatnya. Lalu dia berkata lagi dengan wajah yang amat muram.
'Tuan Blunt, saya tidak berani menghubungi polisi dalam hal
ini. Saya ingin menyerahkan persoalan ini ke tangan Anda saja. Saya tidak
meragukan ketiga pelayan saya. Mereka telah bekerja pada saya cukup lama dengan
setia. Walaupun begitu, bisa saja terjadi kemungkinan yang tidak kita duga.
Lalu ada dua orang kemenakan laki-laki saya, Bertram dan Henry. Henry adalah
seorang pemuda yang baik—amat baik. Dia tak pernah menyusahkan saya dan dia
seorang anak yang rajin. Sedangkan Bertram sebaliknya. Anak itu bandel, boros,
dan pemalas."
"Hm," kata Tommy. "Anda curiga si Bertram
ini, yang mungkin jadi pelakunya. Saya tak setuju dengan Anda. Saya justru
curiga pada si Henry yang baik." "Kenapa?"
'Tradisi. Preseden." Tommy mengibaskan tangannya dengan
ringan. "Dalam pengalaman kasus-kasus yang saya tangani, justru yang baik.
64
yang kelihatan tak berdosalah yang berbuat Ya, saya curiga
pada Henry."
"Maaf, Tuan," kata Tuppence menyela. "Apakah
Tuan Bower tadi mengatakan bahwa catatan tersebut—er—alkaloids, maksud
saya—disimpan di meja bersama dokumen-dokumen lainnya?"
'Ya—catatan itu disimpan di meja, Nona. Tapi di dalam laci
rahasia. Tempatnya hanya saya yang tahu. Karena itu selama ini mereka
aman."
'Dan apa yang Anda ingin saya lakukan, Dr. Bower?"
tanya Tommy. "Apa Anda menginginkan agar kami mencarinya?"
"Benar, Tuan Blunt. Siang tadi saya menerima telegram
dari seorang pasien yang saya kirim ke Bournemouth beberapa minggu yang lalu.
Tele-' gram itu mengatakan bahwa pasien itu dalam keadaan kritis dan minta agar
saya segera datang memeriksanya. Karena pengalaman yang sudah-sudah, saya
sendiri langsung mengirim telegram pada pasien itu untuk mengecek kebenarannya.
Ternyata dia dalam keadaan sehat dan tidak pernah memanggil saya untuk datang.
Saya kemudian berpikir, seandainya saya berpura-pura termakan oleh telegram itu
lalu bersiap pergi ke Bournemouth, barangkali saya bisa menangkap basah si
misterius itu. Mereka—atau dia—pasti menunggu sampai semuanya pergi tidur
sebelum menjalankan aksinya. Saya ingin agar Anda datang ke tempat saya malam
nanti jam sebelas untuk menangkap penjahat itu."
"Hm—berharap bisa menangkap basah mere-
65
ka," kata Tommy sambil mengetuk-ngetukkan pisau di
meja. "Kelihatannya rencana Anda bagus sekali, Dr. Bower. Begini, alamat
Anda?"
"The Larches, Hangman's Lane—agak terpencil tempatnya.
Tapi pemandangannya bagus."
"Ya, ya," kata Tommy.
Tamu itu berdiri.
"Kalau begitu saya menunggu kedatangan Anda, Tuan
Blunt. Di luar Larches, jam—sebelas kurang lima?"
"Baik, baik. Jam sebelas kurang lima. Sampai nanti, Dr.
Bower."
Tommy berdiri sambil menekan bel di mejanya. Albert muncul
dan membawa tamu itu keluar. Dokter itu berjalan dengan kaki pincang. Tapi
badannya yang besar membuatnya kelihatan gagah.
"Hmh. Klien yang tidak menyenangkan," gumam Tommy.
"He, Tuppence, apa pendapatmu?"
"Dua kata saja," jawab Tuppence. "Kaki
Pekuk!"
"Apa?"
"Kaki Pekuk! Pelajaranku tidak sia-sia, Tommy. Ini
sandiwara saja, Tommy. Alkaloids. Huh! Tak pernah kudengar cerita yang lebih
menggelikan dari ini."
"Aku pun tidak percaya," kata Tommy.
"Kau lihat, bagaimana matanya menatap surat itu? Tom,
dia pasti salah satu anggota gang itu. Mereka rupanya tahu bahwa kau bukan Tuan
Blunt dan merencanakan untuk menghabisi kita."
"Kalau begitu," kata Tommy sambil membuka lemari
samping dan memandang deretan buku-
66
nya dengan rasa sayang, "kita bisa memilih peranan
dengan mudah. Kita jadi Okewood Bersaudara. Dan aku jadi Desmond," katanya
tegas.
Tuppence hanya mengangkat bahu.
"Oke. Terserah maumu. Aku jadi Francis. Francis lebih
cerdas. Desmond selalu membuat t kekeliruan. Dan Francis suka jadi tukang kebun
atau apa untuk memberi uluran tangan pada waktu diperlukan."
"Ah!" kata Tommy. 'Tapi aku akan jadi super
Desmond. Kalau aku tiba di di Larches—"
Tuppence memotongnya begitu saja.
"Kau tidak akan pergi ke Hampstead malam ini."
"Kenapa?"
"Berjalan ke perangkap dengan mata terpejam?"
Tidak, Sayang. Berjalan ke perangkap dengan mata terbuka.
Banyak bedanya. Aku rasa Dr. Bower akan mendapat kejutan kecil."
"Aku tak suka," kata Tuppence. "Kau tahu, kan
apa yang terjadi kalau si Desmond tidak mau mendengarkan bosnya dan berbuat
semaunya? Perintah untuk kita sangat jelas. Agar mengirim surat itu dengan
segera dan melapor bila terjadi sesuatu."
"Kau belum bisa mencerna, rupanya. Kita harus ' .segera
melapor kalau ada seseorang masuk dan menyebut si Nomor 16. Dan sampai
sekarang, belum ada yang melakukannya." v
"Itu cuma alasan."
67
'Tak ada gunanya," kata Tommy. "Aku sudah
membayangkan akan menangani persoalan itu sendiri. Jangan kuatir. Tuppence. Aku
akan berjuang mati-matian. Persoalannya di sini ialah— aku akan waspada dan
mereka tak tahu. Bos pasti akan menepuk-nepuk punggungku karena keber-hasilanku
malam ini."
Tokoknya aku tidak suka," kata Tuppence. "Orang
itu sangat kuat, seperti gorila."
"Ah!" kata Tommy. "Kan ada si otomatis
berhidung biru."
Pintu ruang depan terbuka dan Albert masuk dengan surat di
tangan.
"Ada seorang tamu, Tuan. Ketika saya memberitahu dengan
alasan yang sama bahwa Tuan sibuk dengan Scotland Yard, dia mengatakan bahwa
dia tahu tentang hal .itu. Katanya dia sendiri dari Scotland Yard! Dan dia
menulis sesuatu pada sebuah kartu—ada di dalam amplop ini."
Tommy mengambil kartu itu dan membacanya. Bibirnya
menyeringai lebar.
"Apa yang dikatakan tamu itu benar, Albert. Bawa dia
masuk," katanya.
Dilemparkannya kartu itu pada Tuppence. Di situ ada nama
Inspektur Dymchurch dan di dekatnya ditulis—Teman Marriot.
Pada menit berikutnya detektif Scotland Yard itu muncul.
Inspektur Dymchurch hampir sama dengan Inspektur Marriot, pendek, gempal, dan
bermata tajam.
"Selamat siang," katanya ringan. "Marriot se-
68
dang pergi ke South Wales. Tapi sebelum pergi dia berpesan
agar saya mengamat-amati Anda berdua, juga tempat ini. Begini, Tuan,"
lanjutnya dengan cepat ketika melihat Tommy akan bicara, "kami tahu hal
itu. Memang itu bukan urusan departemen kami, kami tidak mau campur tangan.
Tapi baru-baru ini ada orang-orang yang telah mencium kenyataan bahwa yang
mereka lihat sebenarnya tidaklah seperti yang mereka lihat. Tadi ada seorang
tamu yang datang kemari. Saya tidak tahu nama apa yang dipakainya, tapi saya
tahu sedikit tentang laki-laki itu. Tapi yang sedikit itu cukup menimbulkan
keinginan untuk tahu lebih banyak. Apakah dia datang kemari untuk membuat janji
dengan Anda untuk bertemu di suatu tempat malam nanti?" "Benar."
"Kalau begitu perkiraan saya betul. Di Wester-ham Road
16, Finsbury Park?"
"Kali ini Anda keliru. Benar-benar keliru. The LaTches,
Hampstead."
Dymchurch kelihatan terkejut. Rupanya dia tak menyangka hal
itu.
"Saya tidak mengerti," gumamnya. "Pasti
layout baru. Anda tadi bilang The Larches, Hampstead?"
"Ya. Saya harus menemui dia di sana jam sebelas malam
nanti." 'Jangan pergi, Tuan." "Nah, dengar," kata Tuppence.
Wajah Tommy menjadi merah.
69
"Kalau begitu, Inspektur.-," kata Tommy sengit.
Tapi inspektur itu mengangkat tangannya.
"Saya akan beritahu Anda, Tuan Blunt. Tempat yang harus
Anda datangi jam sebelas malam nanti ialah tempat ini—kantor Anda
sendiri."
"Apa?" kata Tuppence terkejut.
"Di sini, di kantor ini. Anda tidak perlu tahu
bagaimana saya tahu—kadang-kadang yang dilakukan departemen-departemen bisa
merupakan hal yang sama. Tapi hari ini Anda menerima salah satu dari surat-surat
"biru" itu, kan? Ada orang yang mengincar surat itu. Dia berusaha
memancing Anda ke Hampstead, sehingga dengan mudah malam nanti bisa menggeledah
tempat ini."
'Tapi kenapa dia berpikir bahwa surat itu disimpan di sini?
Kan bisa saja saya bawa atau saya kirimkan ke orang lain?"
"Justru itulah yang tidak dia ketahui. Mungkin dia
sudah tahu bahwa Anda bukanlah Tuan Blunt yang asli, dan berpikir bahwa sebagai
pengusaha biasa tentunya surat-suratnya akan dimasukkan ke dalam file—seperti
biasa."
"Hm, ya," kata Tuppence.
"Dan kita harus membiarkan dia. berpikir begitu. Kita
akan bisa menangkap basah dia nanti malam."
"Jadi begitu rencananya?"
"Ya. Ini betul-betul suatu kesempatan. Sekarang—jam
enam, kan? Jam berapa Anda biasa pulang?"
70
"Kira-kira jam enam." ,
"Usahakan agar Anda kelihatan pulang seperti biasa.
Saya sebetulnya akan memata-matai tempat ini begitu Anda pergi. Saya rasa
mereka tak akan datang sebelum jam sebelas. Tapi siapa tahu. Sebaiknya saya
keluar dan melihat-lihat, barangkali ada orang yang memperhatikan tempat
ini."
Dymchurch keluar, dan Tommy mulai ribut lagi dengan
Tuppence.
Perdebatan sengit itu berlangsung beberapa waktu. Akhirnya
dengan tiba-tiba Tuppence menyerah.
"Baik," katanya. "Aku menyerah. Aku akan
pulang dan duduk diam dengan manis di rumah dan kau akan menghadapi
penjahat-penjahat itu bersama para detektif. Tapi lihat saja nanti. Aku akan
berbuat sesuatu sehingga kita tetap akan duduk sama tinggi."
Pada saat itu Dymchurch muncul kembali.
"Kelihatannya aman," katanya. 'Tapi kita tak boleh
gegabah. Sebaiknya Anda pulang seperti biasa. Mereka tak akan mengawasi tempat
ini lagi kalau Anda pergi."
Tommy memanggil Albert dan memberinya instruksi agar
mengunci pintu.
Kemudian keempatnya pergi ke garasi tempat mobil mereka
diparkir. Tommy dan si detektif duduk di belakang. Tuppence menyetir dan Albert
duduk di sampingnya.
Mereka terhenti karena jalanan macet. Tuppence berpaling ke
belakang dan mengangguk.
71
Tommy dan si detektif membuka pintu kanan, dan keluar.
Mereka berjalan di tengah Oxford Street yang ramai. Satu atau dua menit
kemudian Tuppence melaju.
72
6. Petualangan Lelaki Jahat (Lanjutan)
"Lebih baik jangan langsung masuk," kata Dymchurch
pada Tommy ketika mereka bergegas ke Haleham Street "Anda bawa
kunci?" Tommy mengangguk.
"Bagaimana kalau kita makan dulu. Masih sore. Ada
tempat makan lumayan di seberang situ. Kita cari tempat di dekat jendela. Jadi
kita bisa melihat dan mengawasi kantor Anda."
Mereka memesan makanan. Cukup enak walaupun porsinya kecil.
Ternyata Inspektur Dymchurch adalah kawan yang menyenangkan. Tugas-tugasnya
kebanyakan berkaitan dengan kasus-kasus internasional. Dan banyak cerita-cerita
yang mencengangkan pendengarnya yang lugu itu.
Mereka tetap berada di restoran kecil itu sampai pukul
delapan. Dymchurch-lah yang mengajak Tommy mulai beraksi.
"Sudah cukup gelap sekarang. Rasanya kita bisa
menyelinap diam-diam tanpa dilihat orang."
Hari memang sudah gelap. Mereka menyeberangi jalan,
memperhatikan kiri kanan mereka
73
yang amat sepi, dan menyelinap masuk. Kemudian mereka
menaiki tangga dan Tommy membuka pintu luar kantornya.
Pada saat itulah dia mendengar Dymchurch bersiul di
sebelahnya.
"Kenapa Anda bersiul?" tanya Tommy tajam.
"Saya tidak bersiul," kata Dymchurch heran.
"Saya pikir Anda yang bersiul."
"Kalau begitu ada orang...," kata Tommy.
Dia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena tiba-tiba
saja tangan-tangan yang kuat menariknya dari belakang dengan keras. Sebelum dia
sempat berteriak, hidung dan mulutnya telah ditutup dengan sebuah benda berbau
manis dan memuakkan.
Dia berusaha melepaskan diri, tetapi sia-sia. Chloroform
yang disumbatkan ke hidungnya bekerja dengan cepat, dan Tommy pun jatuh ke
lantai, terbatuk-batuk, dan pingsan...
Dia sadar kembali dalam keadaan sakit, tetapi dengan pikiran
terang. Chloroform itu hanya satu embusan saja. Mereka rupanya menyumpal mulut
Tommy agar tidak bisa berteriak-
Ketika sadar, Tommy dalam keadaan setengah duduk dan
setengah terbaring di sudut ruang kantornya. Dua orang laki-laki dengan
seenaknya membongkar-bongkar lemarinya dan mengobrak-abrik mejanya sambil
memaki-maki dengan kata-kata kotor.
'Tidak ada apa-apa, Pak," kata si Tinggi pada
74
yang lebih pendek. "Sudah dijungkir-balik begini."
*
"Pasti ada di sini," katanya dengan geram.
"Surat itu tak ada di sakunya. Jadi pasti di sini. Tak mungkin di tempat
lain."
Sambil bicara orang itu menoleh kepada Tommy. Dan Tommy
menjadi tercengang ketika ternyata bahwa orang itu adalah Inspektur Dymchurch.
Ketika tahu bahwa Tommy sudah sadar, Dymchurch hanya menyeringai kepadanya.
"Jadi kawan kita sudah bangun rupanya," katanya.
"Heran ya—pasti heran. Sebetulnya sederhana saja. Kami curiga pada Agen
Detektif Internasional. Saya menawarkan diri untuk menyelidiki. Kalau Tuan
Blunt yang baru itu benar-benar seorang mata-mata, dia pasti curiga. Jadi saya
kirim Carl Bauer. Carl memang diinstruksikan supaya berlagak mencurigakan dan
mengarang cerita yang aneh. Dia menjalankan tugasnya. Lalu saya ikut nimbrung.
Nama Inspektur Marriot rupanya cukup meyakinkan. Yang lainnya sederhana
saja."
D:a tertawa.
Tommy ingin sekali bicara. Tapi sumbat di mulutnya tidak
memungkinkan. Dia juga ingin melakukan sesuatu—dengan kaki dan tangannya—tapi
itu pun tak mungkin. Dia diikat.
Hal yang amat mengherankan ialah perubahan dalam diri
laki-laki yang berdiri di depannya. Sebagai Inspektur Dymchurch, laki-laki itu
kelihatan seperti orang Inggris asli. Sekarang, dia
75
berubah menjadi seorang asing yang bisa berbahasa Inggris
tanpa aksen asing.
"Coggins," kata inspektur palsu itu kepada
kawannya yang kelihatan seperti penjahat, "jaga tawananmu. Aku akan
mengambil sumbat di mulutnya. Anda mengerti, kan. Tuan Blunt, bahwa Anda tidak
perlu bersikap tolol dengan berteriak? Saya yakin Anda tidak sebodoh itu. Anda
cukup cerdas, walaupun masih muda."
Dengan cekatan dia membuka sumbat dan mundur ke belakang.
Tommy menggerak-gerakkan dagunya yang kaku, menggerakkan
lidahnya di dalam mulut, menelan ludah dua kali—dan tidak berkata apa-apa.
"Anda memang hebat. Selamat atas kekuatan Anda untuk
bertahan. Saya lihat Anda lebih enakan sekarang. Apa tak ada sesuatu yang ingin
Anda katakan?"
"Apa yang harus saya katakan akan saya simpan
sendiri," kata Tommy. "Dan tak apa-apa, walaupun harus
menunggu."
"Ah! Apa yang harus saya katakan tak bisa menunggu
terlalu lama, Tuan Blunt. Dalam bahasa yang sederhana: di mana surat itu?"
"Kawan yang baik, saya tidak tahu," kata Tommy
gembira. "Saya tidak menyimpannya. Dan Anda sendiri pun tahu. Saya akan
terus mencarinya, kalau saya jadi Anda. Saya suka melihat Anda dan Coggins main
petak-umpet."
Muka lelaki yang satu berubah menjadi gelap.
76
"Anda suka main-main rupanya, Tuan Blunt. Coba Anda
perhatikan kotak persegi itu. Itu adalah perlengkapan kecil Coggins. Di situ
ada vitriol.... ya, vitriol... dan besi yang bisa dipanaskan di api sehingga
menjadi merah dan panas membara...."
Tommy menggelengkan kepala dengan sedih.
"Diagnosa yang keliru," gumamnya. 'Tuppence dan
aku salah membuat nama. Ini bukan cerita si Kaki Pekuk, tapi Bulldog Drummond.
Dan kau adalah Carl Peterson yang terlalu cerdik."
"Apa yang kauucapkan itu?" kata laki-laki itu
dengan marah.
"Ah!" kata Tommy. 'Ternyata Anda tidak kenal
cerita klasik. Sayang."
"Orang tolol! Kau mau melakukan apa yang kami minta
atau tidak? Apa aku perlu memberitahu Coggins sekarang untuk membongkar
perlengkapannya?"
"Jangan buru-buru," kata Tommy. 'Tentu saja aku
akan melakukan apa yang kalian inginkan kalau kalian mau mengatakannya. Apa
kaukira aku suka dipanggang seperti ikan atau digoreng di penggorengan? Aku
tidak suka disakiti."
Dymchurch memandangnya dengan puas.
"Bagus! Orang Inggris memang penakut."
"Akal sehat, Kawan. Akal sehat saja. Jangan singgung-
singgung si vitriol. Kita bicara sekarang."
"Aku perlu surat itu."
"Sudah kukatakan, aku tak menyimpannya."
77
"Kami tahu itu. Dan kami juga tahu siapa yang kira Jura
mengambilnya. Gadis itu."
"Barangkali. Ya—mungkin dia/' kata Tommy.
"Barangkili dia menyelipkan ke dalam tasnya waktu kawanmu si Cari itu
mengejutkan kami."
"Oh, kau mengaku juga. Bagus. Bagus. Kautulis surat
pada Tuppence, suruh dia datang membawa surat itu segera."
"Aku tak bisa melakukannya," kata Tommy.
Lelaki itu menyela sebelum kalimat Tommy selesai.
"Ah, tidak bisa? Coba kita lihat. Coggins!"
"Jangan terburu-buru," kata Tommy. 'Tunggu sampai
kalimatku selesai. Aku tadi mau bilang aku tak bisa melakukannya kalau kau
tidak melepas ikatan tanganku. Aku bukan orang pintar yang bisa menulis dengan
hidung atau siku."
"Kau mau kalau begitu?"
'Tentu. Dari tadi kan sudah kukatakan. Aku berusaha berbuat
baik dan menurut. Kau tidak akan apa-apakan Tuppence, kan? Pasti tidak. Gadis
itu baik."
"Kami hanya perlu suratnya," kata Dymchurch. Tapi
di mukanya tersungging senyum yang tak enak dilihat.
Setelah melihat anggukan si inspektur palsu, Coggins pun
berlutut dan membuka ikatan lengan Tommy. Tommy mengguncang-guncang-kan
lengannya ke depan dan ke belakang supaya lemas.
"Enakan sekarang," katanya dengan suara ri-
78
ang. "Apakah Coggins yang baik bersedia mengambilkan
penaku? Kalau tak salah ada di atas meja."
Sambil menggeram, orang itu mengulurkan pena kepada Tommy
dan memberinya selembar kertas.
"Hati-hati dengan apa yang kautulis," ancam
Dymchurch.
"Kau boleh menulis apa saja, tapi kalau gagal
berarti—mati—dan kematian yang pelan."
"Kalau begitu," kata Tommy, "aku akan
benar-benar menulis yang baik."
Dia berpikir sebentar. Kemudian mulai menulis dengan cepat.
"Bagaimana dengan tulisan ini?" katanya sambil
menunjukkan suratnya yang sudah selesai.
Tuppence yang baik,
Apa kau bisa datang sekarang juga dengan membawa surat biru
itu? Kami perlu memecahkan kodenya sekarang dan di sini.
Maaf, nih, terburu-buru,
Francis »
"Francis?" tanya inspektur palsu itu sambil
menaikkan alis matanya. "Apa dia memanggilmu dengan nama itu?"
"Karena kau tidak ada waktu aku dibaptis,"
79
kata Tommy, "aku rasa kau tidak tahu apakah itu namaku
atau bukan. Tapi kurasa kotak rokok yang kauambil dari sakuku itu akan
menunjukkan bah*va apa yang kulakukan benar."
Dymchurch palsu melangkah ke meja dan mengamini kotak rokok
yang bertuliskan "Francis dari Tuppence". Dia menyeringai kecil dan
meletakkan benda itu lagi.
"Untunglah kau mau mehgerti," katanya.
"Coggins, berikan surat itu pada Vassily. Dia menjaga di luar. Katakan
bahwa dia harus segera mengirimnya."
Dua puluh menit berikutnya berjalan amat lambat. Sepuluh menit
berikutnya terasa lebih lambat lagi. Dymchurch berjalan hilir-mudik dengan muka
yang semakin muram. Dia berbalik memandang Tommy dengan tampang bengis.
"Kalau kau berani mempermainkan aku..." geramnya.
, "Kalau kau punya kartu, kita bisa main sambil menunggu,"
kata Tommy. "Perempuan biasanya suka membuat orang lain menunggu. Kuharap
kau tidak jahat pada Tuppence nanti."
"Oh, tentu," kata Dymchurch. "Kami akan
mengatur agar kalian berdua dapat pergi ke tempat yang sama."
"Hm, dasar kurang ajar," gumam Tommy.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di liiar. Seorang laki-laki
yang belum pernah dilihat Tommy menjulurkan kepala dan bicara dalam bahasa
Rusia.
80
"Bagus," kata Dymchurch. "Dia datang—dan
datang sendirian."
Sejenak mata Tommy menunjukkan rasa kuatir.
Menit berikutnya dia mendengar suara Tuppence.
"Oh! Akhirnya kita ketemu lagi. Inspektur. Saya sudah
membawa surat itu. Mana Francis?"
Sambil bicara Tuppence memasuki pintu ruang dalam. Vassily
menerkamnya dari belakang dengan cepat dan mendekap mulutnya. Dymchurch merobek
tas Tuppence dan mengobrak-abrik isinya.
Tiba-tiba dia berseru gembira dengan sebuah tangan
mengacungkan amplop biru dengan perangko Rusia. Coggins pun ikut menggeram
senang.
Dan pada detik kemenangan mereka itu pintu yang lain, yaitu
pintu yang menghubungkan ruangan Tuppence, terbuka pelan-pelan. Inspektur
Marriot bersama dua orang polisi berpistol melangkah ke depan dan dengan suara
tajam memerintah, "Angkat tangan!"
Tak ada perlawanan. Penjahat-penjahat itu diringkus dengan
cepat. Pistol Dymchurch terletak di atas meja dan kedua -orang lainnya tak
bersenjata.
"Bagus sekali," kata Inspektur Marriot sambil
mengunci borgol terakhir. "Barangkali kita bisa menangkap lebih banyak
lagi nanti."
Dengan marah Dymchurch membelalakkan mata pada Tuppence.
81
"Setan kecil," geramnya. "Kau rupanya yang
memanggil mereka."
"Bukan aku saja. Aku seharusnya curiga waktu kau datang
membawa nomor enam belas siang tadi. Tapi yang membuatku yakin ialah surat
Tommy. Aku menelepon Marriot, menyuruh Albert memberikan kunci duplikat kantor,
lalu , datang kemari dengan membawa amplop biru yang kosong itu. Aku sudah
menyerahkan suratnya sesuai instruksi ketika kalian berdua turun dari mobil
sore tadi."
Rupanya Dymchurch tertarik pada sebuah kata.
"Tommy?" tanyanya.
Tommy yang baru dibebaskan dari ikatan mendekati mereka.
"Bagus, Francis," katanya kepada Tuppence sambil
menggenggam tangannya. Pada Dymchurch dia berkata,
"Saya tadi kan sudah bilang bahwa sebaiknya kaubaca
cerita klasik."
82
7. Menyiasati Raja
Hari Rabu itu hujan turun. Tuppence yang masih berada di
kantor membiarkan koran Daily Leader jatuh dari tangannya.
'Tahu nggak, Tom, apa yang kupikir?"
"Ah—susah," jawab suaminya. "Kau berpikir
tentang banyak hal dan. kau memikirkannya sekaligus."
"Aku rasa sudah waktunya kita pergi dansa." Tommy
mengambil koran yang jatuh itu dengan cepat.
"Iklan kita kelihatan bagus," katanya sambil
memiringkan kepala. "Blunfs Brilliant Detectives. Kau sadar tidak,
Tuppence, bahwa kau—kau sendirilah Blunfs Brilliant Detectives itu. Hebat
lho!"
"Aku tadi bicara tentang dansa."
"Aku perhatikan ada yang aneh dengan koran ini. Kau
sudah tahu? Lihat tiga copy Daily Leader ini. Coba, apa bedanya?" k Tuppence memperhatikan dengan rasa ingin
tahu.
83
"Kelihatannya mudah," katanya asal-asalan.
"Satu koran hari ini, satu kemarin, dan satu kemarin dulu."
"Sangat brilian, Watson. Tapi bukan itu yang kumaksud.
Perhatikan judul 'The Daily Leader'. Bandingkan tiga-tiganya—kaulihat
bedanya?"
'Tidak," kata Tuppence, "dan lagi, aku rasa tak j,
ada bedanya."
Tommy menarik napas dan merapatkan ujung-ujung jari tangan
kiri dan kanan dengan gaya Sherlock Holmes.
'Tepat. Kau membaca koran—bahkan yang kaubaca lebih banyak
dariku Tapi aku memperhatikan, sedang kau tidak. Kalau kauperhatikan Daily
Leader hari ini baik-baik, kau akan melihat satu titik putih pada huruf D dalam
kata Daily, dan ada satu lagi di huruf L dalam kata yang sama. Lalu ada dua
titik putih pada huruf L dalam kata Leader. Nah, pada koran kemarin ada lagi
dua titik di huruf D dalam kata Daily. Pokoknya titik-titik itu selalu ada tapi
pada posisi yang berbeda, setiap hari."
"Mengapa?" tanya Tuppence.
"Itu adalah rahasia jurnalistik."
"Artinya kau tidak tahu dan tak bisa menebak."
"Aku hanya ingin mengatakan hal ini. Praktek seperti
itu biasa dilakukan oleh koran-koran.".
"Wah, pandai amat kau," kata Tuppence. 'Terutama
kalau mau membelokkan pembicaraan. Kita bicara saja soal tadi."
"Apa yang kita bicarakan tadi?"
84
• "Pesta dansa Three Arts." Tommy menggeram.
"Nggak—nggak. Nggak ah, Tuppence. Aku sudah bukan
remaja lagi. Nggak—jangan ke pesta itu. Aku sudah terlalu tua."
"Ketika aku masih gadis remaja yang manis," kata
Tuppence "aku mendengar bahwa laki-laki— terutama para suami—adalah orang
yang suka bersenang-senang, suka minum-minum dan berdansa dan bergadang. Dan
mereka memerlukan istri yang luar biasa cantik dan cerdik untuk membuat mereka
betah tinggal di rumah. Satu ilusi telah hilang. Semua temanku yang sudah
bersuami sekarang tidak mau keluar dan berdansa dan mereka menangis karena suami
mereka mulai memakai sandal kamar dan tidur jam setengah sepuluh. Dan, Tommy,
kau begitu pandai berdansa!"
"Wah, gombalnya keluar, ya." ,
"Sebenarnya aku ingin keluar ini bukan hanya karena
ingin bersenang-senang. Aku merasa ingin tahu tentang iklan ini."
Tuppence mengambil koran Daily Leader-nya dan membaca,
"Aku ingin tiga hati. 12 trick. As Sekop. Perlu untuk
menyiasati Raja."
"Itu sih cara mahal untuk belajar main bridge,"
kata Tommy.
"Jangan tolol. Ini nggak ada hubungannya dengan bridge.
Kemarin aku makan siang dengan seorang gadis di As Sekop. Tempat makan itu
' JAYA ABADI » 85
^•ka,jurANg km S.« i
kecil dan aneh, terletak di bawah tanah di Chelsea. Gadis
itu cerita bahwa banyak orang datang ke tempat itu setelah selesai pertunjukan
besar di malam hari dan memesan telur dan daging babi untuk mengenyangkan perut
mereka yang lapar. Tempat duduknya tertutup, dalam booth—jadi terasa
panas."
"Dan apa yang kauinginkan?"
'Tiga hati berarti pesta dansa Three Arts besok malam, 12
tricks berarti jam 12, dan As Sekop ya As Sekop."
"Dan apa artinya perlu menyiasati Raja?"
"Justru itulah yang aku ingin tahu."
"Kau pasti tidak keliru. Tuppence," kata Tommy
dengan sikap manis. 'Tapi aku tak mengerti kenapa kau mau ikut campur urusan
cinta orang lain."
"Aku tidak akan ikut campur. Yang akan kulakukan ialah
sebuah praktek menarik antuk keperluan pekerjaan detektif kita. Kita perlu
praktek."
"Bisnis kita memang sedang seret," kata Tommy
setuju. 'Tapi itu alasan saja. Sebenarnya kau ingin pergi ke tempat itu dan
berdansa, Huh, gitu saja pakai belok sana belok sini."
Tuppence tertawa tanpa malu-malu.
"Sudahlah, Tommy. Lupakan bahwa umurmu sudah tiga puluh
dua dan punya sehelai rambut putih di alis kiri."
"Aku memang lemah kalau berhadapan de-
86
ngan wanita," gumam suaminya. "Apa aku perlu
menjadi keledai tolol dengan pakaian aneh?"
'Tentu saja. Jangan kuati r—aku akan membereskannya. Aku
punya ide Hagus.'
Tommy memandangnya dengan curiga. Dia selalu curiga pada
ide-ide Tuppence yang luar biasa.
* Ketika dia sampai
di rumah besok sorenya. Tuppence menyambutnya dengan senang-"Sudah
datang," katanya. "Apanya?"
"Kostum. Coba lihat."
Tommy mengikutinya. Di atas tempat tidur terserak
perlengkapan pakaian petugas pemadam kebakaran, lengkap dengan helmnya yang
berkilat.
'Ya, ampun," geram Tommy. "Apa aku sudah jadi
anggota pemadam kebakaran Wembley?"
"Pikir baik-baik," kata Tuppence. "Kau belum
menangkap maksudku rupanya. Pakai sel abu-abumu, mon ami. Berpikirlah, Watson.
Jadilah banteng yang sudah lebih sepuluh menit di arena."
'Tunggu—tunggu," kata.Tommy. "Rasanya aku mulai
mengerti. Kostum apa yang akan kaupakai. Tuppence?"
"Jas tuamu, topi Amerika, dan kacamata tanduk."
"Norak," kata Tommy. 'Tapi aku ngerti apa maumu.
McCarty yang menyamar. Dan aku Riordan."
87
•Tepat. Aku rasa kita perlu praktek cara-cara detektif
Amerika juga. Kali ini aku jadi bintangnya dan kau jadi pembantuku."
"Jangan lupa," kaia Tommy, "bahwa sebetulnya
kata-kata Denny yang sederhana yang menunjukkan jalan pada McCarty."
Tapi Tuppence hanya tertawa. Dia kelihatan sangat gembira.
Malam itu memang menyenangkan. Keramaian, musik, pakaian
aneh—semuanya membuat pasangan muda itu gembira. Tommy lupa pada perannya
sebagai suami yang bosan dan dipaksa melakukan sesuatu yang tak disukainya.
Pada pukul dua belas kurang sepuluh, mereka pergi ke As
Sekop yang terkenal—atau tidak dikenal. Seperti dikatakan Tuppence, tempat itu
penuh dengan pasangan-pasangan yang berpakaian aneh. Mereka duduk dalam booth
kecil tertutup. Tommy dan Tuppence juga masuk dalam salah satu booth yang
pintunya sengaja dibuka sedikit sehingga bisa melihat apa yang sedang terjadi
di luar.
"Aku tidak tahu yang mana orang yang pasang iklan
itu," kata Tuppence "Bagaimana dengan si Kembang di seberang
itu—dengan si Setan Merah?"
"Aku rasa lebih cocok si Mandarin bengis dengan wanita
yang menamakan diri Kapal Penjelajah—eh, bukan, si Kapal Pesiar."
"Bagus, ya?" kata Tuppence. "Bagus juga
tetes-
88
an-tetesan minuman itu! Eh, siapa itu yang datang dengan
baju Ratu Hati? Bagus juga, tuh."
Gadis yang mereka lihat itu masuk ke dalam booth dekat
mereka. Dia ditemani seorang "lelaki .berbaju koran" seperti dalam
cerita Alice in Wonderland. Keduanya memakai topeng—kelihatannya merupakan
kostum yang biasa dipakai di As Sekop.
"Kita benar-benar ada di tempat bobrok," kata
Tuppence dengan muka gembira. "Skandal di sekitar kita. Setiap orang bikin
ribut."
Sebuah jeritan, seperti protes, terdengar dari booth
sebelah. Tapi kemudian tertutup oleh tawa keras seorang lelaki. Setiap orang
tertawa dan bernyanyi. Suara tinggi gadis-gadis terdengar melengking melebihi
suara pasangan mereka.
"Lihat gembala itu," kata Tommy. "Itu...
wanita yang berendeng dengan laki-laki Prancis. Barangkali mereka yang kita
cari."
"Bisa siapa saja," kata Tuppence. "Aku tak
peduli. Yang penting kita gembira."
"Aku akan merasa gembira seandainya tidak pakai kostum
seperti ini," kata Tommy menggerutu. "Kau tidak pernah membayangkan
rasa panas yang harus kutahan dengan pakaian begini."
"Jangan sedih," kata Tuppence. "Kau kelihatan
cakep kok."
'Ya, syukurlah, aku gembira karena kelihatan lebih baik
darimu. Tahu, enggak. Kau kelihatan seperti laki-laki kecil yang lucu"
"Apa jkau bisa menyimpan pikiran beradab, i
89
Denny? He, laki- laki berbaju koran itu keluar. Ke mana
dia?"
"Paling-paling juga mengambil minuman," jawab
Tommy. "Aku juga tak keberatan mengar-bU minuman."
"Lama amat dia," kata Tuppence ketika sudah lewat
empat atau lima menit. 'Tommy, apa kau akan menganggapku keledai tolol..."
Dia terdiam.
Tiba-tiba dia berdiri.
"Aku tak peduli kalau kau memanggilku keledai. Pokoknya
aku mau masuk booth sebelah."
"He, Tuppence, jangan..."
"Aku merasa ada yang tidak beres. Aku tahu. Jangan
mencoba menghalangi aku."
Dia keluar dengan cepat dan Tommy mengikutinya. Pintu booth
sebelah itu tertutup. Tuppence membukanya dan masuk. Tommy berjalan di
belakangnya.
"Gadis berkostum Ratu Hati itu duduk di pojok, seperti
orang kedinginan yang bersandar di dinding. Matanya memandang mereka dengan
tenang lewat topengnya. Tapi dia tak bergerak. Roknya yang berdisain belang
warna merah putih kelihatan aneh di bagian kiri. Di bagian itu terlihat lebih
banyak warna merah dari yang seharusnya...
Sambil menjerit Tuppence bergegas ke depan. Pada saat yang
sama Tommy melihat apa yang dilihat Tuppence, pangkal sebuah pedang bergagang
permata di bawah jantungnya. Tuppence berlutut di samping gadis itu.
•
90
"Cepat, Tom. Masih hidup. Panggil manajer dan dokter
segera."
"Ya. Awas—jangan kausentuh ujung gagang itu,
Tuppence."
"Aku akan hati-hati. Cepat."
Tommy keluar dan menutup pintu. Tuppence merangkul gadis
itu. Dia membuat gerakan lemah dan Tuppence mengerti bahwa dia ingin melepas
topengnya. Dengan hati-hati Tuppence melepaskannya. Dia melihat wajah segar
seperti setangkai bunga, dan mata lebar yang ketakutan dan kesakitan.
"Kau bisa bicara, Sayang?" kata Tuppence lembut.
"Kalau bisa, coba katakan siapa yang melakukan hal ini padamu?"
Tuppence merasa tatapan matanya. Gadis itu menarik napas dan
tersengal. Dia memandang tenang pada Tuppence. Kemudian bibirnya bergerak.
"Bingo—" katanya berbisik.
Kemudian tangannya menjadi lemas, dan kepalanya menyandar
lemah pada bahu Tuppence.
Tommy datang dengan dua orang laki-laki. Laki-laki yang
lebih besar maju dengan sikap tegas. Kata "dokter" seolah-olah
tertulis jelas pada sekujur badannya.
Tuppence melepaskan bebannya.
"Saya rasa dia telah meninggal," katanya dengan
suara tertahan.
Dokter itu memeriksa dengan cepat.
"Ya," katanya. 'Tak ada yang bisa kita lakukan.
91
Lebih baik dibiarkan saja sampai polisi datang. Bagaimana
kejadiannya?"
Tuppence menjelaskan dengan agak tergagap, sambil
mencari-cari alasan yang masuk akal untuk memasuki booth tersebut.
"Aneh," kata dokter. "Anda tak mendengar
apa-apa?"
'Saya mendengar suara seperti jeritan. Tapi laki-laki itu
tertawa. Tentu saja saya tidak berpikir..."
'Tentu saja tidak," kata dokter itu setuju. "Dan
Anda bilang tadi laki-laki itu bertopeng. Anda pasti tak mengenali dia, kalau
begitu?"
"Rasanya tidak. Bagaimana kau, Tom?"
'Tidak. Dan dia pakai kostum."
"Yang pertama-tama harus kita lakukan ialah mencari
identitas wanita ini," kata dokter. "Setelah itu, saya rasa polisi
akan segera menangani kasus ini. Tentunya ini bukan kasus yang terlalu sulit.
Oh, itu mereka datang."
Scanned book sbook ini hanya untuk koleksi pribadi. DILARANG
MENGKOMERSLLKAN atau hidup anda mengalami ketidakbahagiaan dan
ketidakberuntungan
BBSC
92
8. Lelaki Berbaju Koran
Dengan badan capek dan rasa sedih suami istri itu pulang
setelah jam tiga lebih. Tuppence tidak bisa langsung tidur. Tubuhnya bergolek
gelisah dan pikirannya dipenuhi bayangan wajah cantik dengan mata ketakutan.
Menjelang pagi barulah dia bisa tidur dengan pulas. Ketika
bangun, hari sudah amat siang. Tommy sudah berdandan rapi, dan berdiri di
samping tempat tidurnya sambil menggoyang-goyangkan lengan istrinya.
"Bangun, Tuppence. Inspektur Marriot dan seorang
laki-laki sudah di depan, menunggumu."
"Jam berapa sekarang?"
"Jam sebelas. Aku akan menyuruh Alice membawa teh-mu
sekarang juga."
'Ya. Bilang pada Inspektur Marriot, aku siap sepuluh menit
lagi."
Seperempat jam kemudian dengan bergegas Tuppence berjalan ke
ruang duduk. Inspektur Marriot yang sedang duduk dan memandang ke depan dengan
serius, berdiri menyapanya.
93
"Selamat pagi, Nyonya Beresford. Kenalkan, Sir Arthur
Merivale."
Tuppence menyalami seorang laki-laki jangkung dan kurus
dengan mata kuyu dan rambut yang memutih.
"Kami datang sehubungan dengan urusan yang menyedihkan
tadi malam," kata Inspektur Marriot. "Saya ingin agar Sir Arthur
mendengar langsung dari Anda apa yang Anda ceritakan pada saya—4cata kata
terakhir yang diucapkan almarhumah. Sir Arthur tidak mudah menerimanya."
"Saya tidak percaya dan tak akan percaya bahwa Bingo
Hale sampai hati menyakiti ujung rambut Vere sekalipun."
Inspektur Marriot melanjutkan.
"Ada suatu kemajuan yang telah kami capai sejak malam
tadi, Nyonya Beresford. Pertama-tama kami berhasil menemukan identitas korban
sebagai Lady Merivale. Lalu kami menghubungi Sir Arthur ini. Beliau mengenali
korban dan tentu saja sangat sedih. Lalu saya bertanya apakah beliau kenal
dengan seseorang yang bernama Bingo."
"Begini, Nyonya Beresford," kata Sir Arthur,
"Kapten Hale yang dikenal teman-temannya dengan sebutan Bingo, adalah
teman dekat saya. Dia tinggal bersama kami dan dia ada di rumah kami ketika
polisi datang dan menahannya tadi pagi. Saya yakin bahwa Anda pasti
keliru—tentu bukan namanya yang diucapkan istri saya."
'Tidak mungkin ada kekeliruan dalam hal ini,"
94
kata Tuppence lembut. "Dia mengatakan Bingo yang
melakukan...."
"Benar, kan, Sir Arthur," kata Inspektur Marriot.
Laki-laki yang malang itu bersandar di kursi dan menutupi
mukanya.
"Luar biasa. Lalu motifnya apa? Oh! Saya bisa membaca
pikiran Anda, Inspektur. Pasti Anda mengira bahwa Hale adalah pacar istri saya.
Kalau toh itu benar—dan saya yakin tidak—apa motif pembunuhan itu?"
Inspektur Marriot berdehem.
"Ini bukan hal yang enak untuk dibicarakan, Tuan. Tapi
Kapten Hale akhir-akhir ini menaruh perhatian cukup besar pada seorang wanita
Amerika. Seorang wanita muda yang cukup kaya. Kalau Lady Merivale tidak suka dengan
hal itu dan berbuat sesuatu yang tidak baik, itu bisa menghalangi rencana
perkawinan Kapten Hale."
"Ini keterlaluan, Inspektur."
Sir Arthur berdiri dengan marah. Inspektur Marriot
meredakannya dengan isyarat.
"Maaf, Sir Arthur. Anda tadi mengatakan bahwa Anda dan
Kapten Hale bermaksud untuk melihat pertunjukan itu. Pada saat itu istri Anda
pergi ke suatu tempat. Dan Anda tidak tahu bahwa dia ada di sana?"
"Sama sekali tidak."
Tolong tunjukkan iklan yang Anda baca, Nyonya
Beresford." Tuppence menurut.
95
"Cukup jelas. Iklan ini dipasang oleh Kapten Hale agar
dibaca istri Anda. Mereka berjanji untuk bertemu di situ. Tapi Anda memutuskan
untuk pergi sehari sebelum pesta. Karena itu dia perlu diperingatkan. Saya rasa
itulah sebabnya ada kata 'perlu untuk menyiasati Raja'. Anda memesan kostum
dengan mendadak dari suatu biro penyewaan kostum teater, sedang kostum Kapten
Hale adalah buatan sendiri. Dia memakai kostum Laki-laki Berbaju Koran. Anda
tahu, Sir Arthur, apa yang kami temukan dalam genggaman tangan istri Anda?
Sobekan koran. Bawahan saya sudah menerima perintah untuk mengambil kostum
Kapten Hale, dan saya akan memeriksanya di kantor nanti. Kalau sobekan itu
cocok, maka kasus ini akan segera beres."
"Anda tak akan mendapatkannya," kata Sir . Arthur.
"Saya kenal betul Bingo Hale."
Setelah meminta maaf pada Tuppence karena telah mengganggu
dia, mereka pun pergi.
Pada sore hari, mereka mendengar bel rumah berdering lagi.
Suami-istri itu heran ketika melihat Inspektur Marriot kembali lagi.
"Saya pikir Blunfs Brilliant Detectives akan senang
mendengar perkembangan kasus tadi," katanya dengan senyum kecil.
'Tentu," kata Tommy. "Mau minum?"
Dia memberikan minuman pada Inspektur Marriot.
"Kasus yang gamblang," kata Pak Inspektur.
"Pedang itu milik korban. Idenya ialah memberi
96
kesan bunuh diri. Tapi untunglah ada Anda berdua-—jadi
gagal. Kami menemukan banyak surat-surat. Rupanya mereka sudah berhubungan
cukup lama tanpa sepengetahuan Sir Arthur. Lalu mata rantai terakhir..."
'Apa?" seru Tuppence dengan tajam.
"Mata rantai terakhir—sobekan koran Daify Leader.
Sobekan itu dari baju koran yang dipakainya—pas sekali sobekannya. Benar-benar
kasus yang amat jelas. Dan saya kebetulan membawanya—barangkali Anda tertarik.
Jarang sekali kami menemukan kasus yang amat jelas seperti ini."
'Tommy," kata Tuppence ketika suaminya kembali lagi
setelah mengantarkan polisi itu keluar. "Kenapa Inspektur Marriot
berkali-kali bilang kasus ini amat jelas?"
"Aku tak tahu. Barangkali dia ingin menunjukkan rasa
puasnya."
"Sama sekali tidak. Dia mencoba membuat kita penasaran.
Tom, tukang daging kan tahu banyak tentang daging?"
"Aku rasa begitu. Lalu kenapa?"
"Juga pedagang sayur tentunya tahu tentang sayuran.
Sedangkan nelayan tahu tentang ikan. Detektif-detektif profesional—tentunya juga
tahu tentang perkara kriminal. Mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi pada
waktu mereka melihatnya—dan mereka juga tahu bila hal itu bukan yang
sebenarnya. Sebagai seorang ahli, Marriot tahu bahwa Kapten Hale bukanlah
seorang kriminal. Tapi semua fakta menunjuk demikian.
97
Dan akhirnya Marriot mencoba menarik kita agar tergelitik
untuk membongkar kasus, ini dan berharap—walaupun tipis—barangkali ada satu hal
kecil yang bisa memberikan kemungkinan yang lain. Tommy, kenapa harus bunuh
diri?"
"Ingat-ingat saja apa yang dia katakan pada mu."
"Ya—aku tahu. Tapi coba kita lihat dari sisi lain. Hal
itu dilakukan Bingo—perbuatannya menyebabkan Lady Merivale bunuh diri. Itu
mungkin."
"Betul, tapi tidak memberi jawaban untuk sobekan koran
itu."
"Coba kita lihat foto-foto Marriot. Aku lupa menanyai
dia tentang reaksi Hale."
"Aku menanyai dia tentang hal itu waktu keluar tadi.
Hale mengatakan bahwa dia tak pernah bicara dengan Lady Merivale pada
pertunjukan itu. Dia mengatakan ada orang menyelipkan kertas di tangannya
dengan tulisan: 'Jangan coba bicara padaku malam ini.' Arthur curiga. Tapi dia
tidak bisa menunjukkan kertas itu. Tapi kelihatannya cerita itu dibuat-buat
saja. Kau dan aku kan melihatnya di As Sekop."
Tuppence mengangguk dan memperhatikan kedua foto. Yang satu
adalah selembar potongan koran dengan tulisan DAILY LE yang kemudian sobek.
Yang lain adalah halaman depan koran Daihj Leader yang terkoyak bagian atasnya.
Tak diragukan lagi. Sobekan itu memang pas.
"Ini apa?" tanya Tommy.
98
"Jahitan," kata Tuppence. "Jahitan koran yang
dipakai untuk baju."
"Hurt—aku pikir titik-titik model baru lagi," kata
Tommy. Dia sedikit gemetar. "Heran, ya? Aneh rasanya. Bayangkan—kau dan
aku bicara tentang titik-titik itu dan berdiskusi tentang iklan di koran dengan
seenaknya."
Tuppence tidak menjawab. Tommy memandangnya, dan agak
terkejut ketika melihat bahwa mata istrinya memandang kosong jauh ke depan
dengan mulut agak terbuka dan ekspresi terkejut di mukanya.
'Tuppence," kata Tommy lembut sambil menggoyangkan
lengannya. "Kenapa kau? Apa mau pingsan?"
Tapi Tuppence tetap diam tak bergerak. Akhirnya dia berkata
dengan suara ngelantur jauh. "Denis Riordan."
"Eh?" kata Tommy sambil terus memandangnya.
"Seperti pernah kaukatakan. Satu kata yang sederhana!
Coba ambilkan semua Daily Leader minggu ini."
"Apa yang akan kaulakukan?"
"Aku jadi McCarty. Sudah cukup pusing aku berpikir.
Untung kau memberi inspirasi. Ini adalah halaman muka koran Selasa. Aku ingat
betul bahwa koran Selasa punya dua titik pada huruf L dalam kata LEADER. Ini
ada titiknya di huruf D dalam kata DAILY—dan satu titik pada
99
huruf L. Coba ambil koran-koran itu—kita cocokkan."
Dengan hati-hati dan asyik mereka mencocokkan titik-titik di
koran. Tuppence ternyata benar.
"Ya, kan? Sobekan ini bukan dari koran Selasa."
'Tapi kita tidak bisa terlalu yakin. Barangkali titik-titik
itu terjadi karena perbedaan edisi saja."
"Bisa jacU—tapi setidaknya memberikan suatu ide padaku.
Dan itu bukan suatu kebetulan, tetapi kepastian. Hanya ada satu hal kalau ideku
memang betul. Tolong panggil Sir Arthur, Tom. Suruh dia datang ke sini segera.
Bilang saja kalau aku punya berita penting, lalu panggil juga Marriot. Scotland
Yard pasti punya alamatnya kalau dia sudah pulang."
Karena sangat ingin tahu akan berita itu, Sir Arthur Merivale
datang setengah jam kemudian. Tuppence keluar menyambutnya.
"Maaf, kami telah mengundang Anda dengan sangat
mendadak. Tapi suami saya dan saya telah menemukan sesuatu yang kami anggap
perlu Anda ketahui dengan segera. Silakan duduk."
Sir Arthur duduk dan Tuppence melanjutkan,
"Sepanjang pengetahuan kami, Anda sangat ingin membantu
teman Anda itu supaya bebas."
Sir Arthur menggelengkan kepala dengan sedih.
'Tadinya begitu. Tapi saya terpaksa menyerah karena begitu
banyak bukti yang menuding dia."
"Bagaimana seandainya ternyata saya punya suatu bukti
yang bisa membebaskan dia?"
100
"Saya akan sangat gembira, Nyonya Beresford."
"Seandainya," lanjut Tuppence, "saya bertemu
dengan seorang gadis yang berdansa dengan Kapten Hale tadi malam jam dua
belas—pada jam yang ditetapkan agar dia datang ke As Sekop."
"Bagus," kata Sir Arthur. "Saya tahu bahwa
ada kekeliruan dalam hal ini. Vere pasti bunuh diri."
"Bukan begitu," kata Tuppence. "Anda lupa
laki-laki yang lainnya itu."
"Laki-laki yang mana?"
'Yang dilihat oleh suami saya dan saya sendiri. Laki-laki
itu meninggalkan booth di sebelah booth kami. Jadi, Sir Arthur, pasti ada
laki-laki kedua yang berbaju koran pada pesta itu. O, ya, Anda sendiri
mengenakan kostum apa?"
"Saya? Memakai kostum pembunuh abad tujuh belas."
"Sangat cocok," kata Tuppence halus. "Cocok,
Nyonya Beresford? Apa maksud Anda?"
"Untuk peran yang Anda mainkan^ Apa boleh saya
ceritakan ide saya, Sir Arthur? Kostum koran itu dapat dipakai dengan mudah di
luar kostum pembunuh. Sebelumnya, secarik surat diselipkan ke tangan Kapten
Hale agar dia tidak bicara pada seorang wanita tertentu. Tapi wanita itu
sendiri tidak tahu tentang surat itu. Dia pergi ke As Sekop pada waktu yang
ditentukan. Mereka masuk ke dalam booth. Laki-laki itu merangkul wanita itu,
saya kira, dan menciumnya—tapi ciuman Yudas. Sambil mencium dia menusukkan
101
pedang ke tubuh wanita itu. Korban hanya bisa menjerit lirih
dan laki-laki itu menutupi jeritannya dengan tertawa. Kemudian dia
keluar—sementara wanita yang kesakitan itu mengira bahwa pacarnyalah yang
menusuknya.
'Tetapi wanita itu ternyata sempat merobek kostum koran yang
dipakai laki-laki tersebut. Dan pembunuh itu sendiri sadar akan hal itu—dia
memang orang yang memperhatikan detil-detil. « Agar kasus itu benar-benar
menunjuk pada orang yang dituju, sobekan itu harus terlihat seolah-olah
terambil dari kostum Kapten Hale. Untunglah kedua lelaki itu tinggal satu
rumah. Tak ada persoalan. Dia lalu merobek kostum Kapten Hale—dan membakar
kostumnya. Setelah itu dia berganti peran sebagai sahabat yang setia."
Tuppence berhenti.
"Bagaimana, Sir Arthur?"
Sir Arthur berdiri dan membungkuk hormat.
"Sebuah imajinasi yang cukup menarik dari seorang
wanita manis yang terlalu banyak membaca buku-buku fiksi."
"Anda pikir demikian?" kata Tommy.
"Dan seorang suami yang selalu mengikuti kata
istrinya," kata Sir Arthur. "Pasti Anda akan menemukan orang yang mau
menanggapinya dengan serius."
Dia tertawa keras, dan tubuh Tuppence serasa kaku
mendengarnya.
"Saya bersedia bersumpah bahwa saya mendengar tawa itu
di As Sekop tadi malam. Dan Anda
102
agak keliru menilai kami. Nama kami memang Beresford. Tapi
kami juga punya nama lain."
Tuppence mengambil sebuah kartu dari meja dan menyodorkan
padanya. Sir Arthur membacanya dengan keras.
"Agen Detektif Internasional..." Dia menarik napas
panjang. "Jadi itulah Anda yang sebenarnya! Karena itu Marriot membawa
saya ke sini. Jebakan rupanya...."
Dia berjalan mendekati jendela.
"Pemandangan dari sini cukup bagus," katanya.
"Menghadap London."
"Inspektur Marriot," seru Tommy dengan tajam.
Bagaikan kilat Inspektur Marriot muncul dari pintu
penghubung.
Bibir Sir Arthur membentuk sebuah senyum kecil.
"Sudah kuduga," katanya. 'Tapi kali ini Anda tidak
akan bisa menangkap saya. Inspektur. Saya lebih suka memilih jalan saya
sendiri."
Dia meletakkan kedua tangannya di bingkai jendela dan
meloncat ke luar tanpa halangan.
Tuppence menjerit dan menutup kedua telinganya dari suara
yang sudah dibayangkannya—sebuah suara berdebam jauh di bawah. Inspektur
Marriot memaki-maki.
"Seharusnya kita pikirkan jendela itu," katanya.
"Walaupun kasus ini memang sulit dibuktikan, saya akan turun
dan—membereskan semuanya."
103
"Kasihan," kata Tommy perlahan. "Kalau dia
memang cinta pada istrinya..." Tapi inspektur itu menyelanya dengan gemas,
'Cinta' Barangkali. Dia sudah tidak tahu lagi dari mana bisa
dapat uang. Lady Merivale adalah seorang wanita yang amat kaya, dan semua akan
menjadi milik suaminya. Kalau dia berhubungan terus dengan Hale dan merukah
dengannya, suaminya tak akan mendapat sepeser pun."
"Oh, begitu, ceritanya."
Tentu saja. Dari awal saya sudah merasa bahwa Sir Arthur
bukan orang baik-baik, dan Kapten Hale tidak bersalah. Kami di Scotland Yard
tahu cukup baik siapa yang benar dan siapa yang tidak. Tapi sulit kalau kami
dihadapkan pada fakta yang berlawanan. Saya akan turun sekarang—sebaiknya Anda
berikan segelas brandy pada istri Anda, Tuan Beresford—kelihatannya kejadian
tadi membuatnya sedih."
"Petani sayur," kata Tuppence dengan suara
•rendah, ketika pintu di belakang Inspektur Marriot tertutup. Tukang daging.
Nelayan. Detektif. Aku benar, kan? Dia tahu."
Tommy yang sedang sibuk dengan minuman mendekati istrinya
dengan sebuah gelas besar. "Minumlah ini." "Apa itu?
Brandy?"
"Bukan. Kokril besar—cocok untuk kemenangan McCarty.
Ya, Marriot memang benar. Memang begitu caranya. Menyiasati permainan."
104
Tuppence mengangguk.
Tapi dia menyiasati dengan cara sebaliknya."
"Jadi, Raja pun keluar," kata Tommy.
9. Kasus Wanita Hilang
Bel di meja Tuan Blunt—(Agen Detektif Internasional dengan
manajernya, Theodore Blunt) terdengar memberi peringatan. Tommy dan Tuppence
terbang ke posnya masing-masing dan mengintip dari lubang yang mereka siapkan
untuk melihat ruang luar. Dan tugas Albert adalah mengulur-ulur waktu dengan
bermacam alasan yang cukup artistik.
"Akan saya lihat dulu, Tuan," katanya. "Saya
rasa Tuan Blunt sedang sibuk dengan Scotland Yard di telepon."
"Baik, saya tunggu," kata tamu itu. "Saya
tidak membawa kartu, tapi nama saya Gabriel Sta-vansson."
Klien itu memang contoh sempurna seorang manusia. Tingginya
kira-kira enam kaki. Wajahnya kecoklatan, dan matanya yang amat biru membuat
suatu kontras yang menarik dengan kulit coklatnya.
Dengan cepat Tommy membuat keputusan. Dia memakai topinya,
memakai sarung tangannya, dan membuka pintu. Dia berdiri di pintu.
106
'Tuan ini ingin menemui Anda, Mr. Blunt," kata Albert.
Muka Tommy berkerut sedikit. Dia mengeluarkan jamnya.
"Saya harus menemui Duke jam sebelas kurang
seperempat." Kemudian dia memandang tamunya dan berkata, "Saya masih punya
waktu beberapa menit kalau Anda ingin bicara. Silakan masuk."
Tamu itu mengikutinya masuk ke dalam ruang kerja Tommy, di
mana Tuppence duduk dengan serius, memegang catatan dan pensil.
"Ini sekretaris pribadi saya, Nona Robinson," kata
Tommy. "Sekarang, barangkali Anda bisa menceritakan persoalan Anda?
Tentunya sangat mendesak karena Anda datang dengan taksi dan Anda baru kembali
dari daerah Arktik atau Antartika, kan?"
Tamu itu memandang dengan heran. ' "Ini luar
biasa," serunya. "Saya kira detektif-detekuf hebat hanya ada di
buku-buku! Dan pesuruh kantor itu bahkan tidak memberitahukan nama saya pada
Anda."
Tommy menarik napas.
"Itu mudah," katanya. "Sinar matahari tengah
malam dan lingkaran Arktik punya pengaruh pada kulit—dan sinar arkhnik itu punya
beberapa sifat Saya sedang menyiapkan sebuah artikel tentang hal itu. Tapi itu
kan bukan tujuan Anda datang kemari. Apa sebenarnya yang membuat Anda datang
kemari?"
107
"Pertama-tama, Tuan Blunt, nama saya Gabriel
Stavansson...."
"Ah! Tentu saja," kata Tommy. "Penjelajah
besar. Kalau tak salah baru-baru ini Anda pergi ke Kutub Utara, kan?"
"Saya mendarat di Inggris tiga hari yang lalu. Ada
seorang teman yang kebetulan lewat di Laut Utara menawari saya untuk kembali
naik kapalnya. Kalau tak ada dia, saya baru bisa pulang dua minggu lagi. Dan
saya ingin memberitahu Anda, Tuan Blunt, bahwa sebelum memulai ekspedisi dua
tahun yang lalu, saya beruntung bisa bertunangan dengan Nyonya Maurice Leigh
Gordon..."
Tommy menyela,
"Nyonya Leigh Gordon sebelum menikah adalah..."
"Yang Mulia^ Hermione Crane, putri kedua Lord
Lanchester," kata Tuppence dengan lancar.
Tommy mdiriknya dengan pandangan kagum.
"Suami pertamanya gugur waktu perang," tambah
Tuppence lagi.
Gabriel Stavansson mengangguk.
"Benar. Seperti saya ceritakan tadi, Hermione dan saya
bertunangan. Tentu saja waktu itu saya menanyakan padanya apa sebaiknya
ekspedisi saya dibatalkan saja. Tapi—untunglah, dia bahkan memberi dorongan!
Dia memang istri yang cocok untuk seorang penjelajah. Tentu saja setelah mendarat,
yang pertama terlintas dalam pikiran saya ialah langsung akan menemuinya. Saya
mengirim telegram dari Southampton dan naik
108
kereta paling awal. Saya tahu bahwa sementara itu Hermione
tinggal bersama seorang bibinya, Lady Susan Clonray, di Pont Street. Karena itu
saya langsung ke sana. Tapi saya kecewa karena Hermy rupanya sedang mengunjungi
teman-temannya di Northumberland. Lady Susan amat ramah pada saya, walaupun dia
terkejut melihat saya datang lebih awal. Dia katakan, Hermy pasti akan kembali
beberapa hari lagi. Lalu saya menanyakan alamatnya. Tapi wanita tua itu tidak
mau memberikannya dengan alasan macam-macam. Katanya Hermy tidak tinggal di
satu tempat saja dan dia tak tahu di tempat yang mana sekarang dia. Sebaiknya
saya ceritakan pada Anda juga, Tuan Blunt, bahwa Lady Susan dan saya tidak
pernah cocok. Dia adalah seorang wanita gemuk dengan dagu dobel. Saya tidak
suka wanita gemuk—dari dulu—wanita gemuk dan anjing gemuk, benar-benar
menyebalkan—dan herannya mereka sering bersama-sama! Saya memang aneh—tapi
bagaimana lagi. Saya memang tidak suka wanita gemuk."
"Anda memang mengikuti mode, Tuan Sta-vansson,"
kata Tommy. "Dan masing-masing orang punya selera. Lihat saja almarhum
Lord Robert Dia paling benci pada kucing."
"Perlu Anda ingat. Saya tidak mengatakan bahwa Lady
Susan bukan seorang wanita yang menarik. Bisa jadi dia seorang wanita yang
menarik— tapi tidak untuk saya. Saya merasa bahwa sebenarnya dia kurang setuju
dengan pertunangan
109
saya. Barangkali, dia mempengaruhi Hermy, kalau itu memungkinkan.
Dan saya menceritakan hal ini karena mungkin ada gunanya. Bisa saja ini Anda
anggap sebagai prasangka dari pihak saya. Kita teruskan saja hal ini. Untuk
Anda ketahui, saya adalah orang yang keras kepala dan suka memilih cara
sendiri. Jadi saya tidak mau meninggalkan Pont Street sampai dia memberikan
nama dan alamat teman Hermy yang mungkin dikunjunginya. Lalu saya naik kereta
api ke utara."
"Kelihatannya Anda orang yang suka bertindak cepat,
Tuan Stavansson." kata Tommy sambil tersenyum.
"Ternyata perjalanan itu sia-sia, Tuan Blunt. Tak
seorang pun dari mereka pernah bertemu Hermy. Dari tiga rumah yang saya
datangi, hanya satu yang menunggu-nunggu kedatangannya. Lady Susan pasti
membuat cerita tambahan dengan yang dua itu. Dan Hermy membatalkan janji dengan
temannya itu melalui telegram yang mendadak. Tentu saja saya cepat-cepat
kembali ke London, dan langsung menemui Lady Susan. Saya menuntut untuk diberi
keterangan yang benar. Dan dia mengaku bahwa sebenarnya dia tidak tahu di mana
Hermy berada. Tapi dia juga menolak dengan keras ketika saya usulkan untuk
lapor pada polisi. Dia katakan bahwa Hermy bukanlah seorang gadis kecil yang
tolol, tetapi seorang wanita dewasa yang sering punya rencana sendiri.
Barangkali ada suatu hal yang sedang dilakukannya
110
"Saya pikir memang masuk akal kalau Hermy tidak selalu
melaporkan apa yang dikerjakannya pada Lady Susan. Tapi saya masih kuatir Saya
merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Ketika saya akan pergi, tiba-tiba
ada telegram datang untuk Lady Susan. Dia membacanya dengan ekspresi lega, dan
memberikan telegram itu pada saya. Bunyinya seperti ini: 'Rencana berubah. Ke
Monte Carte seminggu. Hermy.'"
Tommy mengulurkan tangannya.
"Anda bawa telegram itu?" .
'Tidak. Tapi telegram itu dikirim dari Maldon, Surrey. Saya
melihatnya waktu itu karena terasa aneh. Apa yang dilakukan Hermy di Maldon?
Setahu saya dia tak punya teman di sana."
"Anda tidak pergi ke Monte Carlo?"
"Pernah terpikir oleh saya. Tapi saya putuskan untuk
tidak ke sana. Walaupun Lady Susan kelihatan puas dengan telegram itu, saya
tidak. Menurut saya, aneh kalau dia selalu memberitahu dengan telegram,
bukannya surat. Satu atau dua kalimat yang ditulis dengan tulisannya bisa
meredakan kekuabran saya. Tapi siapa pun bisa mengirim telegram dan memberi
nama 'Herm/. Semakin saya pikir, semakin kuatir saya. Akhirnya saya pergi ke
Maldon kemarin siang. Tempat itu biasa-biasa saja—ada dua hotel. Saya mencari
di tempat-tempat yang mungkin didatangi Hermy, tetapi hasilnya nol. Waktu saya
kembali dengan kereta, saya membaca iklan Anda dan berpikir untuk menyerahkan
soal ini pada Anda.
111
Kalau Hermy memang pergi ke Monte Carlo, saya tidak ingin
lapor pada polisi dan menimbulkan skandal. Tapi saya juga tidak ingin ke sana
mencari sesuatu yang belum pasti. Saya akan tinggal di sini, di London, kalau
kalau—terjadi sesuatu."
Tommy mengangguk sambil berpikir.
"Apa sebenarnya yang Anda curigai?"
'Terus-terang saya tidak tahu. Tapi saya merasa ada yang
tidak beres."
Dengan gerakan cepat Stavansson mengambil dompet dari
sakunya dan dibukanya di depan mereka.
"Inilah Hermione," katanya. "Saya tinggal
dulu di sini." Foto itu adalah foto seorang wanita semampai. Dia bukan
seorang wanita muda, tapi mempunyai senyum yang menawan dan mata yang indah.
'Tak ada lagi yang ketinggalan, Tuan Stavansson?" kata
Tommy. 'Tidak ada."
'Tidak ada hal-hal kecil yang detil sekalipun?"
"Saya rasa tidak."
Tommy menarik napas panjang.
"Wah, ini membuat pekerjaan kami tambah sulit,"
katanya. "Saya rasa Anda mengerti. Tuan Stavansson, bahwa satu hal kecil
yang kelihatannya biasa saja bisa menjadi petunjuk yang amat berharga untuk
seorang detektif. Dan untuk kasus Anda, bisa saya katakan agak aneh. Otak saya
memang sudah mulai bekerja. Tapi kami perlu waktu untuk membukakan
kebenarannya."
112
Tommy mengambil biola yang tergeletak di atas meja, dan
memainkan penggeseknya satu atau dua kali. Tuppence menggigit bibirnya sendiri,
dan tamu itu pun menjadi bingung. Tommy meletakkan alat musik itu lagi.
"Beberapa paduan nada dari Mosgovskensky," gumamnya.
'Tinggalkan alamat Anda, Tuan Stavansson. Saya akan melaporkan
perkembangan-perkembangan situasinya nanti."
Ketika tamu itu pergi, Tuppence langsung menyambar'biola
dari meja, memasukkannya ke dalam lemari dan menguncinya.
i "Kalau kau mau jadi Sherlock Holmes, aku akan
memberimu satu jarum suntik dan sebuah botol berlabel kokain. Tapi demi Tuhan,
jangan kausentuh-senfuh lagi biola itu. Kalau penjelajah manis itu tidak
bersikap jujur dan sederhana, dia akan bisa melihat dengan jelas siapa kau. Apa
kau mau terus main jadi Sherlock Holmes?"
"Aku merasa bahwa aku bisa memainkannya dengan
baik," kata Tommy dengan nada puas. "Deduksinya bagus, kan? Dan
terus-terang, ten-
/ tang taksi itu aku untung-untungan. Sebetulnya gampang.
Satu-satunya cara kemari kan dengan taksi?'
"Untunglah aku baru membaca tentang pertunangannya di
Daily Mirror pagi ini," kata Tuppence.
"Ya. Memang bagus untuk memberi kesan betapa efisiennya
Blunf s Brilliant Detectives. Ini benar-benar kasus Sherlock Holmes. Bahkan kau
113
pun bisa melihat persamaannya dengan menghilangnya Lady
Frances Carfax."
"Apa kau membayangkan menemukan tubuh Nyonya Leigh
Gordon di peti mati?"
"Biasanya, sejarah berulang lagi. Sebenarnya— ah, apa
pendapatmu?"
"Hm, yang jelas, si Hermy ini kelihatannya takut menemui
tunangannya. Alasannya belum jelas. Tapi Lady Susan memberi dukungan padanya.
Barangkali bisa dikatakan bahwa wanita itu menghadapi suatu kegagalan dan
berusaha menutupinya."
"Aku juga berpikir begitu," kata Tommy. 'Tapi aku
rasa kita harus benar-benar yakin sebelum menyodorkan hal itu pada orang
seperti Stavansson. Bagaimana kalau kita lihat-lihat Maldon sebentar? Kita bawa
saja beberapa tongkat golf."
Tuppence setuju. Agen Detektif Internasional dipercayakan
pada Albert.
Walaupun Maldon merupakan daerah perumahan yang terkenal,
tempat itu tidak terlalu luas. Dengan cerdik Tommy dan Tuppence mencari
informasi yang mereka perlukan. Tetapi hasilnya nol. Pada' waktu mereka kembali
ke London sebuah ide yang cemerlang muncul di kepala Tuppence.
'Tommy, kenapa mereka menulis Maldon Surrey di telegram
itu?" • "Karena Maldon ada di Surrey, Bodoh."
"Kau sendiri yang bodoh—bukan itu maksudku. Kalau kau
terima telegram dari—misalnya
114
Hastings, atau Torquay, mereka biasanya tidak menuliskan
nama wilayahnya, kan? Tapi dari Richmond, mereka menuliskan Richmond Surrey.
Itu karena ada dua Richmond." Tommy memperlambat mobilnya. 'Tuppence,
idemu memang bagus. Kita tanya kantor pos dulu, yuk."
Mereka berhenti di depan sebuah bangunan kecil di
tengah-tengah jalan desa. Mereka hanya perlu beberapa menit untuk menemukan
bahwa ada dua buah Maldon. Yang pertama adalah Maldon, Surrey, dan kedua
Maldon, Sussex. Yang belakangan ini merupakan sebuah desa kecil, tetapi
dilengkapi dengan kantor telegram.
"Itu dia," kata Tuppence senang. "Stavansson
hanya tahu Maldon yang di Surrey. Jadi dia tak memperhatikan kata yang berhuruf
depan S setelah Maldon." "Besok kita ke Maldon Sussex," kata
Tommy. Maldon, Sussex memang beda dengan Maldon, Surrey. Tempat itu terletak
empat mil dari stasiun kereta api, mempunyai dua gedung pertemuan untuk umum,
dua toko, Sebuah kantor pos dan telegram yang juga menjual gula-gula dan
kartu-pos bergambar, dan tujuh pondok kecil. Tuppence masuk ke dalam toko
sedangkan Tommy masuk ke The Cock and Sparrow. Mereka bertemu setengah jam
kemudian. "Bagaimana?" tanya Tuppence. "Birnya lumayan,"
jawab Tommy. "Tapi nggak ada info."
115
"Coba saja ke The King's Head," kata Tuppence.
"Aku akan kembali ke kantor pos. Ada seorang wanita tua yang nyebelin
tadi, tapi aku dengar mereka menyuruhnya pergi makan."
Dia kembali ke tempat itu dan melihat-Lihat kartupos
bergambar. Seorang gadis berwajah segar dengan mulut mengunyah sesuatu, keluar
dari ruang belakang.
"Saya mau beli yang ini," kata Tuppence.
"Anda tak keberatan menunggu di sini sebentar—saya ingin melihat-lihat
yang lucu."
Tuppence pun memilih satu paket, sambil terus bicara.
"Sayang sekali Anda tidak bisa memberitahu alamat
saudara saya. Dia tinggal di dekat sini tapi alamatnya hilang. Namanya Deigh
Wood."
Gadis itu menggelengkan kepalanya.
"Saya tak ingat. Kecuali itu tidak banyak surat-surat
yang kami terima di sini—jadi saya pasti tahu kalau memang ada. Kecuali The
Grange, tak banyak rumah-rumah besar di sekitar sini."
"The Grange itu apa? Siapa yang punya?" tanya
Tuppence.
"Dokter Horriston pemiliknya. Tempat itu sekarang sudah
diubah jadi klinik perawatan. Saya rasa banyak kasus-kasus penyakit saraf di
situ. Banyak wanita-wanita yang datang untuk istirahat, dan sebagainya. Yah—di
sini memang tenang," gadis itu tertawa kecil.
Dengan cepat Tuppence memilih beberapa kartu dan
membayarnya.
"Itu mobil Dokter Horriston," kata gadis itu.
Tuppence cepat-cepat keluar dan dia melihat sebuah mobil
kecil lewat. Penumpangnya adalah seorang lelaki jangkung berkulit gelap dengan
jenggot rapi dan wajah yang kurang menyenangkan. Mobil itu berjalan terus.
Tuppence melihat Tommy menyeberang jalan menuju dia.
'Tom, aku rasa sudah ketemu. Klinik Dokter Horriston."
"Aku juga dengar tentang tempat itu di King's Head, dan
aku pikir barangkali kita bisa mencari di situ. Tapi seandainya dia memang
menderita penyakit saraf, teman dan bibinya tentunya tahu, kan?"
'Yaaa—tapi bukan itu yang kumaksud. Kaulihat orang yang naik
mobil kecil tadi?" "Nggak enak dilihat" "Itu Dokter
Horriston." Tommy bersiul.
"Wah—wah. Bagaimana—perlu dilihat?"
Akhirnya mereka menemukan tempat itu. Sebuah rumah besar
yang sepi, dengan pembangkit tenaga listrik berada di halaman belakang.
"Uh, jelek benar," kata Tommy. "Aku kok ngeri
ya. Rasanya soal ini akan jadi lebih serius."
"Oh, jangan. Kalau saja kita bisa bertindak tepat pada
waktunya. Wanita itu dalam bahaya. Aku merasakannya."
117
116
"Jangan hanyut dalam mimpimu," kata Tommy.
Tak bisa. Aku tak bisa percaya pada orang itu. Apa yang akan
kita lakukan? Sebaiknya aku pijit bel saja, ya? Dan langsung tanya tentang
Nyonya Leigh Gordon. Aku ingin tahu jawabnya, karena barangkali kita bisa
mendapat informasi dengan cara terang-terangan."
Tuppence langsung bertindak. Pintu itu segera dibuka oleh
seorang lelaki berwajah kosong.
"Saya ingin bertemu dengan Nyonya Leigh Gordon. Apa dia
cukup sehat untuk menemui saya?"
Rasanya Tuppence melihat sebuah kilatan pada mata laki-laki
itu. Tapi jawabannya cukup cepat.
"Nama itu tak ada di sini, Nyonya."
"Oh, masa? Ini klinik Dokter Horriston yang bernama The
Grange, kan?"
"Betul, Nyonya, tapi tak ada yang bernama Nyonya Leigh
Gordon di sini."
Karena bingung, Tuppence terpaksa mundur dan berkonsultasi
dengan Tommy di luar.
"Barangkali dia tidak bohong. Kita kan tidak
tahu."
Tidak. Dia bohong. Aku yakin."
Tunggu sampai dokter itu datang," kata Tommy. "Aku
akan jadi wartawan yang ingin tahu sistem penyembuhan dia yang paling baru.
Dengan begitu aku akan tahu letak ruangan-ruangan di tempat itu."
Dokter itu datang setengah jam kemudian.
118
Tommy masuk, tapi lima menit kemudian dia pun diusir keluar.
"Dokter itu sibuk dan tak bisa dihubungi. Dia tak
pernah bicara dengan wartawan. Tuppence, aku rasa kau benar. Ada yang nggak
beres "-dengan tempat ini. Lokasinya ideal—jauh dari tempat ramai. Dan apa
pun bisa terjadi di tempat 5 ini tanpa
diketahui orang."
"Ayolah," kata Tuppence tegas. "Apa yang akan
kaulakukan?" "Aku akan naik ke atas rumah itu. Barangkali tak ada
yang lihat." "Oke. Aku setuju."
Kebun itu memang rimbun dan bisa dipakai untuk bersembunyi.
Tommy dan Tuppence berhasil memanjat bagian belakang rumah itu tanpa dipergoki
orang.
Di situ ada sebuah teras yang lebar dengan anak tangga
menurun. Di tengah tengah ada beberapa jendela besar yang terbuka ke arah
teras, tapi keduanya tak berani memperlihatkan diri secara terang-terangan.
Jendela tempat mereka mengintip rupanya terlalu tinggi untuk bisa melihat
ruangan di dalamnya. Tiba-tiba Tuppence mencengkeram lengan Tommy.
Ada orang berbicara di kamar yang ada di w* dekat mereka. Jendela kamar itu terbuka
sehingga pembicaraan mereka dapat didengar dari luar.
"Masuk—masuk saja dan tutup pintunya," kata suara
seorang laki-laki dengan jengkel. "Kau
119
bilang ada seorang wanita datang menanyakan Nyonya Leigh
Gordon?"
Tuppence mengenali suara orang yang diajak bicara, yaitu
laki-laki yang membukakan pintu tadi.
"Ya, Tuan."
"Dan kauhilang dia tidak di sini, kan?" 'Ya,
Tuan."
"Dan sekarang wartawan itu," gumamnya.
Tiba-tiba dia mendekati jendela dan membuka gorden. Kedua
orang yang bersembunyi di semak-semak itu bisa melihat Dr. Horriston.
"Aku justru kuatir dengan tamu wanita itu. Bagaimana
rupanya?" tanya Dokter Horriston.
"Muda, cantik, dan modis, Tuan."
Tommy menggelitik tulang iga Tuppence.
"Hm, benar rupanya," kata dokter itu. "Aku
rasa dia teman Nyonya Leigh Gordon. Huh— menyulitkan saja. Aku harus
mulai..."
Dia tidak menyelesaikan kalimatnya. Tommy dan Tuppence
mendengar jendela ditutup. Sepi.
Dengan hati-hati Tommy berjalan ke luar. Ketika mereka sudah
agak jauh, dia berkata,
'Tuppence, persoalannya tambah serius. Mereka akan berbuat
sesuatu yang tidak baik. Aku rasa kita harus segera kembali ke kota dan bicara
dengan Stavansson."
Anehnya, Tuppence menggelengkan kepala.
"Kita harus tetap di sini. Apa kau tidak dengar bahwa
dia akan mulai melakukan' sesuatu? Itu bisa berarti macam-macam."
120
"Sialnya, yang ini belum bisa dibilang sebagai kasus
yang pantas kita laporkan pada polisi."
"Begini, Tom. Kautelepon Stavansson dari desa. Aku
tunggu di sini."
"Ya—barangkali itu yang terbaik. Tapi, Tup-"
pence...," kata suaminya.
"Kenapa?"
"Kau hati-hati, ya!"
'Tentu saja. Tolol. Jangan kuatir."
Dua jam kemudian Tommy kembali. Dia melihat Tuppence
menunggu di dekat pintu pagar.
"Bagaimana?"
"Aku tak bisa menghubungi Stavansson. Lalu aku coba
menelepon Lady Susan. Tapi dia juga tidak ada. Lalu aku menelepon Brady dan
menyuruh lihat Horriston di Direktori Medis atau yang semacam itulah."
"Apa yang dikatakan Dr. Brady?"
"Oh! Dia langsung kenal nama itu. Horriston dulu memang
seorang dokter yang bonafid. Tapi kemudian dia gagal. Brady menyebutnya sebagai
dukun bejat, dan dia berkata tak akan heran kalau terjadi sesuatu yang
aneh-aneh. Persoalannya sekarang, apa yang akan kita lakukan?"
"Kita Jwus tetap di sini," kata Tuppence tegas.
"Aku merasa bahwa mereka akan melakukan sesuatu malam ini. O, ya ada
tukang kebun yang memotong tanaman-tanaman jalar di pagar baru-baru ini. Dan
aku tahu di mana dia meletakkan tangga."
121
"Bagus, Tuppence," kata suaminya memuji.
"Kalau begitu malam ini..." „ "Begitu gelap..." "Kita
akan melihat..." "Apa yang akan kita lihat?" Tommy ganti
mengawasi rumah itu, sementara Tuppence pergi ke desa dan makan.
Kemudian Tuppence kembali dan mereka bersama-sama
memperhatikan rumah itu. Pada jam sembilan mereka sepakat untuk mulai beraksi.
Mereka dapat mengitari rumah itu dengan bebas. Tiba-tiba Tuppence mencengkeram
lengan Tommy.
"Dengar."
Suara yang didengarnya terdengar kembali— samar-samar. Suara
itu adalah suara rintihan seorang wanita yang kesakitan. Tuppence menunjuk ke
atas, ke sebuah jendela di tingkat dua.
"Dari kamar itu," bisiknya.
Sekali lagi mereka mendengar suara kesakitan yang lirih
memecah udara malam.
Kedua pendengar itu memutuskan untuk melaksanakan rencana
mereka. Tuppence berjalan ke tempat tangga. Mereka membawa dan meletakkannya di
dekat jendela di mana mereka mendengar suara orang kesakitan. Semua tirar
jendela bawah sudah ditutup, tetapi jendela kamar yang satu itu masih terbuka.
Tommy meletakkan tangga dengan hati-hati.
"Aku akan naik. Kau di bawah saja," kata Tuppence.
"Aku tak keberatan naik tangga dan
122
kau bisa memeganginya dengan baik. Dan kalau dokter itu
datang kau bisa menghadapi dia lebih baikdariku."
Dengan hati-hati Tuppence merayap naik dan melongokkan,
lehernya untuk melihat jendela. Lalu dia keluarkan lagi kepalanya dengan cepat.
Satu atau dua menit kemudian dia melongok lagi. Dia memperhatikan selama
kira-kira lima menit, lalu turun.
"Dia," katanya dengan kacau. "Oh, Tom,
menyedihkan sekali. Dia tidur di atas tempat tidur, merintih sambil bergolek-golek.
Dan ketika aku sedang memperhatikan, tiba-tiba ada seorang perawat masuk. Dia
menunduk dan menyuntikkan sesuatu di bawah lengannya. Lalu pergi lagi. Apa yang
akan kita lakukan?"
"Apa dia sadar?"
"Aku rasa begitu. Ya, aku yakin dia sadar. Apa dia tadi
diikat, ya? Aku mau naik lagi. Dan kalau bisa, aku akan masuk ke kamar
itu."
'Tuppence..."
"Kalau aku dalam bahaya, aku akan menjerit."
Karena tak ingin berbantah lagi, Tuppence cepat-cepat naik
tangga. Tommy melihatnya masuk ke dalam kamar lewat jendela. Tuppence pun
menghilang.
Sekarang Tommy yang menderita. Dia tidak dapat mendengar
apa-apa. Tuppence dan Nyonya Leigh Gordon pasti bicara berbisik-bisik—
seandainya mereka bicara. Akhirnya dia pun bisa
123
mendengar suara orang bergumam. Hatinya lega. Tapi tiba-tiba
suara itu berhenti. Sepi.
Tommy meregangkan telinganya. Tak terdengar apa-apa. Apa
yang mereka lakukan?
Tiba-tiba sebuah tangan memegang bahunya/'
"Ayo," kata Tuppence dalam gelap.
'Tuppence! Bagaimana kau datang ke tempat ini?"
"Lewat pintu depan. Kita pergi saja."
"Pergi?"
"Ya."
'Tapi—Nyonya Leigh Gordon?" Dengan nada pahit yang tak
terlukiskan Tuppence menjawab, "Ngurusin badan!"
Tommy memandangnya tidak mengerti. "Apa maksudmu?"
"Aku bilang ngurusin badan. Ngurangi berat. Apa kau
tidak dengar Stavansson bilang dia benci wanita gemuk? Dua tahun ditinggal,
Hermy-nya itu jadi gemuk. Kelabakan waktu tahu bahwa tunangannya kembali dan
cepat-cepat ke tempat Dr. Horriston untuk ngurusin badan. Dia punya cara baru.
Dengan injeksi atau apa. Penemuannya dirahasiakan dan biayanya mencekik leher.
Dia memang dukun. Tapi dukun sukses! Stavansson datang dua minggu lebih awal,
ketika Hermy baru mulai mendapat perawatan khusus. Lady Susan telah disumpah
untuk tidak membocorkan rahasia, dan dia pegang janji. Dan kita datang ke sini
seperti orang tolol!"
124
Tommy menarik napas panjang.
"Watson, aku rasa ada sebuah konser bagus di Queen's
Hall besok. Kita akan punya banyak waktu. Dan kau akan minta padaku agar tidak
memasukkan kasus ini dalam rekor kita. Sama sekali tidak ada bagusnya!"
125
10. Lelaki Buta
"Benar," kata Tommy, lalu meletakkan telepon.
Kemudian dia berpaling kepada Tuppence.
"Dari Bos. Kelihatannya orang yang harus kita hadapi
telah tahu bahwa aku bukan Theodore Blunt asli. Kita harus siap setiap saat.
Dan Bos bilang sebaiknya kau pulang dan tinggal di rumah, dan tak melibatkan
diri dalam kasus ini. Kelihatannya sarang lebah yang kita kutak kuak lebih
besar dari yang kita perkirakan."
"Pokoknya aku tak akan pulang," kata Tuppence
dengan tegas. "Siapa yang akan menjagamu kalau aku pulang? Kecuali itu aku
juga suka dengan keributan ini. Usaha kita kan sepi-sepi saja belakangan
ini."
'Tentu saja pembunuhan dan perampokan tidak terjadi setiap
hari. Yang logis sajalah. Aku pikir sebaiknya begini. Kalau nggak ada urusan,
kita berlatih sendiri saja."
"Latihan berbaring telentang dan mengayun-ayunkan kaki
di udara? Itu maksudmu?"
'Jangan menginterpretasikannya seperti anak
126
kecil, dong! Latihan yang kumaksud kan latihan seni
detektif. Reproduksi dari para ahli, begitu. Misalnya..."
Dari laci yang ada di sisinya Tommy mengambil topeng mata
hijau tua yang amat besar. Dipasangnya topeng itu dengan hati-hati. Kemudian
dia mengambil jam dari sakunya.
"Kacanya pecah tadi pagi," kata Tommy. 'Jam itu
jadi tidak punya kristal dan bisa kuraba-raba."
"Hati-hati," kata Tuppence. "Jarumnya yang
pendek hampir jatuh."
"Coba kesinikan tanganmu," kata Tommy. Dia
memegang tangan Tuppence dengan satu jari, merasakan nadinya. "Ah! Bisa
ditebak. Wanita ini tidak punya penyakit jantung."
"Apa kau mau jadi Thornley Colton?" tanya
Tuppence.
"Betul. Si Problemis buta. Dan kau—apa ya—
mm—sekretaris berambut hitam..."
"Popok bayi yang ditemukan di pinggir kali," kata
Tuppence menyelesaikan kalimatnya.
"Dan Albert jadi Fee alias Shrimp."
"Kita harus mengajarnya omong 'Gee'," kata
Tuppence. "Dan suaranya harus agak melengking, bukan serak."
"Di dinding dekat pintu ada tongkat yang akan membantu
jari-jariku yang sensitif."
Dia berdiri dan menabrak sebuah kursi.
"Sialan! Aku lupa ada kursi di situ."
"Pasti nggak enak ya jadi orang buta," kata
Tuppence penuh perasaan.
127
"Benar," jawabTommy. "Aku paling kasihan pada
mereka yang kehilangan penglihatan dalam perang daripada yang lainnya. Tapi
katanya kalau kita hidup dalam kegelapan, kita bisa.mengembangkan
perasaan-perasaan khusus. Itulah yang ingin kulihat. Dan tentunya akan
menyenangkan kalau bisa melatih seseorang sampai terbiasa dalam gelap. Sekarang
tolong kau jadi Sydney Thames yang baik. Berapa langkah kira-kira jarak ke
tongkat itu?" Tuppence membuat perkiraan kasar. 'Tiga lurus, lima ke
kiri," katanya cepat. Tommy mengira-ngira dan melangkah Tapi Tuppence
berteriak ketika sadar bahwa langkah keempat ke kiri akan membuat suaminya
menabrak dinding.
"Susah, susah," katanya. 'Susah membuat perkiraan
berapa langkah yang diperlukan."
"Oh, ini menyenangkan," kata Tommy. 'Panggil
Albert. Suruh masuk. Aku ingin salaman dengan kalian dan menebak tangan siapa
yang kupegang
"Ya—ya. Tapi Albert harus cuci tangan dulu. Tangannya
kan biasanya lengket karena permen yang dimakannya itu."
Albert, yang diberi tahu tentang permainan itu,
sangat senang.
Setelah selesai bersalaman, Tommy tersenyum
puas.
"Keyboard bisu itu tak bisa membohongi,"
128
gumamnya. 'Yang pertama Albert, yang kedua Tuppence."
"Salah!" seru Tuppence melengking. "Huh—
pakai keyboard bisu segala! Kau menebak dengan cincin kawin, kan? Tapi cincin
itu kupindah ke jari Albert."
Beberapa eksperimen mereka lakukan dengan hasil
berbeda-beda.
"Aku sudah punya feeling sekarang," kata Tommy.
'Tentu saja pertama-tama kita tidak bisa selalu benar. Sekarang begini.
Sebentar lagi kan makan siang. Kau dan aku makan di Blitz, Tuppence. Orang buta
dan teman setianya. Kita praktek di sana."
"Kita pasti dapat kesulitan nanti," kata Tuppence.
'Tidak—tidak. Aku akan bersikap manis. Dan pada akhir makan
siang nanti aku akan membuat kejutan."
Semua protes tidak diindahkan, dan seperempat jam kemudian
terlihatlah Tommy dan Tuppence duduk dengan enak di sebuah sudut Gold Room
Hotel Blitz.
Tommy meraba-raba menu dengan ujung jarinya.
"Aku mau Pilaff de Homard dan Grilled Chicken,"
gumamnya. *
Tuppence juga memilih makanannya. Pelayan pun pergi.
. "Sampai saat ini semua lancar," kata Tommy.
"Sekarang eksperimen yang lebih jauh. Wah—
129
indah betul kaki gadis bergaun mini itu—yang baru
datang:" "Kok kamu tahu?"
"Kaki-kaki yang indah memberikan getaran tertentu pada
lantai yang kemudian diterima oleh tongkatku yang berongga ini. Atau—kalau mau
jujur—di restoran besar seperti ini, biasanya ada seorang gadis berkaki indah yang
berdiri di pintu mencari-cari temannya. Dan sekarang kan sedang musim rok
mini—jadi kakinya pasti kelihatan bagus."
Mereka melanjutkan makan.
"Laki-laki yang duduk dua meja di dekat kita
kelihatannya kaya," kata Tommy asal-asalan.
"Bagus," kata Tuppence memuji. "Bagaimana kau
bisa tahu?"
"Aku tidak bisa selalu menjelaskan padamu bagaimana aku
melakukannya setiap kali, dong! Pelayan kepala itu sedang menuang sampanye di
meja ketiga sebelah kanan. Seorang wanita gemuk akan melewati meja kita."
'Tommy, kamu kok bisa..."
"He—kau mulai melihat apa yang bisa kulakukan, ya? Nah,
ada gadis manis berbaju coklat di belakangmu."
"Salah, seorang pemuda berbaju abu-abu," kata
Tuppence.
"Oh!" kata Tommy kecewa sesaat.
Pada saat itu dua orang laki-laki yang duduk tidak jauh dari
mereka dan memperhatikan
130
mereka cukup lama., berdiri dan mendatangi mereka.
"Maaf," kata yang lebih tua, seorang lelaki tinggi
berbaju rapi, berkacamata dan berkumis-kecil, "ada yang mengatakan bahwa
Anda adalah Tuan Theodore Blunt. Apakah itu benar?"
Tommy ragu-ragu sejenak dan merasa agak menyesal. Tapi
kemudian dia menganggukkan kepalanya.
"Memang benar. Saya Tuan Blunt."
"Ah, ini sebuah kebetulan! Tuan Blunt, saya tadi
bermaksud akan menelepon Anda di kantor, setelah makan siang. Saya dalam
kesulitan—kesulitan besar. Tapi—maaf—apakah mata Anda cedera karena suatu
kecelakaan?"
"Ah," kata Tommy dengan nada melankolis.
"Saya memang buta—sama sekali buta."
"Apa?"
"Anda heran. Apa belum pernah dengar tentang detektif
buta?"
'Sudah, tapi di buku cerita. Dan saya belum pernah dengar
bahwa Anda buta."
"Memang tak banyak yang tahu," gumam Tommy.
"Hari ini saya memakai tutup mata untuk melindungi bola mata saya dari
cahaya. Kalau saya tidak memakainya, banyak yang tidak tahu kekurangan saya.
Mata saya tak bisa membohongi saya. Tapi sudahlah. Kita tak perlu bicara
tentang hal itu lagi. Apa kita sekarang pergi ke kantor saya? Atau Anda ingin
menceritakan kasus Anda di sini? Saya rasa sebaiknya di sini saja."
131
Seorang pelayan membawa dua buah kursi untuk mereka dan
keduanya pun duduk. Laki-laki satunya yang belum mengeluarkan sepatah kata pun,
berbadan lebih pendek, kekar dan berkulit gelap.
"Ini amat rahasia, kata si tua dengan agak berbisik.
Dia memandang Tuppence dengan ragu-ragu. Tuan Blunt kelihatannya merasakan
pandangan itu.
'Saya kenaikan dulu sekretaris saya," katanya.
"Nona Ganges. Ditemukan di pinggir Sungai Gangga—sewaktu^masih bayi dalam
bedong. Sangat menyedihkan. Nona Ganges adalah mata saya. Dia selalu
mengantarkan saya ke mana-mana."
Orang asing itu membungkukkan badannya.
'Sekarang saya bisa bicara. Tuan Blunt, anak perempuan saya
yang berumur enam belas tahun, telah dibawa lari orang. Saya baru tahu setengah
jam yang lalu. Karena situasi kasus itu sedemikian rupa, saya tak berani memanggil
polisi. Tapi saya menelepon kantor Anda. Mereka katakan Anda sedang keluar
makan dan akan kembali lagi jam setengah tiga. Saya datang kemari bersama kawan
saya. Kapten Harker...."
Laki-laki yang lebih pendek itu menganggukkan kepalanya dan
menggumamkan sesuatu.
"Secara kebetulan kita bertemu di sini. Kita tak boleh
membuang-buang waktu. Anda harus ikut ke tempat saya sekarang juga."
Tommy bergumam dengan hati-hati.
132
"Saya dapat ikut Anda setengah jam lagi. Saya harus
kembali ke kantor dulu."
Kapten Harker yang melirik Tuppence mungkin akan heran jika
melihat senyum di ujung bibirnya.
'Tidak—tidak. Anda harus ikut saya." Laki-laki berambut
abu-abu itu mengeluarkan sebuah kartu dari sakunya dan menyodorkannya pada
Tommy. "Ini nama saya."
Tommy merabanya dengan ujung jari.
"Jari saya tidak cukup sensitif untuk membacanya,"
katanya sambil tersenyum dan memberikannya pada Tuppence, yang membacanya
dengan suara rendah, "Duke of Blairgowrie."
Tuppence memandang kliennya dengan penuh . perhatian. Duke
dari Blairgowrie dikenal sebagai seorang yang angkuh dan sulit didekati,
seorang bangsawan yang menikah dengan anak seorang tukang daging dari Chicago
yang jauh lebih muda darinya dan sangat lincah, sehingga kurang cocok dengan
dirinya. Gosip tentang hubungan yang kurang serasi pun telah terdengar.
"Anda akan segera pergi, Tuan Blunt?" katanya
dengan nada agak jengkel.
Tommy pun menyerah.
"Nona Ganges dan saya akan pergi bersama Anda,"
katanya tenang. "Anda bisa menunggu saya untuk minum kopi sebentar? Mereka
akan segera menyiapkannya. Saya sering pusing karena sakit mata ini. Dan kopi
itu akan membantu saya."
133
Dia memanggil seorang pelayan dan memesan kopi. Kemudian dia
berkata kepada Tuppence.
"Nona' Ganges—saya akan makan siang besok di sini
dengan Kepala Polisi Prancis. Tolong ditulis dan berikan pada kepala pelayan
supaya menyiapkan meja saya seperti biasa. Saya sedang membantu polist-Francis.
The fee—" dia diam— "cukupanlah. Anda siap, Nona Ganges?"
"Siap," kata Tuppence dengan gaya yang sesuai.
"Kita akan mulai dengan Salad of Shrimps yang spesial
itu. Setelah itu—sebentar—diikuti dengan —ya. Omelette Blitz, dan barangkali
dua Toun-dedos a l'Etranger."
Tommy mendongak, memandang mata Duke.
"Maafkan saya," katanya bergumam. "Ah! Ya,
Souffle en surprise. Itu hidangan terakhir. Seorang pribadi yang sangat menarik
Kepala Polisi itu. Barangkali Anda kenal?"
Yang ditanya tidak mengiakan. Tuppence berdiri dan bicara
dengan kepala pelayan. Ketika dia kembali lagi, pelayan pun datang membawa
kopi.
Tommy meneguk kopinya perlahan, lalu berdiri.
'Tongkat saya, Nona Ganges. Terima kasih. Beri arah."
Tuppence merasa sulit.
"Satu ke kanan. Delapan belas lurus. Kira-kira langkah
kelima ada seorang pelayan di meja sebelah kiri."
Tommy berangkat sambil mengayunkan tong-
134
katnya. Tuppence berjalan merapat sambil menyetir suaminya
diam-diam. Semua berjalan lancar sampai mereka melewati pintu. Seorang
laki-laki masuk dengan tergesa-gesa dan sebelum Tuppence sempat memperingatkan
Tuan Blunt yang buta, dia langsung menabrak orang itu. ~ Ucapan maaf dan
penjelasan pun menyusul.
Di dekat pintu hotel itu sebuah mobil kecil yang cantik
sudah menunggu. Duke sendiri membantu Tuan Blunt masuk. .
. "Kau bawa mobil, Harker?" tanyanya.
'Ya, di ujung sana."
'Tolong bawa Nona Ganges."
Sebelum terdengar jawaban, dia meloncat naik dan duduk di
samping Tommy. Mobil pun berjalan pergi, ¦y "Masalah yang amat peka,"
gumam Duke. "Saya akan segera memberitahu Anda tentang semua
detilnya."
Tommy mengangkat tangannya di atas kepala.
"Saya bisa membuka topeng sekarang," katanya
gembira. "Saya tidak tahan dengan cahaya lampu di restoran
tadi." -
Tapi lengannya diturunkan dengan paksa. Pada saat itu pula
dia merasa sebuah benda keras dan bulat ditodongkan ke rusuknya. 'Tidak, Tuan »
Blunt," kata Duke dengan nada suara yang tiba-tiba berubah. "Anda tak
perlu membuka topeng itu. Yang harus Anda lakukan adalah duduk tenang dan tidak
bergerak. Mengerti? Saya tak ingin pistol ini meletus. Tahu nggak, kebe-
135
tulan saya bukanlah Duke dari Blairgowrie. Saya cuma pinjam
namanya karena saya yakin Anda tak akan menolak permintaan seorang terhormat
seperti itu. Saya hanya seorang pedagang daging babi yang kehilangan
istri."
Dia merasa banwa Tommy terkejut.
"Anda mengerti rupanya/' katanya sambil tertawa.
"Kawan yang baik, kau benar-benar tolol. Aku kuatir—aku benar-benar
kuatir—jangan-jangan kegiatanmu terputus nanti."
Dia mengatakan kalimatnya yang terakhir, dengan sinis.
Tommy duduk tak bergerak. Dia tak mau meladeni pancingan
lawannya.
Akhirnya mobil itu mengurangi kecepatannya dan berhenti.
"Sebentar," kata Duke Palsu. Dengan cekatan dia
memilin saputangan dan memasukkannya ke mulut Tommy. Setelah itu dia
mengikatkan saputangannya di sekeliling mulut.
"Ini untuk jaga-jaga, barangkali kau akan berbuat tolol
dan berteriak minta tolong," katanya.
Pintu mobil itu terbuka dan sopir berdiri siap. Dia dan
tuannya mengapit Tommy dan membawanya naik dengan cepat masuk ke sebuah rumah.
Pintu di belakang mereka tertutup. Tommy menghirup udara
berbau rempah-rempah. Kakinya menginjak sesuatu yang empuk seperti beludru.
Kemudian dia dibawa naik lewat sebuah tangga yang kira-kira ada di bagian
belakang
136
rumah, dan kemudian masuk ke sebuah kamar. Di sini kedua
laki-laki itu mengikat tangannya Si sopir keluar lagi dan yang satu membuka
sumbat mulut.
"Kau bisa omong bebas sekarang," katanya senang.
"Coba ceritakan tentang dirimu?"
Tommy membersihkan tenggorokan dan melemaskan ujung mulutnya
yang kaku.
"Kuharap kau tidak membuang tongkatku. Harganya cukup
mahal."
"Kau memang berani," kata laki-laki itu setelah
diam sejenak. "Atau kau barangkali tolol? Apa kau tidak mengerti bahwa kau
ada di tanganku? Di bawah kekuasaanku? Bahwa orang yang mengenalmu tak akan
bisa melihatmu lagi?"
"Apa kau perlu bersikap dramatis seperti itu?"
tanya Tommy sedih. "Apa aku perlu berkata Tunggu pembalasanku. Bajingan'?
Kata-kata seperti itu sudah kuno." t
"Bagaimana dengan gadis itu?" kata yang lain.
"Apa kau tidak peduli?"
"Aku sudah mengambil kesimpulan pada waktu aku terpaksa
bungkam," kata Tommy, "dan aku merasa yakin bahwa si Harker cerewet
itu pun seorang berandal sekaliber kau, karena itu, sekretarisku pasti akan
ikut ke sini tak lama lagi."
"Satu hal benar. Tapi yang lain salah. Nyonya
Beresford—harap maklum bahwa aku tahu dengan baik siapa sesungguhnya kalian
berdua— dia tak akan dibawa kemari. Ini merupakan suatu tindakan pencegahan
yang harus kuambil, karena
137
mungkin teman-temanmu yang pejabat tinggi itu membayangi
semua langkah-langkahmu. Dengan membagi perhatian seperti ini, mungkin kalian tak
bisa dibuntuti. Setidaknya, aku punya satu orang dalam kekuasaanku. Sekarang
aku menunggu...."
Dia diam ketika pintu terbuka. Si sopir bicara. 'Tak ada
yang membuntuti kita, Pak. Semua beres."
"Bagus. Terima kasih, Gregory." Pintu itu tertutup
lagi.
"Sejauh ini semua beres," kata Duke Palsu.
"Sekarang, apa yang harus kita lakukan, Tuan Beresford Blunt?"
"Saya berharap Anda bersedia membuka topeng mata saya
ini," kata Tommy.
"Aku rasa tidak perlu. Dengan topeng itu kau menjadi
benar-benar buta. Dan tanpa benda itu kau akan bisa melihat seperti aku—dan itu
tak akan cocok dengan rencana kecilku. Karena aku punya rencana. Kau memang
suka dengan fiksi sensasional, Tuan Blunt. Permainan yang kaulakukan bersama
istrimu tadi adalah sebuah bukti. Dan aku juga sudah merencanakan sebuah
permainan kecil—suatu permainan yang cukup menarik—nanti akan kujelaskan
padamu."
"Begini. Lantai tempatmu berdiri itu terbuat dari
logam. Di sana-sini di permukaan lantai itu ada beberapa proyeksi. Dengan
sentuhan sebuah tombol—begitu." Terdengar suara klik yang cukup keras.
"Sekarang aliran listrik mengalir. Jika
138
salah satu tonjolan itu terinjak itu berarti—mati! Mengerti?
Kalau kau bisa melihat... tapi kau tidak bisa. Kau dalam gelap. Itulah
permainannya— permainan orang buta. Kalau kau bisa mencapai pintu dengan
selamat—kau bebas! Tapi sebelum kau sampai di pintu, aku rasa kau pasti sudah
menginjak salah satu tonjolan itu—dan itu merupakan suatu tontonan yang
menarik—bagiku!"
Dia maju ke depan dan melepaskan ikatan tangan Tommy.
Kemudian dia memberikan tongkatnya dan membungkuk dengan sinis.
"Problemis buta. Kita lihat saja apakah kau bisa
menyelesaikan problem ini. Aku akan berdiri di sini dengan pistol siap di
tangan. Kalau kau mengangkat tanganmu untuk melepas topeng itu, aku siap
menembak. Jelas?"
"Sangat jelas," kata Tommy. Wajahnya agak pucat
tetapi tetap penuh keyakinan. "Aku sama sekali tak punya kesempatan
keluar, kan?"
"Oh! Itu..." Lawan bicaranya hanya mengangkat
bahu.
"Kau memang betul-betul licik," kata Tommy. 'Tapi kau
lupa satu hal. Apa aku boleh menyalakan rokok? Rasanya hatiku berdebar-debar
"
"Boleh. Tapi jangan coba-coba menipu. Ingat, aku
memperhatikanmu dengan pistol di tangan."
"Aku bukan anjing tontonan," jawab Tommy.
"Jadi aku tak bisa memberi pertunjukan tipuan Dia mengambil sebuah rokok
dari tempatnya, lalu meraba-raba mencari korek api. "Jangan kuatir, aku
tidak mencari pistol. O, ya, kau kan tahu
139
bahwa aku tak punya senjata, bukan? Hm... ya, bagaimanapun,
kau melupakan satu hal." "Apa itu?"
Tommy mengeluarkan sebatang korek api. Siap untuk
menyalakannya.
"Aku buta dan kau bisa melihat. Itu suatu kenyataan.
Keuntungan ada di pihakmu. Tapi seandainya—kita berdua dalam gelap? Apa
keun-tunganmu?"
Dia menyalakan rokoknya.
"Duke" itu tertawa sombong.
"Kau berharap bisa mematikan tombol lampu sehingga
ruangan ini gelap? Mana bisa?"
"Baik," kata Tommy. "Kalau aku tidak bisa
memberimu kegelapan, aku akan memberimu yang sebaliknya. Bagaimana dengan
terangi"
Sambil bicara, dia menempelkan korek pada suatu benda yang
dipegangnya, dan melemparkannya ke atas meja.
Lidah-lidah api yang sangat besar menerangi ruangan.
Sesaat Duke Palsu itu terkejut dan silau dan merasa buta
melihat sinar yang begitu terang. Dia terjatuh ke belakang dan tangannya yang
memegang pistol pun ikut turun.
Dia membuka matanya lagi karena merasa ada sebuah benda
tajam menempel di dadanya.
"Lempar pistol itu," perintah Tommy. "Lempar
cepat. Aku pun sependapat denganmu bahwa tongkat berongga tak ada gunanya. Dan
aku memang tak punya. Sebuah tongkat pedang adalah
140
senjata yang berguna. Benar, nggak? Sama pentingnya dengan
kabel magnesium. Lempar pistol ituT
Orang itu menurut karena ancaman ujung pedang Tommy. Dia
melempar pistolnya/lalu sambil tertawa meloncat ke belakang. Y
'Tapi aku masih untung," katanya mengejek. "Karena
bisa melihat dan kau tidak." i
"Itulah kesalahanmu," kata Tommy. "Aku bisa
melihat dengan jelas. Topeng mata ini palsu. Aku sengaja memakai yang palsu
dulu dan setelah selesai makan siang bermaksud menggantinya ^ dengan yang asli.
Sebetulnya aku bisa saja menghindari orang yang menabrakku di pintu tadi dengan
mudah. Tapi aku tidak percaya bahwa kau bermain jujur. Aku tahu bahwa kau tak
akan membiarkan aku keluar dari tempat ini dengan selamat. Jadi hati-hati
sekarang...."
Dengan wajah merah karena marah, Duke Palsu meloncat ke
depan, dan lupa meletakkan kakinya sendiri di tempat yang aman.
Terlihat sebuah kilatan biru. Tubuh laki-laki itu bergoyang,
lalu jatuh seperti balok kayu. Bau daging terpanggang memenuhi ruangan itu,
bercampur dengan bau ozone yang lebih keras.
"Huh," dengus Tommy.
Dia mengusap mukanya.
Dengan sangat hati-hati dia bergerak mendekati dinding dan
memijit tombol.
Kemudian dia menyeberangi ruangan itu, membuka pintu dengan
hati-hati dan melihat
141
keluar. Tak terlihat seorang pun di sekitar tempat itu. Dia
menuruni tangga dan keluar lewat pintu depan.
Setelah sampai di jalan dengan selamat, dia perhatikan nomor
rumah itu dengan perasaan ngeri. Kemudian dia bergegas pergi ke telepon umum.
Dia merasa begitu tegang. Tapi kemudian sebuah suara yang
dikenalnya menjawab dan membuatnya lega.
"Tuppence, ya Tuhan!"
"Ya—aku tak apa-apa. Aku ngerti kodemu. Fee, Shrimp,
datang ke Blitz dan mengikuti dua orang asing itu. Albert datang tepat pada
waktunya, dan mengikutiku dengan taksi. Dia tahu tempatku disembunyikan, lalu
menelepon polisi."
"Albert memang baik," kata Tommy. "Pemberani.
Aku tahu bahwa dia membuntutimu. Bagaimanapun, aku tetap kuatir. Banyak yang
ingin kuceritakan. Aku langsung pulang sekarang. Dan yang pertama akan
kulakukan nanti ialah menulis sebuah cek dengan jumlah besar untuk. St.
Dunstan. Menyedihkan sekali kalau kita tak bisa melihat"
142
11. Lelaki Dalam Kabut
Tommy merasa tidak bahagia. Blunfs Brilliant Detectives
mengalami kemunduran. Ini tidak saja merugikan nama kebanggaan mereka, tapi
juga kantong mereka. Mereka gagal memenuhi panggilan untuk menemukan kalung
mutiara yang dicuri orang di Adlington Hall, Adlington. Pada waktu Tommy sibuk
membayangi Countess yang suka berjudi dengan menyamar sebagai seorang pastor,
dan Tuppence sibuk dengan seorang kemenakan pemilik kalung di lapangan golf,
dengan tenang seorang inspektur polisi menangkap seorang pelayan yang ternyata
memang seorang pencuri ulung yang sudah dikenal polisi. Dia mengakui perbuatannya
tanpa membantah sedikit pun.
Karena itu, Tommy dan Tuppence pun mundur dengan rasa malu
yang ditahan-tahan. Saat ini mereka menghibur diri dengan menikmati koktil di
Hotel Grand Adlington. Tommy masih memakai pakaian pastornya.
"Sama sekali nggak ada sentuhan Father
143
Brown-nya," katanya sedih. "Padahal aku punya
payung yang sesuai."
"Itu bukan kasus Father Brown," kata Tuppence.
"Dari pertama kita perlu atmosfer tertentu. Harusnya, orang melakukan
hal-hal yang sederhana dulu. Belakangan baru terjadi yang aneh-aneh.
Begitu."
"Sayangnya, kita harus kembali pulang,".kata
Tommy. "Barangkali sesuatu yang aneh akan terjadi di jalan ke
stasiun." -
Dia mengangkat gelas ke bibirnya. Tetapi cairan yang ada di
dalamnya tiba-tiba saja tumpah karena sebuah tangan yang berat menepuk bahunya,
dan terdengar suara nyaring.
"Hei—Tommy! Tommy, ya? Dan Nyonya Tommy? Kau muncul
dari mana? Sudah seabad rasanya tidak melihatmu."
"Oli—Bulger!" kata Tommmy sambil meletakkan
gelasnya. Dia menoleh pada seorang laki-laki besar berbahu lebar, berwajah
kemerahan, dan berumur tiga puluhan dengan pakaian golf. Bulger!
"Ah," kata Bulger (yang nama sebenarnya adalah
Mervyn Estcourt), "aku tak tahu bahwa kau mendapat panggilan. Rasanya
pakaianmu itu nggak cocok,"
Tuppence tertawa terpingkal-pingkal dan Tommy kelihatan
malu. Mereka kemudian sadar bahwa ada orang keempat
Seorang wanita tinggi langsing dengan rambut keemasan dan
mata yang amat biru—sangat
144
cantik—berbaju hitam mahal dengan mantel bulu dan giwang
mutiara yang.amat besar. Dia tersenyum. Dan senyum' itu penuh arti. Misalnya,
-dia sadar bahwa dirinya adalah seorang wanita cantik—wanita tercantik di
Inggris—bahkan di durda^barangkatv Dia tidak minta pengakuan untuk hal itu,
tetapi dia memang tahu dan yakin. Itu saja.
,Baik Tommy maupun Tuppence segera mengenalinya Mereka
pernah melihatnya tiga kali dalam Secret of the Heart, dan beberapa kali dalam
sukses besar yang sama, yaitu dalam Pillars of Fire, dan beberapa pertunjukan
lainnya. Barangkali tak ada aktris lain kecuali Nona Gilda Glen jtang dapat
merebut hati orang Inggris. Semua orang tahu bahwa dia adalah wanita Inggris
yang paling cantik. Dan—berdasarkan desas-desus— yang paling bodoh.
"Kawan-kawan lama saya, Nona Glen," kata Estcourt
dengan nada minta maaf karena telah melupakannya. 'Tommy dan Nyonya Tommy, ini
adalah Nona Gilda Glen."
Nada bangga terdengar dalam suaranya. Hanya karena mereka
bersama-sama, kelihatannya si Cantik sudah melimpahkan kehormatan padanya.
Aktris itu memandang Tommy dengan penuh . perhatian.
"Apa Anda benar-benar seorang biarawan? Biarawan
Katolik? Saya rasa mereka tidak punya istri."
Estcourt tertawa terpingkal-pingkal lagi.
145
"Bagus," katanya. "Kau memang penipu, Tommy.
Untunglah dia tidak menceraikan Anda, Nyonya Tommy."
Gilda Gten tidak menangkap pernyataan itu. Dia terus
memandang Tommy dengan mata bingung dan bertanya-tanya.
"Apa Anda pastor?"
"Sangat sedikit orang yang benar-benar seperti yang
kelihatan oleh kita," kata Tommy dengan lembut. "Profesi saya bukan
tidak seperti pastor. Saya tidak memberi pengampunan—tapi saya mendengar
pengakuan dosa—saya..."
"Jangan dengarkan dia," kata Estcourt. "Dia
hanya main-main."
'Tapi kalau Anda bukan pastor, kenapa pakai baju seperti
itu?" katanya heran. "Kecuali..."
"Anda seorang kriminil yang sedang melarikan
Airi " cola Tommj/ "OohaliVriJKI "
"Oh!" katanya sambil memandang Tommy dengan mata
cantik ketakutan.
Aku rasa dia tidak mengerti apa yang kumaksud, pikir Tommy.
Kecuali kalau aku terjemahkan dalam satu kata saja.
Dia berkata dengan keras,
"Kau tahu kereta yang kembali ke kota, Bulger? Kami
harus cepat pulang. Berapa jauh jarak ke stasiun?" *
"Sepuluh menit jalan. Tapi nggak usah cepat-cepat.
Kereta itu akan berangkat jam 6.35. Dan sekarang baru jam enam kurang dua
puluh. Kereta sebelumnya baru saja berangkat."
146
"Lewat mana kalau mau ke stasiun?" "Belok
kiri langsung, begitu-kau keluar dari hotel. Lalu—sebentar—lewat Morgan's
Avenue yang piling gampang aku rasa—"
"Morgan's Avenue?" Nona Glen memandangnya dengan
mata terkejut.
"Saya tahu apa yang Anda pikir," kata Estcourt
sambil tertawa. "Hantu. Di satu sisi Morgan's Avenue memang ada kuburan.
Dan orang-orang percaya bahwa ketika ada seorang polisi meninggal karena
kekerasan, hantunya gentayangan di jalan itu. Polisi jadi-jadian! Percaya, nggak?
Tapi banyak yang bilang bahwa mereka pernah melihatnya."
. "Polisi?" tanya Nona Glen. Dia sedikit gemetar.*
"Hantu, sebenarnya tidak ada, kan? Maksud saya, hal-hal seperti itu tak
ada, kan?"
Dia berdiri dan merapatkan mantel pembungkus badannya.
"Mari," katanya.
Dia sama sekali tidak memperhatikan Tuppence dan ketika
pergi sedikit pun tak melirik padanya. Tapi dia sempat melihat Tommy sekilas
dengan pandangan bertanya kebingungan.
Ketika sampai di pintu dia berpapasan dengan seorang
laki-laki jangkung berambut abu-abu dan bermuka merah yangiljerseru heran.
Tangannya langsung menggandeng lengan wanita itu dan mereka pun bicara dengan
akrab.
"Cantik, ya?" kata Estcourt. "Otaknya otak
kelinci. Orang banyak bergosip bahwa dia akan
147
menikah dengan Lord Leeonbury. Itu dia orangnya ada di
pintu-
"KeLihatannya bukan tipe laki-laki yang baik untuk
dikawini," kata Tuppence.
Estcourt hanya mengangkat bahu.
'Tapi sebuah titel bangsawan rupanya masih punya daya tarik
juga," katanya. "Dan Leconbury bukannya orang yang miskin. Gadis itu
akan hidup senang. Padahal tak seorang pun tahu asalnya dari mana. Aku rasa
juga tak jauh dari selokan. Ada yang misterius dengan kedatangannya di tempat
ini. Dia tidak tinggal di hotel. Dan ketika aku mencari tahu di mana dia
tinggal, dia marah dan menghinaku dengan kasar. Kalau saja aku tahu."
Dia melirik jam tangannya dan berseru terkejut.
"Wah, aku harus pergi. Senang rasanya bisa ketemu
kalian lagi. Kita harus kumpul dan ngojjrol lagi nanti. Aku pergi dulu,
ya!"
Dia bergegas pergi. Pada saat itu seorang pelayan datang
membawa sebuah surat di atas nampan. Surat itu tidak beralamat.
"Ini untuk Tuan," katanya. "Dari Nona Gilda
Glen."
Tommy merobek dan membacanya dengan rasa ingin tahu. Dia
membaca beberapa kalimat dengan tulisan tangan yang tidak rapi.
"Saya tidak terlalu yakin, tapi rasanya Anda bisa
membantu saya. Pergilah ke stasiun lewat
148
jalan itu. Apa Anda bisa berada di White House, Morgan's
Avenue, pukul enam lewat sepuluh?"
Salam, Gilda Glen.
Tommy mengangguk pada pelayan yang kemudian pergi, dan
memberikan surat itu pada Tuppence.
"Luar biasa," katanya. "Apa ini karena dia
mengira bahwa kau pastor?"
'Tidak," kata Tommy sambil merenung. "Justru
sebaliknya—karena aku bukan seorang pastor, dan dia tertarik. He, apa
itu?"
Yang ditanyakan Tommy adalah seorang pe-. muda berambut
merah, dengan dagu menantang dan baju acak-acakan. Dia masuk ruangan itu dan
sekarang berjalan hilir-mudik sambil mengomel sendirian.
"Neraka!" kata pemuda berambut merah itu dengan
suara lantang. "Itulah—neraka!"
Dia menjatuhkan badannya di kursi yang ada di dekat Tommy
dan Tuppence, lalu memandang keduanya dengan pandangan sendu.
"Dasar perempuan," katanya sambil melirik Tuppence
dengan marah. "Oh! Bikinlah gara-gara kalau Anda mau. Usirlah saya dari
hotel ini! Ini bukan pertama kalinya. Kenapa kita tak boleh mengatakan apa yang
kita pikirkan? Kenapa kita harus menutup- nutupi perasaan sendiri? Dan hanya
mengatakan hal-hal yang sama dengan
149
orang-orang lainnya? Saya tak merasa ingin menyenangkan
seseorang atau berlaku sopan. Saya merasa seperti ingin mencekik seseorang dan
pelan-pelan memerah nyawanya sampai habis." Dia diam.
"Ada orang tertentu yang menyebabkan?" tanya
Tuppence. "Atau siapa saja?"
"Satu orang tertentu," kata pemuda itu dengan
muram.
"Menarik sekali," lanjut Tuppence. "Bisa
diceritakan?"
"Nama saya ReiHy," kata pemuda berambut merah itu.
"James Reilly. Barangkali Anda pernah mendengarnya. Saya menulis beberapa
sajak tentang perdamaian—cukup bagus."
"Sajak-sajak Perdamaian?" tanya Tuppence.
"Ya—kenapa tidak?" kata Tuan Reilly tersinggung-
"Oh! Tak apa-apa," kata Tuppence cepat.
"Saya selalu memihak perdamaian," kata Reilly
dengan bersemangat. "Dan terkutuklah perang. Dan perempuan. Perempuan!
Anda lihat makhluk yang baru berkeliaran di sini tadi? Gilda Glen. Dia
menamakan dirinya Gilda Glen! Tuhan. Saya dulu memang memuja perempuan itu. Dan
dengarkan \pi. Kalaupun dia punya hati—hati itu pasti ada pada saya. Dia pernah
mencintai saya. Dan saya bisa membuatnya mencintai saya lagi. Oh, mudah-mudahan
Tuhan melindungi dia. Dia akan menjual dirinya pada si Leconbury itu. Dan
150
saya akan membunuh perempuan itu dengan tangan saya
sendiri."
Tiba-tiba dia berdiri dan keluar dari ruangan.
Tommy hanya mengernyitkan alis matanya.
"Seorang pemuda yang agak mengejutkan. Bagaimana, kita
berangkat. Tuppence?" *^ Kabut tipis menyongsong mereka ketika mereka
sampai di luar hotel. Mereka mengikuti arah N yang diberikan Estcourt. Keduanya
berbelok ke kiri, dan beberapa menit kemudian sampai di sebuah belokan yang
bernama Morgan's Avenue.
Kabut bertambah tebal. Kelihatan lembut dan putih. Di sisi
kiri mereka terdapat dinding pagar kuburan yang tinggi, dan di sisi kanan
terdapat deretan rumah-rumah kecil. Akhirnya deretan rumah kecil itu hilang dan
terlihatlah sebuah «• pagar tanaman.
'Tommy," kata Tuppence. "Aku kok merasa ngeri, ya.
Kabut ini. Dan begitu sepi. Seolah-olah kita ini jauh terpencil."
"Ya, memang bisa menimbulkan perasaan begitu,"
kata Tommy. "Sendiri di dunia. Itu efek dari kabut dan ketidakmampuan kita
melihat ke depan."
Tuppence mengangguk. "Cuma langkah kaki kita saja yang
kedengaran bprgema. Apa itu?" *
"Apa?"
"Rasanya aku juga mendengar langkah kaki lain di
belakang kita."
"Sebentar lagi kau akan melihat hantu kalau ketakutan
seperti itu," kata Tommy. "Jangan
151
takut. Apa kau takut polisi jadi-jadian itu menempelkan
tangannya di bahumu?" Tuppence menjerit.
"Jangan, Tom. Sekarang kau membuatku berpikir tentang
itu."
Tuppence menjulurkan kepala ke belakang, mencoba menembus
kabut yang menghalangi mereka.
'Tuh, kedengaran lagi," bisiknya. "Sekarang ada di
depan. Oh, Tommy, apa kau tidak mendengarnya?"
"Aku memang mendengar sesuatu. Ya, langkah kaki di
belakang kita. Ada orang lain yang lewat jalan ini untuk mengejar kereta yang
sama. Apa..."
Tiba-tiba dia berhenti dan berdiri kaku, dan Tuppence
terperangah.
Karena tirai kabut di depan mereka terbuka dengan tiba-tiba
dan kira-kira dua puluh kaki dari mereka berdiri seorang polisi yang amat
besar, seolah-olah muncul dari balik kabut. Satu menit yang lalu dia tak ada di
situ. Satu menit kemudian dia muncul di situ—seolah-olah begitulah yang dilihat
kedua pasangan itu. Lalu ketika kabut itu lewat, sebuah pemandangan pun
kelihatan—seolah-olah terjadi di atas panggung.
Polisi besar berbaju biru, pilar persegi berwarna merah, dan
di sebelah kanan jalan samar-samar terlihat sebuah rumah putih.
"Merah, putih, dan biru," kata Tommy.
"Benar-benar hidup. Ayo, Tuppence. Tak ada yang perlu ditakuti."
Dan memang benar. Polisi itu memang seorang polisi dan
ternyata dia tidak sebesar yang mereka lihat ketika tertutup kabut.
Tapi ketika mereka berjalan ke depan, mereka mendengar
langkah kaki di belakang. Seorang laki-laki melewati mereka dengan
tergesa-gesa. Dia berbelok di pagar rumah putih, menuruni tangga, lalu mengetuk
pintu dengan keras. Pintu itu dibuka ketika Tommy dan Tuppence sampaj di tempat
polisi itu berdiri dan memandang mereka.
"Orang itu kelihatannya tergesa-gesa," kata si
polisi berkomentar.
Dia bicara dengan suara pelan. Seperti orang yang bicara
sambil berpikir.
"Dia memang selalu tergesa-gesa," kata Tommy.
Polisi memandangnya dengan agak curiga. 'Teman Anda?"
tanyanya. Nada suaranya curiga.
"Bukan," kata Tommy. "Bukan teman saya. Tapi
saya kebetulan tahu dia. Namanya Reilly."
"Ah!" kata polisi itu. "Sebaiknya saya terus
jalan."
"Anda tahu di mana letaknya White House?" tanya
Tommy.
Polisi itu memiringkan kepalanya.
"Itu dia. Rumah Nyonya Honeycott." Dia diam dan
kemudian menambahkan. "Penakut. Selalu curiga ada" maling di
sekitarnya. Selalu minta supaya saya melihat-lihat dan berjaga di rumah-
153
152
¦* *
nya. Wanita setengah baya memang begitu,
barangkali." *¦
"Setengah baya, ya?" kata Tommy. "Apa Anda
barangkali tahu seorang wanita muda yang tinggal di situ?" ; _
"Wanita muda," ulang pak polisi mencoba mengingat.
"Wanita muda. Rasanya tidak."
"Barangkali dia tidak tinggal di situ, Tom," kata
Tuppence. "Dan barangkali dia belum sampai. Mungkin dia berangkat setelah
kita pergi."
"Ah!" kata polisi itu tiba-tiba. "Saya ingat.
Memang ada seorang wanita muda masuk ke rumah itu. Saya melihatnya ketika saya
baru datang dari ujung jalan. Kira-kira tiga atau empat menit yang lalu."
"Dengan baju mantel bulu?" tanya Tuppence.
"Ada semacam kelinci putih di lehernya," kata
polisi.
Tuppence tersenyum. Polisi itu terus berjalan ke arah jalan
Tommy dan Tuppence datang tadi. Mereka sekarang sudah dekat ke pintu masuk
White House.
Tiba-tiba terdengar suara melengking dari dalam rumah. Tak
lama kemudian pintu depan pun terbuka dan James Reilly keluar dengan
terburu-buru. Wajahnya pucat-pasi, matanya terbelalak dan seolah tak melihat
apa yang ada di depannya. Dia berjalan seperti orang mabuk.
Dia melewati Tommy dan Tuppence seolah-olah tak melihat
mereka, sambil komat-kamit sendiri.
154
«
'Tuhanku! Tuhanku! Oh, Tuhanku!"
Tangannya kemudian mencengkeram pintu pagar, seolah-olah
ingin menguatkan diri, lalu tiba-tiba saja dia lari ke jalan, ke arah yang
berlawanan dengan si polisi tadi.
155
12. Lelaki Dalam Kabut (Lanjutan)
Tommy dan Tuppence saling berpandangan, bingung.
"Hm," kata Tommy. "Ada sesuatu yang terjadi
di rumah itu, yang membuat Reilly ketakutan setengah mati."
Tuppence dengan tenang menggoreskan jarinya di pintu pagar.
"Dia pasti memegang cat berwarna merah di suatu
tempat," katanya.
"Hm. Aku rasa kita sebaiknya cepat-cepat masuk,"
kata Tommy. "Aku belum mengerti persoalannya."
Di tengah pintu seorang pelayan bertopi putih berdiri dengan
muka marah.
"Apa Pastor pernah melihat pemandangan seperti
itu?" katanya ketika Tommy menuruni anak tangga. "Laki-laki itu
datang dan menanyakan nona muda, lalu berlari naik tangga tanpa omong apa-apa.
Nona muda menjerit seperti kucing buas—lalu saya nggak tahu kenapa—laki-laki
itu berlari turun dengan muka pucat seperti
156
orang yang baru melihat hantu. Apa artinya ini semua?"
"Kau bicara dengan siapa, Ellen?" tanya sebuah
suara tajam dari dalam. "Ini, Nyonya," katanya.
Pelayan itu masuk dan Tommy pun berhadapan dengan seorang
wanita setengah baya berambut abu-abu, bermata biru, dan berkacamata bulat.
Tubuhnya yang gemuk terbungkus baju hitam.
"Nyonya Honeycott?" kata Tommy. "Saya ingin
bertemu dengan Nona Glen."
Nyonya Honeycott memandangnya dengan tajam. Lalu
pandangannya beralih meneliti Tuppence dengan cermat.
"Oh! Kalau begitu silakan masuk," katanya.
Dia membawa mereka masuk ke sebuah kamar yang menghadap
kebun di bagian belakang. Kamar itu sebenarnya cukup luas, tapi karena memuat
meja dan kursi yang besar-besar, jadinya kelihatan kecil. Api besar menyala di
perapian, dan sebuah sofa yang tertutup kain cita berdiri di satu sisinya.
Kertas penutup dindingnya bergaris abu-abu kecil dengan bunga-bunga mawar
menggerombol di bagian atas. Beberapa lukisan dan ukiran menghias dinding
ruangan.
Ini adalah sebuah ruangan yang rasanya kurang cocok dengan
penampilan mahal Nona Gilda Glen.
"Silakan masuk," kata Nyonya Honeycott.
"Pertama-tama saya minta maaf dan harap Anda
157
mengerti bahwa saya tidak bersimpati pada agama Katolik.
Saya tak pernah membayangkan seorang pastor Katolik masuk rumah saya. Tapi
kalau Gilda telah pergi ke tempat pelacuran, ya —memang bisa
dimengerti—barangkali juga lebih buruk keadaannya. Mungkin dia sama sekali tak
beragama. Dan rasanya saya lebih bisa menerima agama Katolik kalau pendetanya
boleh menikah—saya biasa bicara terus-terang. Saya tak^ bisa membayangkan
biara-biara itu—begitu banyak gadis-gadis cantik dikurung di sana, dan tak
seorang pun tahu apa yang terjadi dengan mereka—ah, saya nggak bisa
membayangkan."
Nyonya Honeycott benar-benar berhenti. Dia menarik napas
panjang.
Tanpa menyinggung hal-hal yang berkaitan dengan agama, Tommy
langsung berkata,
"Nyonya Honeycott, saya dengar Nona Glen ada di
sini."
"Benar. Tapi harap Anda ketahui. Saya tak setuju.
Perkawinan adalah perkawinan. Dan suami ya suami. Kalau kita membersihkan
tempat tidur kita, kita juga tidur di situ."
"Saya tidak mengerti," kata Tommy bingung.
"Ya, saya mengerti. Itulah mengapa saya ajak Anda masuk
ke sini. Anda bisa menemui dia setelah saya bicara nanti. Dia datang kepada
saya—setelah bertahun-tahun tidak ketemu—dan minta agar saya menolongnya. Dia
ingin agar saya menemui laki-laki itu dan membujuk agar mau menceraikan dia.
Saya katakan terus terang
158
bahwa saya tidak mau tahu tentang urusan itu. Cerai itu
dosa. Tapi saya tak bisa menolak adik saya untuk menumpang di sini, kan?"
"Adik Anda?" seru Tommy.
'Ya. Gilda itu adik saya. Dia belum cerita?"
Tommy memandangnya dengan mulut terbuka. Rasanya hal itu
terlalu fantastis. Kemudian Tommy ingat bahwa kecantikan Gilda Glen memang
sudah menonjol dari dulu. Waktu dia masih kecil pun, dia sudah kelihatan
menarik. Ya, memang mungkin. Tapi kok seperti langit dan bumi bedanya. Jadi
dari keluarga kelas menengah rupanya dia berasal. Pandai benar dia
menyembunyikan rahasia itu!
"Saya belum jelas," kata Tommy. "Adik Anda
sudah menikah?"
"Kawin lari ketika umur tujuh belas," kata Nyonya
Honeycott dengan jelas. "Dengan seorang pemuda biasa yang kelasnya di
bawah dia. Dan ayah kami adalah seorang pendeta. Ini sebuah corengan. Lalu dia
meninggalkan suaminya dan masuk dunia panggung. Berakting! Saya sendiri seumur
hidup belum pernah masuk gedung teater. Saya tak ingin bersentuhan dengan
kekejaman. Dan sekarang—setelah bertahun-tahun— dia ingin menceraikan suaminya.
Saya rasa dia ingin menikah dengan orang yang lebih hebat. Tapi suaminya tetap
berdiri tegak—dia tak mau dipermainkan dan tak mau disuap—saya mengagumi
sikapnya itu."
"Siapa namanya?" tanya Tommy tiba-tiba.
159
"Nah, ini memang aneh—tapi saya benar-benar tidak
ingat! Sudah dua puluh tahun berlalu. Ayah tidak ingin nama itu disebut-sebut.
Dan saya menolak membicarakan soal itu dengan Gilda. Dia mengerti sikap saya
dan tidak memaksa."
"Namanya bukan Reilly, kan?"
"Bisa saja. Saya benar-benar tidak tahu. Tidak ada di
pikiran saya."
"Orang yang saya maksud itu baru dari sini."
"Oh, orang itu! Saya pikir orang gila yang lepas. Saya
tadi ada di dapur memberi instruksi pada Ellen. Saya baru saja keluar dari
ruang ini dan berpikir-pilar apa Gilda sudah datang (dia punya kunci sendiri)
karena saya merasa mendengar dia. Dia ragu-ragu sejenak di lorong dan akhirnya
naik ke atas. Kira-kira tiga menit kemudian mulailah keributan itu terjadi.
Saya melihat di gang ada seorang laki-laki berlari naik lalu turun lagi
terburu-buru seperti orang gila. Benar-benar brengsek."
Tommy berdiri.
"Nyonya Honeycott, mari kita ke atas.
Jangan-jangan..." "Ada apa?"
"Jangan-jangan Anda tak punya cat merah di rumah
ini."
Nyonya Honeycott memandangnya. "Tentu saja tidak."
"Itulah yang kukuatirkan, kata Tommy. "Izinkan
kami pergi ke kamar adik Anda.'' Tanpa berkata apa-apa. Nyonya Honeycott
160
berjalan ke luar. Mereka melihat Ellen yang buru-buru masuk
ke sebuah kamar.
Nyonya Honeycott membuka pintu pertama di lantai atas. Tommy
dan Tuppence masuk di belakangnya
Tiba-tiba wanita itu berseru kaget dan jatuh ke belakang.
Sesosok tubuh bergaun hitam terbujur di atas sofa. Wajahnya
bersih—cantik dan kelihatan seperti seorang anak yang tidur lelap. Tetapi dia
mati. Luka yang ada di sisi kepalanya menunjukkan adanya pukulan keras dengan
benda tumpul yang meremukkan tengkorak. Darah menetes pelan ke lantai, tapi
luka itu sendiri telah beberapa waktu tak lagi mengeluarkan darah____
Tommy memeriksa mayat itu. Wajahnya menjadi pucat.
"Jadi dia sama sekali tidak mencekiknya," kata
Tommy.
"Apa maksud Anda? Siapa?" seru Nyonya Honeycott.
"Apa dia meninggal?"
"Oh, ya, Nyonya Honeycott. Dia mati. Dibunuh.
Pertanyaannya ialah—oleh siapa? Sebetulnya itu bukan pertanyaan. Aneh—memang
kata-katanya nyerocos begitu saja. Tapi aku rasa bukan dia."
Dia diam sejenak, lalu menoleh pada Tuppence dengan tegas.
"Kaurbisa keluar dan cari polisi atau menelepon polisi
dari telepon umum?"
Tuppence mengangguk. Mukanya juga keli-
161
ha tari pucat. Tommy membawa Nyonya Honeycott ke bawah.
"Saya tidak ingin keliru dalam hal ini," katanya.
"Apakah Anda tahu persis jam berapa adik Anda tadi datang?"
"Ya," kata Nyonya Honeycott. "Karena saya
sedang mencocokkan jam waktu itu. Saya harus melakukannya tiap sore karena jam
itu kecepatan lima menit. Waktu itu jam saya tepat jam enam lebih delapan
menit. Jam itu tak pernah rusak."
Tommy mengangguk. Itu cocok dengan kata-kata polisi tadi.
Dia melihat wanita berpakaian bulu putih itu masuk kira-kira tiga menit sebelum
Tommy dan Tuppence datang. Waktu itu Tommy melihat jamnya dan dia tahu bahwa
dia terlambat satu menit dari waktu yang dijanjikan.
Barangkali ada seseorang yang menunggu Gilda Glen di dalam
kamar. Tapi kalau demikian dia pasti masih sembunyi di rumah itu. Dan tak
seorang pun meninggalkan rumah kecuali James Reilly.
Tommy naik ke atas dan memeriksa kamar-kamar di sana, dengan
cepat dan teliti. Tapi tak ada siapa-siapa yang bersembunyi di situ.
Kemudian dia bicara dengan Ellen Setelah memberitahu apa
yang terjadi dan menunggunya selesai mengungkapkan rasa sedihnya, dia menanyai
pelayan itu.
"Apakah ada orang datang ke rumah dan mencari Nona Glen
siang tadi? Tak seorang pun. Apakah dia sendiri ada di loteng sepanjang
162
petang? Ya, dia pergi ke loteng jam enam untuk menutup
gorden—atau barangkali beberapa menit sesudah .jam enam. Yang jelas dia naik
sebelum laki-laki gila itu datang menggedor pintu depan. Dia turun membukakan
pintu. Padahal lelaki itu seorang pembunuh berdarah dingin."
Tommy membiarkannya bicara. Tapi dia masih merasa kasihan
pada Reilly dan merasa enggan untuk percaya bahwa dialah pembunuhnya. Tapi tak
seorang pun punya kemungkinan itu kecuali dia. Nyonya Honeycott dan Ellen saja
yang ada di rumah itu.
Dia mendengar suara orang di ruang depan. Ternyata Tuppence
datang bersama polisi yang tadi. Polisi itu mengeluarkan buku catatan dan
sebatang pensil yang agak tumpul, yang dijilat nya dengan sembunyi-sembunyi.
Dia naik ke atas dan memeriksa korban. Dia hanya berkata bahwa tidak berani
menyentuh apa-apa karena Inspektur akan marah. Dia mendengarkan keterangan
Nyonya Honeycott yang kacau dan membingungkan dan kadang-kadang menulis sesuatu
dalam catatannya. Kedatangannya memberi rasa tenang.
Akhirnya Tommy berhasil bicara satu-dua menit di luar,
ketika polisi itu pergi untuk menelepon kantornya.
"Maaf," kata Tommy. "Anda tadi mengatakan
melihat korban masuk di pintu pagar. Apa dia benar-benar sendiri?"
"Oh, ya, tak seorang pun bersama dia."
163
Dan antara waktu itu dan waktu kedatangan kami, tak seorang
pun keluar dari pintu pagar?" 'Tak seorang pun."
"Kalaupun ada, Anda yakin pasti melihatnya?"
'Tentu saja. Tak ada siapa pun yang keluar sampai laki-laki
gila itu pergi."
Hamba hukum itu berjalan dengan gagah dan berhenti di pintu
pagar yang putih dan mengamati bekas jari yang merah karena darah.
"Pasti seorang amatir," katanya dengan nada
kasihan.
Lalu dia melangkah ke luar.
Keesokan harinya. Tommy dan Tuppence masih menginap di Grand
Hotel. Tapi Tommy menganggap bahwa sebaiknya dia membuang jubah pastornya.
James Reilly dicurigai dan ditangkap. Pembelanya, Tuan
Marvell, baru saja bicara panjang-lebar dengan Tommy tentang apa yang terjadi.
"Saya tak percaya bahwa itu perbuatan James
Reilly," katanya. "Omongannya memang kasar, tapi hanya sampai di situ
saja."
Tommy mengangguk.
"Orang yang banyak bicara memang belum tentu banyak
berbuat. Yang saya tahu adalah saya akan menjadi salah seorang saksi yang
memberatkan dia. Dan kata-kata yang diucapkannya sebelum kejadian itu sangat
memberatkan dia. Sebetulnya saya suka padanya. Kalau misalnya ada
164
orang lain yang bisa dicurigai, saya akan menganggap dia tak
bersalah. Bagaimana ceritanya?"
Pengacara itu memonyongkan bibirnya.
"Dia bilang bahwa dia menemukan wanita itu terbaring
mati. Tapi itu tentu saja tidak mungkin. Dia berbohong—asal Anda tahu
saja."
"Karena kalau apa yang dikatakan itu benar, maka Nyonya
Honeycott lah yang melakukan pembunuhan—dan itu terlalu fantastis. Ya, pasti
dia yang melakukannya."
''Dan ingat, pelayan itu mendengar dia berteriak."
"Pelayan—ya..."
Tommy diam sesaat. Lalu dia berkata sambil merenung. ,
"Heran. Kenapa kita begitu mudah percaya akan sesuatu?
Kita mempercayai bukti seolah-olah bukti merupakan kebenaran. Padahal, apa
sebenarnya bukti itu? Hanya suatu kesan yang diteruskan ke pikiran oleh
perasaan. Dan seandainya kesan itu keliru?"
Pengacara itu hanya tahu bahwa ada saksi-saksi yang kurang
bisa dipercaya—yang bisa ingat lebih baik ketika waktu berjalan—tanpa tujuan
atau maksud-maksud jahat tertentu.
"Bukan hanya itu yang saya maksud. Maksud saya, kita
semua—kita mengatakan sesuatu yang bukan sebenarnya. Dan itu tidak kita sadari.
Misalnya Anda, dan saya. Kita sama-sama berkata. Itu pos/ Padahal kita cuma
mendengar ketukan dua kali dan suara kerotak kotak pos. Memang
165
kita benar—dan kemungkinannya hanya seorang anak kecil yang
sedang bermain-main. Mengerti maksud saya?"
"Ya—a," kata Tuan Marvell perlahan. 'Tapi saya tak
mengerti arah pembicaraan ini."
"Benarkah? Saya sendiri juga tak yakin apakah saya
mengerti. Tapi saya mulai melihatnya. Ini seperti sebuah tongkat, Tuppence.
Satu ujungnya menghadap ke satu arah dan ujung yang lain ke arah yang berlawanan.
Ini tergantung dari mana kita melihatnya. Pintu terbuka—tapi juga tertutup.
Orang naik ke lantai atas, tapi mereka juga turun ke bawah. Kotak-kotak
tertutup, tetapi mereka juga terbuka."
"Apa maksudmu?" tanya Tuppence.
"Sebetulnya mudah saja," kata Tommy. 'Tetapi hal
itu baru terpikir olehku. Bagaimana kau tahu ada orang masuk ke rumah?
Kaudengar pintu dibuka dan dibanting. Dan kalau kau sedang menunggu seseorang,
kau yakin bahwa dialah yang datang. Tapi bisa saja kan bahwa ternyata ada
seseorang yang keluar?"
'Tapi Nona Glen tidak keluar, kan?"
'Tidak. Aku tahu bahwa dia tidak keluar. Tapi orang lain—si
pembunuh." «
"Kalau begitu bagaimana Nona Glen masuk?"
"Dia masuk ketika Nyonya Honeycott sedang berada di
dapur dan bicara dengan Ellen. Mereka tidak tahu dia datang. Nyonya Honeycott
kembali ke ruang duduk sambil berpikir apakah adiknya sudah datang. Dia
mencocokkan jam. Pada saat
166
itu dia seperti mendengar suara orang naik ke atas."
"Nah, kalau begitu bagaimana?" % "Sebenarnya
Ellen-lah yang naik ke atas untuk menutup gorden. Ingat nggak, Nyonya Honeycott
berkata bahwa adiknya berhenti sejenak sebelum naik? Padahal yang sebenarnya
terjadi adalah Ellen berjalan dari dapur ke ruang depan. Waktu itulah si
pembunuh lolos."
'Tapi, Tom!" seru Tuppence. "Nona Glen kan
menjerit?"
"Itu suara James Reilly. Ingat nggak, suaranya tinggi?
Pada waktu emosi naik, suara laki-laki bisa saja melengking seperti suara
wanita."
'Tapi pembunuh itu? Tentunya kita bisa melihat dia,
kan?"
"Kita memang melihat dia. Kita bahkan berdiri dan
bicara dengan dia. Kau ingat betapa mengejutkan cara polisi itu muncul di depan
kita? Itu karena dia keluar dari pintu pagar, tepat ketika kabut hilang dari
jalan. Dia membuat kita terkejut. Ingat? Bagaimanapun, polisi adalah manusia juga.
Mereka punya rasa cinta dan benci. Mereka menikah..."
"Aku rasa Gilda Glen bertemu dengan suaminya di luar
pintu itu dan mengajak dia masuk untuk menyelesaikan persoalan. Laki-laki itu
memang tak banyak bicara seperti Reilly. Dia juga tidak suka mengancam. Tapi
sekali marah langsung... Dan dia memang selalu membawa-bawa pentungan
karetnya...."
167
13. Crackler
'Tuppence," kata Tommy. "Kita harus pindah ke
kantor yang lebih besar."
"He—apa-apaan?" kata Tuppence. "Jangan besar
kepala. Kau kan bukan seorang milyuner. Kasus-kasus remeh dengan bayaran murah
itu pun bisa kauselesaikan karena nasib baik saja."
"Ya—yang dikatakan sebagian orang nasib baik itu oleh
orang lain disebut keahlian."
"Itu kalau kau merasa dirimu seorang Sherlock Holmes,
Thorndyke, McCarty, dan Okewood Bersaudara yang digabung jadi satu. Tapi kau
sendiri lebih suka punya nasib baik daripada segala macam keahlian itu."
"Barangkali kau betul juga," kata Tommy tidak
membantah. 'Tokoknya sekarang kita perlu ruangan yang lebih luas, Tuppence."
"Kenapa?"
"Buku-buku klasik ini," kata Tommy. "Kita
perlu tambahan beberapa ratus meter rak buku kalau mau menonjolkan Edgar
Wallace."
168
"Kita kan belum pernah punya kasus seperti Edgar
Wallace."
"Rasanya kita tak akan punya—karena dia tak bergaya
amatir. Semuanya serba Scotland Yard," kata Tommy.
Albert muncul di pintu.
"Inspektur Marriot ingin bertemu. Pak," katanya.
"Manusia misterius dari Scotland Yard," gumam
Tommy.
"Manusia paling sibuk," kata Tuppence.
Pak Inspektur mendekati mereka dengan senyum cerah,
"Apa kabar, nih?" katanya ramah. "Nggak ada
yang mengecewakan, kan?"
"Oh, tidak," sahut Tuppence. "Sangat
mendebarkan dan menyenangkan."
"Wah, barangkali saya tak akan begitu
mengatakannya," katanya dengan hati-hati.
"Ada berita apa, Marriot? Tumben datang ke sini? Ada
sesuatu yang khusus?" kata Tommy. "Bukan hanya sekadar kata-kata
hiburan, kan?"
"Oh, bukan, bukan. Satu tugas untuk Detektif Blunt yang
brilian."
"Ha!" kata Tommy. "Sebentar, saya mau
kelihatan brilian sedikit."
"Saya datang untuk menawarkan sesuatu, Tuan Beresford.
Bagaimana kalau Anda membereskan sebuah komplotan besar?"
"Apa itu ada?" tanya Tommy.
"Apa maksud Anda?"
169
"Bayangan saya, komplotan hanya ada di buku-buku cerita
fiksi."
"Wah. Ada. Lumayan banyak,malah. Memang komplotan perusak
tidak terlalu banyak. Tapi sekarang ini mereka mulai berkeliaran."
"Saya tak tahu apakah saya bisa menghadapi sebuah
komplotan," kata Tommy. "Kalau kriminal amatir yang terjadi pada
sebuah keluarga yang punya kehidupan tenang ya, boleh dikata saya cukup lihai.
Sebuah-drama rumah tangga itu amat menarik dengan bantuan Tuppence yang kenal
baik dengan detil-detil feminin yang amat penting, tapi terlalu sepele sehingga
sering dilupakan laki-laki."
Omongannya yang bertele tele itu langsung dipotong Tuppence
dengan melempar bantal kursi dan minta dia agar tidak bicara lagi.
"Anda akan menyukainya," kata Inspektur Marriot
sambil tersenyum kebapakan pada mereka. "Saya benar-benar gembira melihat
Anda berdua senang dan bahagia."
"Apa kami senang?" kata Tuppence sambil
membelalakkan mata lebar-lebar. "Saya rasa ya. Saya tak pernah memikirkan
hal itu sebelumnya."
"Kembali ke persoalan komplotan tadi," kata Tommy.
"Dengan praktek penyelidikan privat yang biasa saya lakukan untuk para
bangsawan, para milyuner, dan orang-orang terkenal, saya terpaksa 'turun
derajat7 dengan menangani komplotan itu. Terus-terang saya tak ingin Scotland
170
Yard dipersalahkan. Dan Anda pasti akan dikejar-kejar Daily
Mail."
"Seperti saya katakan tadi, Anda pasti menyukainya.
Sebenarnya begini," Dia menyeret kursinya sedikit ke depan. "Kami
mengetahui bahwa ada sejumlah uang palsu beredar saat ini— beratus-ratus! Dan
jumlahnya 'akan membuat Anda tercengang. Memang cukup ahli mereka. Ini
contohnya."
Dia mengeluarkan lembaran satu pound dan memberikannya
kepada Tommy.
"Kelihatan asli, bukan?"
Tommy memperhatikan baik-baik.
"Wah, saya tak akan tahu kalau ini uang palsu."
"Ya juga orang-orang lain. Sekarang, ini yang asli.
Saya tunjukkan bedanya sangat kecil,tapi Anda akan segera bisa membedakannya
dengan mudah Pakai kaca pembesar ini."
Setelah dilatih selama lima menit. Tommy dan Tuppence pun
menjadi ahli.
"Apa yang Anda ingin kami lakukan, Inspektur
Marriot?" tanya Tuppence. "Mengawasi benda-benda ini?"
"Lebih dari itu, Nyonya Beresford. Saya percayakan pada
Anda berdua untuk membongkar akarnya. Dari hasil penyelidikan, uang palsu ini
ternyata beredar di West End. Seseorang dari kalangan atas yang mendistribusi
uang itu. Mereka juga mensirkulasikannya di seberang Selat Inggris. Dan ada
seseorang yang menarik perhatian
171
kami. Mayor Laidlaw Barangkali Anda pernah dengar
namanya?"
"Rasanya pernah," kata Tommy. "Biasanya
berhubungan dengan pacuan kuda, kalau nggak salah."
"Ya. Mayor Laidlaw dikenal baik dalam hubungannya
dengan Turf. Sebenarnya tak ada hal khusus yang memberatkan dia, tapi ada kesan
yang kurang baik mengenai dirinya sehubungan dengan satu atau dua transaksi
yang tak jelas. Kalau kita sebut namanya di depan orang-orang yang dikenalnya,
reaksi mereka aneh. Tak seorang pun tahu dengan baik masa lalunya, atau dari
mana asalnya. Dia punya seorang istri Prancis yang cantik. Pergaulannya luas
dan pengagumnya berderet-deret. Pasangan itu punya gaya hidup mewah dan saya
ingin tahu dari mana mereka mendapatkan uang."
"Barangkali dari pengagumnya yang berderet-deret,"
kata Tommy.
"Memang begitu kesannya. Tetapi saya tidak yakin.
Barangkali ini suatu kebetulan saja. Tapi banyak uang palsu keluar dari klub
judi yang didatangi pasangan itu. Dan tempat-tempat judi serta arena pacuan
kuda seperti itu memang merupakan tempat yang baik untuk mensirkulasikan uang
palsu."
"Dan apa yang akan kita lakukan?"
"Begini. St Vincent muda dan istrinya adalah
teman-teman Anda, kan? Mereka kenal baik dengan pasangan Laidlaw. Melalui
mereka Anda
172
bisa kenal dengan pasangan Laidlaw dan mengawasi mereka.
Kami sendiri tak akan bisa mengenal mereka dengan cara seperti itu. Mereka tak
akan tahu siapa Anda sebenarnya. Dan Anda akan punya kesempatan baik."
"Sebenarnya apa yang harus kita cari?"
"Dari mana mereka mendapatkan benda itu kalau memang
mereka yang mengedarkan."
"Hm, ya," kata Tommy. "Mayor Laidlaw keluar
dengan koper kosong. Lalu ketika kembali kopernya penuh dengan uang. Bagaimana
bisa begitu? Saya harus ikuti dan selidiki dia. Begitu?"
"Ya, kira-kira begitu. Tapi jangan melupakan istrinya,
dan ayahnya, Monsieur Heroulade. Ingat, uang itu diedarkan di kedua sisi Selat
Inggris."
'Tuan Marriot," kata Tommy agak tersinggung,
"Blunf s Brilliant Detectives tidak mengenal kata lupa."
Inspektur itu berdiri.
"Baiklah kalau demikian, semoga berhasil,"
katanya, lalu pergi.
"Slush," kata Tuppence dengan antusias.
"Eh?" kata Tommy bingung.
"Uang palsu," jelas Tuppence. "Biasanya
disebut slush.Ya, aku benar. Tom, akhirnya kita punya kasus' Edgar Wallace
juga. Dan kita jadi Busies.""Ya," kata Tommy. "Dan kita
keluar untuk menangkap si Crackler
"Kau bilang Krakler atau Kakler?"
173
"Crackler.""Oh, apa itu Crackler?"
"Sebuah kata baru yang kuciptakan," kata Tommy.
"Artinya orang yang mendistribusikan atau mengedarkan uang palsu.
Sederhana saja."
"Ah, ya. Cukup bagus, walaupun aku lebih suka Rustler.
Rasanya lebih cocok."
"Nggak nggak," kata Tommy. "Aku yang
pertama-tama memberi nama Crackler. Dan aku akan tetap pakai nama itu."
"Wah, aku akan menikmati permainan ini," kata Tuppence.
"Bolak-balik kenite club dan minum-minum. Besok aku mau beli bulu mata
palsu yang hitam."
"Bulu matamu sendiri kan sudah hitam," kata
suaminya kurang setuju.
"Supaya lebih hitam lagi," kata Tuppence.
"Dan lipstik merah ceri. Yang manyala. Pasti sangat dibutuhkan."
Tuppence, kau benar-benar membuat orang sedih. Apa gunanya
benda-benda itu? Kau kan menikah dengan seorang laki-laki setengah baya yang
tenang dan tak banyak tingkah."
Tunggu saja," kata Tuppence. "Kalau kau sudah
masuk Python Club kau pasti berubah."
Dari lemari Tommy mengeluarkan beberapa botol, dua buah
gelas, dan sebuah tempat pengocok kokul
"Kita mulai sekarang," kata Tommy. "Kami akan
mengejar dan menangkapmu, Crackler. Dan kami serius."
174
14. Crackler (Lanjutan)
Berkenalan dengan Laidlaw tidaklah sulit. Tommy dan Tuppence
yang muda, berpakaian mahal,bersemangat, dan kelihatan punya banyak uang untuk
dihambur-hamburkan, dengan segera diterima dalam kelompok eksklusif pasangan
Laidlaw.
Mayor Laidlaw adalah seorang laki-laki jangkung berkulit
putih, khas tipe pria Inggris, bersikap sportif, dengan garis-garis lelah
melingkari matanya dan pandangan mencuri-curi yang kelihatan janggal dan tak
sesuai dengan penampilannya.
Dia adalah seorang pemain kartu yang ahli dan Tommy
memperhatikan bahwa apabila taruhannya bertumpuk tinggi, dia tak pernah
meninggalkan meja dengan kekalahan.
Marguerite Laidlaw punya penampilan berbeda. Dia adalah
seorang wanita yang menarik, bertubuh semampai dan berwajah cantik. Bahasa
Inggrisnya yang patah-patah itu amat menarik, dan Tommy pun maklum apabila
pengagum
175
wanita itu berderet-deret. Dia kelihatan amat menaruh
perhatian pada Tommy, dan Tommy pun memainkan peranan sebagai salah seorang
pengagumnya.
"Tomme ku," itulah yang dia katakan. 'Tentu saya
tak bisa pergi tanpa Tommee-ku. Rambut Tommee seperti warna matahari tenggelam.
Ya?"
Ayahnya merupakan figur yang kurang menarik. Sangat teliti,
berdiri tegak kaku, dengan jenggot hitam dan mata tajam.
Tuppence-lah yang pertama kali melaporkan perkembangan. Dia
datang pada Tommy dengan sepuluh lembaran satu pound.
"Perhatikan ini. Uang palsu, kan?"
Tommy memeriksa lembaran-lembaran itu dan menganggukkan
kepala.
"Kau dapat dari mana?"
"Dari si Jimmy Faulkener. Marguerite Laidlaw
memberikannya pada si Jimmy untuk taruhan kuda. Aku pura-pura perlu duit kecil
dan menukarnya dengan lembaran sepuluh pound."
"Semua baru dan masih kaku," kata Tommy sambil
merenung. "Tak mungkin lewat terlalu banyak tangan. Apa kira-kira si
Faulkener bersih?"
Jimmy? Oh, dia manis sekali. Kami menjadi akrab."
"Ya seperti yang kulihat. Apa itu perlu?" tukas
suaminya dingin
"Oh! Itu kan bukan bisnis," kata Tuppence gembira.
"Cuma senang-senang saja. Anak itu baik. Aku senang dia bisa lepas dari
cengkeraman
176
wanita itu. Kau nggak tahu kan, berapa banyak uang yang
sudah dia keluarkan untuk si Cantik "
"Kelihatannya dia menaruh perhatian padamu.
Tuppence."
"Ya, kadang-kadang aku juga berpikir begitu. Senang
juga rasanya—masih muda dan punya daya tarik."
"Eh, moralmu kok kelihatan rendah begitu, sih? Jangan
besar kepala. Kau melihatnya dari sisi yang keliru."
"Rasanya sudah cukup lama aku tak menikmati hal-hal
seperti itu," kata Tuppence tanpa malu. "Dan kau sendiri? Jarang
kulihat kau belakangan ini. Kau tinggal di saku Marguerite Laidlaw, kan?"
"Bisnis," kata Tommy pendek.
'Tapi dia menarik, kan?"
"Bukan tipeku," kata Tommy. "Aku tidak
mengaguminya."
"Pembohong," kata Tuppence sambil tertawa. 'Tapi
rasanya lebih baik kawin dengan pembohong daripada dengan orang tolol."
"Apa seorang suami harus selalu pembohong atau
tolol?"
Tapi Tuppence hanya memandangnya dengan rasa kasihan lalu
pergi.
Di antara pengagum Nyonya Laidlaw yang berderet-deret itu
ada seorang laki-laki yang sederhana tetapi amat kaya, namanya Hank Ryder.
177
Tuan Ryder berasal dari Alabama. Dia amat dekat dan
bersahabat dengan Tommy.
"Dia memang wanita luar biasa," kata Tuan Ryder
dengan mata mengikuti si cantik Marguerite. "Dan sangat sopan. Sulit
menaklukkan ia gaio France, ya? Kalau saya berada di dekatnya, saya merasa
seolah-olah saya adalah manusia hasil eksperimen Tuhan yang pertama-tama. Saya
rasa Tuhan membuat eksperimen dulu sebelum akhirnya bisa menciptakan wanita
yang begitu cantik dan sempurna."
Tommy hanya mengiakan pembicaraan Tuan Ryder dengan sopan.
Rupanya masih ada juga yang akan dikatakan Tuan Ryder.
"Kasihan juga. Wanita cantik seperti dia kok menderita
kesulitan uang."
"Apa begitu?" tanya Tommy.
"Pasti. Laidlaw itu aneh. Dan istrinya takut pada dia.
Tidak berani menunjukkan tagihan-tagihan kecilnya."
"Apa benar-benar tagihan kecil?" tanya Tommy.
"Ya—kalau menurut saya kecil! Bagaimanapun, wanita kan
harus memakai baju. Dan semakin sedikit bajunya, semakin mahal harganya. Itu
pendapat saya. Dan wanita cantik seperti dia kan nggak mau ketinggalan mode.
Juga kartu. Wanita malang itu kurang beruntung kalau main. Kemarin kalah lima
puluh dengan saya."
"Dia menang dua ratus dari Jimmy Faulkener
sebelumnya," kata Tommy.
"Benarkah? Syukurlah. Eh, ya. Sepertinya
178
akhir-akhir ini banyak uang palsu beredar di negara Anda,
ya? Pagi tadi saya menyetor uang di bank dan mereka menolak dua puluh lima
lembar."
"Wah, cukup banyak juga, ya? Apa uang itu baru?"
"Baru dan masih kaku seperti baru digunting.Kalau nggak
salah uang itu dari Nyonya Laidlaw. Nggak ngeti Dari mana dia dapat uang itu?
Barangkali salah seorang penjudi di pacuan kuda situ."
"Ya," kata Tommy. "Bisa jadi."
Terus terang saja, Tuan Beresford, saya baru saja kenal
dengan kehidupan kalangan atas seperti ini. Wanita-wanita cantik dengan busana
luar biasa—bisa membuat tumpukan uang saya semakin rendah tiap kali. Memang
saya datang ke Eropa untuk menikmati hidup."
Tommy mengangguk. Dia membayangkan bahwa dengan bantuan
Marguerite Laidlaw, Tuan Ryder pasti bisa menikmati hidup walaupun ongkosnya
mahal.
Untuk kedua kalinya Tommy menemukan bukti bahwa uang palsu
itu diedarkan dekat padanya. Ada kemungkinan Marguerite Laidlaw punya andil di
sini.
Pada malam berikutnya, dia sendiri membuktikannya.
Dia berada di sebuah tempat pertemuan kecil yang pernah
disebut-sebut Inspektur Marriot. Ada pesta dansa di sana. Tetapi atraksi yang
179
paling menarik ada di balik sepasang pintu. Di situ ada
meja-meja bertutup laken hijau di mana jumlah-jumlah uang yang amat besar
berpindah tangan setiap malam.
Marguerite Laidlaw berdiri siap untuk pulang. Dia memberikan
sejumlah uang kecil pada Tommy.
Terlalu banyak, Tommy bisa tolong tukar, ya? Satu lembar
besar. Lihat tas kecilku yang manis ini. Bisa rusak nanti."Tommy
memberikan lembaran seratus yang diminta. Lalu di sebuah sudut yang. sepi dia
memeriksa lembaran yang baru diterimanya. Setidaknya, seperempat dari uang itu
palsu.
Tapi dari mana dia dapat uang itu? Dia belum menemukan
jawabnya. Dengan bantuan Albert, dia hampir yakin bahwa Laidlaw bukanlah orang
yang dicarinya. Gerak-geriknya telah diperhatikan dengan saksama dan hasilnya
tak ada.
Tommy mencurigai ayah Nyonya Laidlaw yang serius dan kaku.
Dia bolak-balik pergi ke Prancis. Bukankah amat sederhana bila uang palsu itu
masuk ke dalam kopernya? Disembunyikan di bagian bawah. Kira-kira begitu.
Tommy berjalan pelan-pelan ke luar klub dengan pikiran penuh
persoalan tersebut. Tapi tiba-tiba dia menjadi sadar.
Di jalan, di luar, ada Tuan Hank Ryder. Dan dia tidak
kelihatan seperti orang normal. Pada saat itu dia berusaha menggantungkan
topinya di
180
radiator sebuah mobil. Dan usahanya itu gagal terus.
"Ah gantungan topi sialan. Sialan," kata Tuan
Ryder. Tidak seperti di Amerika. Kita bisa menggantungkan topi tiap malam tiap
malam. Tuan. Anda pakai dua topi, ya? Tak pernah sebelumnya saya melihat orang
pakai dua topi. ? Pasti karena iklim."
"Barangkali kepalaku yang dua," kata Tommy kesal.
"Ya ya, ya," kata Tuan Ryder. "Heran. Aneh
itu. Tapi memang itu kenyataan. Ayo kita minum. Laranganya, larangan. Itu yang
menghancurkan aku.. Aku mabok ya—ya, aku rasa aku mabuk. Koktil—campuran—Ciuman
Bidadari— itu Marguerite—cantik, cantik. Dan menyukaiku—macam-macam
dicampur—campur—hah..."Tommy menyela.
"Sudah, sudah," katanya menghibur. "Pulang
saja, ya?"
'Tak punya rumah," kata Tuan Ryder sedih, lalu
menangis.
"Anda tinggal di hotel apa?" tanya Tommy.
Tidak bisa pulang," katanya. "Memburu harta.
Bagus. Dan dia berhasil—Whitechapel—hati putih—dan kepala putih karena
sedih...."
"Sudahlah," kata Tommy. "Di mana
Anda..."
Tiba-tiba saja Tuan Ryder menegakkan kepala. Tiba-tiba saja
kata-katanya terdengar berwibawa, tak seperti orang mabuk.
"Dengar, Anak muda. Margee mengajakku.
181
Naik mobilnya. Berburu harta karun. Orang-orang Inggris
memang gila. Di bawah batu-batu. Lima ratus pound. Pemikiran yang luar biasa.
Kau benar-benar baik padaku. Dan aku suka kekayaanmu, Nak. Kami orang-orang
Amerika..."
Kali ini Tommy menyela tanpa basa-basi,
"Apa Anda bilang tadi? Nyonya Laidlaw mengajak Anda
naik mobilnya?"
Si Amerika mengangguk seperti burung hantu.
"Ke Whitechapel?" Kembali terlihat anggukan burung
hantu. "Dan Anda menemukan lima ratus pound di sana?"
Tuan Ryder berusaha berbicara.
"Ya, dia menemukan," katanya. "Saya cuma
tinggal di luar. Di luar pintu. Ya, sudah biasa begitu. Menyedihkan. Di luar.
Selalu disisihkan."
"Anda ingat jalan ke sana?"
"Ya—saya rasa ya. Hank Ryder masih bisa menguasai
diri...."
Tommy membawanya berjalan tanpa banyak cakap. Dia masuk ke
dalam mobilnya, dan mereka berdua melaju ke timur. Udara sejuk rupanya membuat
Tuan Ryder sadar. Setelah beberapa saat menyandarkan kepalanya di bahu Tommy
seperti orang pingsan, dia bangun dengan kepala dingin dan pikiran segar.
"He, kita ada di mana?" tanyanya.
"Whitechapel," kata Tommy ketus. "Anda tadi
ke sini bersama dengan Nyonya Laidlaw?"
"Rasanya ya—pernah lihat," kata Tuan Ryder sambil
memperhatikan sekelilingnya. "Rasanya
182
tadi kami berbelok ke kiri di sekitar sini. Nah itu
jalanitu."
Tommy berbelok. Tuan Ryder memberi instruksi.
"Ya, itu. Pasti. Belok ke kanan. Wah, baunya nggak
enak, ya? Ya, lewat pub di sudut—belok dan berhenti di mulut gang itu. He, ada
apa? Biar kubereskan. Ada yang ketinggalan? Apa akan kita bereskan?"
"Ya, betul," kata Tommy. "Akan kita bereskan.
Lucu, ya?"
"Aku akan teriak ke seluruh dunia," kata Tuan
Ryder. "Walaupun aku agak bingung tentang hal itu."
Tommy keluar dan membantu Tuan Ryder berdiri. Mereka
berjalan masuk gang. Di sisi kiri mereka adalah deretan bagian belakang
rumah-rumah yang sudah bobrok. Kebanyakan mempunyai pintu belakang yang
menembus ke gang itu. Tuan Ryder berhenti di depan salah satu pintu-pintu
tersebut.
"Dia masuk ke sini tadi," katanya. "Ya, pintu
ini. Saya yakin sekali."
"Semua pintu kelihatan sama," kata Tommy.
"Mengingatkan saya pada cerita Alibaba dan Empat Puluh Penyamun. Ingat
nggak, ada yang mencoret pintu dengan kapur sebagai tanda? Kita kasih tanda
juga pintu ini?"
Sambil tertawa dia mengeluarkan sebatang kapur putih dari
sakunya dan mencoret bagian bawah pintu. Kemudian dia memandang bebe-
183
rapa bayangan samar di atas dinding gang itu. Salah satu
bayangan itu mengeluarkan suara yang bisa membuat bulu kuduk berdiri.
"Banyak kucing," katanya gembira.
"Bagaimana sekarang?" tanya Tuan Ryder. "Kita
masuk?"
"Ya—dengan hati-hati," kata Tommy.
Dia memandang ke arah kedua ujung gang itu, lalu pelan-pelan
mencoba membuka pintu. Terbuka. Dia membuka pintu tersebut dan mengintip ke
kegelapan.
Tanpa bersuara dia masuk. Tuan Ryder mengikutinya.
"Heh!" kata Tuan Ryder berbisik. "Ada orang
datang di gang."
Dia keluar lagi. Tommy berdiri tak bergerak beberapa saat.
Karena tak mendengar apa-apa dia pun mengambil sebuah senter dari sakunya, dan
menyalakan tombol sebentar, lalu mematikannya. Terang yang cuma sekilas itu
memberinya kesempatan untuk melihat suasana di sekitarnya. Dia melangkah ke
depan dan membuka pintu di depannya. Ternyata tak dikunci. Pelan-pelan dia buka
pintu itu dan masuk.
Setelah berdiri dan mendengarkan sesaat, dia menyalakan
senternya lagi. Bagaikan memberi suatu sinyal, tiba-tiba saja dia dikepung
orang. Dua orang berada di depan dan dua lainnya di belakang. Mereka menangkap
dia.
"Lampu," kata sebuah suara.
Sebuah kompor pun dinyalakan. Di dalam
184
terang kompor itu Tommy melihat wajah-wajah yang tidak
ramah. Matanya memperhatikan benda-benda di sekitarnya dan memperhatikan
beberapa benda.
"Ah!" katanya dengan suara ringan. "Kantor
pusat industri uang palsu kelihatannya."
'Tutup mulutmu," bentak salah seorang dari mereka.
Pintu di belakang Tommy terbuka, lalu tertutup lagi.
Terdengar suara yang ramah dan dikenalnya dengan baik.
"Bagus. Sudah kalian tangkap rupanya. Tuan Sibuk,
sekarang kami tahu bahwa kau adalah lawan kami."
"Ya," kata Tommy. "Menyenangkan, ya. Saya
adalah laki-laki misterius dari Scotland Yard. Tuan Hank Ryder, ini benar-benar
suatu kejutan."
"Aku rasa begitu. Aku sudah bersusah payah menekan rasa
geli sepanjang sore—memancing kau kemari seperti anak kecil. Dan kau begitu
gembira karena merasa diri cerdik. Dari permulaan juga aku sudah curiga. Kau
tidak cocok dengan kelompok itu. Tapi aku membiarkanmu main-main sebentar. Dan
ketika kau benar-benar curiga pada si cantik Marguerite, aku berkata pada
diriku sendiri 'Sekaranglah waktunya Aku rasa kawan-kawanmu tak ada yang tahu
tentang kau untuk beberapa waktu nanti."
"Mau- ngerjain aku? Ya, itu kata-kata yang tepat, aku
rasa. Kau sudah melakukannya."Kau memang pemberani. Tidak, kami tak akan
185
melakukan kekerasan. Hanya membatasi gerakanmu saja."
"Aku rasa kau keliru. Aku bukanlah tipe orang yang bisa
dibatasi seperti itu."
Tuan Ryder tersenyum ramah. Di luar seekor kucing mengeong sedih
merayu bulan.
"Mengharap bantuan dengan tanda kapur silangmu di
pintu, ya?" kata Tuan Ryder. "Aku tak akan melakukannya kalau aku
jadi kau. Karena aku tahu cerita yang kausebut-sebut tadi. Pernah dengar waktu
kecil. Aku tadi keluar untuk berperan menjadi anjing bermata sebesar roda
kereta. Kalau kau keluar, kau akan melihat bahwa semua pintu punya tanda yang
sama."
Tommy menundukkan kepalanya seperti orang yang putus asa.
"Merasa cukup pintar, ya?" kata Ryder. Begitu dia
selesai berkata, terdengar suara ribut di pintu. "Apa itu?" katanya
terkejut. Pada saat itu juga, bagian depan rumah itu diserbu polisi. Pintu di
belakang rumah terbuka dengan mudah, dan Inspektur Marriot muncul.
"Bagus, Marriot," kata Tommy. "Dugaanmu
betul. Aku ingin memperkenalkan Tuan Hank Ryder yang tahu banyak cerita-cerita
kuno."
"Begini, Tuan Ryder," katanya lembut "Saya
memang mencurigai Anda. Si Albert (anak laki-laki berkuping besar itu Albert)
telah diperintahkan untuk membuntuti dengan sepeda motor kalau saya dan Anda
pergi bersama-sama kapan
186
saja. Dan ketika saya mencoret pintu dengan kapur untuk
menarik perhatian Anda, pada saat itu juga saya menuang habis botol kecil
berisi valerian ke tanah. Baunya nggak enak. Tapi kucing-kucing menyukainya.
Dan karena itu semua kucing di sekitar tempat ini berkumpul di depan pintu itu
untuk menunjukkan pada Albert dan polisi ketika mereka datang."
Dia tersenyum memandang Tuan Ryder yang terlongong-longong,
lalu berdiri.
"Aku sudah bilang bahwa aku akan menangkapmu, Crackler.
Dan berhasil," katanya.
"Kau omong apa?" tanya Tuan Ryder. "Apa
maksudmu—Crackler?"
"Kau bisa melihat artinya di kamus kriminologi yang
akan terbit," kata Tommy, "atau kamus etimologi."
Dia memandang Tuan Ryder dengan gembira.
"Dan semua beres tanpa si Hidung Biru," gumamnya.
"Selamat malam, Marriot Aku harus pergi sekarang. Akhir bagian cerita ini
sudah menungguku. Tak ada hadiah yang lebih bagus daripada cinta seorang wanita
yang baik untukku—dan hadiah itu sudah menungguku di rumah—aku harap begitu, kita
kan tak bisa pasti akan sesuatu di zaman sekarang ini? Pekerjaan ini cukup
berbahaya, Marriot. Kau tahu Kapten Jimmy Faulkener? Cara dia berdansa luar
biasa. Dan selera koktilnya pun hebat Ya, Marriot. Tugas ini benar-benar
berat."
187
15. Misteri Sunningdale
"Kau tahu kita akan makan siang di mana,
Tuppence?"
Nyonya Beresford berpikir sejenak.
"Di Ritz?" katanya penuh harap.
"Pikir lagi."
"Restoran kecil menyenangkan di Soho itu?"
'Tidak," kata Tommy. Suaranya kedengaran serius.
"Sebuah toko A.B.C. Yang ini."
Dia menarik istrinya masuk ke sebuah tempat dan membawanya
ke sebuah meja marmer di sudut ruangan.
"Bagus," katanya dengan suara puas sambil duduk.
"Bagus sekali."
"Kenapa kok seleramu jadi berubah sederhana seperti
ini?" tanya Tuppence.
"Kau melihat, Watson, tapi tidak memperhatikan. Aku tak
tahu apakah salah seorang gadis-gadis sombong itu mau melihat kita? Bagus. Dia
kemari. Kelihatannya pikirannya tidak di sini. Tapi pikirannya pasti penuh
dengan ham, telur, dan teh. Daging dan kentang untuk saya. Dan
188
kopi—cangkir besar, roti dan mentega—dan sepiring lidah
untuk istri saya."
Pelayan itu mengulangi pesanan mereka dengan suara jengkel.
Tiba-tiba" Tuppence membungkuk ke depan dan menyela,
'Tidak—jangan daging dan kentang. Kue keju dan segelas susu
saja untuk suami saya."
"Sepotong kue keju dan segelas susu," kata pelayan
wanita itu dengan suara bertambah jengkel. Dengan pikiran masih pada hal
lainnya, dia pun beranjak dari situ.
"Itu namanya lancang," kata Tommy dingin.
'Tapi aku benar, kan? Kau mau jadi Laki-laki Tua di Sudut,
kan? Mana talimu?"
Tommy mengeluarkan tali panjang dari sakunya dan membuat dua
buah simpul.
"Sempurna sampai ke detil yang paling kecil,"
gumamnya.
'Tapi kau keliru memesan makananmu kata Tuppence.
"Wanita memang selalu apa adanya," kata Tommy.
"Minuman yang paling kubenci itu susu. Dan kue keju tidak kelihatan
menarik. Kuning dan menjijikkan."
"Sudanlah," kata Tuppence. "Kaulihat saja
bagaimana aku menyerang lidah dinginku nanti. Hmh, lidah dingin. Rupanya aku
sudah siap jadi Nona Polly Burton. Buat sebuah simpul besar dan mulai."
"Pertama-tama," kata Tommy. "Ini tidak resmi
lho. Usaha kita tidak terlalu maju belakangan ini.
Kalau persoalan tidak datang pada kita, kitalah yang harus
mencari persoalan. Kita tujukan perhatian pada misteri publik saat ini. Ini
membuatku tertarik pada Misteri Sunningdale."
"Ah!" kata Tuppence dengan rasa tertarik.
"MisteriSunningdale?"
Tommy mengeluarkan selembar kertas lecek dari sakunya dan
meratakannya di meja.
"Itu foto terakhir Kapten Sessle di Daily Leader."
"Hm," kata Tuppence. "Kok nggak ada orang
yang menuntut koran-koran itu. Yang kelihatan di sini adalah seorang laki-laki.
Itu saja."
"Ketika aku mengatakan Misteri Sunningdale, yang
kumaksud adalah yang disebut Misteri Sunningdale" kata Tommy dengan cepat.
"Sebuah misteri bagi polisi, tapi bukan bagi mereka yang berotak
encer.""Buat simpul lagi," kata Tuppence.
"Aku tak tahu berapa banyak yang masih kauingat,"
kata Tommy dengan tenang.
"Aku ingat semuanya," kata Tuppence, "tapi
teruskan saja gayamu."
"Baru tiga minggu yang lalu," kata Tommy,
"ada penemuan di lapangan golf terkenal itu. Dua anggota klub yang sedang
main pagi-pagi, terkejut melihat mayat seorang lelaki tertelungkup di tee
ketujuh. Sebelum mereka membalikkan mayat itu, mereka sudah dapat menebak bahwa
korban adalah Kapten Sessle, orang yang cukup dikenal di kalangan mereka. Orang
yang selalu memakai jaket golf berwarna biru manyala."
"Kapten Sessle sering kelihatan di situ pagi-pagi
sekali untuk latihan. Perkiraan orang ialah dia meninggal karena tiba-tiba kena
serangan jantung. Tapi pemeriksaan dokter menyatakan bahwa dia meninggal karena
pembunuhan. Jantungnya ditusuk dengan sebuah jepit topi wanita. Pemeriksaan
juga menyatakan bahwa dia telah meninggal sekurang-kurangnya 12 jam sebelumnya."
"Ini membuat ceritanya jadi lain. Tak lama kemudian
beberapa fakta yang menarik muncul. Orang yang melihat Kapten Sessle terakhir
kali sebelum meninggal adalah teman dan part-ner-nya, Tuan Hollaby dari
Porcupine Assurance Co. Dia menceritakan pengalamannya begini.
"Sessle dan dia bermain lebih awal. Setelah minum teh,
Sessle mengusulkan untuk main lagi sebelum hari gelap. Hollaby setuju. Sessle
kelihatannya bersemangat dan main bagus. Di situ ada sebuah jalan setapak ke
luar. Ketika mereka berada di green enam, Hollaby melihat seorang wanita datang
melalui jalan itu. Wanita itu bertubuh tinggi dan berbaju coklat, tapi Hollaby
tidak terlalu memperhatikannya. Dia pikir Sessle juga tidak tahu kedatangan
wanita itu.
"Jalan setapak itu melewati tee tujuh," lanjut
Tommy. "Wanita itu melewati jalanan itu dan berdiri saja di situ,
seolah-olah menunggu. Kapten Sessle adalah orang pertama yang sampai di tee
itu, sedangkan Hollaby mengganti pin di lubang. Ketika dia sampai ke tee tujuh,
dia heran
191
190
melihat Sessle dan wanita itu bicara berdua. Ketika dia
datang lebih dekat, mereka tiba-tiba berbalik terkejut. Sessle berseru,
"Sebentar!"
"Keduanya berjalan dan bercakap-cakap dengan serius,
jalan setapak itu keluar lapangan golf dan melewati dua sisi pagar tanaman
suatu kebun, lalu keluar ke jalan besar ke Windlesham.
"Kapten Sessle menepati janji. Dia muncul kembali satu
atau dua menit kemudian. Hollaby merasa lega ketika ada dua orang pemain lagi
datang di belakang mereka. Hari menjadi gelap tak lama kemudian. Mereka masih
terus bermain. Hollaby segera melihat bahwa ada sesuatu yang membuat kawan
mainnya menjadi gelisah. Dia tidak hanya bermain buruk tetapi mukanya kelihatan
kuaur dan dahinya berkerut. Dia tidak menjawab pertanyaan temannya dan
permainannya semakin acak-acakan. Rupanya ada sesuatu yang mengganggu
pikirannya, hingga dia tidak bisa bermain dengan baik."Mereka bermain di
hole ketujuh dan kedelapan. Kemudian Kapten Sessle berkata bahwa dia akan
berhenti bermain"karena hari semakin gelap. Dia kemudian pulang. Di situ
ada jalan setapak yang menuju ke jalan besar Windlesham. Kapten Sessle pulang
melalui jalan pintas yang menuju rumahnya, yaitu sebuah bungalo kecil di jalan
besar itu. Kedua orang pemain di belakang mereka muncul, yaitu Mayor Barnard dan
Tuan Lecky. Hollaby bercerita pada mereka tentang perubahan emosi Kapten
Sessle. Mereka juga
192
melihatnya bercakap-cakap dengan wanita berbaju coklat itu,
tapi tidak cukup dekat untuk melihat siapa wanita tersebut. Dan ketiganya pun
heran apa yang dikatakan wanita itu sehingga membuat kawan mereka gelisah
seperti itu.
"Mereka kembali ke Club House bersama-sama dan
sepanjang mereka tahu, merekalah orang-orang terakhir yang melihat Kapten
Sessle dalam keadaan hidup. Hari itu hari Rabu. Dan setiap Rabu tiket kereta
api ke London murah. Suami-istri yang menjaga rumah Kapten Sessle pergi ke
London seperti biasa dan baru kembali dengan kereta yang terakhir. Mereka
memasuki rumah seperti biasa dan mengira Kapten Sessle tidur di kamar. Nyonya.
Sessle sendiri sedang keluar, mengunjungi seseorang.
"Pembunuhan Kapten itu merupakan teka-teki selama
sembilan hari. Tak seorang pun dapat mengajukan kemungkinan motif yang
mendasarinya. Identitas wanita jangkung berbaju coklat itu pun ramai
dibicarakan—tapi tanpa hasil. Dan seperti biasa, polisi dipersalahkan karena
kelambanan gerak mereka. Seminggu kemudian—seorang gadis bernama Doris Evans
ditangkap dengan tuduhan membunuh Kapten Anthony Sessle.
"Polisi tak usah bersusah payah. Selembar rambut
menyangkut di jari korban dan beberapa lembar benang wol berwarna terang
tersangkut di kancing jaket birunya. Pemeriksaan yang cukup teliti di stasiun
kereta api dan tempat-tempat lain memperkuat fakta-fakta ini.
193
"Seorang gadis muda yang memakai jaket dan rok berwarna
manyala datang dengan kereta api sore jam tujuh hari itu. Dia menanyakan jalan
ke rumah Kapten Sessle. Gadis itu muncul lagi di stasiun dua jam kemudian.
Rambutnya berantakan dan topinya acak-acakan, dan dia kelihatan seperti
gelisah. Dia menanyakan kereta yang ke London dan berkali-kali menoleh ke
belakang, seolah-olah takut akan sesuatu.
"Dalam banyak hal polisi kita memang hebat. Dengan
bukti seperti itu mereka berhasil melacak gadis itu dan menemukannya sebagai
Doris Evans. Dia ditangkap dengan tuduhan membunuh dan diancam bahwa apa pun
yang dia katakan akan dipakai sebagai alasan untuk memberatkan tuduhan. Tetapi
dia berkeras dan tetap membuat suatu pernyataan yang dia ulangi lagi dalam
persidangan- persidangan berikut.
"Ceritanya begini. Profesi gadis itu juru tik. Pada
suatu malam dia berkenalan dengan seorang laki-laki di bioskop. Lelaki perlente
itu kelihatannya tertarik padanya. Dia bilang namanya Anthony. Dan pria itu
mengundangnya datang ke bungalonya di Sunningdale. Gadis itu tidak berpikir dan
tak mengira bahwa pria itu sudah punya istri. Mereka membuat janji—gadis itu
akan datang hari Rabu—hari di mana pelayan-pelayan dan istrinya tidak di Tumah.
Akhirnya laki-laki itu memberitahu bahwa namanya adalah Anthony Sessle dan
memberitahu alamat rumahnya.
194
"Gadis itu menepati janjinya datang ke bungalo pada
hari itu dan disambut oleh Sessle yang baru keluar dari lapangan golf. Walaupun
Sessle mengatakan bahwa dia gembira dengan kedatangannya, tapi tingkah lakunya
menunjukkan bahwa dia sedang gelisah dan lain. Gadis itu menjadi takut dan
menyesal dalam hati telah datang ke situ.
"Setelah makan hidangan yang telah disiapkan, Sessle
mengajaknya jalan-jalan ke luar dan melewati jalan setapak menuju lapangan
golf. Dan tiba-tiba, ketika mereka sedang melewati tee ketujuh, dia kelihatan
berubah seperti orang gila. Dia mengambil pistol dan menembakkannya ke segala
arah sambil berkata bahwa kesabarannya telah habis.
'"Semua harus pergi! Aku sudah habis-habisan. Dan kau
akan pergi denganku. Aku akan menembakmu. Kemudian menembak diriku Mereka akan
menemukan mayat kita berdekatan—mati bersama-sama/
'Dan banyak lagi yang dikatakannya. Dia mendekap Doris Evans
dengan satu tangan dan ketika sadar bahwa dirinya berhadapan dengan orang gila,
gadis itu meronta-ronta, berusaha melepaskan diri atau menjauhkan pistol
darinya. Mereka bergulat dan ketika itu tentunya Sessle sempat mencengkeram
rambut gadis itu dan kancingnya pun menyangkut di benang wol jaket gadis itu.
"Akhirnya, setelah berkelahi mati-matian,gadis itu pun
berhasil melepaskan diri dan lari menye-
195
berangi lapangan golf dengan ketakutan karena membayangkan
peluru pistol di belakangnya. Dia jatuh dua kali—menginjak bunga-bunga, tapi
akhirnya sampai ke jalan besar yang menuju stasiun. Dia pun sadar bahwa dia tak
dikejar.
"Itulah cerita Dorris Evans. Itu yang selalu
diulang-ulangnya tanpa variasi apa pun. Dan dia menyangkal pernah melawan Sesle
dengan jepitan topi pada waktu membela diri—walaupun ini merupakan hal yang
bisa dimaklumi dalam kondisi seperti itu. Sebagai penguat cerita itu, sebuah
pistol ditemukan di semak-semak dekat mayat Sessle menggeletak. Pistol itu
belum dipakai.,Doris Evans telah dipanggil ke sidang berkali-kali, tapi misteri
itu masih tetap merupakan misteri. Kalau cerita gadis itu bisa dipercaya, siapa
yang membunuh Sessle? Wanita satunya? Wanita jangkung berbaju coklat yang
membuatnya gelisah? Sejauh ini tak seorang pun bisa menjelaskan hubungannya
dengan kasus itu. Wanita itu seolah-olah muncul begitu saja di jalan setapak
itu—lalu lenyap di situ pula. Tak seorang pun pernah mendengar tentang dia.
Siapa dia? Penduduk setempat? Tamu dari London? Apa dia datang dengan mobil
atau kereta? Tak ada hal-hal yang luar biasa tentang dia, kecuali badannya yang
tinggi. Tapi tak seorang pun bisa menjelaskan wajahnya. Dia pasti bukan Doris
Evans yang kecil dan berkulit putih, dan lagi dia baru saja tiba di stasiun
pada saat itu
196
"Istrinya?" tanya Tuppence. "Bagaimana
istrinya?"
"Pertanyaan bagus. Tapi Nyonya Sessle bertubuh kecil,
dan lagi Tuan Hollaby mengenalnya dengan baik. Dan kelihatannya dia memang
pergi pada saat itu. Ada satu perkembangan lagi. Perusahaan Porcupine Assurance
sedang dalam keadaan bangkrut dan akan dilikuidasi. Pembukuannya menunjukkan
penggunaan dana yang tidak beres. Penyebab kata-kata yang meluncur dari mulut
Sessle ke Doris Evans telah kelihatan. Tentunya dia menggelapkan uang dalam
beberapa tahun terakhir itu. Baik Tuan Hollaby maupun anak laki lakinya tidak
tahu apa yang terjadi. Mereka tiba-tiba saja bangkrut."
"Kasus itu begini. Kapten Sessle berada di bibir jurang
kehancuran dan sadar, tak lama lagi pasti ketahuan. Bunuh diri merupakan jalan
keluar yang mudah. Tapi cara dia meninggal tidak dapat didukung oleh teori itu.
Siapa yang membunuh dia? Doris Evans? Atau wanita misterius berbaju
coklat?"
Tommy diam, meneguk susunya, mengernyitkan muka dan
menggigit kue kejunya dengan hati-hati.
197
16. Misteri Sunningdale (Lanjutan)
'Tentu saja," gumam Tommy, "aku segera bisa
melihat di mana pokok persoalan kasus ini dan di mana polisi salah berbelok."
"Ya, teruskan," kata Tuppence ingin tahu.
Tommy menggelengkan kepala dengan sedih.
"Kalau saja aku tahu, Tuppence, pada suatu sisi, memang
sangat mudah menjadi Lelaki Tua di Sudut. Tapi jalan keluarnya aku tak tahu.
Siapa yang membunuh pengemis itu? Aku tak tahu."
Dia mengeluarkan beberapa guntingan koran lagi dari sakunya.
"Beberapa foto. Tuan Hollaby. Anak laki-lakinya. Nyonya
Sessle. Doris Evans."
Tuppence mengambil yang terakhir dan memperhatikannya
sejenak.
"Dia tidak membunuh Sessle," katanya. "Tidak
dengan jepit topi."
"Kok begitu yakin?"
"Gampang. Rambutnya potongan pendek. Dan hanya satu
dari dua puluh wanita memakai jepit topi sekarang ini—baik yang berambut
panjang ataupun yang berambut pendek. Model topi
198
sekarang ini kencang, tinggal menariknya saja sudah pas. Tak
perlu jepit topi lagi."
'Tapi masih ada kemungkinan dia punya satu, kan?"
"Ya, ampun, wanita tidak menyimpan jepit begitu sebagai
benda warisan! Apa gunanya dia membawa-bawa jepit begitu ke Sunningdale?"
"Kalau begitu tentunya wanita yang satu lagi. Yang
berbaju coklat"
"Kalau saja dia tidak tinggi. Dia bisa jadi istrinya.
Aku selalu curiga pada istri yang tidak berada di tempat pada saat ada kejadian
seperti itu, akan masuk akal kalau dia menemui suaminya dengan jepit topi."
"Kelihatannya aku harus hati-hati," kata Tommy.
Tapi Tuppence sedang berpikir serius dan menolak untuk
bergurau.
"Bagaimana sih keadaan suami-istri Sessle?"
tanyanya tiba-tiba. "Apa kata orang tentang mereka?"
"Sepengetahuanku, mereka adalah pasangan populer.
Sessle dan istrinya saling mencintai. Itulah sebabnya urusan dengan gadis itu
terasa aneh. Sulit membayangkan orang macam Sessle berbuat demikian. Dia bekas
tentara. Punya uang cukup banyak, lalu pensiun dan memulai usaha asuransi itu.
Orang tak akan mencurigainya mau berbuat seperti itu."
"Apakah memang sudah terbukti bahwa dia
199
yang melakukan kejahatan itu? Apa tidak mungkin yang dua itu
yang menggelapkan uang?" "Hollaby? Katanya mereka bangkrut."
"OK Katanya! Barangkali mereka sudah menyimpannya di
sebuah bank dengan nama lain. Aku tahu bahwa aku mengatakannya dengan keliru.
Tapi kau pasti tahu apa maksudku. Bisa saja kan, mereka berspekulasi dengan
uang itu untuk beberapa waktu. Dan Sessle tidak tahu. Lalu mereka kehilangan
uang itu. Kematian Sessle seperti itu kan menguntungkan mereka."
Tommy mengetuk foto Tuan Hollaby tua dengan kukunya.
"Jadi kau menuduh orang terhormat ini sebagai pembunuh
teman dan partner bisnisnya? Kau lupa bahwa dia berpisah dengan Sessle dan itu
disaksikan oleh Barnard dan Lecky, dan mereka duduk-duduk di Dormy House. Di
samping itu ada jepit topi itu."
"Jangan pedulikan jepit itu," kata Tuppence tak
sabar.
"Kaupikir bahwa dengan jepit itu bisa ditunjukkan bahwa
wanitalah pembunuhnya?" 'Tentu saja. Kau tak setuju?"
'Tidak. Laki-laki terkenal ketinggalan mode. Sulit menarik
mereka dari ide yang telah melekat. Mereka mengasosiasikan jepit topi dan jepit
rambut dengan wanita, dan menamakannya 'senjata wanita'. Barangkali hal itu
benar pada zaman dulu. Tapi sekarang sudah ketinggalan zaman.
200
Aku sendiri tak punya jepit rambut ataupun jepit topi empat
tahun belakangan."
"Kalau begitu kaupikir...?"
"Seorang laki-laki-lah yang membunuh Sessle. Jepit topi
itu dipakai untuk mengelabui, seolah-olah wanitalah pembunuhnya."
"Aku rasa kau benar. Tuppence," kata Tommy
perlahan. "Aneh juga—seolah-olah semuanya menjadi jelas kalau kau
berbicara seperti itu."
Tuppence mengangguk.
"Semuanya harus masuk akal—kalau kau melihatnya dari
sisi yang benar. Dan ingat apa yang dikatakan Marriot tentang pandangan seorang
amatir—bahwa dia mengenal baik—ada kedekatan. Kita tahu tentang orang-orang
dengan tipe seperti itu. Kapten Sessle dan istrinya. Kita tahu apa-apa yang
mereka biasa lakukan. Dan kita masing-masing punya keahlian dalam bidang tertentu."
Tommy tersenyum.
"Maksudmu kau ahli dalam soal-soal yang biasa dimiliki
orang-orang dengan rambut potongan pendek dan tahu dengan baik apa yang
dirasakan dan dilakukan oleh istri-istri?"
"Semacam itulah."
"Bagaimana dengan aku? Pengetahuan spesial apa yang
kumiliki? Apakah suami suka kencan dengan gadis? Begitu?"
'Tidak," kata Tuppence muram. "Kau tahu permainan
golf—tahu hal-hal apa yang kira-kira
201
bisa membuat seorang .laki-laki kehilangan konsentrasi
"Pasti hal itu cukup serius untuk membuat Sessle
bermain buruk. Handicap-nya cuma dua dan mereka bilang dari tee tujuh dan
seterusnya dia main seperti anak-anak."
"Siapa yang bilang?"
"Barnard dan Lecky. Mereka main di belakangnya.
Ingat?""Itu setelah dia menemui wanita itu—wanita jangkung berbaju
coklat. Mereka melihat dia bicara dengan wanita itu, kan?"
"Ya—setidaknya begitulah...."
Tommy tiba-tiba berhenti. Tuppence memandangnya dengan
heran. Dia memandang tali di depannya dengan pandarfgan yang aneh, seolah-olah
melihat sesuatu yang lain.
'Tommy—ada apa?"
"Dia, Tuppence. Aku sedang bermain di hole keenam di
Sunningdale. Sessle dan Hollaby main di green keenam di depanku. Hari mulai
gelap tapi aku bisa melihat dengan jelas jaket Sessle yang berwarna biru
manyala itu. Dan di jalan setapak di sebelah kiriku, seorang wanita datang. Dia
tidak datang dari Lapangan Wanita—karena lapangan itu ada di kanan—kalau dia
datang dari situ aku pasti bisa melihat dia di jalan setapak itu sebelumnya
misalnya dari tee kelima."
Dia diam.
"Kau baru bilang bahwa aku punya bidang spesialisasi,
Tuppence. Di belakang tee keenam
202
ada sebuah pondok kecil. Siapa pun bisa menunggu di situ
sampai—saat yang tepat tiba. Mereka bisa mengubah diri di situ. Maksudku ah,
ini bidang spesialisasimu—apakah sulit bagi seorang laki-laki untuk menyaru
seperti wanita? Lalu berganti diri lagi sebagai laki- laki? Apa dia bisa
memakai rok di atas celana?" -
'Tentu saja bisa. Wanita itu akan kelihatan agak gendut Itu
saja. Misalnya saja rok coklat yang agak panjang, dengan sweater coklat yang
biasa dipakai wanita maupun laki-laki, dan sebuah topi beludru dan rambut palsu
di kiri kanan Itu saja yang diperlukan—tentu saja aku bicara tentang penampilan
yang diperlukan supaya memberi kesan wanita dari jauh. Rasanya itu yang ingin
kauketahui, kan? Lepas roknya, buka. topinya, dan pakai topi laki-laki yang
bisa dibawa dengan mudah—nah, kau kembali jadi laki-laki."
"Dan waktu yang diperlukan untuk berganti?"
"Dari wanita ke laki-laki satu setengah menit,
barangkali kurang sedikit Yang sebaliknya agak lama karena perlu waktu untuk
mengatur rambut dan topi, dan roknya pun harus diatur."
"Itu tidak perlu kita hitung. Yang pertama tadi yang
perlu. Aku bilang tadi aku' main di hole keenam Wanita berbaju coklat itu telah
sampai di tee ketujuh sekarang. Dia menyeberang ke sana dan menunggu. Dengan
jaket birunya Sessle mendatangi dia. Mereka berdiri bersama satu menit Kemudian
mereka berjalan menyusuri jalan setapak, berbelok, dan menghilang di balik
203
pohon-pohonan. Hollaby ada di tee sendirian. Dua atau tiga
menit berlalu. Aku di green sekarang. Laki-laki berjaket biru itu kembali dan
bermain dengan acak-acakan. Hari bertambah gelap. Aku dan teman mainku
melanjutkan permainan. Di depan kami ada Sessle yang memukul dan bermain jelek
sekali. Di green kedelapan aku melihat dia pergi dan hilang di balik
semak-semak. Apa yang menyebabkan dia bermain seperti orang lain?"
"Wanita berbaju coklat itu—atau laki-laki itu, kalau
kaupikir dia seorang laki-laki."
'Tepat. Dan tempat mereka berdiri—tidak kelihatan oleh
mereka yang datang kemudian— mereka tertutup semak-semak yang tebal. Kau bisa
menyimpan sebuah mayat di situ tanpa ada yang tahu sampai pagi."
'Tommy! Kaupikir saat itu waktunya. Tapi orang pasti
mendengar...""Mendengar apa? Dokter-dokter setuju bahwa kemauan itu terjadi
seketika. Dan aku telah melihat orang terbunuh dengan begitu cepat waktu
perang. Mereka biasanya tidak berteriak. Hanya mengeluh atau menarik napas
panjang atau terbatuk. Sessle tiba di tee ketujuh. Dan wanita itu mendekatinya.
Barangkali dia mengenali wanita palsu itu. Karena ingin tahu, dia mengikutinya
saja dan terpancing ke tempat tersembunyi. Satu tusukan dengan jepit topi
terjadi ketika mereka berjalan. Sessle jatuh—meninggal. Laki-laki yang satu
menyeretnya ke semak-se-
204
mak, membuka jaket birunya dan melepaskan rok serta topi dan
rambut palsunya. Dia memakai jaket biru Sessle dan topinya, dan kembali ke tee.
Tiga memt cukup untuk melakukan itu semua. Orang-orang yang bermain di
belakangnya tidak bisa melihat mukanya. Hanya jaket birunya saja yang mereka
kenal. Mereka tak ragu-ragu bahwa dia adalah Sessle—tapi dia tidak memainkan
permainan golf Sessle yang biasanya. Mereka semua bilang bahwa dia tidak
bermain seperti bukan Sessle. Tentu saja. Dia memang bukan Sessle."
'Tapi..."
"Point kedua. Orang yang mengajak gadis itu ke
Sunningdale adalah orang lain. Yang menemui Doris Evans di bioskop bukanlah
Sessle. Dia adalah seorang laki-laki yang menamakan dirinya Sessle. Doris Evans
ditangkap dua minggu kemudian. Gadis itu tak pernah melihat mayat itu.
Seandainya dia melihat, dia pasti mengejutkan semua orang dengan mengatakan
bahwa itu bukanlah laki-laki yang membawanya ke lapangan golf malam itu dan
yang bicara tentang bunuh diri begitu seru. Plot ini memang direncanakan dengan
hati-hati. Gadis itu diundang datang pada hari Rabu, ketika rumah Sessle sedang
kosong. Kemudian jepit topi itu menunjukkan perbuatan seorang wanita. Pembunuh
itu menjemput Doris, membawanya ke bungalo Sessle dan menjamu makan. Lalu dia
membawa gadis itu ke lapangan golf. Setelah sampai, dia menembakkan pistolnya
ke mana-mana untuk menakut-nakuti gadis itu.
205
Setelah gadis itu lari yang dia lakukan hanyalah menyeret
mayat Sessle dan membiarkannya tergeletak di tee. Pistol itu dia lemparkan ke
semak-semak. Lalu dia membungkus rok dan topinya dengan rapi dan—sekarang aku
hanya menebak—barangkali dia berjalan ke Woking yang berjarak enam atau tujuh
mil dari situ, lalu kembali ke kota."
Tunggu," kata Tuppence. "Ada satu hal yang belum
kaujelaskan. Bagaimana dengan Hollaby?"
"Hollaby?"
"Ya. Memang orang-orang di belakangnya tidak bisa
melihat dengan jelas apakah laki-laki itu Sessle atau bukan. Tapi orang yang
sedang main golf bersamanya kan pasti tahu siapa kawan mainnya. Dia kan tidak
bisa dihipnotis sedemikian rupa sehingga tidak bisa melihat muka kawan
mainnya."
Tuppence, itulah persoalannya. Hollaby tentu saja tahu. Aku
kan cuma melanjutkan teorimu— bahwa Hollaby dan anaknyalah yang sebenarnya
menggelapkan uang itu. Pembunuh itu pasti orang yang tahu Sessle dengan
baik—misalnya, dia tahu bahwa pembantu pembantunya selalu keluar rumah pada
hari Rabu, dan bahwa istrinya pun sedang pergi. Dan juga pasti orang yang punya
kunci rumah Sessle. Aku rasa Hollaby muda memenuhi semua persyaratan itu.
Tinggi badan dan umurnya hampir sama dengan Sessle. Keduanya bersih, tak
berjenggot. Barangkah Doris Evans melihat foto korban di beberapa koran.
206
Tapi kau sendiri melihat bagaimana keadaan foto itu, kan?
Cuma kelihatan bahwa itu gambar seorang laki-laki."
"Apa gadis itu tak pernah melihatnya di sidang?"
"Si anak kan tak pernah muncul di ruang pengadilan.
Untuk apa? Dia tak punya kesaksian atau bukti. Yang datang adalah Hollaby tua
dengan alibinya yang kuat. Tak seorang pun punya pikiran untuk bertanya apa
yang dilakukan Hollaby muda pada malam itu."
"Semua cocok," kata Tuppence. Dia diam sejenak,
lalu bertanya, "Apa akan kaukatakan ini semua pada polisi?"
"Aku tak tahu apa mereka akan mau mendengarnya."
"Jangan kuaur, mereka akan mendengarnya," sebuah
suara tiba-tiba terdengar di belakang mereka.
Tommy berputar dan menghadapi Inspektur Marriot. Inspektur
itu duduk di meja dekat mereka. Di depannya ada sebutir telur mata sapi.
"Sering makan siang di sini," kata Inspektur
Marriot. "Kami akan mendengar cerita Anda— sebenarnya saya sudah mendengarnya.
Terus-terang kami memang belum puas dengan angka-angka Porcupine itu. Dan kami
memang curiga dengan kedua Hollaby itu. Tapi tak ada hal-hal yang bisa kami
selidiki. Mereka terlalu tajam. Lalu terjadi pembunuhan ini. Kecurigaan kami
mejadi kabur. Untunglah ada Anda berdua. Kami
207
akan mempertemukan Doris Evans dengan Hollaby muda dan
melihat apa gadis itu mengenalinya. Saya merasa dia akan mengenalinya. Ide Anda
tentang jaket biru memang hebat. Saya akan membawa nama Blunf s Brilliant
Detectives."
"Anda memang baik. Inspektur Marriot," kata
Tuppence berterima kasih.
"Kami di Yard sangat menghargai Anda berdua,"
jawab Inspektur Marriot. "Anda pasti heran. Kalau boleh, saya ingin tanya
apa arti tali itu?"
"Oh, ini bukan apa-apa," kata Tommy sambil memasukkannya
ke dalam saku. "Kebiasaan buruk saja. Sedangkan kue keju dan susu itu—saya
sedang berdiet. Nervous dyspepsia. Orang sibuk biasanya menderita penyakit
itu."
"Ah!" kata si Detektif. "Saya pikir
barangkali Anda baru membaca—ya, itu tak ada konsekuensinya."
Tapi mata Inspektur Marriot berkedip Jenaka.
208
17. Rumah Beracun
"Apa..." kata Tuppence dan tiba-tiba berhenti.
Dia baru saja masuk kamar pribadi Tuan Blunt dari ruang
sebelah yang bertuliskan "Pegawai", dan heran melihat tuan besarnya
sedang mengintip ke luar lewat lubang.
"Ssst," kata Tommy mengingatkan. "Kau tidak
mendengar bel itu? Seorang gadis—cukup manis —kelihatannya manis sekali. Albert
sedang mendongeng tentang kesibukanku bicara dengan Scotland Yard."
"Coba aku yang lihat," kata Tuppence.
Dengan agak segan Tommy bergeser. Tuppence menempelkan mata
di lubang pengintip.
"Boleh juga," kata Tuppence. "Bajunya, mode
terakhir."
"Dia cantik," kata Tommy. "Seperti
gadis-gadis yang ditulis Mason—sangat simpatik dan cantik dan cerdas tanpa
terlalu bawel. Aku rasa—ya. Aku pikir aku akan jadi Hanaud saja pagi ini."
"Hm, kalau toh ada detektif-detektif itu, maka karakter
Hanaud adalah yang paling tidak cocok
209
buatmu. Kau bisa mengubah kepribadian begitu cepat? Kau bisa
jadi pelawak, anak miskin, teman yang serius dan simpatik—semua dalam lima
menit?"
"Aku tahu," kata Tommy sambil mengetukkan jari
keras-keras di meja. "Aku adalah kapten kapal ini—kau jangan lupa,
Tuppence. Aku akan menyuruh masuk gadis itu."
Dia menekan tombol di meja. Albert muncul mengantarkan
tamunya.
Gadis itu berhenti di pintu, seolah ragu-ragu. Tommy
mendekatinya.
"Silakan masuk, dan silakan duduk," kata Tommy
ramah.
Tuppence tersedak, dan Tommy menoleh kepadanya dengan sikap
yang sama sekali lain. Nada suaranya menakutkan.
"Ada yang akan Anda katakan, Nona Robinson? Ah! Saya
rasa tidak."
Dia menghadapi gadis itu lagi. "Kita tak akan serius
atau formal," katanya. "Ceritakan saja semua dan kita akan bicarakan
jalan terbaik untuk membantu Anda."
"Anda baik sekali," kata gadis itu. "Maaf,
apakah Anda orang asing?"
Tuppence tersedak lagi. Tommy melirik marah kepadanya.
'Tepatnya tidak," katanya agak kelabakan. 'Tapi
beberapa tahun terakhir ini saya memang bekerja di luar negeri. Metode saya
adalah metode Surete."
210
"Oh!" kata gadis itu kagum.
Gadis itu memang sangat menarik. Muda dan langsing. Rambut
emasnya mengintip keluar dari topi beludrunya yang berwarna coklat. Matanya
besar dan serius.
Dengan mudah orang bisa melihat bahwa dia gugup. Tangannya
yang kecil itu saling meremas, dan dia mempermainkan penutup tas merahnya
dengan membuka dan menutupnya berkali-kali.
"Pertama-tama, Tuan Blunt, saya ingin memberitahu bahwa
nama saya adalah Lois Hargreaves. Saya tinggal di sebuah rumah kuno yang besar,
bernama Thurnly Grange. Letaknya di pedalaman. Di dekat kami ada desa Thurnly.
Desa itu kecil dan tak dikenal. Di sana orang biasa berburu di musim dingin
dan'main tenis waktu musim panas. Dan saya tak pernah merasa kesepian di sana.
Saya memang suka suasana pedesaan yang tenang.
"Saya cerita tentang hal ini supaya Anda ingat bahwa di
desa seperti desa kami, segala sesuatu yang terjadi sangatlah penting.
Kira-kira seminggu yang lalu saya menerima sekotak coklat yang dikirim lewat
pos. Di dalamnya tidak ada pesan apa-apa dan tak ada nama pengirimnya. Saya
sendiri kebetulan tidak begitu suka coklat. Tapi orang-orang lain di rumah
suka. Kotak itu pun diedarkan. Akibatnya, orang-orang yang makan coklat itu
menjadi sakit. Kami memanggil dokter. Setelah dia menanyai apa-apa saja yang
kami makan, dia membawa sisa coklat itu untuk
211
dianalisa. Tuan Blunt, coklat-coklat itu mengandung arsenik!
Tidak cukup kuat untuk membunuh orang, tapi cukup untuk membuat orang
sakit."
"Luar biasa," kata Tommy.
"Dr: Burton sangat curiga dengan persoalan ini. Rupanya
kejadian itu adalah kejadian ketiga yang terjadi di sekitar desa kami. Dalam
setiap kasus, selalu sebuah rumah besar yang dijadikan sasaran. Dan semua
penghuni menjadi sakit setelah makan coklat misterius. Kelihatannya seseorang
dari daerah kami sedang mempraktekkan lelucon yang tidak lucu."
"Benar, Nona Hargreaves."
"Dr. Burton membawa persoalan itu pada para anggota
Partai Sosialis—saya merasa heran dengan hal ini. Memang ada satu atau dua
orang yang dicurigai di desa Thurnly, dan bisa jadi mereka yang melakukannya.
Dr. Burton ingin agar saya menyerahkan hal ini pada polisi."
"Usul yang sangat masuk akal," kata Tommy. Tapi
Anda belum melakukannya, Nona Hargreaves?"
"Belum," katanya mengaku. "Saya tidak suka
tetek-bengek yang mengikutinya—publikasi, dan sebagainya, dan saya tahu
bagaimana inspektur polisi daerah. Saya tak bisa membayangkan dia menemukan
sesuatu! Saya sering membaca iklan Anda dan saya bilang pada Dr. Burton bahwa
memanggil detektif swasta akan lebih baik."
"Hm."
212
"Anda menyebut-nyebut tentang kerahasiaan di dalam
iklan. Apa itu berarti bahwa—bahwa— Anda tidak akan menyebarluaskan persoalan
tanpa seizin saya?"
Tommy memandangnya dengan curiga, tetapi Tuppence-lah yang
bersuara.
"Saya rasa," katanya tenang, "sebaiknya Nona
Hargreaves menceritakan semuanya."
Tuppence memberi tekanan khusus pada kata-kata terakhir yang
diucapkannya, dan wajah Lois Hargreaves pun memerah.
"Ya," kata Tommy dengan cepat. "Nona Robinson
benar. Anda harus menceritakan semuanya."
"Anda tak akan..." dia ragu-ragu.
"Segala yang Anda ucapkan merupakan rahasia."
'Terima kasih. Saya tahu bahwa seharusnya saya
berterus-terang pada Anda. Saya punya alasan untuk tidak menghubungi polisi.
Tuan Blunt, kotak coklat itu dikirim oleh seseorang yang ada di rumah
saya!"
"Bagaimana Anda tahu, Nona?"
"Sangat sederhana. Saya punya kebiasaan menggambar
sebuah gambar kecil yang lucu— tiga ekor ikan bergandengan—kapan saja ada
pensil di tangan saya. Sebuah paket kaus kaki sutera datang dari London
beberapa waktu yang lalu. Ketika itu kami sedang duduk-duduk di meja makan.
Tangan saya baru saja mencoret-coret sebuah gambar di koran. Dan tanpa berpikir
apa-apa tangan saya mulai mencoretkan sebuah
213
gambar ikan di label paket itu sebelum talinya dipotong dan
bungkusnya dibuka. Saya tak pernah memikirkan hal itu lagi. Tapi ketika saya
memeriksa bungkus kertas coklat dari kotak coklat yang kami terima, saya
melihat gambar konyol saya ada di atas sudut label yang asli itu."
Tommy menarik kursinya ke depan.
"Ini benar-benar serius. Memang hal ini menunjukkan
bahwa pengirim coklat itu adalah seseorang dari rumah Anda. Tapi maaf, saya
masih belum mengerti mengapa hal itu menyebabkan Anda tidak mau menghubungi
polisi?"
Lois Hargreaves memandangnya dengan tajam.
"Akan saya beritahu. Tuan Blunt. Mungkin saya ingin
agar cerita ini dibekukan."
Tommy menyandarkan diri dengan lega di kursinya.
"Dalam hal ini," katanya, "kami mengerti di
mana posisi kami. Saya kira Anda tak berkeberatan menceritakan siapa yang Anda
curigai?"
"Saya tidak mencurigai siapa-siapa. Tapi ada
kemungkinan-kemungkinan."
"Benar. Sekarang coba Anda ceritakan isi rumah Anda
pada kami."
"Pelayan-pelayan, kecuali pelayan rumah, adalah pelayan
lama yang sudah bertahun-tahun ikut kami. Dan saya dibesarkan oleh bibi saya.
Lady Raddyffe yang amat kaya. Suaminya mendapatkan suatu keuntungan besar.
Dialah yang membeli Thurnly Grange. Dia meninggal dua tahun kemudian, dan
setelah itu Lady Raddyffe minta
214
agar saya tinggal bersama dia di rumahnya. Saya adalah
satu-satunya saudara yang masih hidup. Penghuni rumah lainnya adalah Dennis
Raddyffe, kemenakan suaminya. Saya selalu menganggapnya saudara sepupu,
walaupun sebenarnya itu tidak benar. Bibi Lucy selalu berkata secara
terang-terangan bahwa dia bermaksud mewariskan kekayaannya kepada Dennis, dengan
pengecualian sebagian kecil untuk saya. Uang itu adalah uang Raddyffe, katanya,
dan seharusnya menjadi milik Raddyffe. Tetapi, ketika Dermis berumur dua puluh
satu, Bibi bertengkar dengannya—mengenai utang yang dibuat Dennis. Ketika dia
meninggal setahun kemudian, saya heran karena semuanya, diwariskan kepada saya.
Saya mengerti bahwa Dennis amat kecewa dan saya merasa tidak enak padanya. Saya
pasti rela memberikan padanya uang itu seandainya dia mau menerimanya, tapi
rupanya hal seperti itu tak bisa dilakukan. Bagaimanapun, begitu saya berumur
dua puluh satu tahun, saya langsung membuat surat wasiat untuk mewariskan semua
uang itu kepadanya. Setidak-tidaknya itulah yang bisa saya perbuat. Jadi kalau
saya celaka karena tertabrak mobil, dialah yang akan menerima warisan
itu."
'Tepat," kata Tommy. "Dan kapan Anda berumur dua
puluh satu?"
'Tiga minggu yang lalu."
"Ah!" kata Tommy. "Bisa Anda ceritakan
tentang penghuni rumah lainnya?"
215
"Pelayan—atau yang lain?" "Keduanya."
"Pelayan-pelayan sudah cukup lama bersama kami. Ada
Nyonya Kolloway tua, si juru masak, dan kemenakannya Rose. Lalu ada si tua
Hannah bekas pelayan bibi yang sangat setia kepada saya. Pelayan rumah adalah
Esther Quant, kelihatannya seperti seorang gadis pendiam yang manis. Yang lain
adalah Nona Logan, teman Bibi Lucy yang menguruskan rumah untuk saya, dan
Kapten Raddyffe—maksud saya Dennis, dan seorang gadis, Mary Chilcott, bekas
teman akrab saya semasa sekolah dulu, yang tinggal bersama saya."
Tommy berpikir sejenak.
"Kelihatannya beres dan tak ada apa-apa, Nona
Hargreaves," katanya kemudian. "Apakah Anda tak punya alasan khusus
untuk mencurigai lebih dari satu orang? Anda kuatir kalau yang berbuat ternyata
bukan—mm—salah seorang pelayan?"
'Tepat, Tuan Blunt. Saya benar-benar tidak tahu siapa yang
telah menggunakah kertas coklat itu. Tulisannya dengan huruf cetak."
"Kelihatannya saya harus melihat sendiri," kata
Tommy.
Gadis itu memandangnya dengan mata bertanya-tanya.
Tommy melanjutkan setelah berpikir sesaat.
"Saya usulkan agar Anda bersiap menerima
kedatangan—sebut saja Tuan dan Nona Van Dusen —teman Amerika Anda. Apa Anda
bisa mengatur hal itu tanpa menimbulkan prasangka?"
216
"Oh! Ya. Tak akan ada kesulitan sama sekali. Kapan Anda
akan datang? Besok pagi atau lusa?"
"Sebaiknya besok. Kita tak boleh buang-buang
waktu."
"Baiklah. Saya akan siapkan."
Gadis itu berdiri dan mengulurkan tangannya.
"Ingat, Nona Hargreaves, jangan ceritakan hal ini pada
siapa pun—jangan ceritakan siapa kami sebenarnya."
"Apa pendapatmu, Tuppence?" kata Tommy ketika dia
kembali dari mengantar tamunya.
"Aku tidak suka," kata Tuppence tegas. 'Terutama
sekali fakta bahwa coklat itu mengandung arsenik yang cuma sedikit."
"Apa maksudmu?'
"Kau tak mengerti? Semua coklat yang diedar-<i kan
di luar rumah itu cuma untuk mengelabui. Untuk memberi kesan adanya seorang
maniak di daerah itu. Lalu, ketika gadis itu benar-benar kena racun, orang akan
mengira perbuatan yang sama yang menyebabkannya. Tak seorang pun mengira bahwa
coklat itu datang dari rumah itu sendiri."
"Ya, kau betul. Dan saat ini gadis itu cukup beruntung.
Kaupikir ini suatu plot yang sengaja dilakukan untuk
menyerang gadis itu?"
"Aku rasa begitu. Aku pernah membaca tentang wasiat
Lady Raddyffe. Dan gadis itu benar-benar mewarisi uang yang amat banyak "
"Ya. Dan umurnya genap dua puluh satu dan dia membuat
wasiat tiga minggu yang lalu. Tidak
217
menyenangkan—bagi Dennis Raddyffe. Dennis akan mewarisi
kekayaan dengan kematiannya."
Tuppence mengangguk.
"Dan yang lebih buruk lagi, gadis itu pun berpikir
begitu! Itulah sebabnya dia tak mau memanggil polisi. Dia telah mencurigai
Dermis. Tentunya dia jatuh cinta cukup dalam untuk bertindak seperti itu."
"Kalau demikian halnya," kata Tommy sambil
merenung, "kenapa Dennis tidak menikahi dia saja? Lebih sederhana dan aman."
Tuppence memandangnya.
"Kau telah mengatakannya. Oh, aku harus siap jadi Nona
Van Dusen."
"Kenapa melakukan tindak kriminal kalau ada jalan yang
lebih baik?"
Tuppence berpikir sejenak.
"Aku tahu," katanya. "Dennis pasti telah
menikahi seorang gadis bar ketika di Oxford. Ini pangkal perselisihan dengan
bibinya. Semua jelas sekarang."
"Kalau begitu, kenapa tidak mengirim permen beracun
saja pada gadis bar itu?" kata Tommy. "Lebih praktis, kan? Kurasa
sebaiknya kau tidak meloncat pada konklusi semacam itu, Tuppence?"
"Itu bukan konklusi, tapi deduksi," kata Tuppence
dengan berwibawa. "Ini adalah corrida-mu yang pertama, mon ami. Kalau kau
sudah berada dua puluh menit di arena—"
Tommy melempar istrinya dengan bantalan kursi.
18. Rumah Beracun (Lanjutan)
Tuppence... Tuppence, cepat ke sini."
Saat itu sudah waktunya makan pagi. Tuppence cepat-cepat
keluar dari kamar tidurnya dan lari ke ruang makan. Tommy sedang berjalan
mondar-mandir dengan sebuah koran terbuka di . tangannya.
"Ada apa?"
Tommy mendekat, menyodorkan koran itu sambil menunjuk judul
besar.
KASUS KERACUNAN MISTERIUS KEMATIAN AKIBAT SANDWICH ARA
Tuppence meneruskan membaca. Berita misterius tentang
keracunan itu terjadi di Thurnly Grange. Korban keracunan adalah Nona Lois
Hargreaves, pemilik rumah, dan pdayan rumah, Esther Quant. Kapten Raddyffe dan
Nona Logan diberitakan dalam keadaan sakit. Penyebab keracunan itu diperkirakan
dari pasta ara yang dipakai untuk mengolesi sandwich karena seorang
219
218
wanita lainnya. Nona Chilcott yang tidak makan roti itu,
sehat-sehat saja.
"Kita harus segera ke sana," kata Tommy.
"Gadis itu! Gadis yang sudah curiga itu! Goblok. Kenapa aku nggak ke sana
saja kemarin?"
"Kalau kau ke sana kemarin," kata Tuppence,
"barangkali kau juga ikut makan sandwich itu saat minum teh, lalu ikut
mati. Sudahlah, kita ke sana sekarang. Di sini dikatakan bahwa Dennis Raddyffe
juga dalam keadaan kritis."
"Barangkali pura-pura saja—buat mengelabui."
Mereka sampai di desa Thurnly yang kedi itu pada siang hari.
Seorang wanita tua bermata merah membukakan pintu ketika" mereka sampai di
Thurnly Grange.
"Begini," kata Tommy cepat, sebelum wanita itu
sempat bicara "Saya bukan wartawan. Nona Hargreaves datang ke tempat saya
kemarin dan minta agar saya datang kemari. Apa ada yang bisa saya temui?"
"Ada Dr. Burton kalau Anda mau bicara," kata
wanita itu. "Atau Nona Chilcott. Dia yang mengatur segalanya."
Tapi Tommy sudah membuat keputusan.
"Dr. Burton," katanya berwibawa. "Saya ingin
menemuinya sekarang juga kalau dia ada di sini."
Wanita itu membawa mereka ke dalam ruangan kecil. Lima menit
kemudian pintu terbuka dan seorang lelaki tua bertubuh tinggi, berbahu
melengkung, dan berwajah ramah tetapi cemas masuk.
220
"Dr. Burton?" kata Tommy. Dia mengeluarkan kartu
namanya sebagai Tuan Blunt. "Nona Hargreaves ke tempat saya kemarin
menceritakan tentang coklat beracun itu. Saya datang kemari dengan tujuan
menyelidiki kasus itu atas permintaannya. Sayang terlambat."
Dokter itu memandangnya dengan penuh perhatian.
"Anda adalah Tuan Blunt sendiri?" "Ya, dan
ini asisten saya, Nona Robinson." Dokter itu mengangguk hormat pada
Tuppence.
"Dengan kondisi seperti ini rasanya tidak perlu
bersikap tertutup. Tapi untuk episode coklat itu—saya yakin bahwa kematian ini
diakibatkan oleh keracunan ptomaine yang hebat—yang sifatnya mematikan. Ada
inflamasi gastro-intestinal dan haemorrhage. Saya sudah mengambil pasta itu
untuk dianalisa."
"Anda curiga adanya keracunan arsenik?"
'Tidak. Racun itu—kalau toh yang digunakan adalah
racun—merupakan sesuatu yang kuat dan cepat reaksinya. Kelihatannya seperti
racun tumbuhan yang kuat"
"Hm, begitu. Saya ingin tanya, Dr.Burton, apakah Kapten
Raddyffe menderita karena penyebab yang sama?"
Dokter itu memandangnya.
"Kapten Raddyffe saat ini tidak menderita
apa-apa."
"Aha," kata Tommy. "Saya..."
221
"Dia meninggal jam lima pagi tadi." Tommy
benar-benar terkejut. Dokter itu siap pergi.
"Dan korban satunya, Nona Logan?" tanya Tuppence.
"Saya rasa dia akan baik karena dia sejauh ini dapat
bertahan. Kelihatannya racun itu tidak terlalu mempan pada wanita tua itu. Saya
beri-tahu Anda hasil analisanya nanti. Sementara ini saya rasa Nona Chilcott
dapat menjelaskan segala sesuatu yang ingin Anda ketahui."
Pada saat itu pintu terbuka dan seorang gadis masuk. Gadis
itu bertubuh tinggi, berkulit kecok-latan, dan bermata biru yang amat tenang.
Dr. Burton memperkenalkan mereka.
"Saya gembira dengan kedatangan Anda, Tuan Blunt,"
kata Mary Chilcott. "Kejadian ini begitu menyedihkan. Apa ada sesuatu yang
ingin Anda ketahui?"
"Pasta ara itu dari mana?"
"Pasta itu dari London. Kami sering menggunakannya. Tak
seorang pun curiga bahwa pasta dalam botol itu beda dengan yang lain.
Sebetulnya saya sendiri tidak suka bau ara itu. Karena itu saya tidak kena.
Saya tidak mengerti bagaimana Dennis bisa kena, karena dia pergi pada waktu
minum teh. Saya rasa dia mengambil sepotong sandwich ketika pulang."
Tommy merasa tangan Tuppence menekan lengannya perlahan.
"Jam berapa dia datang?" tanyanya.
222
"Saya tidak tahu. Tapi bisa saya tanyakan."
'Terima kasih. Nona Chilcott. Tidak perlu. Anda tidak
keberatan kalau kami menanyai para pelayan?"
"Silakan. Anda bisa melakukan apa saja, Tuan Blunt.
Saya benar-benar bingung. Apa Anda pikir—ada sesuatu yang tidak beres?"
Mata gadis itu benar-benar ingin tahu ketika menanyakan hal
itu.
"Saya belum tahu sekarang ini. Mudah-mudahan nanti kita
segera tahu."
"Ya. Saya rasa Dr. Burton pun akan menganalisa pasta
itu."
Dia pamit ke luar dengan segera, lewat pintu yang membuka ke
teras, lalu bicara dengan salah seorang tukang kebun.
"Kau bicara dengan para pelayan, Tuppence," kata
Tommy. '"Aku akan ke dapur. Oh, ya. Nona Chilcott bilang dia merasa
bingung, tapi dia tidak kelihatan bingung."
Tuppence hanya mengangguk setuju.
Suami-istri itu bertemu setengah jam kemudian.
"Sekarang kita bicarakan apa yang kita dapat,"
kata Tommy. "Sandwich itu keluar pada waktu minum teh sore, dan pelayan
dalam memakannya satu potong. Karena itu flia ikut jadi korban. Koki yakin
sekali bahwa Dennis Raddyffe belum kembali ketika waktu minum teh lewat.
Pertanyaannya: bagaimana dia bisa keracunan?"
"Dia datang jam tujuh kurang seperempat,"
223
kata Tuppence. "Salah seorang pelayan melihatnya datang
dari jendela. Dia minum koktil sebelum makan malam—di ruang perpustakaan. Koki
baru saja mengangkat gelas itu waktu aku datang. Untunglah dia belum mencuci
gelasnya. Setelah minum, Dennis mengeluh sakit."
"Bagus. Aku akan membawa gelas itu ke Burton. Ada
lagi?"
"Aku rasa sebaiknya kaulihat Hannah, pelayan pribadi
itu. Dia—dia aneh."
"Apa maksudmu?"
"Dia memandangku seperti orang sinting."
"Coba kulihat."
Tuppence membawanya naik. Hannah punya ruang duduk sendiri.
Pelayan itu duduk tegak di sebuah kursi yang tinggi. Di pangkuannya ada sebuah
Alkitab yang terbuka. Dia tidak melihat pada tamunya ketika mereka masuk. Dia
terus membaca dengan suara keras.
"Biarlah bara api panas menimpa kepala mereka, biarlah
mereka dilempar ke dalam api yang panas sehingga tak bisa bangkit lagi."
"Boleh saya bicara sebentar?" tanya Tommy.
Hannah membuat gerakan tak sabar dengan tangannya."Bukan
waktunya. Waktunya sudah dekat. Aku akan mengikuti musuhku dan menangkap
mereka. Aku tak akan kembali lagi sebelum menghancurkan mereka. Begitulah yang
telah ditulis. Kata-kata Tuhan
224
telah sampai padaku. Aku adalah cambuk Tuhan."
"Gila," gumam Tommy.
"Dia telah seperti itu cukup lama," bisik
Tuppence.
Tommy mengambil buku yang tergeletak dan terbuka di atas
meja. Dia membaca judulnya dan memasukkannya ke dalam sakunya.
Tiba-tiba wanita tua itu berdiri dan berpaling kepada mereka
dengan muka mengancam.
"Keluar. Waktunya sudah tiba! Aku adalah cambuk Tuhan.
Angin bertiup ke mana dia suka. Begitupun aku, menghancurkan. Orang yang tak
beriman akan musnah Rumah ini rumah jahat— jahat! Berhati-hatilah dengan murka
Tuhan."
Dia mendekati mereka dengan galak. Tommy mundur. Ketika
menutup pintu, dia melihat wanita itu sudah mengambil Alkitab lagi.
"Apa dia selalu begitu?" gumamnya.
Dia mengeluarkan buku yang diambilnya dari meja tadi.
"Lihat, ini kan bacaan aneh untuk orang sederhana
seperti dia."
Tuppence mengambil buku itu.
"Materia Medica" gumamnya. Dia memperhatikan
sampurnya. "Edward Logan. Ini buku tua, Tommy. Apa kita bisa menemui Nona
Logan? Dr. Burton bilang dia sudah baik."
"Apa kita perlu tanya Nona Chilcott?"
Tidak. Kita suruh saja seorang pelayan untuk memberitahu
dia."
Sesaat kemudian mereka diberitahu bahwa Nona Logan bisa
menerima mereka. Mereka dibawa ke sebuah kamar besar yang menghadap ke kebun
luas. Di tempat tidur berbaring seorang wanita tua berambut putih. Wajahnya
yang tua itu terlihat kesakitan.
"Saya sedang sakit," katanya lemah. "Dan saya
tak bisa bicara banyak. Tapi Ellen bilang Anda detektif. Apa Lois datang pada
Anda? Dia mengatakan begitu."
"Ya, Nona Logan. Kami tak ingin membuat Anda
capek," kata Tommy. "Tapi barangkali Anda bisa menjawab beberapa
pertanyaan. Si Hannah, pelayan itu, apa dia waras?"
Nona Logan memandang mereka dengan heran.
"Oh, ya—dia sangat religius, saleh—tak ada yang tidak
beres dengannya."
Tommy mengulurkan buku yang diambilnya dari meja.
"Apa ini buku Anda?"
"Ya. Salah satu buku-buku ayah saya. Dia seorang dokter
yang hebat. Seorang pionir di bidang serum therapeutics."
Suara wanita itu terdengar bangga.
"Ya," kata Tommy. "Rasanya saya pun pernah,
dengar namanya," katanya berpura-pura. "Dan buku ini—apa Anda pinjamkan
pada Hannah?"
"Pada Hannah?" Nona Logan duduk di tempat tidur
dengan marah. 'Tentu saja tidak. Dia tak
226
akan mengerti satu kata pun dari buku ini. Buku ini sangat
teknis."
"Ya, saya mengerti. Tapi saya menemukannya di kamar
Hannah.""Kurang ajar," katanya. "Saya tak akan membiarkan
pelayan-pelayan itu menyentuh barang-barang saya.""Di mana seharusnya
tempat buku ini?"
"Di rak buku di ruang duduk saya—atau—sebentar, saya
meminjamkannya pada Mary. Gadis itu sangat tertarik pada ramuan
tumbuh-tumbuhan. Dia pernah membuat satu atau dua eksperimen di dapur kecil
saya. Saya punya tempat masak sendiri dan biasanya saya membuat beberapa
minuman atau makanan dengan cara kuno. Dan Lucy, Lady Raddyffe, sangat menyukai
teh ramuan saya yang bisa menghilangkan masuk angin dan sakit kepala. Kasihan
Lucy, dia sering sakit. Juga si Dennis. Ayah anak itu adalah sepupu saya."
Tommy menyela dongeng itu.
"Apa ada orang lain yang juga memakai dapur Anda itu?
Kecuali Anda dan Nona Chilcott tentunya."
"Hannah membersihkan dapur itu. Dan biasanya dia
memasak air di sana untuk membuat teh 9 Pagi"-
'Terima kasih, Nona Logan," kata Tommy. "Sementara
ini cukup itu saja pertanyaan kami. Mudah-mudahan kami tidak membuat Anda
lelah."
227
Dia meninggalkan kamar itu dan turun sambil mengernyitkan
dahi.
"Ada sesuatu di rumah ini, Mr. Ricardo yang baik, yang
aku tidak mengerti."
"Aku tidak suka rumah ini," kata Tuppence gemetar.
"Kita jalan-jalan saja di luar sambil bicara."
Tommy setuju dan mereka pun pergi. Pertama-tama mereka
tinggalkan gelas koktil itu di rumah dokter. Setelah itu mereka berjalan
mengelilingi desa itu.
"Kondisinya memang memberi banyak peluang untuk berbuat
jahat," kata Tommy. "Aku rasa ada orang yang menganggap bahwa aku tak
peduli. Padahal tidak demikian. Aku merasa bahwa sebenarnya kita bisa mencegah
kejadian itu."
"Kau jangan tolol," kata Tuppence. "Kita
tidak menasihati Lois Hargreaves agar tidak melapor ke Scotland Yard. Dia bisa
melakukan apa saja. Dan kalau dia tidak datang ke tempat kita, berarti dia
tidak melakukan apa-apa."
"Dan akibatnya tetap sama. Ya, kau benar, Tuppence.
Tidak wajar memang menyesali sesuatu yang memang tak terelakkan. Yang ingin
kulakukan sekarang ialah berusaha sebaik-baiknya."
"Dan itu tidak mudah."
"Ya. Karena terlalu banyak kemungkinan. Dan semua
kelihatan kacau-balau. Seandainya Dennis Raddyffe yang menaruh racun itu di
sandwich.
228
Dia tahu dia kan pergi sore itu. Itu jadi mudah
sekali."
"Ya," kata Tuppence. "Lalu kita bisa
menyelidiki. Tapi dia meracuni diri sendiri—ini tidak klop. Kita tak boleh
melupakan seseorang—Hannah."
"Hannah?"
"Orang bisa berbuat hal-hal yang aneh kalau mereka
sedang kena religius mania."
"Dia memang agak aneh," kata Tommy.
"Seharusnya kita juga menanyakannya pada Dr. Burton."
"Kelihatannya penyakit itu begitu tiba-tiba," kata
Tuppence. "Itu kalau kita mendengar keterangan Nona Logan."
"Aku rasa penderita religius mania memang bisa
begitu," kata Tommy. "Maksudku dia biasa menyanyikan hymne di tempat
tidur dengan pintu terbuka selama bertahun-tahun. Tetapi tiba-tiba dia melewati
batas dan menjadi ganas."
"Memang banyak bukti-bukti yang lebih memberatkan
Hannah daripada yang lain," kata Tuppence sambil merenung, "tapi aku
punya suatu ide..." Dia berhenti.
"Ya?" kata Tommy memberi dorongan.
"Ini bukan ide. Tapi cuma prasangka."
"Prasangka terhadap seseorang?"
Tuppence mengangguk.
'Tommy—apa kau suka Mary Chilcott?"
Tommy berpikir.
"Ya, aku rasa begitu. Dia seorang yang cekatan
229
"Ya, aku rasa begitu. Dia seorang yang cekatan dan
efisien—barangkali sedikit berlebihan—tapi bisa dipercaya."
"Kaupikir tidak aneh kalau dia kelihatan biasa-biasa
saja?"
"Hm, dari satu sudut tertentu justru itu merupakan hal
yang baik untuknya. Maksudku, kalau memang dia melakukan sesuatu yang tidak
baik, dia bisa berpura-pura sedih—agak mendramatisir situasilah."
"Aku rasa kau benar," kata Tuppence. "Dan
lagi, kelihatannya tak ada motif yang membuatnya begitu. Aku tak melihat apa
keuntungan yang bisa dia dapat dengan pembunuhan massal seperti ini."
"Aku rasa tak seorang pelayan pun terlibat, kan?"
"Aku rasa tidak. Mereka adalah orang-orang yang bisa di
percaya. Si Esther Quant, pelayan rumah itu, seperti apa ya?"
"Maksudmu, kalau dia muda dan cantik, ada kemungkinan
terlibat dalam persoalan ini?"
"Ya," kata Tuppence sambil menarik napas panjang.
"Rasanya kok semua buntu."
"Aku rasa polisi akan membereskannya," kata Tommy.
"Barangkali. Tapi aku lebih suka kalau kita yang membereskannya. Oh, ya,
apa kau melihat bintik-bintik merah di lengan Nona Logan?"
'Tidak. Kenapa?"
"Kelihatannya seperti bekas suntikan hipoder-mik,"
kata Tuppence.
230
"Barangkali Dr. Burton memberinya suntikan
hipodermik."
"Oh, bisa saja. Tapi tak sebanyak itu."
"Kecanduan kokain?" Tommy memberi ide.
"Aku berpikir begitu tadinya. Tapi matanya tidak
apa-apa," kata Tuppence. "Dari mata kita bisa melihat orang yang
terbiasa dengan kokain atau morfin. Kecuali itu dia bukan tipe wanita seperti
itu."
"Sangat terhormat dan saleh," kata Tommy.
"Kacau," kata Tuppence. "Kita sudah bicara
dan bicara tapi tak ada hasilnya. Jangan lupa mampir ke rumah dokter waktu
kembali nanti."
Pintu rumah dokter itu dibukakan oleh seorang anak laki-laki
jangkung berumur lima belasan
'Tuan Blunt?" tanyanya. "Ya, Pak Dokter sedang
keluar, tapi ada surat yang dititipkan."
Dia memberikan surat itu dan Tommy merobek sampulnya.
"Tuan Blunt,
Penelitian menunjukkan bahwa racun yang digunakan adalah
Ricin, toxalbumose sayur yang punya kekuatan tinggi. Informasi ini hanya untuk
Anda saat ini."
Tommy menjatuhkan catatan itu. tapi cepat-cepat mengambilnya
lagi."Ricin," gumamnya. "Kau pernah baca tentang
231
itu, Tuppence? Kau dulu cukup banyak tahu tentang hal-hal
seperti itu."
"Ricin," kata Tuppence sambil berpikir.
"Didapat dari minyak jarak aku rasa."
"Aku tak pernah menyentuh minyak jarak," kata
Tommy. "Sekarang aku jadi siap untuk lebih hati-hati lagi."
"Minyaknya sih nggak apa-apa. Ricin didapat dari biji
jarak. Kalau nggak salah aku melihat pohon jarak di kebun tadi—pohonnya besar
dan daunnya berkilat."
"Maksudmu ada seseorang yang menyuling racun itu dari
pohon di kebun? Apa Hannah bisa melakukan itu?"
Tuppence menggelengkan kepala.
"Rasanya tidak. Dia tak tahu apa-apa."
Tiba-tiba Tommy berseru,
"Buku itu. Apa masih di sakuku? Ya." Dia
mengeluarkan buku tersebut dan membuka lembarannya dengan cepat. "Aku rasa
ini. Ya, inilah halaman yang terbuka tadi pagi. Kau lihat, Tuppence?
Ricin!"
Tuppence merebut buku itu dari tangannya.
"Kau mengerti? Aku tidak."
"Cukup jelas bagiku," kata Tuppence. Dia terus
berjalan. Satu tangannya memegang buku dan satu lagi menggandeng lengan Tommy,
sambil membaca. Akhirnya dia menutup buku itu. Mereka sampai di dekat rumah.
'Tommy, boleh kuambil alih persoalan ini?
232
Sekali ini saja. Aku banteng yang sudah berada di arena
lebih dari dua puluh menit." Tommy mengangguk.
"Kau boleh jadi kapten kapal ini, Tuppence,"
katanya sedih. "Kita harus sampai ke akar-akarnya."
"Pertama-tama," kata Tuppence, "aku harus
menanyakan satu pertanyaan pada Nona Logan "
Dia berlari ke atas. Tommy mengikutinya. Dia mengetuk pintu
kamar wanita tua itu keras-keras dan masuk.
"Kaukah itu?" kata Nona Logan. "Kau terlalu
muda dan cantik untuk menjadi detektif. Apa kau sudah menemukan sesuatu?"
"Ya," kata Tuppence. "Sudah."
Nona Logan memandangnya dengan mata bertanya.
"Saya tidak tahu apakah saya cantik," lanjut Tuppence'Tapi
karena saya muda, saya pernah bekerja di suatu rumah sakit pada waktu perang.
Saya tahu tentang serum therapeutics. Dan saya kebetulan tahu bahwa apabila
Ricin disuntikkan dalam dosis-dosis rendah, maka akan terbentuklah imunisasi
hipodermis dan anti ricin terjadi. Fakta itu menjadi dasar dari serum
therapeutics. Dan Anda tahu hal itu, Nona Logan. Anda menyuntikkan ricin dosis
rendah ke dalam tubuh Anda sendiri sehingga terbentuk imunisasi itu. Lalu Anda
membiarkan diri Anda keracunan bersama yang lain. Anda pernah membantu ayah
Anda dalam pekerjaan itu, Anda tahu tentang
233
Ricin dan bagaimana mendapatkannya dari biji jarak. Anda
memilih waktu ketika'Dennis Raddyffe keluar, karena tidak baik baginya kena
racun pada saat yang sama—dia bisa meninggal lebih dulu dari Lois Hargreaves.
Tapi kalau gadis itu meninggal lebih dulu, Dennis akan mendapatkan warisan. Dan
bila dia mati. Andalah yang mendapatkannya. Anda masih ingat bukan—Anda sendiri
yang memberitahu kami bahwa ayah Dennis adalah sepupu Anda."
Wanita tua itu memandang Tuppence dengan mata jahat.
Tiba-tiba seseorang menghambur masuk dari kamar sebelah.
Ternyata Hannah. Tangannya memegang sebuah obor yang menyala, yang
di-acung-acungkannya.
"Kebenaran telah dikatakan. Dia benar-benar jahat. Aku
melihat dia membaca buku itu, dan tersenyum sendiri. Dan aku tahu. Aku temukan
buku itu dan halaman yang dibacanya—tapi aku tak mengerti. Tapi suara Tuhan
bicara padaku. Wanita ini bend pada nyonyaku, almarhumah Nyonya Besar. Dia iri
hati dan dengki. Dan dia bend pada Nona Lois yang manis. Tapi yang jahat akan
binasa, api Tuhan akan membakarnya."
Sambil mengayun-ayunkan obor dia maju ke depan ke arah
tempat tidur.
Wanita tua itu menjerit.
"Bawa dia keluar—bawa dia keluar. Semua benar—tapi bawa
dia keluar." Tuppence mdoncat ke Hannah. Tapi wanita itu
234
telah berhasil menyulut kelambu tempat tidur itu sebelum
Tuppence mengambil obor dari tangannya dan menginjaknya. Tommy berlari masuk.
Dia menarik kelambu tempat tidur dan berhasil mematikan nyala api dengan
karpet. Kemudian dia membantu Tuppence menenangkan Hannah. Pada saat itulah Dr.
Burton datang tergopoh-gopoh.
Dengan penjelasan beberapa kata saja dia pun mengerti apa
yang terjadi.
Dia cepat-cepat mendekati Nona Logan, mengangkat tangannya
dan berteriak,
"Kejutan api itu terlalu berat untuknya. Dia meninggal.
Barangkali baik juga dengan kondisi begini."
Dia diam lalu menambahkan, "Di gdas koktil itu juga ada
Ricin."
"Barangkali ini yang terbaik," kata Tommy setelah
mereka menyerahkan Hannah ke tangan dokter dan tinggal berduaan lagi.Tuppence,
kau benar-benar hebat."
'Tak ada sentuhan Hanaud di sini," kata Tuppence.
"Terlalu serius untuk permainan akting. Aku masih sedih
rasanya mengingat gadis itu. Aku tak akan mencurigainya. Tetapi kau—benar-benar
luar biasa. Kau patut dapat bintang. Memang betul kata-kata mutiara tua itu.
Sangat menguntungkan punya otak cemerlang, walaupun tampang tidak."
"Tommy, kau benar-benar kurang ajar."
235
19. Alibi yang Kuat
Tommy dan Tuppence sibuk mengecek surat-surat mereka. Tuppence
berseru dan memberikan sepucuk surat pada Tommy. "Klien baru' katanya.
"Ha!" kata Tommy. "Apa yang kita simpulkan
dari surat ini, Watson? Tak banyak, kecuali fakta bahwa Tuan—er—Montgomery
Jones bukanlah orang yang bisa mengeja tulisan dengan baik. Itu menunjukkan
bahwa pendidikannya amat mahal."
"Montgomery Jones?" tanya Tuppence. "Apa yang
kuketahui tentang seorang Montgomery Jones? Oh ya, aku ingat. Aku rasa Janet
St. Vincent pernah menyebutnya, ibunya adalah Lady Aileen Montgomery, pemarah
dan angkuh. Dia menikah dengan seorang Jones yang amat kaya."
"Cerita lama yang itu-itu juga," kata Tommy.
"Jam berapa Tuan M.J. ingin bertemu kita? Ah, sebelas tiga puluh."
Pada jam sebelas tiga puluh tepat seorang lelaki
236
muda bertubuh tinggi dan bermuka ramah masuk dan menemui
Albert.
"Apakah saya bisa bertemu—er—Tuan—er— Blunt?"
"Anda punya janji, Tuan?" kata Albert.
"Saya tak tahu. Tapi rasanya ya. Maksud saya, saya
menulis surat..."
"Siapa nama Tuan?"
"Montgomery Jones."
"Saya akan memberitahu Tuan Blunt."
Dia kembali tak lama kemudian.
'Silakan tunggu dulu, Tuan. Tuan Blunt sedang sibuk saat
ini."
"Oh—er—ya—tentu saja," kata Tuan Montgomery Jones.
Setelah merasa cukup memberi kesan penting pada kliennya.
Tommy memanggil Albert dengan belnya. Tuan Montgomery Jones pun dibawa masuk.
Tommy berdiri dan menjabat tangan tamunya dengan hangat, dan
mempersilakannya duduk di sebuah kursi yang kosong.
'Tuan Montgomery, apa yang bisa kami lakukan untuk
Anda?"
Tuan Montgomery memandang ragu-ragu kepada orang ketiga di
ruang itu.
"Sekretaris pribadi saya yang terpercaya, Nona
Robinson," kata Tommy. "Anda bisa bicara dengan bebas di depannya.
Apa ini merupakan persoalan keluarga yang cukup peka?""Hm—tidak
juga," kata Montgomery Jones.
237
"Wah, apa ya kalau begitu?" kata Tommy. 'Tak ada
kesulitan yang serius, saya harap."
"Oh, tidak," kata Tuan Montgomery Jones.
"Kalau begitu Anda dapat memberikan fakta-fakta dengan
jelas."
Tapi kelihatannya justru itulah yang tidak dapat dilakukan
Tuan Montgomery Jones.
"Ini—hal yang saya minta tolong pada Anda ini memang
aneh," katanya ragu-ragu. "Saya—er— saya tak tahu bagaimana
menceritakannya."
"Kami tak melayani kasus perceraian," kata Tommy.
"Oh, Tuhan, bukan. Bukan itu," kata Tuan
Montgomery Jones.. "Ini merupakan lelucon konyol. Itu saja."
"Ada orang yang mempermainkan Anda secara
misterius?" tanya Tommy.
Tapi sekali lagi Tuan Montgomery Jones menggelengkan
kepalanya.
"Baiklah," kata Tommy. "Silakan berpikir
dulu. Kami tunggu cerita Anda."
Mereka diam.
"Begini," kata Tuan Montgomery Jones akhirnya,
"kejadiannya waktu saya makan malam. Saya duduk dekat seorang gadis."
"Lalu?" kata Tommy.
"Dia—ah—saya tak bisa menjelaskannya. Dia adalah salah
seorang gadis paling menarik yang pernah saya temui. Dia seorang gadis
Australia yang tinggal di sini dan menyewa flat bersama seorang temannya di
Clarges Street. Dia benar-
238
benar memikat. Saya tak bisa menceritakan pada Anda
pengaruhnya pada diri saya."
"Kami bisa mengerti hal itu. Tuan Jones," kata
Tuppence.
Dia mengerti dengan baik bahwa apabila dia ingin tahu
persoalan Tuan Jones, maka dia perlu memberi sentuhan feminin, bukan metode
resmi seperti yang dipraktekkan Mr. Blunt.
"Kami bisa mengerti," kata Tuppence memberi
dorongan.
"Semua ini membuat saya bingung," kata Tuan Jones.
"Seorang gadis bisa membuat orang kela-bakan. Sebelumnya ada seorang gadis
lain—bukan, dua orang. Yang satu memang lincah, tapi saya kurang menyukai
dagunya. Dia pintar dansa dan saya sudah lama kenal dia sehingga saya selalu
merasa aman di dekatnya Lalu ada seorang gadis di'Frivolity'. Dia sangat
menyenangkan, tapi pasti banyak suara-suara protes kalau saya menanggapinya.
Kecuali itu saya memang tidak bermaksud merukah dengan gadis itu. Tapi pada
waktu saya berpikir tentang hal itu—tiba-tiba saja—tahu-tahu saya duduk di
sebelah gadis itu dan..."
"Segalanya pun berubah," kata Tuppence penuh
perasaan.
Tommy bergeser dari tempat duduknya dengan tidak sabar. Dia
merasa bosan dengan dongeng cinta Tuan Montgomery Jones.
"Memang seperti itulah. Hanya saja saya merasa bahwa
gadis itu tidak terlalu kagum pada saya.
239
Anda mungkin tidak berpikir begitu, tapi sebenarnya saya
bukan orang yang pandai."
"Ah, Anda memang suka merendah," kata Tuppence.
"Saya tahu bahwa saya bukan orang cerdas," kata
Tuan Jones dengan senyum menawan. "Bukan untuk gadis secerdas dia. Karena
itulah saya merasa bahwa saya harus bisa membereskan persoalan ini. Ini adalah
satu-satunya kesempatan. Gadis itu sportif sekali dan dia akan melakukan apa
yang dikatakannya."
"Ya, tentu saja kami ingin Anda berhasil dalam hal
ini," kata Tuppence. 'Tapi kami tak mengerti apa yang perlu kami
bantu."
"Ya, Tuhan. Apa saya belum menjelaskannya?" seru
Tuan Montgomery Jones.
"Belum," kata Tommy.
"Begini," katanya. "Kami bicara tentang
cerita-cerita detektif. Una—nama gadis itu—dan saya, sangat suka cerita
detektif. Kami akhirnya bicara tentang alibi dan alibi palsu. Lalu saya bilang—
oh, bukan, dia bilang—oh, siapa ya yang bicara?"
'Tak apa, itu tak penting," kata Tuppence.
"Saya katakan bahwa alibi palsu itu sulit. Dia tak
setuju—dia bilang hal begitu hanya memerlukan sedikit otak logis. Kami serius
tentang hal itu dan akhirnya dia membuat suatu tawaran, 'Apa yang mau
kaupertaruhkan kalau aku bisa membuat alibi yang tak tergoyahkan?
katanya."
"Saya bilang apa pun boleh, dan kami pun mengatur ini
dan itu. Dia begitu yakin dengan
240
alibinya. Dan saya katakan jangan terlalu gegabah. Bagaimana
kalau saya menang dan meminta sesuatu yang saya mau? Dia tertawa dan bilang
bahwa dia berasal dan keluarga yang suka bertaruh. Dia setuju."
"Jadi?" kata Tuppence ketika Tuan Jones berhenti
bicara dan memandangnya dengan sikap minta diperhatikan.
"Anda tidak mengerti? Artinya terserah pada saya. Ini
adalah satu-satunya kesempatan bagi saya untuk mendapatkan respek dari gadis
seperti dia. Dia benar-benar seorang pemberani. Musim panas yang lalu dia
keluar berperahu dan ada seorang yang bertaruh bahwa dia pasti tak akan berani
meloncat dari perahu itu dan berenang kembali ke pantai dengan pakaian biasa.
Tapi dia melakukannya."
"Ini suatu hal yang aneh," kata Tommy.
"Rasanya saya masih belum mengerti."
"Sebenarnya sederhana sekali," kata Tuan
Montgomery Jones. "Anda tentunya sering melakukan hal itu. Menyelidiki
alibi palsu dan mencari di mana kuncinya."
"Oli—er—ya," kata Tommy. "Kami memang
melakukan pekerjaan semacam itu."
"Saya perlu bantuan pihak lain untuk memecahkan
persoalan semacam itu," kata Montgomery Jones. "Saya sendiri tidak
terlalu bisa menangani hal seperti itu. Yang perlu Anda lakukan hanya menangkap
gadis itu. Mungkin hal ini kedengarannya seperti soal sepele bagi
Anda. Tapi bagi saya sangat berarti, dan saya bersedia
membayar—berapa pun."
'Tidak apa-apa," kata Tuppence. "Saya yakin bahwa
Tuan Blunt akan menerima tugas ini."
'Tentu, tentu saja," kata Tommy. "Ini merupakan
kasus yang menarik. Amat menarik."
Tuan Montgomery Jones menarik napas lega dan menarik
setumpuk kertas dari sakunya, lalu memilih selembar. "Ini dia,"
katanya. "Gadis itu berkata Aku mengirim bukti bahwa aku berada di dua
tempat yang berbeda pada saat yang sama. Menurut sebuah cerita aku makan sore
di Bon Temps Restaurant di Soho sendirian, lalu pergi ke Duke's Theatre dan
makan malam dengan seorang teman, Tuan le Marchant, di Savoy—tapi pada saat
yang sama, aku juga menginap di Castle Hotel, Torquay, dan kembali ke London
besok paginya. Kau harus bisa menemukan cerita yang mana yang benar dan
bagaimana aku melakukan cerita yang lainnya.'"
"Nah," kata Tuan Montgomery Jones. "Anda tahu
apa yang saya perlukan, bukan?"
"Persoalan kecil yang menarik," kata Tominy. "Sangat
naif."
"Ini foto Una," kata Tuan Montgomery Jones.
"Anda pasti memerlukannya."
"Siapa nama lengkapnya?" tanya Tommy.
"Nona Una Drake. Alamatnya di Clarges Street 180."
'Terima kasih," kata Tommy. "Kami akan segera
menyelesaikan soal ini bagi Anda, Tuan
242
Jones. Mudah-mudahan kami bisa memberikan kabar baik pada
Anda dalam waktu singkat."
'Terima kasih. Terima kasih sekali," kata Tuan Jones
sambil berdiri dan menjabat tangan Tommy. "Saya merasa ringan
sekarang."
Setelah mengantar tamunya keluar, Tommy kembali lagi.
Tuppence ada di dekat lemari yang berisi buku-buku klasik.
"Inspektur French," kata Tuppence.
"Eh?" kata Tommy.
"Inspektur French," kata Tuppence. "Dia
selalu menangani alibi. Aku tahu prosedurnya. Kita harus mengecek semuanya.
Pertama-tama kelihatannya biasa-biasa saja. Tapi setelah kita mengecek lebih
jauh, kita akan menemukan kesalahannya."
'Tentunya tidak akan ada banyak kesulitan," kata Tommy.
"Maksudku, karena kita sudah tahu bahwa satu cerita sebenarnya tidak
benar. Itu yang membuatku kuatir."
"Rasanya tak ada yang perlu dikuabrkan
"Aku kuatir dengan gadis itu. Barangkali dia akan
terpaksa mau menikah dengan laki-laki itu, senang atau tidak senang."
"Sayangku," kata Tuppence. "Jangan bodoh.
Wanita bukanlah makhluk yang gemar bertaruh liar seperti itu. Gadis itu pasti
tidak akan begitu saja mempertaruhkan kebebasannya untuk menikahi seorang
laki-laki seperti dia kalau dia memang tidak siap. Tapi percayalah—gadis itu
akan menikahi laki-laki itu dengan respek yang
243
lebih tinggi apabila dia tidak membiarkan dirinya dinikahi
dengan jalan mudah."
"Kau selalu menganggap kau ini tahu segalanya,"
kata Tommy.
"Memang," kata Tupppence.
"Sekarang kita periksa datanya," kata Tommy sambil
menarik tumpukan kertas-kertas itu. "Hm," katanya, "gadis yang
amat manis. Dan foto ini begitu tajam. Mudah dikenali."
"Kita harus punya foto beberapa gadis lain," kata
Tuppence.
"Mengapa?"
"Biasanya begitu," kata Tuppence. "Kita
tunjukkan empat atau lima buah foto pada pelayan, dan dia akan memilih sebuah
foto yang benar."
"Apa mereka selalu begitu—maksudku, memilih yang
benar?" tanya Tommy.
"Mereka biasanya begitu—di buku," kata Tuppence.
"Sayang sekali hidup yang nyata berbeda dengan
fiksi," kata Tommy. "Coba lihat, apa ini? Ya, ini memang London.
Makan sore di Bon Temps jam tujuh tiga puluh. Pergi ke Duke's Theatre dan
melihat Delphiniums Blue. Sobekan karcis bioskop itu ada di sini. Makan malam
di Savoy dengan Tuan le Marchant. Aku rasa kita bisa menanyai Tuan le
Marchant." r
"Itu tidak membuktikan apa-apa," kata Tuppence.
"Karena kalau dia bersekongkol dengan gadis itu dia tinggal menganggukkan
kepala. Lupakan saja apa yang bisa dikatakannya."
244
"Dan ini cerita Torquay," lanjut Tommy.
"Kereta jam dua belas dari Paddington, makan siang di gerbong makan, ada bon
makannya. Menginap di Castle Hotel semalam. Ada bukti pembayarannya."
"Aku rasa ini agak lemah," kata Tuppence.
"Siapa pun bisa membeli karcis bioskop tanpa harus menonton. Kepergian
gadis itu ke Torquay dan London hanya cerita bohong saja."
"Kalau begitu gampang," kata Tommy. 'Tapi aku rasa
baik juga kalau kita menanyai Tuan le Marchant."
Tuan le Marchant ternyata seorang pemuda yang ramah dan
terus terang. Dia tidak heran melihat kedatangan mereka.
"Una punya permainan baru, ya?" tanyanya.
"Anak itu selalu punya permainan baru."
"Benarkah bahwa Nona Drake makan malam dengan Anda di
Savoy hari Selasa malam?"
"Ya, betul," kata Tuan le Marchant. "Saya
memang ingat karena Una menyuruh saya mengingatnya—bahkan meminta agar saya
menuliskannya di buku."
Dengan bangga dia menunjukkan catatan kecil: "Makan
malam dengan Una. Savoy. Selasa, tanggal 19."
"Apakah Anda tahu di mana Nona Drake sebelum makan
malam dengan Anda?"
"Dia melihat bioskop sebuah film jelek, kalau nggak
salah judulnya Pink Peonies."
245
"Anda yakin bahwa Nona Drake bersama Anda malam
itu?"
Tuan le Marchant memandang Tommy.
'Tentu saja. Saya kan sudah cerita tadi?"
"Barangkali dia minta agar Anda bercerita begitu kepada
kami," kata Tuppence menjelaskan.
"Dia memang mengatakan sesuatu yang aneh. Dia
bilang—apa ya katanya? 'Kaupikir kau duduk di sini sedang makan malam denganku,
Jimmy? Tapi sebenarnya aku sedang makan malam di Devonshire, dua ratus mil
jauhnya dari sini' Itu aneh kan? Seperti ilmu sihir saja. Anehnya, seorang
teman saya yang bernama Dicky Rice melihat dia di sana."
"Siapa Tuan Rice itu?"
"Oh, seorang teman. Dia tinggal di Torquay dengan
bibinya yang sudah tua tapi belum mau mati juga. Dicky jadi kemenakan yang
berbakti pada si tua itu. Dia bilang 'Aku lihat gadis Australia itu—Una siapa.
Aku ingin ngobrol dengan dia tapi Bibi menarikku dan saya pun mengobrol dengan
si Pus tua di kursi mandi.' Saya bertanya, 'Kapan kau lihat dia?' Dan dia
bilang. 'Oh, Selasa sore. Kira-kira waktu minum teh Tentu saja saya bilang dia
salah lihat. Tapi itu kan aneh? Karena Una bilang dia ada di Devonshire malam
itu."
"Sangat aneh," kata Tommy. "Barangkali Anda
ingat. Tuan le Marchant, seorang teman atau kenalan yang kebetulan duduk dekat
Anda pada waktu makan malam itu?"
246
"Ada kenalan yang bernama Oglander duduk di meja
sebelah."
"Mereka kenal Nona Drake?"
"Oh, ya. Walaupun bukan teman dekat."
"Baiklah, kalau tak ada lagi yang ingin Anda ceritakan
pada kami, kami ingin pamit."
"Pemuda itu—kalau bukan seorang pembohong besar ya
memang dia mengatakan yang sebenarnya," kata Tommy ketika mereka sampai di
jalan.
"Ya," kata Tuppence. "Pendirianku berubah.
Aku merasa bahwa Una Drake berada di Savoy malam itu."
"Kita ke Bon Temps sekarang," kata Tommy.
"Rasanya perlu sedikit ekstra tip untuk beberapa orang. Kita cari foto
beberapa gadis dulu."
Hal itu ternyata tidak mudah. Mereka mendatangi seorang
tukang foto dan memilih beberapa foto untuk diambil. Tapi permintaan mereka
ditolak.
"Kenapa sih soal yang gampang dan sederhana di buku
menjadi sulit dalam kenyataan?" kata Tuppence mengomel. "Mereka
begitu curiga. Dikiranya kita ini mau berbuat apa sih? Sebaiknya kita gedor
saja apartemen Jane."
Jane, teman Tuppence, ternyata seorang yang pemurah. Dia
membiarkan Tuppence mengobrak-abrik laci yang penuh dengan foto-foto temannya.
Dengan berbekal beberapa lembar foto gadis cantik, mereka
melangkah ke Bon Temps di mana kesulitan-kesulitan baru dan biaya yang lebih
247
besar menunggu. Tommy terpaksa menangkapi pelayan satu demi
satu, mengeluarkan tip, dan menunjukkan foto-foto cantik itu. Hasilnya tidak
memuaskan. Setidaknya tiga buah foto ditunjuk sebagai orang yang pernah makan
di situ pada Selasa malam yang lalu. Mereka kemudian kembali ke kantor.Tuppence
membenamkan diri dalam buku ABC.
"Paddington jam dua belas. Torquay tiga tiga puluh
lima. Itu keretanya. Dan teman le Marchant, Tuan Sagu, atau Tapioka, atau
siapa, melihatnya pada waktu minum teh."
"Kita belum mengecek kata-katanya, lho," kata
Tommy. "Kau pernah bilang, kalau le Marchant bersekongkol dengan Una, dia
bisa saja mengarang cerita itu."
"Oke. Kalau begitu kita kejar Tuan Rice," kata
Tuppence. "Rasanya le Marchant bicara benar. Tidak. Yang aku inginkan
sekarang ini. Una Drake pergi ke London dengan kereta jam dua belas. Barangkali
dia pesan kamar di hotel dan menginap. Lalu barangkali dia kembali ke London
dengan kereta untuk ke Savoy. Ada satu kereta yang berangkat jam empat empat
puluh. Sampai di Paddington jam sembilan lewat sepuluh."
"Lalu?" kata Tommy.
"Lalu," kata Tuppence sambil mengernyitkan dahi.
'Tambah sulit saja. Ada kereta jam dua belas dari Paddington. Tapi dia pasti
tidak pergi dengan kereta itu. Terlalu cepat."
248
"Mobil yang kencang," kata Tommy.
"Hm," kata Tuppence. "Jaraknya dua ratus
mil."
"Orang bilang, orang Australia suka ngebut seenaknya,"
kata Tommy.
"Oke. Kalau begitu dia sampai kira-kira jam
tujuh," kata Tuppence.
"Kaupikir dia bisa diam-diam masuk hotel tanpa ada yang
melihat? Atau dia bisa bilang bahwa dia tidak di hotel semalaman dan sekarang
mau membayar?"
'Tommy," kata Tuppence, "kita/ memang bodoh. Dia
tidak perlu ke Torquay. Dia bisa menyuruh seorang temannya ke hotel, mengambil
tasnya dan membayar rekening hotel untuknya. Dan dia akan menerima tanda terima
pembayaran dengan tanggal yang sesuai."
"Aku rasa hipotesa kita cukup bagus," kata Tommy.
"Yang perlu kita lakukan ialah pergi ke Torquay dengan kereta jam dua
belas besok, untuk membuktikan ide cemerlang ini."
Dengan bekal sederet foto, keesokan harinya Tommy dan
Tuppence berangkat dengan kereta kelas satu. Mereka memesan tempat untuk makan
siang kedua di kereta.
"Barangkali pelayan kereta makannya lain," kata
Tommy. "Itu harapan yang terlalu tinggi. Aku rasa kita nanti akan perlu
bolak-balik ke Torquay selama beberapa hari sebelum menemukan pelayan yang
benar."
"Urusan alibi ini benar-benar melelahkan," kata
Tuppence. "Di buku, urusan begini selesai dalam
249
dua atau tiga alinea. Inspektur Anu naik kereta ke Torquay
dan menanyai pelayan kereta makan. Lalu ceritanya selesai."
Tetapi kali ini nasib baik berada di pihak mereka. Ternyata
pelayan yang membawa bon makan mereka adalah pelayan yang bertugas pada hari
Selasa itu. Yang disebut Tommy sebagai "Sentuhan sepuluh shilling bekerja
begitu cepat", dan Tuppence pun mengeluarkan deretan fotonya.
"Aku ingin tahu," kata Tommy, "apakah salah
seorang dari gadis-gadis ini makan siang di kereta ini hari Selasa yang lalu
Dengan sikap yang amat sopan, pelayan itu menunjuk foto Una
Drake.
"Ya, Tuan. Saya ingat gadis itu, dan saya ingat hari
itu hari Selasa karena dia berkata bahwa hari Selasa adalah hari
keberuntungannya."
"Bagus," kata Tuppence setelah mereka kembali ke
kompartemen mereka. "Barangkali kita juga akan menemukan bahwa dia memang
tinggal di hotel itu. Akan lebih sulit membuktikan bahwa dia kembali lagi ke
London. Tapi barangkali salah seorang kuli stasiun ingat."
Tetapi di stasiun mereka tidak mendapat keterangan apa pun.
Tommy menanyai tukang karcis dan beberapa kuli. Setelah menerima tip, dua orang
kuli dengan agak ragu-ragu menunjuk sebuah foto lain dan mengatakan bahwa kalau
tidak salah seseorang seperti gadis itu pergi
250
dengan kereta ke London jam empat empat puluh sore itu. Tapi
mereka tidak menunjuk Una Drake.
'Tapi itu tidak membuktikan apa-apa," kata Tuppence
ketika mereka meninggalkan stasiun. "Bisa saja dia naik kereta tanpa
diperhatikan orang lain,"
"Bisa juga dia berangkat dari stasiun Torre."
"Ya, betul," kata Tuppence. "Kita bisa ke
sana nanti setelah dari hotel."
Castle Hotel adalah hotel besar yang menghadap laut. Setelah
memesan kamar untuk satu malam dan menandatangani formulir, Tommy bicara dengan
ramah.
"Kalau nggak salah ada seorang teman kami yang menginap
di sini Selasa malam yang lalu. Nona Una Drake."
Gadis resepsionis itu menjawab dengan muka cerah.
"Oh ya, saya ingat sekali. Seorang gadis Australia kalau
tidak salah."
Tuppence mengeluarkan foto ketika Tommy memberi isyarat.
"Fotonya cakep, ya?" kata Tuppence.
"Oh ya. Bagus sekali."
"Dia lama menginap di sini?" tanya Tommy.
"Hanya semalam. Dia kembali ke London dengan kereta
ekspres esok paginya. Rasanya sayang, jauh-jauh ke sini cuma untuk sebentar.
Tapi barangkali itu tidak jadi soal untuk gadis-gadis Australia."
"Dia memang begitu," kata Tommy, "suka ber-
251
tualang. Dia mengendarai mobil bersama teman-temannya, masuk
selokan dan tak bisa kembali sampai pagi. Waktu kejadian itu, dia sedang di
sini atau tidak?"
"Oh, tidak," kata gadis itu. "Nona Drake
makan malam di hotel ini."
"Ah, ya?" kata Tommy. "Anda ingat itu? Maksud
saya, bagaimana Anda tahu?"
"Oh, saya melihatnya sendiri."
"Saya bertanya karena kalau nggak salah dia makan malam
dengan beberapa teman di Torquay," kata Tommy.
"Oh, tidak. Dia makan malam di sini." Gadis itu
tertawa dan mukanya menjadi merah. "Saya ingat dia memakai baju yang amat
manis. Baju sifon berkembang-kembang model terbaru."
"Wah, gawat," kata Tommy setelah mereka berada di
kamar.
"Ya," sahut Tuppence. "Gadis itu bisa saja
keliru. Kita tanya pelayan saja waktu makan malam nanti. Pasti tak banyak tamu
datang musim begini."
Kali ini Tuppence-lah yang melakukan serangan.
"Apa kauingat, seorang teman saya datang kemari hari
Selasa?" tanyanya kepada pelayan dengan senyum yang amat manis.
"Namanya Nona Drake, berbaju kembang-kembang." Kemudian dia
mengeluarkan fotonya. "Ini dia."
Pelayan itu tersenyum karena mengenali foto itu.
252
"Ya, ya. Nona Drake. Saya ingat sekali. Dia bilang dari
Australia."
"Dia makan malam di sini?"
"Ya. Hari Selasa lalu. Dia menanyakan apa ada hal-hal
menarik di kota."
"Lalu?"
"Saya beritahu ada Teater Pavilion. Tapi akhirnya dia
tidak jadi pergi. Duduk-duduk saja di sini mendengarkan musik."
"Sialan," gumam Tommy.
"Kau ingat jam berapa dia makan malam?" kata
Tuppence.
"Agak malam. Kira-kira jam delapan."
"Gila, konyol, sialan," kata Tuppence setelah dia
dan Tommy meninggalkan ruang makan. 'Tom, semuanya nggak beres. Padahal
mula-mula kelihatan jelas dan indah."
"Ya, aku rasa kita harusnya sudah bisa menduga
sebelumnya, bahwa persoalannya tak segampang yang kita omongkan."
"Apa ada kereta yang ke London setelah jam itu?"
'Tak ada yang bisa membawanya ke London tepat pada waktunya
untuk makan di Savoy."
"Baik. Aku akan bicara dengan pelayan kamar. Ini
harapan terakhir," kata Tuppence. "Kamar Una Drake ada di lantai yang
sama dengan kamar kita."
Pelayan kamar itu adalah seorang wanita yang informatif. Ya,
dia ingat Nona Drake. Ya, itu
253
fotonya. Gadis yang amat manis, ramah dan ceria. Dia cerita
banyak tentang Australia dan kanguru.
Gadis itu membunyikan bel kira-kira jam setengah sepuluh,
minta agar botolnya diisi dan diletakkan di tempat tidurnya. Dia juga minta
'dibangunkan jam tujuh tiga puluh besok paginya—dan disediakan kopi, bukan teh.
Dan kau membangunkan dia,dan dia masih di tempat
tidur?" kata Tuppence.
Pelayan itu memandangnya heran.
"Ya—tentu saja, Nyonya."
"Oh, barangkali saja dia berolahraga atau melakukan
sesuatu," kata Tuppence mencari-cari alasan. "Banyak orang
yang'melakukannya pagi-pagi sekali."
"Wah, benar-benar kuat alibinya," kata Tommy
setelah pelayan itu pergi. "Hanya ada satu konklusi Kalau begitu. Pasti
cerita London itu yang palsu."
'Tuan le Marchant ternyata pembohong kelas satu," kata
Tuppence.
"Kita bisa mengecek omongannya," kata Tommy.
"Dia bilang mereka duduk di dekat pasangan yang kenal Una. Siapa
namanya—Oglander? Ya. itu namanya. Dan kita harus mengecek apartemen Una di
Oarges Street."
Besok paginya mereka membayar kamar hotel dan berangkat ke
London dengan agak putus asa.
Mencari pasangan Oglander dengan bantuan buku telepon
tidaklah sulit Kali itu Tuppence yang membuka serangan dan berpura-pura men-
254
jadi wartawan. Dia mendatangi Nyonya Oglander dan menanyakan
tentang pesta makan malam mereka yang "menarik" di Savoy pada hari
Selasa. Dengan senang hati Nyonya itu menceritakan apa yang ditanyakan
Tuppence. Ketika dia selesai dengan wawancaranya dan bersiap pergi, sambil lalu
Tuppence bertanya. "Sebentar, kalau nggak salah Nona Una Drake duduk dekat
Anda, ya? Apa benar dia bertunangan dengan Duke of Perth? Anda pasti kenal dia,
kan?"
"Saya hanya tahu sedikit tentang dia," jawab
Nyonya Oglander. "Seorang gadis yang menarik. Ya, dia duduk dekat kami,
dengan Tuan le Marchant. Saya kira anak-anak saya lebih kenal dia daripada
saya."
Kunjungan Tuppence berikutnya adalah apartemen di Oarges
Street. Dia disambut oleh Nona Marjorie Leicester, teman seapartemen Nona
Drake.
"Ada apa sih, sebenarnya?" tanya gadis itu dengan
sedih. "Si Una punya mainan dan saya tak tahu apa-apa. Tentu saja dia
tidur di sini hari Selasa itu."
"Anda lihat dia waktu datang?"
'Tidak, saya sudah tidur. Tapi dia memang punya kunci
sendiri. Dia datang kira-kira jam satu malam, saya rasa."
"Kapan Anda melihatnya?"
"Oh, kira-kira jam sembilan atau—sepuluh, esok
paginya."
Ketika meninggalkan apartemen itu, Tuppence
255
hampir bertabrakan dengan seorang wanita jangkung yang akan
masuk ke apartemen.
"Maaf, Nona," kata wanita bermuka muram itu.
"Kau kerja di sini?" tanya Tuppence. "Ya,
Non, tiap hari," katanya. "Jam berapa kau biasa datang?"jam
sembilan, Non."
Tuppence menyelipkan selembar uang ke tangan wanita itu
dengan cepat.
"Apa Nona Drake ada di sini hari Selasa pagi ketika kau
datang?"
"Ya. Dia masih tidur nyenyak waktu saya masuk membawa
tehnya."
'Terima kasih," kata Tuppence, lalu menuruni tangga
dengan cepat.
Dia berjanji untuk bertemu dengan Tommy di sebuah restoran
kecil di Soho untuk membandingkan catatan mereka.
"Aku ketemu si Rice itu. Dia memang melihat Una di
Torquay."
"Oke. Kita sudah mengecek alibi itu. Pinjam pensil,
Tom. Kita tulis semua dengan rapi seperti detektif-detektif lain."
1.30 Una Drake terlihat di gerbong makan
kereta api." 4.00 Tiba di Castle Hotel. 5.00 Terlihat
oleh Tuan Rice. 8.00 Terlihat makan malam di hotel. 9.30 Minta botol air panas.
256
11.30 Terlihat di Savoy dengan Tuan
le Marchant. 7.30 pagi, dibangunkan pelayan
Castle Hotel. 9.00 pagi, dibangunkan pembantu di
Oarges Street.
Mereka saling berpandangan.
"Wah, kelihatannya Blunf s Brilliant Detectives sudah
keok," kata Tommy.
"Oh, kita tak boleh menyerah," kata Tuppence.
"Pasti ada yang berbohong."
"Anehnya, aku merasa bahwa tidak ada yang bohong.
Mereka kelihatannya jujur dan bicara seadanya."
'Tapi pasti ada yang tidak benar. Pasti. Aku berpikir
tentang penggunaan pesawat pribadi. Tapi kok nggak ada hasil apa-apa, ya."
"Aku lebih cenderung percaya pada adanya badan
halus."
"Hm, jalan satu-satunya ialah tidur dengan pikiran
itu," kata Tuppence. "Otak bawah sadar kita kan bekerja pada waktu
kita tidur."
"Hm," kata Tommy. "Aku akan angkat topi kalau
otak bawah sadarmu memberikan jawaban yang tepat untuk teka-teki ini."
Mereka tak banyak bicara malam itu. Tuppence berulang-ulang
membolak-balik kertas. Dia menulis sesuatu pada kertas kecil-kecil. Dia
bergumam sendiri. Dan dia memandang buku Petunjuk Kereta dengan pikiran penuh.
Tapi akhirnya
257
mereka berdiri dan masuk kamar tidur tanpa berhasil
memecahkan masalah.
"Ini benar-benar membuat orang kecil hati," kata
Tommy.
"Salah satu malam yang tidak menyenangkan dalam
hidupku," kata Tuppence.
"Seharusnya kita pergi ke gedung pertunjukan
saja," kata Tommy. "Lawakan tentang ibu mertua, saudara kembar, dan
beberapa botol bir akan meringankan kita."
'Tidak, kau akan lihat bahwa konsentrasi ini akan memberikan
hasil," kata Tuppence. "Otak bawah sadar kita pasti akan sibuk dalam
delapan jam kemudian!" Dengan harapan ini mereka pun tidur.
"Hei," kata Tommy besok paginya. "Apa otak
bawah sadarmu sudah bekerja?"
"Aku punya sebuah ide," jawab Tuppence.
"Begitu. Ide apa itu?"
"Idenya agak lucu. Sama sekali tidak seperti apa yang
pernah kubaca di buku-buku detektif. Sebenarnya ide ini datang darimu
"Kalau begitu pasti bagus," kata Tommy serius.
"Ayo, Tuppence, katakan."
"Aku harus mengirim telegram untuk mengecek ide
itu," kata Tuppence. "Aku tak akan mengatakannya padamu. Ide ini
aneh, tapi paling cocok dengan fakta-fakta yang kita hadapi."
"Baik," kata Tommy. "Aku ke kantor saja. Aku
tak boleh mengecewakan klien yang sudah ber-
258
desak-desakan menunggu. Aku serahkan kasus ini ke tangan
bawahanku yang amat brilian."
Tuppence mengangguk gembira.
Seharian Tuppence tidak muncul di kantor. Ketika Tommy
pulang kira-kira jam setengah enam sore, dia mendapatkan Tuppence yang gelisah
menunggunya.
"Aku sudah membereskannya, Tom. Aku sudah menemukan
jawaban misteri alibi itu. Kita bisa minta ganti segala biaya pengeluaran untuk
penyelidikan itu pada Tuan Montgomery Jones dan dia bisa menjemput
gadisnya."
"Apa jawabannya?" tanya Tommy.
"Sangat sederhana," kata Tuppence.
"Kembar."
"Kembar? Apa maksudmu?"
"Ya itu. Tentu saja jawabnya itu. Kau yang memberi ide
padaku. Kau bicara tentang lawakan ibu mertua, saudara kembar, dan botol bir.
Aku menelegram ke Australia dan mendapat jawaban yang kuinginkan. Una punya
saudara kembar. Vera. Dia tiba di Inggris hari Senin lalu. Karena itu dia bisa
membuat taruhan seperti itu. Dia pikir Montgomery Jones akan kelabakan.
Saudaranya pergi ke Torquay dan dia sendiri tinggal di London."
"Apakah dia akan sedih kalau kalah?" tanya Tommy.
'Tidak," kata Tuppence. "Aku rasa tidak. Aku telah
memberitahu kamu sebelumnya. Dia akan menghormati Montgomery Jones. Aku selalu
berpendapat bahwa rasa hormat pada kemampuan
259
suami merupakan dasar kehidupan berumah tangga."
"Aku gembira bisa memberimu inspirasi itu."
"Ini bukan jawaban yang memuaskan," kata Tuppence.
"Karena caranya tidak sehebat yang dilakukan Inspektur French."
"Omong kosong," kata Tommy. "Aku rasa caraku
menunjukkan foto-foto itu kepada pelayan restoran sama seperti yang dilakukan
Inspektur French."
"Kelihatannya dia tidak terlalu banyak memberi tip
seperti yang kita lakukan," kata Tuppence.
'Tak apa," kata Tommy. "Kita bisa memasukkannya
dalam biaya yang akan kita ajukan pada Tuan Jones. Dia pasti akan gembira
sekali dan tak peduli berapa besar pun biaya yang harus dibayar."
"Harusnya begitu," kata Tuppence. "Bukankah
Blunt's Brilliant Detectives sudah berhasil? Oh, Tom, aku rasa kita memang
benar-benar brilian. Kadang-kadang aku kuatir, tahu?"
"Kasus berikutnya adalah kasus Roger Shering-ham,dan
kau jadi Roger Sheringham, Tuppence."
"Aku harus banyak omong kalau begitu," kata
Tuppence.
"Kau sudah melakukannya dengan luwes," kata Tommy.
"Sekarang kita pergi saja ke gedung pertunjukan, di
mana banyak lawakan tentang ibu mertua, botol bir, dan saudara kembar."
260
20. Putri Pak Pendeta
"Aku ingin kita bertemu dengan putri seorang
pendeta," kata Tuppence. "Kenapa?" tanya Tommy.
"Kau barangkah sudah lupa. Aku kan putri seorang
pendeta. Aku ingat bagaimana rasanya. Dari situlah timbul dorongan untuk
mencari kebenaran—pikiran yang tidak egois, yang memikirkan orang lain,
yang..."
"Kelihatannya kau sudah bersiap-siap menjadi Roger
Sheringham," kata Tommy. "Kalau aku boleh berkomentar, kau memang
sudah banyak bicara seperti dia. Cuma tidak sebagus dia."
"Justru sebaliknya," kata Tuppence. "Cara
bicaramu memang lain. Karena ada keluwesan yang khas wanita dalam percakapan,
suatu je ne sais quoi yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Dan lagi, aku punya
kekuatan yang tak diketahui oleh prototipeku—ah, apakah yang kumaksud
prototipe? Kata-kata memang tak pernah pasti. Mereka bisa terdengar bagus tapi
mempunyai arti sebaliknya dari yang kita maksud."
261
"Lanjutkan," kata Tommy berbaik hati.
"Aku hanya—hanya berhenti untuk mengambil napas. Dengan
menyentuh kekuatan itu—hari ini aku ingin membantu putri seorang pendeta. Kau
akan lihat, Tom, bahwa orang pertama yang minta bantuan Blunf s Brilliant
Detectives adalah putri seorang pendeta."
"Aku taruhan, pasti bukan," kata Tommy.
"Oke. Setuju," kata Tuppence. "Sssst! Kembali
ke mesin tik. Oh! Dia datang!"
Kantor Tuan Blunt tiba-tiba saja sibuk dengan ketukan mesin
tik. Albert mengetuk pintu dan memberitahu,
"Nona Monica Deane."
Seorang gadis langsing berambut coklat dan berpakaian kumal
masuk dengan ragu-ragu. Tommy datang mendekat.
"Selamat pagi, Nona Deane. Silakan duduk. Apa yang bisa
kami lakukan untuk Anda? Sebentar, saya kenalkan dulu Anda dengan sekretaris
pribadi saya, Nona Sheringham."
"Senang berkenalan dengan Anda, Nona Deane," kata
Tuppence. "Ayah Anda bekerja untuk gereja?"
"Oh, ya. Bagaimana Anda bisa tahu?"
"Oh! Kami punya cara," kata Tuppence. "Jangan
kuatir kalau saya cerewet. Tuan Blunt senang mendengar saya bicara. Katanya itu
memberi inspirasi padanya."
Gadis itu memandang Tuppence. Tubuhnya langsing, tidak
terlalu cantik, tapi cukup manis.
262
Rambutnya coklat lembut, matanya amat biru dan indah,
walaupun saat itu kelihatan kuatir.
"Anda bersedia bercerita pada kami, Nona Deane?"
kata Tommy.
Gadis itu berpaling kepadanya dengan rasa terima kasih.
"Ceritanya panjang dan tidak keruan," kata gadis
itu. "Nama saya Monica Deane. Ayah saya pendeta di Little Hampsley,
Suffolk. Dia meninggal tiga tahun yang lalu, meninggalkan Ibu dan saya dalam
keadaan kekurangan. Lalu saya keluar, bekerja sebagai guru privat. Tapi Ibu
sakit dan menjadi invalid. Saya terpaksa pulang untuk menjagainya. Kami
benar-benar miskin. Tapi pada suatu hari kami menerima surat seorang pengacara
yang mengatakan bahwa saya menerima warisan dari bibi ayah saya—jadi nenek saya
juga—yang meninggal. Saya sering mendengar cerita tentang Nenek, yang sering
bertengkar dengan Ayah sewaktu masih hidup, dan saya pun tahu bahwa dia amat
kaya. Jadi saya merasa bahwa kesulitan kami akan selesai. Tapi rupanya keadaan
tidak sebaik yang kami harapkan. Saya menerima warisan rumah yang dia tinggali.
Tapi setelah membayar pajak warisan itu, ternyata tak ada lagi uang tersisa.
Saya berpikir barangkali Nenek kehilangan uang pada waktu perang, atau dia hidup
dengan uang tabungannya. Walaupun begitu kami masih memiliki rumah itu, dan
bisa kami jual dengan harga yang cukup tinggi. Anehnya, saya menolak penawaran
seseorang yang
263
ingin membeli rumah ku. Kami mengontrak rumah kecil tetapi
mahal. Jadi saya pikir lebih baik kami tinggal di rumah Nenek supaya Ibu juga
enak. Lalu kami bisa menyewakan beberapa kamar untuk biaya hidup.
"Saya berpegang teguh pada rencana ini dan tidak
mempedulikan seorang calon pembeli yang mengajukan harga yang amat menggiurkan.
Kami pindah dan saya mengiklankan kamar-kamar yang akan kami sewakan. Sesaat
semua berjalan lancar. Beberapa orang berminat pada tawaran kami. Bekas
pembantu Nenek yang sudah tua tetap tinggal bersama kami dan dia membantu saya
membereskan rumah. Kemudian terjadilah hal yang tidak kami sangka."
"Kejadian apa?"
"Kejadian yang amat aneh. Segalanya seperti kena sihir.
Gambar-gambar jatuh, peralatan dapur terbang dan pecah. Pada suatu pagi, kami
bangun dan menemukan semua perabot berpindah tempat. Mula-mula kami mengira ada
orang yang main-main. Tapi kami terpaksa menyingkirkan perkiraan tersebut.
Kadang-kadang, ketika kami sedang makan malam, terdengar suara ribut di atas.
Kami naik ke atas. Tak seorang pun ada di sana, tapi ada sebuah perabot
terbanting keras."
"Poltergeist" seru Tuppence penuh perhatian.
"Ya, itu yang dikatakan Dr. O'Neil—walaupun saya tidak
tahu apa artinya."
"Itu seperti makhluk halus yang suka main-main,"
jelas Tuppence yang sebenarnya juga tak
264
terlalu tahu tentang hal itu, bahkan kata poltergeist pun
dia tak yakin benar.
"Ya—pendeknya akibatnya buruk. Tamu-tamu kami menjadi
ketakutan, dan mereka pindah secepat mungkin. Tamu-tamu baru datang, tapi
cepat-cepat pergi pula. Saya putus asa—dan pendapatan kami yang tak seberapa
pun berkurang— usaha itu gagal."
"Kasihan," kata Tuppence dengan penuh simpati.
"Pasti mengesalkan. Apa Anda ingin agar Tuan Blunt membereskan urusan
setan itu?"
"Begini. Tiga hari yang lalu ada seorang tamu datang.
Namanya Dr. O'Neill. Dia mengatakan bahwa dia adalah anggota Kelompok Riset
Fisik, dan dia mendengar tentang hal-hal aneh di rumah kami. Dia begitu
tertarik sehingga bersedia membeli rumah kami untuk mengadakan serentetan
eksperimen."
"Lalu?"
'Tentu saja pertama-tama saya menjadi amat gembira.
Kelihatannya hal itu memberi jalan keluar pada kesulitan kami. Tapi..."
"Ya?"
"Barangkali Anda menganggap saya suka mengada-ada.
Barangkali juga memang demikian. Tapi—oh! Saya yakin bahwa saya tidak keliru.
Dia adalah lelaki yang sama!"
"Lelaki yang mana?"
"Lelaki yang ingin membeli rumah itu sebelumnya. Oh!
Saya yakin saya tidak keliru." 'Tapi kenapa?"
265
"Anda tidak mengerti? Kedua laki-laki itu beda, beda
namanya dan segalanya. Laki-laki pertama adalah seorang muda dalam usia tiga
puluhan, berkulit kehitaman. Dr. O'Neill berumur lima puluhan dengan jenggot
abu-abu, berkacamata dan agak bongkok. Tapi ketika bicara, saya melihat sebuah
gigi emas di satu sisi mulurnya. Gigi itu kelihatan kalau dia tertawa.
Laki-laki muda itu juga punya gigi emas di posisi yang sama. Lalu saya
memperhatikan telinganya. Saya teringat telinga lelaki muda itu karena
bentuknya yang aneh. Hampir tidak ada cuping telinganya. Dan telinga Dr.
O'Neill pun sama. Ini tak mungkin suatu kebetulan, kan? Saya berpikir dan
berpikir, dan akhirnya saya tulis surat akan memberitahu seminggu kemudian.
Saya pernah membaca iklan Tuan Blunt beberapa waktu yang lalu—di koran yang
kami pakai untuk alas laci dapur kami. Saya gunting iklan itu dan pergi ke
kota."
"Anda benar," kata Tuppence sambil menganggukkan
kepala kuat-kuat. "Ini perlu dicek."
"Kasus yang amat menarik, Nona Deane," kata Tommy.
"Kami dengan senang hati akan membantu Anda. Bukan begitu, Nona
Sheringham?"
"Benar," kata Tuppence. "Akan kami selidiki
sampai ke akar-akarnya."
"Kalau tak salah, isi rumah itu adalah Anda, ibu Anda,
dan pembantu itu. Bisa Anda berikan informasi tentang pembantu Anda, Nona
Deane?"
"Namanya Crockett. Dia ikut Nenek delapan
266
atau sepuluh tahun yang lalu. Dia sudah tua. Sikapnya tidak
terlalu menyenangkan, tapi dia adalah pembantu yang baik. Dia memang agak
sombong karena saudara perempuannya menikah dengan kalangan atas. Dia punya
kemenakan laki-laki yang selalu dia ceritakan sebagai terpelajar'
"Hm," kata Tommy yang tidak tahu mau berkata apa.
Tuppence rupanya telah memperhatikan Monica baik-baik. Dia
kemudian bicara dengan tegas.
"Saya rasa sebaiknya Nona Deane makan siang dulu
bersama saya. Sekarang sudah jam satu. Saya bisa mendapat keterangan yang lebih
rinci nanti."
Tentu, Nona Sheringham," kata Tommy. "Rencana yang
bagus."
"Begini," kata Tuppence ketika mereka sudah duduk
di tempat yang cukup nyaman di restoran yang tak jauh dari kantor, "saya
ingin tahu, apa Anda punya alasan tertentu untuk penyelidikan kasus ini?"
Muka Monica menjadi merah.
"Mm—begini..."
'Terus terang saja," kata Tuppence mendorong.
"Mm—ada dua orang pria yang—yang—ingin menikahi
saya."
"Cerita yang biasa, kan? Yang satu kaya, lainnya
miskin, dan Anda suka yang miskin?"
"Saya tak mengerti bagaimana Anda bisa tahu hal
ini," gumam gadis itu.
267
"Itu adalah hukum alam," jelas Tuppence. 'Terjadi
pada setiap orang. Juga pada saya."Kalaupun saya jual rumah itu, uangnya
tak akan cukup untuk menghidupi kami. Gerald sangat baik, tapi dia sangat
miskin—walaupun dia insinyur yang cerdas. Kalau dia punya sedikit modal,
perusahaan bersedia menjadi partnernya. Yang lain, Tuan Partridge, adalah
seorang pria yang baik hati—dan kaya. Kalau saya menikah dengan dia, kami tak
akan kesulitan. Tapi— tapi..."
"Saya mengerti," kata Tuppence simpatik. 'Tidak
akan sama. Kita bisa membujuk diri sendiri dengan selalu mengatakan, 'Betapa
baik dan berartinya dia sambil terus menambah kebaikan-kebaikan lainnya—tapi
semua itu terasa hambar."
Monica mengangguk.
"Saya rasa kami sebaiknya datang ke sana," kata
Tuppence, "dan mempelajari semua di tempat. Di mana alamatnya?"
"Red House, Stourton, Marsh."
Tuppence mencatat alamat itu di bukunya.
"Saya belum tanya—tentang biaya pada Anda," kata
Monica dengan agak malu.
"Biaya kami hanya berdasarkan hasil," kata
Tuppence menenangkan. "Kalau rahasia Red House memberi suatu keuntungan,
yang kelihatannya memang begitu kalau diingat keinginan yang menggebu untuk
memiliki rumah itu, kami hanya mengharapkan persentase kecil. Kalau tidak—tak
apa-apa!"
268
'Terima kasih banyak," kata gadis itu dengan rasa terima
kasih.
"Jangan kuatir," kata Tuppence. "Semuanya
akan beres. Sekarang sebaiknya kita makan dan bicara tentang hal-hal yang
menarik."
269
21. Red House
"Nah, kita sudah ada di Lubang Kodok atau apa pun
namanya desa ini," kata Tommy sambil melihat ke luar dari jendela Crown
and Anchor.
"Coba kita kaji kasus ini," kata Tuppence.
"Boleh, boleh," jawab Tommy. "Aku dulu ya
yang komentar. Aku curiga pada ibunya yang invalid itu!"
"Kenapa?"
"Ingatlah kata poltergeist itu. Pasti ulah seseorang
yang ingin agar gadis itu menjual rumahnya, pasti ada orang yang melempar
barang-. barang itu. Gadis itu cerita bahwa keributan terjadi pada waktu makan
malam. Berarti semua ada di ruang makan kecuali ibunya. Dia pasti di kamarnya,
di atas."
"Kalau dia seorang invalid, dia tak akan bisa melempar
perabot."
"Kalau begitu dia bukan invalid betul n Pura-pura
saja."
"Kenapa?"
"Ya—karena aku mau mempraktekkan cara di
270
mana kita perlu mencurigai orang yang sama sekali tidak kita
curigai."
"Kau selalu main-main," kata Tuppence serius.
"Pasti ada sesuatu yang membuat orang itu ngotot mau membeli rumah itu.
Dan kalau kau tidak tertarik menyelidiki kasus ini, aku yang akan
menyelidikinya. Gadis itu baik."
Tommy mengangguk dengan serius.
"Aku setuju," katanya. 'Tapi rasanya nggak enak
kalau nggak ngeledek kamu. Tentu saja ada yang aneh dengan rumah itu. Dan apa
pun penyebabnya, pasti merupakan sesuatu yang sulit didapat. Kalau tidak,
pencurian saja sudah cukup. Tapi untuk bersedia membeli rumah itu, berarti dia
harus membongkar lantai atau menjebol tembok, atau barangkali ada tambang
batubara di halaman belakang!"
"Aku tidak suka tambang batubara. Harta karun terpendam
rasanya lebih romantis."
"Hm, kalau begitu aku perlu berkunjung ke manajer bank
setempat. Aku akan cerita bahwa aku menginap di tempat ini sampai Natal, dan
barangkali berniat membeli Red House. Aku akan pura- pura membuka
rekening."
"Untuk apa...?Tunggu saja."
Tommy kembali setengah jam kemudian. Matanya bersinar.
"Ada kemajuan, Tuppence. Interview-nya berkisar pada soal
tadi. Secara sambil lalu aku tanya apakah dia menerima banyak pembayaran de
ngan emas. Kan bank-bank desa kecil sekarang banyak yang
begitu. Karena banyak petani-petani kecil yang menyimpan emas waktu perang.
Dari situ kita berpindah bicara tentang kebiasaan-kebiasaan aneh wanita tua.
Aku mengarang cerita tentang seorang bibi yang pada waktu pecah perang,
langsung masuk toko-toko dengan sebuah mobil dan kembali pulang membawa enam
belas ham. Dia langsung cerita tentang seorang kliennya yang menarik seluruh
uangnya dalam bentuk emas, juga surat-surat berharga miliknya untuk disimpan
sendiri Aku bilang itu perbuatan tolol, dan dia secara sambil lalu mengatakan
bahwa orang itu adalah pemilik Red House yang dulu. Nah, kau lihat? Wanita itu
menarik semua uangnya dan menyembunyikannya di suatu tempat. Kau ingat, Monica
Deane bilang bahwa mereka heran dengan peninggalan uang yang begitu sedikit?
Ya, dia menyimpan hartanya itu di rumahnya dan ada yang tahu tentang hal itu.
Dan aku bisa menebak orangnya." "Siapa?"
"Bagaimana dengan Crockett yang setia? Dia pasti tahu
tentang kebiasaan-kebiasaan majikannya."
"Dan Dr. O'Neill yang bergigi emas?"
"Tentu saja keponakannya yang terpelajar itu! Tapi di
mana kira-kira dia menyimpan uangnya? Kau tahu lebih baik tentang wanita-wanita
tua daripadaku, Tuppence. Di mana biasanya mereka menyembunyikan barang
mereka?"
272
"Di bawah kasur, dibungkus stocking dan baju
dalam." Tommy mengangguk.
"Aku rasa kau benar. Tapi dia tidak melakukan itu
karena barang-barang itu pasti ketemu kalau ada orang yang membongkar-bongkar.
Ini membuatku kuatir. Wanita tua seperti dia pasti tidak bisa menggali lubang
di tanah atau di lantai. Yang jelas harta itu ada di Red House. Crockett belum
menemukannya. Tapi kalau dia sudah bisa membeli rumah itu, dia dan keponakannya
yang terpelajar itu pasti akan membongkar dan mengaduk-aduk rumah itu sampai
ketemu. Kita harus bisa mendahului mereka. Ayo, kita ke sana saja."
Monica Deane menyambut mereka. Dia memperkenalkan mereka
pada ibunya dan Crockett sebagai calon pembeli rumah, dan mereka pun dibawa
berkeliling. Tommy tidak menjelaskan pada -Monica tentang kesimpulannya, tapi
dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menyelidik. Tentang baju-baju dan
barang-barang pribadi milik almarhumah. Beberapa diberikan pada Crockett, dan
sebagian diberikan pada keluarga-keluarga miskin. Semua telah dilihat dan
diperiksa.
"Apa dia meninggalkan surat-surat?"
"Mejanya penuh. Juga sebuah laci di kamarnya.Tapi
kelihatannya tidak ada yang penting."
"Apa sudah dibuang?"
"Belum. Ibu tidak suka membuang kertas-kertas tua. Ada
beberapa resep kuno yang masih dia simpan dan ingin dia coba nanti."
273
"Bagus," kata Tommy. Dia kemudian menunjuk seorang
tukang kebun tua yang sedang bekerja. "Apa tukang kebun itu juga bekerja
di sini waktu Nenek Anda masih ada?"
'Ya. Dia biasa datang tiga -hari seminggu. Dia tinggal di
desa. Kasihan. Sebetulnya sudah terlalu tua untuk bisa bekerja dengan baik.
Sekarang dia kemari seminggu sekali untuk merapikan tanaman. Kami tidak kuat
membayar."
Tommy mengedipkan mata pada Tuppence, memberi isyarat agar
dia menemani Monica. Dia sendiri kemudian mendekati tukang kebun itu. Dia
menyapanya dengan ramah, lalu bertanya apakah dia sudah bekerja di situ waktu
pemilik rumah masih ada, dan bertanya sambil lalu,
"Kau pernah mengubur sebuah kotak untuknya, kan?"
"Ah tidak, tak pernah. Untuk apa?"
Tommy menggelengkan kepala. Dia berharap akan mendapat suatu
petunjuk dari kertas-kertas tua yang ditinggalkan wanita itu. Kalau tidak—
jalan keluarnya pasti sulit. Rumah itu sendiri memang rumah kuno. Tapi tidak
cukup kuno untuk menyembunyikan sebuah ruangan rahasia.
Sebelum pergi, Monica membawakan sebuah kotak besar dari
kardus yang diikat dengan tali,
"Saya sudah mengumpulkan kertas-kertas dan dokumen
Nenek," katanya berbisik. "Semua ada di sini. Anda bisa membawa dan
memeriksanya nanti—tapi saya yakin Anda tak akan menemu-
274
kan apa-apa yang bisa memberi petunjuk pada
kejadian-kejadian misterius di rumah ini..."
Kata-katanya terpotong oleh suara barang yang berdebam jatuh
di atas. Tommy cepat-cepat lari ke atas. Sebuah jambangan dan tempat air pecah
berantakan Tak seorang pun ada di situ.
"Setan itu main-main lagi," katanya sambil
meringis.
Dia turun lagi sambil berpikir.
"Apakah saya bisa bicara dengan Crockett sebentar, Nona
Deane?"
"Tentu. Biar saya suruh dia datang pada Anda."
Monica pergi ke dapur. Dia kembali dengan pembantu tua yang
membukakan pintu untuk mereka pagi tadi.
"Kami bermaksud membeli rumah ini," kata Tommy
ramah, "dan istri saya ingin tahu apakah kau juga mau tetap tinggal di
rumah ini bersama kami?"
Wajah Crockett tidak menunjukkan ekspresi apa-apa.
'Terima kasih. Tuan," katanya. "Akan saya pikir
dulu."
Tommy berpaling kepada Monica.
"Saya sudah cocok dengan rumah ini, Nona Deane. Saya
mengerti bahwa ada pihak lain yang juga berminat. Dan saya juga tahu penawaran
yang diberikan. Karena itu saya ingin menambahkan seratus pound lagi untuk
tawaran saya. Saya rasa harga itu cukup pantas untuk rumah ini."
275
Monica menggumamkan sesuatu yang tidak memastikan, dan suami
istri Beresford pun pergi.
"Aku tidak keliru," kata Tommy ketika mereka
berjalan keluar. "Crockett memang terlibat. Kaulihat napasnya
terengah-engah? Itu karena dia lari lewat tangga belakang setelah melemparkan
jam-bangan. Aku rasa dia diam-diam pernah membukakan pintu untuk keponakannya
itu dan melakukan tipuan-tipuan yang menakut-nakuti itu, sementara dia sendiri
ada di antara penghuni rumah lainnya. Dan aku berani bertaruh bahwa Dr. O'Neill
akan menaikkan tawarannya sebelum matahari tenggelam."
Memang benar. Setelah makan malam mereka menerima sebuah
nota dari Monica.
'Saya baru dapat kabar dari Dr. O'Neill. Dia menaikkan
tawaran 150 pound."
'Si keponakan itu pasti kaya," kata Tommy sambil
merenung. "Dan harga yang ditawarkannya itu pasti tidak main-main."
"Oh! Kalau saja kita bisa menemukannya!"
"Kalau begitu, kita harus kerja cepat."
Mereka mulai membongkar onggokan kertas-kertas lama yang
sama sekali tidak ditata itu. Setiap beberapa menit mereka saling mengecek
hasil operasi.
"Kau dapat apa, Tuppence?"
"Dua kuitansi, tiga surat tidak penting, resep untuk
menyimpan kentang baru dan satu lagi untuk membuat cake keju. Kau dapat
apa?"
"Satu kuitansi. Sajak musim semi. Dua gun-
276
ringan koran tentang:Mengapa Wanita Membeli Mutiara—Suatu
Investasi Bagus dan Lelaki dengan Empat Istri—Cerita Luar Biasa dan sebuah
resep untuk Jugged Hare."
"Ini menyedihkan," kata Tuppence. Lalu mereka
saling mengecek lagi. Akhirnya kotak itu pun kosong. Mereka saling
berpandangan.
"Aku menyisihkan ini," kata Tommy, sambil
menunjukkan setengah lembar kertas. "Karena kelihatan aneh. Tapi rasanya
tak ada hubungannya dengan apa yang kita cari."
"Coba lihat. Oh, ini kan salah satu pantun lucu itu.
Apa namanya? Anagram—ya." Dia "membacanya.
"Yang pertama di atas bara Dan ke dalamnya kaumasukkan
aku Yang kedua sebenarnya pertama Yang ketiga tak suka embusan salju."
"Hm," kata Tommy kritis. "Aku tak suka
sajaknya."
"Aku tak melihat hal yang aneh pada anagram ini,"
kata Tuppence. "Setiap orang punya koleksi seperti ini lima puluh tahun
yang lalu. Mereka menyimpannya untuk dibaca baca di depan perapian di musim
dingin."
"Bukan sajaknya yang kumaksud. Tapi kata-kata yang
tertulis di bawahnya itu yang aneh."
"Lukas XI. 9," kata Tuppence. "Sebuah
ayat."
"Ya. Bukankah aneh? Apakah seorang wanita
277
tua yang saleh akan menulis sebuah ayat di bawah anagram
seperti itu?"
"Ya, aneh," kata Tuppence sambil berpikir.
"Sebagai putri seorang pendeta, tentunya kau menyimpan
sebuah Alkitab."
"Benar. He, kau tidak mengira, kan? Sebentar."
Tuppence berjalan ke arah kopornya dan menarik sebuah buku
merah kecil. Dia kembali ke rmeja. Dia membuka halaman-halaman Alkitab dengan
cepat. "Ini dia. Lukas, pasal XI, ayat 9. Oh! Tommy, lihat."
Tommy membungkuk dan melihat bagian yang ditunjuk jari
Tuppence yang kecil.
"Carilah, maka kamu akan mendapat."
"Itu dia," seru Tuppence. "Kita sudah dapat!
Kita harus memecahkan cryptogram itu, dan harta itu menjadi milik kita—eh,
milik Monica."
"Baik. Kita kerjakan dulu cryptogram itu. 'Yang pertama
di atas bara Apa itu artinya? Lalu— Yang kedua sebenarnya pertama!' Ah, ini
aneh-aneh saja
"Sebenarnya sangat sederhana," kata Tuppence
dengan manis.Perlu ketrampilan saja. Coba lihat sebentar."
Dengan senang hati Tommy menyerahkannya. Tuppence
menyandarkan tubuhnya di kursi santai dan mulai berpikir, memutar otak, dan
mengerutkan alis.
"Sebenarnya sangat sederhana," gumam Tommy ketika
setengah jam telah lewat.
"Jangan berisik! Kita bukan generasi yang
278
cocok untuk hal-hal seperti ini. Aku punya rencana untuk
kembali ke kota besok dan mengunjungi seorang tua yang barangkah bisa
membacanya semudah orang mengejapkan mata "Kita coba lagi saja."
Tak banyak yang bisa ditaruh di atas bara," kata
Tuppence sambil merenung. "Ada air— untuk mematikannya, atau kayu, atau
ketel."
"Harus satu suku kata. Bagaimana dengan
wood—kayu?"
Tapi kau tidak bisa memasukkan apa-apa ke dalam kayu."
Tak ada kata-kata yang terdiri dari satu suku kata yang
cocok,kecuali water—air. Tapi pasti ada benda-benda satu suku kata yang bisa
dimasukkan ke dalam api. Benda semacam ketel."
"Penggorengan?" kata Tuppence."Pan? Pot? Kata
apa yang berawalan pan atau pot yang bisa dimasak?"
"Pottery—tembikar," kata Tommy. "Dibakar
dalam api. Cukup dekat, kan?"
"Yang lain nggak cocok. Pancake? Tidak. Oh!"
Percakapan mereka disela seorang pelayan yang memberitahu
bahwa makan malam akan siap beberapa menit lagi.
"Nyonya Lumley ingin tahu apakah Anda mau fried
potatoes atau boiled potatoes dengan kulitnya? Dia punya dua persediaan."
Yang direbus dengan kulitnya," kata Tuppence cepat. "Saya suka
potatoes..." Dia diam dengan mulut terbuka.
279
"Ada apa, Tuppence? Kau melihat hantu?"
'Tommy!" serunya. "Kau tidak tahu? Ya, itu!
Maksudku kata yang kita cari itu. Potatoes!Yang pertama di atas bara'itu adalah
pot.an ke dalamnya kaumasukkan aku Yang kedua sebenarnya pertama/ Itu huruf A
pertama dalam alfabet.Yang ketiga tak suka embusan salju'tentu saja ujung jari
kaki yang kedinginan—fogs!"
"Kau benar, Tuppence. Pandai kau. Tapi rasanya kita
membuang-buang waktu untuk hal yang tak ada gunanya. Potatoes—kentang—tak ada
hubungannya dengan harta yang hilang itu. Tunggu—tunggu. Apa yang kamu baca
tadi waktu kita membongkar kardus itu? Resep kentang baru? Barangkali ada
sesuatu di dalamnya."
Dia membalik-balik tumpukan resep.
"Ini dia. 'MENYIMPAN KENTANG BARU. Masukkan kentang
baru dalam kaleng dan tanam di kebun. Walaupun di tengah musim dingin akan
terasa seperti kentang yang baru dicabut!'
"Sudah dapat!" seru Tuppence. "Itu dia. Harta
itu ada di kebun, dimasukkan dalam kaleng."
'Tapi aku sudah tanya tukang kebun itu. Katanya dia tak
pernah menanam apa-apa."
"Ya, aku tahu. Tapi itu karena orang biasanya tidak
menjawab apa yang ditanyakan, tapi apa yang mereka pikir ditanyakan. Dia tahu
bahwa dia tidak pernah menanam sesuatu yang tidak biasa. Kita akan temui dia
besok dan tanya di mana dia menanam kentang itu."
Keesokan paginya adalah hari sebelum Natal.
280
Dengan bertanya ke sana kemari, mereka akhirnya menemukan
pondok tukang kebun. Setelah bercakap-cakap sebentar, Tuppence mengajukan pertanyaan.
"Rasanya saya ingin dapat kentang baru untuk
Natalan," katanya. "Enak kan, dimakan dengan kalkun? Apa orang sini
pernah menanam kentang dalam kaleng? Saya dengar cara itu membuat kentang jadi
tetap segar."
"Ah, ya," kata lelaki tua itu. "Bu Deane tua,
pemilik Red House, selalu menanam tiga kaleng kentang tiap musim panas dan
sering lupa menggalinya lagi!"
"Biasanya di rumpun dekat rumah, kan?"
'Tidak, dekat tembok, dekat pohon cemara."
Setelah mendapat informasi yang mereka perlukan, mereka pun
meninggalkan tip untuk lelaki tua itu, lalu pergi.
"Sekarang giliran Monica," kata Tommy.
'Tommy! Kau ini tak bisa bersikap dramatis. Biar aku yang
membereskan. Aku punya rencana bagus. Kaupikir kau bisa minta, atau pinjam,
atau mencuri sekop?"
Akhirnya mereka mendapat sebuah sekop. Dan tengah malam itu
dua bayangan manusia masuk halaman Red House dengan diam-diam. Tempat yang
ditunjukkan tukang kebun itu mudah ditemukan. Tommy pun mulai bekerja. Akhirnya
sekop itu membentur suatu metal, dan beberapa detik kemudian dia mendongkel
sebuah kaleng biskuit yang besar. Kaleng itu ditutup plester
281
berkeliling. Dengan bantuan pisau Tommy, Tuppence membuka
kaleng itu. Dia menarik napas panjang. Kaleng itu penuh kentang. Dia
mengeluarkan kentang itu sampai kalengnya kosong. Tak ada isi lainnya.
'Teruskan galianmu, Tommy."
Sesaat kemudian barulah kaleng kedua mereka temukan. Dan
sekali lagi Tuppence membuka kalengnya.
"Bagaimana?" tanya Tommy ingin tahu.
"Kentang lagi!"
"Sialan!" kata Tommy sambil menggali lagi.
"Yang ketiga pasti untung!" kata Tuppence menghibur.
"Aku rasa semua ini tipuan saja," kata Tommy geram
sambil melanjutkan menggali.
Akhirnya kaleng yang ketiga pun ditemukan.
"Kentang la..." kata Tuppence dan tiba-tiba
berhenti. "Oh, Tom! Ini yang kita cari. Kentang di bagian atas.
Lihat!"
Dia menunjukkan sebuah tas kuno besar terbuat dari beludru.
"Cepat kembali," teriak Tommy. "Sudah tambah
dingin. Bawa tas itu. Aku harus mengembalikan galian tanah ini. Dan awas—kau
akan kena kutuk, Tuppence, kalau tas itu sudah kaubuka sebelum aku
datang!"
"Aku akan main sportif. Huh—kaku rasanya."
Tuppence kembali dengan cepat.
Dia tak perlu menunggu Tommy terlalu lama
282
di penginapan. Tommy datang dengan keringat bercucuran
setelah menggali dan lari cepat.
"Sekarang," kata Tommy. "Agen penyelidik
privat sudah berhasil! Buka tas itu. Nyonya Beresford."
Di dalam tas itu ada sebuah paket terbungkus dengan sutera
minyak dan sebuah tas kulit kijang. Mereka membuka tas kulit itu. Tas itu penuh
dengan uang emas. Tommy menghitungnya.
"Dua ratus pound. Aku rasa hanya itulah yang bisa dia
dapat. Buka paket itu."
Tuppence memotongnya. Paket itu penuh dengan uang kertas.
Tommy dan Tuppence menghitungnya dengan hati-hati. Uang itu berjumlah dua puluh
ribu pound!
"Wah!" kata Tommy. "Untung ya Mohica, karena
kita kaya dan jujur. Apa itu yang dibungkus kertas tisu?"
Tuppence membuka bungkusan kecil dan mengeluarkan seuntai
mutiara yang amat indah.
"Aku tak tahu banyak tentang benda ini," kata
Tommy perlahan. 'Tapi aku yakin bahwa mutiara itu berharga sekurang-kurangnya
lima ribu pound. Lihat ukurannya. Sekarang aku mengerti kenapa dia menyimpan
guntingan koran tentang nilai investasi mutiara itu. Dia tahu betul tentang
kekayaannya dan menyimpannya dalam bentuk surat-surat berharga dan permata."
"Oh, Tommy! Luar biasa, ya? Si Monica itu. Ah, aku
gembira dan ikut bahagia. Sekarang dia bisa
283
menikah dengan pacarnya yang baik itu, dan hidup bahagia
seperti aku."
"Kau baik sekali. Jadi kau bahagia rupanya bersuami
aku?"
"Yaaa, begitulah," Jawab Tuppence.
"Sebetulnya aku tak bermaksud berkata begitu, tapi lidahku keseleo.
Maklum. Sedang merasa senang. Mana malam Natal, lagi...."
"Kalau kau benar-benar sayang padaku," kata Tommy,
"maukah kau menjawab satu pertanyaan?"
"Aku tidak suka jebakan-jebakan seperti ini. Tapi
bolehlah."
"Bagaimana kau tahu bahwa Monica anak pendeta?"
"Oh, itu sih tipuan," kata Tuppence gembira.
"Aku membuka suratnya—surat tentang janji bertemu denganmu. Aku ingat nama
Deane— dulu adalah pembantu Ayah. Dan dia punya seorarig anak bernama
Monica—empat atau lima tahun lebih muda dariku. Jadi mudah membuat
kesimpulan."
"Kau memang tak punya malu," kata Tommy.
"Hei, ini jam dua belas tepat. Selamat Natal, Tuppence."
"Selamat Natal, Tommy. Ini juga merupakan Natal yang
membahagiakan buat Monica—itu karena KITA. Aku gembira. Kasihan. Gadis itu
begitu bingung. Tahu enggak, Tom. Aku merasa terharu dan merinding kalau
memikirkan hal itu."
'Tuppence sayang," kata Tommy.
284
'Tommy sayang," kata Tuppence. "Kita kok jadi
sentimentil begini, sih?"
"Natal kan cuma sekali setahun," kata Tommy.
"Itu yang dikatakan nenek moyang kita. Dan aku rasa memang betul."
285
22. Sepatu Tuan Duta Besar
"Sahabatku, sahabatku," kata Tuppence sambil
melambai-lambaikan kue muffin bermentega tebal.
Tommy memandangnya sejenak, lalu dia menyeringai lebar
sambil tersenyum. "Kita harus hati-hati."
"Benar," kata Tuppence. "Aku adalah Dr.
Fortune yang terkenal itu dan kau Inspektur Bell."
"Kenapa kau mau jadi Reginald Fortune?"
"Nggak apa-apa. Cuma ingin yang banyak menteganya—sesuatu
yang mengasyikkan saja'."
"Itu memang sisi yang enak—atau menyenangkan,"
kata Tommy. 'Tapi ada yang sebaliknya'. Kau harus meneliti wajah-wajah yang
rusak dan mayat-mayat yang menyeramkan."
Tuppence menjawab dengan melempar sepucuk surat. Alis mata
Tommy berdiri.
"Randolph Wilmott, Duta Besar Amerika. Apa ya yang dia
perlukan?"
"Kita akan tahu besok pada jam sebelas."
Tepat pada waktu yang disebutkan, Tuan
286
Randolph Wilmott, Duta Besar Amerika untuk Inggris,
dipersilakan masuk ke ruang kerja Tuan Blunt. Dia membersihkan tenggorokannya
dan mulai bicara dengan penuh wibawa.
"Saya datang kepada Anda, Tuan Blunt—Anda adalah Tuan
Blunt, bukan?"
"Ya, betul," kata Tommy. "Saya Theodore
Blunt; pimpinan perusahaan ini."
"Saya memang lebih suka bicara langsung dengan para
pimpinan," kata Tuan Wilmott. "Biasanya lebih memuaskan. Begini, Tuan
Blunt, urusan ini membuat saya pusing. Saya merasa tak perlu merepotkan
Scotland Yard—mungkin ini kekeliruan yang sepele saja, tapi kelihatannya sulit
untuk mengerti kenapa bisa terjadi. Tidak ada tindak pidana di dalamnya, tapi
bagaimanapun juga, saya ingin tahu betul persoalannya. Saya bisa marah kalau
tidak mengerti ujung pangkal suatu persoalan."
"Tentu, saya mengerti," kata Tommy.
Tuan Wilmott melanjutkan ceritanya, pelan dan terinci.
Akhirnya Tommy bisa menyela.
"Hm, jadi begini," katanya. "Anda datang
naik' kapal Nomadic seminggu yang lalu. Ternyata tas Anda dan tas Tuan Ralph
Westerham yang berinisial sama dengan Anda, tertukar. Anda membawa tas Tuan
Westerham, dan dia membawa tas Anda. Tuan Westerham dengan cepat mengetahui
bahwa tasnya tertukar, dan dia pun mengirimkan tas Anda ke Kedutaan Amerika,
dan mengambil tasnya sendiri. Benar begitu?"
287
'Tepat sekali, kedua tas itu tentunya serupa. Apalagi kami
punya inisial yang sama—R.W. Tertukarnya tas itu sangat mudah dimengerti. Saya
sendiri tidak tahu hal itu sampai pelayan pribadi saya memberitahu—dan bahwa
Tuan Westerham—dia seorang senat6r, dan merupakan pribadi yang saya
kagumi—telah mengembalikan tas saya dan mengambil tasnya."
"Kalau begitu tak ada..."
Tunggu dulu. Itu hanya awal cerita. Kemarin, saya kebetulan
bertemu dengan Senator Westerham, dan saya pun menyebut-nyebut kejadian itu
sambil bercanda. Tapi saya jadi heran karena dia kelihatannya tidak mengerti
apa yang saya katakan. Ketika saya ceritakan, dia jadi heran. Dia tidak keliru
mengambil tas saya, bahkan mengatakan bahwa dia tidak mempunyai tas seperti
itu."
"Aneh sekati!"
'Tuan Blunt, hal itu memang aneh. Kelihatannya tak ada
alasan apa-apa di dalamnya. Kalau toh ada orang yang mau mencuri tas saya, dia
bisa mengambilnya begitu saja tanpa perlu menukar-nukar tas itu! Dan tas itu
pun tidak dicuri, karena segera dikembalikan pada saya. Sebaliknya, kalau tas
itu memang salah ambil, kenapa pakai membawa-bawa nama Senator Westerham? Ini
urusan gila—tapi saya benar-benar ingin tahu duduk persoalannya. Saya harap
kasus ini tidak terlalu sepele bagi Anda untuk Anda selidiki?"
"Sama sekali tidak. Kasus ini merupakan sebti-
288
ah soal kecil yang menantang. Walaupun, seperti kata Anda,
mungkin sederhana saja penjelasannya. Pertama-tama tentunya adalah alasan penu-
rannya—kalau toh ini kasus salah ambil. Anda katakan tadi
tak ada yang hilang waktu tas itu dikembalikan?"
"Pelayan saya bilang tidak. Dia pasti tahu kalau ada
yang hilang."
"Kalau saya boleh tahu, apa yang ada dalam tas
itu?"
"Sepatu."
"Sepatu," ulang Tommy seperti kehilangan harapan.
"Ya," kata Tuan Wilmott. "Sepatu. Aneh,
kan?"
"Maafkan saya atas pertanyaan saya," kata Tommy.
"Anda tidak membawa kertas-kertas rahasia atau semacamnya yang tersimpan
di lapisan sepatu atau tumit sepatu?"
Pak Duta Besar kelihatan geli mendengar pertanyaan itu.
"Diplomasi rahasia belum sejauh itu, saya rasa."
"Hanya dalam fiksi," kata Tommy sambil tersenyum
dan bersikap meminta maaf. 'Tapi, bagaimanapun juga kita harus memperhitungkan
kemungkinan-kemungkinan itu. Siapa yang datang mengambil tas itu—maksud saya
tas yang keliru Anda bawa?"
"Saya kira salah seorang pelayan Westerham. Orang biasa
saja. Pelayan saya tidak melihat kejanggalan apa pun."
"Apakah tas itu sudah dibuka pelayan Anda?"
289
"Saya tak tahu. Rasanya belum. Barangkali Anda ingin
menanyai pelayan saya? Dia akan bisa menjawab pertanyaan Anda dengan lebih
baik."
"Saya rasa itu rencana yang bagus, Tuan Wilmott"
Duta besar itu menuliskan sesuatu di kartu dan memberikannya
kepada Tommy.
"Saya rasa Anda lebih suka datang ke Kedutaan dan
menginterview dia di sana, bukan? Kalau tidak, saya akan suruh dia—namanya
Richards— ke sini."
'Tidak, terima kasih, Tuan Wilmott. Saya yang akan ke
Kedutaan."
Duta Besar itu berdiri sambil melirik jam tangannya.
"Wah, cepat amat. Saya ada janji. Terima kasih, Tuan
Blunt. Saya serahkan persolan ini kepada Anda."
Dia cepat-cepat pergi. Tommy memandang Tuppence yang selama
ini berperan sebagai Nona Robinson yang efisien.
"Apa pendapatmu, Tuppence?" tanyanya. "Kau
melihat alasan yang mendasari terjadinya kasus itu?"
"Sama sekali tidak," kata Tuppence dengan riang.
"Baiklah. Itu menunjukkan bahwa ada sesuatu yang
benar-benar misterius di baliknya." "Kaupikir begitu?"
'Itu merupakan hipotesa yang bisa diterima secara umum.
Ingat Sherlock Holmes dan seberapa
290
dalam mentega itu masuk ke dalam peterseli— maksudku, yang
sebaliknya. Aku benar-benar ingin tahu kasus itu. Barangkali Watson akan
menggalinya dari buku catatan. Kalau begitu aku bisa mati bahagia. Tapi kita
harus kerja."
"Betul," kata Tuppence. "Aku rasa Yang Mulia
Wilmott bukan orang yang cepat tanggap."
"Detektif wanita itu tahu karakter orang dengan
baik," kata Tommy bercanda. "Atau, seharusnya kukatakan detektif
pria? Memang sulit jika seorang wanita ingin jadi detektif pria."
"Oh! Sahabatku, sahabatku!"
Tambah sedikit aksi, Tuppence, dan kurangi
pengulangan-pengulangan."
"Ungkapan klasik tak mungkin terlalu diulang-ulang,"
kata Tuppence berwibawa.
"Silakan ambil kue muffin," kata Tommy dengan
manis.
'Tidak pada jam sebelas pagi. Terima kasih. Huh—kasus tolol.
Sepatu—kenapa sepatu?"
"Hm, kenapa tidak?" kata Tommy.
"Nggak cocok. Sepatu." Dia menggelengkan kepala.
"Nggak cocok. Siapa perlu sepatu orang lain? Gila."
"Barangkali mereka keliru mengambil tas?" kata
Tommy.
"Bisa jadi. Tapi kalau mereka menginginkan surat-surat,
briefcase lebih cocok. Satu-satunya yang bisa dihubungkan dengan duta besar
ialah surat-surat."
"Sepatu ada hubungannya dengan jejak kaki,"
291
kata Tommy sambil merenung. "Apa mereka perlu mengikuti
jejak Wilmott?"
Tuppence berpikir sejenak, menghentikan permainannya sebagai
Dr. Fortune, lalu menggelengkan kepala.
"Kelihatannya tidak mungkin," katanya. "Aku
rasa kita harus melepaskan kemungkinan itu dan kembali pada kenyataan bahwa
sepatu-sepatu itu tak ada hubungannya dengan kasus ini."
"Oke," kata Tommy sambil menarik napas.
"Langkah berikut ialah menginterview si Richards. Barangkali dia bisa
memberi petunjuk-petunjuk untuk mengungkap misteri ini."
Setelah memberikan kartu Pak Duta Besar, Tommy diperbolehkan
masuk ke Kedutaan. Tak lama kemudian dia berhadapan dengan seorang pemuda
berwajah pucat yang sikapnya amat hormat dan suaranya amat sopan.
"Saya Richards, Tuan. Pelayan pribadi Tuan Wilmott.
Tuan ingin menemui saya?"
"Ya, Richards. Tuan Wilmott datang ke tempat saya pagi
tadi dan menyarankan agar saya datang kemari untuk menanyakan beberapa hal. Ini
tentang tas yang tertukar."
"Ya, saya mengerti bahwa Tuan Wilmott merasa tidak
senang dengan kejadian ini. Tapi saya tidak mengerti kenapa, karena tak ada
kerugian yang diakibatkannya. Saya pun tahu dari orang yang mengambil tas itu
bahwa tas yang kami bawa adalah tas Senator Westerham. Tapi saya mungkin keliru
dalam hal ini."
292
"Bagaimana rupa orang itu?"
"Setengah baya. Rambut abu-abu. Terhormat— kelihatan
seperti berpendidikan. Dia mengaku pelayan pribadi Tuan Westerham. Dia
meninggalkan tas Tuan Wilmott dan membawa pergi tas yang satunya."
"Apa sudah dibongkar?"
"Yang mana, Tuan?"
"Yang kaubawa dari kapal. Tapi saya juga ingin tahu
tentang yang lain—yang kepunyaan Tuan Wilmott. Apa kira-kira sudah dibongkar
tas itu?"
"Saya rasa belum. Tuan. Saya rasa Tuan itu— siapa pun
dia—membuka tas Tuan Wilmott—' lalu tahu bahwa itu bukan tasnya, dan menutupnya
kembali."
'Tak ada yang hilang? Benda kecil sekalipun?"
"Saya rasa tidak, Tuan. Saya yakin tidak."
"Sekarang tas yang satunya. Kau sudah mulai
membongkarnya?"
"Begini, Tuan. Saya waktu itu sedang membuka tas itu.
Pada saat itu pula pelayan Tuan Westerham datang. Saya baru membuka
talinya."
"Kau sama sekali tidak membukanya?"
"Kami melihat sedikit saja. Untuk meyakinkan bahwa kali
itu tasnya benar. Orang itu berkata bahwa tidak salah. Dia menalikannya lagi
lalu membawanya pergi."
"Barang-barang apa saja yang ada di dalam? Sepatu
juga?"
"Bukan, Tuan. Kebanyakan peralatan kosmeti-
293
ka dan. perlengkapan mandi, kalau nggak salah. Saya melihat
sekaleng garam mandi."
Tommy tidak melanjutkan pertanyaan tentang hal itu.
"Kau tak pernah melihat seseorang yang mencurigakan di
kabin tuanmu?" "Oh, tidak, Tuan."
"Sama sekali tak ada hal-hal yang mencurigakan atau
kelihatan aneh?"
He, apa tadi yang kukatakan? Mencurigakan dan aneh? pikir
Tommy.
Tapi orang yang di hadapannya menjadi ragu-$agu. *
"Sekarang saya ingat..."
"Ya?" kata Tommy bernafsu. "Apa?"
"Rasanya kok tidak ada hubungannya. Tapi, ada seorang
gadis."
"Ya? Seorang gadis? Apa yang dia lakukan?"
"Dia hampir pingsan, Tuan. Gadis itu amat menyenangkan.
Namanya Eileen O'Hara. Gadis yang menarik, tidak begitu tinggi, berambut hitam.
Wajahnya agak asing kelihatannya."
"Lalu?" kata Tommy dengan lebih bernafsu.
"Dia hampir pingsan—di luar kabin Tuan Wilmott. Dia
menyuruh saya memanggil dokter. Saya membantunya duduk di sofa, lalu keluar
mencari dokter. Cukup lama juga. Ketika sudah ketemu dokter itu, saya
cepat-cepat mengajak ke kabin. Tapi gadis itu sudah tidak apa-apa lagi."
"Oh!" kata Tommy. 1 "Anda pikir..."
294
"Sulit menjelaskannya," kata Tommy tanpa
memberikan komentarnya. "Apa Nona O'Hara ini pergi sendirian?"
"Ya, saya rasa begitu."
"Kau tak pernah ketemu dia lagi setelah itu?"
'Tidak, Tuan."
"Baiklah," kata Tommy setelah berpikir sejenak.
"Aku rasa cukup. Terima kasih, Richards." "Sama-sama,
Tuan."
Tommy menceritakan apa yang dikatakan Richards pada Tuppence
setelah kembali ke kantor.
"Apa pendapatmu, Tuppence?"
"Oh, Sahabatku! Kami, para dokter biasanya merasa
skeptis dengan pingsan yang mendadak! Terlalu enak. Juga Eileen maupun O'Hara.
Terlalu berbau Irlandia, bukan?"
'Tapi ini merupakan jejak yang perlu dilacak. Kau tahu apa
yang akan aku lakukan? Pasang iklan cari gadis itu."
"Apa?"
"Ya. Informasi tentang Nona Eileen O'Hara, yang pernah
berlayar dengan kapal anu tanggal anu. Dia pasti akan datang sendiri kalau memang
ada, atau orang lain memberi informasi tentang dia. Ini satu-satunya harapan
dari sebuah petunjuk."
"Ingat, dia juga pasti curiga." "Ya,"
kata Tommy. "Kita harus berani ambil risiko."
"Aku masih belum punya bayangan," kata
295
Tuppence sambil mengernyitkan kening. "Kalau sebuah
komplotan penjahat menahan tas seorang duta besar selama satu-dua jam, lalu
mengembalikannya lagi, keuntungan apa yang mereka dapat? Kecuali ada
kertas-kertas berharga yang ingin mereka copy. Padahal Tuan Wilmott bilang
tidak ada."Tommy memandangnya sambil berpikir.
"Bagus, Tuppence. Apa yang kaukatakan," katanya,
"memberiku inspirasi."
Dua hari kemudian Tuppence keluar makan siang. Tommy yang
ditinggal sendirian di ruang kerja Tuan Theodore Blunt membawa beberapa bacaan
yang seru untuk mengasah otaknya.
Pintu ruangan itu terbuka dan Albert pun muncul.
"Seorang gadis ingin bertemu, Tuan. Nona Gcely March.
Katanya dia datang untuk menjawab iklan."
"Suruh dia masuk segera," seru Tommy sambil
menyembunyikan novelnya di laci.
Semenit kemudian Albert membawa masuk gadis itu. Tommy baru
saja selesai memperhatikan bahwa gadis itu berambut pirang dan amat cantik
ketika terjadi sesuatu yang mengejutkan.
Pintu dari tempat Albert muncul dibuka orang dengan kasar.
Di tengah-tengah berdiri seorang lelaki besar berkulit gelap—kelihatan seperti
orang Spanyol. Orang itu mengenakan dasi berwarna merah menyala. Mukanya
kelihatan marah dan tangannya menggenggam pistol.
296
"Hah—jadi ini kantor Tuan Blunt yang usil itu,"
katanya dengan bahasa Inggris yang sempurna. Suaranya terdengar mengancam dan
mengerikan. "Angkat tangan—atau ku tembak."
Dia tidak kedengaran main-main. Tangan Tommy pelan-pelan
naik. Dan gadis yang menempel di dinding tembok itu menahan napas ketakutan.
"Gadis ini akan ikut aku," katanya. "Ya—kau
akan ikut aku, Manis. Kau memang belum pernah melihatku, tapi tak apa-apa.
Rencanaku tak boleh kacau hanya karena ulahmu. Rasanya aku ingat—" kau
salah seorang penumpang kapal Nomadic. Kau pasti telah mengintip sesuatu yang
bukan urusanmu. Tapi aku tak akan membiarkanmu membeberkan rahasia apa pun pada
Tuan Blunt ini. Pandai juga Tuan Blunt dengan iklan menariknya itu. Sayang, aku
cukup jeli untuk mengawasi kolom-kolom iklan. Itu sebabnya aku ada di
sini."
"Ceritamu sangat menarik," kata Tommy. "Coba
lanjutkan."
"Aku tak perlu bujuk gombalmu, Tuan Blunt. Hentikan
saja penyelidikanmu. Kami tak akan mengganggumu. Kalau tidak—hanya Tuhan yang
bisa menolongmu. Kematian tidak terlalu lama menunggu orang-orang yang merusak
rencana kami."
Tommy tidak menjawab. Pandangannya menembus ke belakang bahu
si pengacau, seolah- _ olah dia melihat hantu.
Sebenarnya dia melihat sesuatu yang lebih
297
menakutkan daripada sesosok hantu. Sampai saat itu dia belum
pernah memperhitungkan Albert sebagai salah seorang pemain. Dia mengira bahwa
Albert sudah dikerjai orang asing itu lebih dulu. Dia membayangkannya sudah
terkapar di atas karpet di ruang luar.
Dan sekarang ternyata Albert lolos dari perhatian orang itu.
Albert tidak meminta bantuan polisi Inggris, tetapi dia memilih untuk
menghadapi situasi itu sendiri, dan Albert berdiri dengan tangan menggenggam
tali.
Tommy berteriak melarang, tapi terlambat. Dengan penuh
semangat Albert melemparkan tali itu ke kepala si pengacau dan menariknya ke
belakang dengan kuat.
Hal yang tak terduga pun terjadi. Pistol yang digenggam
pengacau itu meletus dan pelurunya terbang menyerempet kuping Tommy, dan
bersarang di dinding di belakangnya.
"Beres, Tuan!" seru Albert penuh kemenangan.
"Bagus juga laso saya. Saya selalu berlatih di waktu senggang. Tuan bisa
membantu saya? Orang ini sangat kuat."
Tommy cepat-cepat mendekat untuk membantu. Dia berpikir dan
memutuskan, tidak akan memberi kesempatan pada Albert untuk berlatih laso lagi.
'Tolol, kau," katanya. "Kenapa tidak memanggil
polisi saja? Gara-gara permainanmu, aku hampir kena peluru. Untunglah cuma
nyerempet!"
"Cukup tepat waktunya untuk melaso dia,"
298
kata Albert dengan gembira. "Hebat juga ya, orang-orang
itu bisa main laso di padang rumput."
"Ya, tapi kita tidak di padang rumput," kata
Tommy. "Kita kebetulan ada di tengah masyarakat yang berbudaya tinggi. Dan
Anda, Tuan," katanya berpaling pada musuh yang tak berdaya, "apa yang
sebaiknya kami lakukan untuk Anda?"
Laki-laki itu menjawab dengan rentetan kata-kata asing yang
kedengaran seperti kata-kata makian.
"Sstt. Saya tak mengerti apa yang Anda katakan. Tapi
rasanya kata-kata itu bukan kata-kata bagus yang bisa diucapkan di depan wanita
terhormat. Anda bisa memaafkan dia, bukan, Nona...? Wah, maaf, gara-gara ada
permainan kecil ini saya lupa menanyakan nama Anda."
"March," kata gadis itu. Wajahnya masih pucat dan
tangannya gemetar. Tapi dia sekarang melangkah mendekati Tommy dan melihat
sosok tertelungkup di bawah. "Apa yang akan Anda lakukan padanya?"
"Saya bisa menjemput polisi sekarang," kata Albert
Ketika mendongak, Tommy menangkap isyarat kecil dari gerakan
kepala gadis itu, dan dia pun mengerti.
"Baik. Kita lepaskan dia kali ini. Tapi dengan senang
hati saya akan membantu menendang dia turun ke bawah—supaya tahu bagaimana menghadapi
seorang wanita."
299
Dia melepaskan tali laso itu, dan mendorongnya ke luar
dengan cepat.
Serentetan jeritan terdengar, diikuti dengan suara berdebam.
Tommy kembali berkeringat, tapi tersenyum.
Gadis itu memandangnya dengan mata bertanya-tanya.
"Anda—menghajarnya?"
"Saya harap begitu. Tapi orang-orang asing itu sudah
biasa berteriak dulu sebelum kesakitan. Jadi saya tidak tahu pasti. Kita
kembali masuk ruangan saja dulu. Dan melanjutkan percakapan. Bagaimana? Saya
rasa kita tak akan diganggu lagi."
"Saya akan siap dengan laso saya, Tuan. Untuk
jaga-jaga," kata Albert.
"Simpan saja lasomu," kata Tommy tegas.
Dia mengikuti gadis itu memasuki ruangannya dan duduk di
kursi menghadapi tamunya.
"Saya tak tahu harus mulai dari mana," kata gadis
itu. "Seperti Anda dengar dari dia, saya memang pernah naik kapal Nomadic.
Dan gadis yang Anda iklankan, Nona O'Hara, juga-salah satu penumpang
kapal."
"Tepat," kata Tommy. "Kami juga tahu bahwa
dia adalah penumpang Nomadic. Tapi saya rasa ada sesuatu yang Anda ketahui di
kapal itu yang membuat orang asing itu begitu mekat masuk ke tempat ini."
"Akan saya ceritakan semuanya," kata gadis itu.
"Duta Besar Amerika ada di kapal itu. Pada
300
suatu kali, ketika saya melewati kabinnya, saya melihat
wanita itu ada di dalam. Dia melakukan sesuatu yang aneh, sehingga saya
berhenti melihat. Wanita itu memegang sebuah sepatu lelaki...."
"Sepatu?" seru Tommy terkejut, tapi senang.
"Maaf, Nona March, teruskan."
"Dengan sebuah gunting dia membuka pelapis sepatu itu.
Lalu dia seperti memasukkan sesuatu ke dalamnya. Pada saat itu dokter kapal dan
seorang lelaki datang. Dengan cepat wanita itu tidur di sofa dan merintih
kesakitan. Saya tetap diam dan mendengarkan Rupanya wanita itu berpura-pura
pingsan. Saya bilang berpura-pura, karena ketika saya melihatnya pertama kali
dia kelihatan tidak apa-apa."
Tommy mengangguk. "Lalu?"
"Saya tidak suka menceritakan bagian berikutnya. Saya
curiga. Barangkali saya membaca buku-buku konyol. Saya curiga jangan-jangan
wanita itu meletakkan bom atau jarum beracun atau benda semacamnya itu di dalam
sepatu Tuan Wilmott. Saya tahu bahwa pikiran saya aneh. Tapi saya memang
berpikir begitu. Lalu ketika saya melewati kabin itu lagi—waktu itu kosong—
saya masuk dan mencari sepatu itu. Dari pelapisnya saya dapatkan selembar
kertas. Tapi pada saat itu juga saya mendengar langkah seseorang. Saya
cepat-cepat keluar. Kertas itu masih di tangan saya. Setelah saya masuk dalam
kabin
saya, baru saya baca kertas itu. Ternyata hanya tulisan
beberapa ayat Alkitab."
"Ayat-ayat Alkitab?" tanya Tommy dengan rasa ingin
tahu.
"Itulah yang saya tahu waktu itu. Saya tak mengerti.
Tapi saya berpikir, jangan-jangan itu ulah seorang maniak religi. Pokoknya saya
merasa tidak ada gunanya mengembalikan kertas itu ke tempatnya. Saya simpan
kertas itu tapi saya tidak* berpikir apa-apa lagi tentang hal itu. Tapi
kemarin, ketika saya membuat kertas itu menjadi perahu kertas untuk kemenakan
saya dan memasukkannya di air, saya melihat sesuatu yang aneh pada waktu
kertasnya basah. Saya cepat-cepat mengambil perahu itu dan meluruskannya lagi.
Air itu telah memunculkan berita yang tersembunyi. Gambarnya seperti sebuah
pelacakan— kelihatan seperti mulut pelabuhan. Tak lama kemudian saya membaca
iklan Anda."
Tommy meloncat dari kursinya.
"Ini penting sekali Saya mengerti sekarang. Gambar itu
mungkin gambar suatu rencana pertahanan yang penting dari sebuah pelabuhan. Dan
gambar itu dicuri wanita tadi. Dia kuatir dukuh seseorang. Karena tak berani
menyimpan di dalam tasnya sendiri, dia menitipkannya dalam sepatu itu. Ketika
dia membuka sepatu itu, kertas itu sudah lenyap. Apakah Anda membawa kertas
itu, Nona March?"
Gadis itu menggelengkan kepala.
"Ada di tempat usaha saya—sebuah salon
302
kecantikan di Bond Street. Saya seorang agen 'Cyclamen',
dari New York. Karena itu saya pergi ke sana. Saya pikir kertas itu tentunya
penting. Karena itu saya menguncinya dalam lemari besi. Apa Scotland Yard perlu
tahu soal ini?" "Ya, tentu saja."
"Kalau begitu kita ambil kertas itu untuk dibawa ke
Scotland Yard?"
"Saya sibuk sekali saat ini," kata Tommy dengan
gaya profesional dan melirik jamnya. "Uskup dari London meminta saya agar
menyelesaikan sebuah kasus. Persoalan yang amat mencurigakan, mengenai jubah
gereja dan pembantu gereja."
"Kalau begitu saya pergi sendiri saja," kata Nona
March sambil berdiri.
Tommy mengangkat tangan tidak setuju.
"Saya baru akan berkata, uskup bisa menunggu. Saya akan
meninggalkan pesan pada Albert. Saya yakin Anda dalam bahaya sebelum kertas itu
berada di tangan Scotland Yard."
"Anda pikir begitu?" kata gadis itu ragu-ragu.
"Bukan saya pikir, tapi saya yakin. Sebentar." Dia
menuliskan sesuatu di buku catatan di depannya, merobek dan melipatnya.
Diambilnya topi dan tongkatnya. Dia siap menemani gadis itu.
Sambil keluar dia berikan lipatan kertas itu pada Albert.
"Saya harus keluar untuk kasus yang mendesak.
Beritahukan kepada Yang Mulia kalau beliau
303
datang, bu ada catatan tentang kasus itu untuk Nona
Robinson."
"Baik, Tuan," kata Albert menanggapi permainan
itu. "Bagaimana dengan mutiara Duchess...?"
Tommy melambaikan tangan dengan jengkel.
"Itu juga harus menunggu."
Dia cepat-cepat keluar bersama Nona March. Di tangga turun
mereka bertemu Tuppence. Tommy hanya berkata, 'Terlambat lagi, Nona Robinson.
Saya keluar untuk menangani kasus penting."
Tuppence berdiri tegak di tangga dan memperhatikan mereka.
Dengan alis mata terangkat dia meneruskan masuk ruangannya.
Ketika mereka sampai di luar, sebuah taksi menjemput mereka.
Tommy tidak jadi memanggilnya.
"Anda biasa jalan, Nona March?" tanyanya serius.
'Ya, kenapa? Apa tak sebaiknya kita naik taksi? Akan lebih
cepat, kan?"
"Barangkali Anda tidak memperhatikan. Taksi itu menolak
dipanggil orang lain. Dia menunggu kita. Musuh Anda rupanya sudah bersiap.
Kalau Anda sanggup, kita akan jalan ke Bond Street. Di jalan ramai mereka tak
akan berani melakukan sesuatu yang membahayakan." * "Baik," kata
gadis itu agak ragu-ragu.
Mereka berjalan ke arah barat. Seperti dikatakan Tommy,
jalan itu memang ramai. Mereka tak bisa berjalan cepat. Tommy sangat waspada.
304
Kadang-kadang dia menarik gadis itu ke samping dengan cepat,
walaupun dia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.
Sambil memandang gadis itu, Tommy tiba-tiba saja sadar akan
apa yang dilihatnya.
"Wah, maaf. Anda benar-benar kelihatan semrawut.
Barangkah karena kejutan tadi. Kita masuk ke tempat ini saja dulu dan minum
kopi pahit. Saya rasa Anda tak ingin minum brandy."
Gadis itu menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil.
"Kopi kalau begitu," kata Tommy. "Pasti tidak
ada racunnya."
Mereka istirahat sebentar minum kopi. Setelah itu
melanjutkan perjalanan dengan cepat"Kita sudah mengelabui mereka, saya
rasa," kata Tommy sambil melirik ke belakang lewat bahunya.
Cyclamen Ltd. adalah sebuah usaha kecil di Bond Street.
Etalasenya dihiasi gorden sutera berwarna merah muda, satu atau dua botol krim
wajah dan sebuah sabun.
Cicely March masuk, dan Tommy mengikuti. Toko itu amat
kecil. Di sisi kiri ada sebuah counter kaca dengan perlengkapan mandi. Di
belakang counter itu berdiri seorang wanita setengah baya berambut abu-abu dan
berkulit halus Dia menganggukkan kepala ketika Cicely March masuk sebelum
melanjutkan bicara dengan seorang tamu yang sedang dia layani.
Tamu itu seorang wanita kecil berkulit gelap.
305
Punggungnya menghadap mereka dan wajahnya tak kelihatan. Dia
bicara dalam bahasa Inggris, pelan-pelan dan sulit. Di sisi kanan ada sebuah
sofa dan dua buah kursi, dan sebuah meja dengan beberapa majalah di atasnya. Di
situ duduk dua orang laki-laki—kelihatannya suami-suami yang sudah bosan
menunggu istri mereka.
Gcely March berjalan ke ujung dan melewati sebuah pintu yang
dibukanya lebar-lebar untuk Tommy. Pada saat itu tamu wanita itu berseru.
"Ah! Saya kira dia amico saya," dan berlari mengikuti mereka. Dengan
cepat dia menyelipkan kakinya ke pintu untuk menahan agar tidak menutup. Pada
saat itu pula kedua laki- laki yang duduk itu berdiri. Yang seorang mengikuti
si tamu wanita ke pintu dan seorang lainnya membekap mulut wanita pelayan toko
itu agar tidak berteriak.
Kejadian di balik pintu itu berlangsung amat cepat. Ketika
Tommy masuk, selembar kain dilempar ke atas kepalanya. Hidungnya segera mencium
bau tajam yang memusingkan. Tapi dengan cepat kain itu pun terangkat dan
terdengar teriakan seorang wanita.
Tommy mengejapkan mata dan terbatuk ketika melihat
pemandangan di depannya. Di sisi kanan dia melihat orang asing yang menyerbu
kantornya tadi. Laki-laki yang duduk di depan dan kelihatan bosan menunggu tadi
sedang sibuk memasang borgol di tangan si pengacau. Persis di depannya, Cecily
March berusaha melepaskan
306
diri dari cengkeraman tamu salon yang ada depan tadi. Ketika
tamu itu menolehkan kepalanya, cadar yang dipakainya puh jatuh, dan terlihatlah
wajah Tuppence.
"Bagus, Tuppence," kata Tommy sambil melangkah ke
depan. "Sini kubantu. Saya tak akan melawan kalau saya jadi Anda. Nona
O'Hara— atau Anda lebih suka dipanggil Nona March?"
"Ini Inspektur Grace, Tommy," kata Tuppence.
"Aku langsung mengontak Scotland Yard begitu selesai membaca catatanmu.
Inspektur Grace dan seorang polisi menemuiku di luar sini."
"Beruntung bisa menangkap dia," kata Pak Inspektur
sambil menunjuk pada orang asing itu. "Dia buronan kelas berat. Tapi kami
tak punya alasan untuk mencurigai tempat ini—kami kira ini salon kecantikan
betulan
"Kita memang harus hati-hati," kata Tommy
menjelaskan dengan pelan. "Kenapa orang memerlukan tas seorang duta besar
untuk waktu dua jam saja? Saya menanyakan yang sebaliknya. Misalnya tas yang
lain itu yang penting. Seseorang ingin agar tas itu ada di tangan Pak Duta
Besar selama kira-kira satu jam. Ini lebih cocok! Barang-barang diplomat kan
tidak diperiksa petugas pabean. Pasti penyelundupan. Tapi penyelundupan apa?
Bukan sesuatu yang besar. Seketika itu saya berpikir tentang obat terlarang.
Kemudian komedi itu pun dipentaskan di kantor saya. Mereka melihat iklan saya
dan ingin melenyapkan saya. Tidak berhasil. Kebetulan saya melihat
307
ekspresi kecewa pada mata wanita cantik ini ketika Albert
berhasil melaso si pengacau. Itu tidak cocok dengan peranan yang sedang dia
mainkan. Serangan orang asing ini dimaksudkan untuk membuat saya percaya pada
ceritanya. Saya mencoba sebaik-baiknya untuk bisa memainkan peranan
tolol—menelan ceritanya yang tak masuk akal, dan membiarkannya memancing saya
ke tempat ini. Tentu saja saya tak lupa memberi instruksi yang diperlukan untuk
menghadapi situasi. Dengan berbagai dalih saya mengulur waktu kedatangan agar
kalian siap."
Cicely March memandangnya dengan mata benci.
"Kau gila. Apa yang ingin kautemukan di sini?"Saya
ingat Richards cerita melihat garam mandi. Bagaimana kalau kita mulai dengan
garam mandi. Inspektur?"
"Ide yang bagus."
Dia mengambil salah satu kaleng merah muda dan menuang
isinya di atas meja. Gadis itu tertawa.
"Kristal asli, ya?" kata Tommy. 'Tak ada yang
lebih berbahaya dari soda karbon?"
"Coba lemari besinya," kata Tuppence.
Ada sebuah lemari dinding kecil di sudut. Kuncinya
tergantung. Tommy membukanya dan berseru puas. Bagian belakang lemari itu
terbuka ke sebuah lubang besar di dinding. Pada lubang itu terdapat
berkaleng-kaleng garam mandi, berderet-deret banyak sekali. Dia mengambil satu
308
kaleng dan membuka tutupnya. Bagian atas menunjukkan kristal
merah muda, tapi di bawahnya terdapat bubuk putih.
Inspektur itu berseru gembira.
"Ah, sudah Anda temukan! Satu dari sepuluh kaleng penuh
dengan kokain. Kami tahu bahwa ada suatu area distribusi di sini, yang gampang
menuju ke West End, Tapi kami belum bisa menemukannya. Ini benar-benar penemuan
luar biasa."
"Ya—suatu kemenangan untuk Blunts Brilliant
Detectives," kata Tommy pada Tuppence ketika mereka keluar dari tempat itu
bersama-sama. "Aku bahagia jadi seorang suami. Karena pelajaranmu, aku
bisa mengenali peroxide. Kita harus membuat surat resmi untuk Pak Duta Besar,
memberitahu dia bahwa kasus ini telah kita selesaikan dengan baik. Bagaimana
kalau kita minum teh sekarang? Dan makan kue muffin dengan mentega
sebanyak-banyaknya?"
309
23. Laki-laki Nomor 16
Tommy dan Tuppence sedang bicara dengan bos mereka di ruang
kerjanya. Sambutan dan pujiannya hangat dan tulus.
"Kalian berdua telah berhasil dengan baik sekali.
Karena jasa kalian kami bisa menangkap lima orang buron yang amat penting. Dari
mereka kami mendapat informasi yang sangat berharga. Sementara itu, dari sebuah
sumber kami tahu bahwa markas besar di Moskow menjadi panik karena agen mereka
tidak memberi laporan. Saya rasa mereka mulai curiga. Mereka mulai mencium
bahwa ada yang tidak beres dengan pusat distribusi informasi mereka—yaitu
kantor Tuan Theodore Blunt—Agen Detektif Internasional."
"Kalau begitu mereka pasti akan menyelidikinya,
Pak," kata Tommy.
"Ya, saya pun berpikir begitu. Saya agak kuaur
dengan—Nyonya Tommy."
"Saya bisa menjaganya dengan baik," kata Tommy,
bersamaan dengan Tuppence yang berkata, "Saya bisa menjaga diri dengan
baik."
310
"Hm," kata Tuan Carter. "Penuh percaya diri
merupakan ciri kalian. Saya tak tahu—imunitas kalian merupakan kecerdasan
manusia super atau suatu nasib baik. Tapi nasib baik bisa berubah. Tapi saya
tak akan mempersoalkan hal itu. Sepanjang pengetahuan saya, tak ada gunanya
bukan kalau saya menyembunyikan sesuatu dari Nyonya Tommy untuk satu atau dua
minggu ini?"
Tuppence menggelengkan kepala dengan tegas.
"Kalau begitu saya harus memberi informasi yang saya
peroleh. Kami mendapat berita bahwa seorang agen khusus telah dikirim dari
Moskow kemari. Kami tidak tahu nama yang dipakainya dan kapan dia datang. Tapi
kami tahu sesuatu tentang dia. Dia adalah orang yang pernah mengacau kita pada
waktu perang. Orang yang muncul di tempat-tempat yang tidak kita inginkan. Dia
orang Rusia, dan pandai berbahasa asing, termasuk bahasa kita. Dia juga pandai
menyamar. Dan dia cerdas. Dialah yang membuat kode 16 itu.
"Kapan dan bagaimana dia akan muncul, saya tak tahu.
Tapi saya yakin bahwa dia akan muncul. Kami tahu ini—dia tidak mengenal Tuan
Theodore Blunt secara pribadi. Saya rasa dia akan muncul, berpura-pura minta
bantuan kalian untuk sebuah kasus dan dia akan menyelipkan kode rahasianya.
Yang pertama-tama adalah ucapan nomor enam belas—dan dijawab dengan kalimat
311
yang menyebut nomor yang sama. Yang kedua ialah suatu
pertanyaan, apakah kalian pernah menyeberangi Selat Inggris. Jawabannya: 'Saya
ada di Berlin tanggal 13 bulan lalu/ Itu saja yang kita tahu. Saya harap kalian
menjawab dengan tepat, sehingga dia percaya. Tahan dulu keinginan untuk meniru
tokoh-tokoh fiksi itu kalau bisa. Walaupun kelihatannya dia bisa dikelabui,
kalian harus waspada. Kawan kita ini benar-benar lihai. Dia bisa bermain dobel
atau lebih baik dari kalian. Bagaimanapun, saya ingin menangkapnya melalui
kalian. Mulai hari ini dan seterusnya saya membuat penjagaan ketat. Sebuah
dictaphone tadi malam telah dipasang di ruang kerja kalian, sehingga salah satu
bawahanku bisa mendengar segala yang dikatakan dari bawah. Dengan demikian
mereka bisa segera menghubungiku kalau ada sesuatu, dan mengambil
langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi kalian dan menangkap orang
yang kucari itu."
Setelah mendengar beberapa instruksi lagi dan membicarakan
taktik-taktik umum, keduanya pun keluar dan dengan cepat menuju ke kantor
mereka.
"Sudah siang," kata Tommy sambil melihat jamnya.
"Hampir jam sebelas. Kita cukup lama juga bicara dengan Bos. Mudah-mudahan
kita tak kehilangan kasus paling panas ini."
"Secara umum kita tidak terlalu jelek," kata
Tuppence. "Aku menghitung-hitung apa yang sudah kita kerjakan kemarin.
Kita telah menye-
312
lesaikan empat kasus pembunuhan yang membingungkan,
menggulung komplotan pemalsu uang, dan komplotan penyelundup..."
"Sebetulnya dua komplotan," sela Tommy. "Wah,
hebat juga ya. Aku suka itu. Komplotan— kedengarannya profesional."
Tuppence melanjutkan sambil menghitung dengan jari-jarinya.
"Satu pencurian permata, dua kesempatan lepas dari
kematian, satu kasus hilangnya seorang wanita karena ingin langsing, satu gadis
yang baik, satu alibi yang dipecahkan dengan sukses, dan ya... satu kasus di
mana kita sendiri berbuat konyol. Secara keseluruhan—cukup bagus! Aku rasa kita
sangat cerdik."
"Kau memang selalu berpikir begitu," kata Tommy.
"Padahal aku merasa bahwa satu atau dua kali sebenarnya kita ini hanya
bernasib baik."
"Nonsense" kata Tuppence. "Semua karena sel
abu-abu kecil."
"Hm—aku pernah bernasib baik," kata Tommy.
"Waktu Albert muncul dengan lasonya! Eh, kau kok jadi menghitung-hitung,
seolah-olah ini semua mau selesai".
"Memang," kata Tuppence. Dia merendahkan suaranya
dan berkata dengan impresif. "Ini adalah kasus kita yang terakhir. Setelah
mereka berhasil menangkap mata-mata super itu, detektif detektif besar ini akan
pensiun, menanam sayur mayur dan beternak lebah. Selalu begitu."
"Sudah bosan, ya?"
313
"Yaa—aku rasa begitu. Di samping itu, kita sudah
menikmati sukses yang begitu besar. Jangan-jangan nasib baik berubah." *
"Siapa yang omong tentang nasib baik sekarang?"
kata Tommy memojokkan.
Pada saat itu mereka berbelok memasuki pintu blok gedung
yang ditempati Agen Detektif Internasional. Tuppence tidak menjawab.
Albert sedang bertugas di ruang depan, mengisi waktu
luangnya dengan memainkan keseimbangan penggaris di atas hidungnya.
Dengan wajah kurang senang, Tuan Blunt berjalan melewatinya
dan masuk ke dalam ruangannya. Dia membuka mantel dan topinya, lalu membuka
lemari yang berisi buku-buku detektif klasik.
"Pilihannya semakin sempit," gumamnya. "Siapa
yang akan kujadikan model hari ini?"
Terdengar suara Tuppence yang bernada lain. Tommy segera
menoleh kepadanya.
"Tommy," katanya. 'Tanggal berapa sekarang?"
"Sebentar—tanggal sebelas—kenapa?"
"Lihat tanggalan itu."
Di dinding tergantung sebuah tanggalan harian, di mana orang
harus menyobek tanggalnya setiap hari. Di situ tertulis Minggu, tanggal 16.
Padahal hari itu hari Senin.
"He, itu aneh. Pasti Albert menarik terlalu banyak.
Anak itu memang sembrono."
Ketika dipanggil dan ditanyai, Albert menjadi heran. Dia
bersumpah hanya merobek satu lem-
314
bar—yaitu lembar kemarin. Pernyataannya memang dapat dibenarkan,
karena lembar yang dirobeknya dilempar ke perapian, sedangkan lembar-lembar
lainnya tergeletak rapi di tempat sampah.
"Kriminal yang rapi dan sangat lihai," kata Tommy.
"Siapa yang kemari tadi pagi, Albert? Ada klien?"
"Hanya satu, Tuan."
"Siapa dia?"
"Seorang wanita. Seorang perawat. Sangat bingung dan
ingin sekali bertemu dengan Tuan. Dia .bilang mau menunggu sampai Tuan datang.
Saya menyuruh duduk di ruang 'Pegawai', karena di situ lebih hangat."
"Dan dari situ dia dapat masuk ke sini tanpa kauketahui,
bukan? Kapan dia pergi?"
"Kira-kira setengah jam yang lalu. Tuan. Katanya mau
datang lagi siang ini. Orangnya baik dan keibuan."
"Baik dan keibuan—oh! Keluar, kau, Albert!"
Albert keluar dengan hati sakit, f
"Permulaan yang aneh." kata Tommy. "Kelihatannya
tak ada maksudnya. Membuat kita supaya waspada. Apa ada bom disembunyikan di
perapian? Atau hal semacam itu?"
Dia memeriksa sekitarnya lalu duduk sambil bicara pada
Tuppence.
" "Mon ami," katanya, "kita dihadapkan
pada suatu soal yang amat berat. Kau masih ingat lelaki nomor empat, bukan?
Yang aku hancurkan
315
seperti kulit telur—dengan bantuan bahan peledak yang hebat,
bien entendu. Tapi dia tidak benar-benar mati—oh! Tidak. Mereka tidak
benar-benar mati—para kriminal super itu! Inilah dia—tapi dia lebih hebat lagi.
Dia merupakan kelipatan empat—dengan kata lain dialah si Nomor 16. Kau
mengerti, mon ami?"
"Mengerti sekali," kata Tuppence. "Kau adalah
Hercule Poirot yang hebat itu."
'Tepat. Tak ada kumis. Tapi banyak sel abu-abu."
"Aku punya firasat," kata Tuppence, "bahwa
petualangan khusus ini akan dinamai 'Keme-. nangan Hastings'."
'Tidak," kata Tommy. "Belum pernah terjadi. Sekali
dia seorang kawan yang bodoh, dia tetap bodoh. Ada etiketnya untuk hal-hal
seperti ini. Oh ya, mon ami, apa kau tak bisa membelah rambutmu di tengah, dan
bukan di samping seperti itu? Efeknya tidak simetris dan menyedihkan."
Bel berbunyi keras di meja Tommy. Dia mengembalikan sinyal
dan Albert datang membawa sebuah kartu.
"Pangeran Vladiroffsky," kata Tommy membaca dengan
suara rendah. Dia memandang Tuppence. "Bawa dia masuk, Albert."
Laki-laki yang muncul bertinggi badan sedang, kelihatan
luwes, berjenggot, dan berumur kira-kira tiga puluh lima tahun.
'Tuan Blunt?" tanyanya. Bahasa Inggrisnya
316
sempurna. "Anda mendapat rekomendasi yang amat tinggi.
Apakah Anda bisa menangani kasus saya?"
"Barangkali Anda bisa memberikan detilnya?"Tentu.
Mengenai anak perempuan teman saya —gadis berumur enam belas tahun. Kami tak
menghendaki skandal. Anda pasti mengerti.Tuan," kata Tommy. "Usaha
kami telah sukses selama enam belas tahun karena kami memperhatikan apa yang
Anda kehendaki itu."
Tommy merasa melihat ada kilauan pada mata laki-laki itu,
tapi secepat itu pula kilasan itu hilang.
"Anda punya kantor-kantor cabang? Kalau tak salah di
seberang Selat Inggris."
"Oh! Ya. Saya berada di Berlin tanggal 13 bulan
lalu," kata Tommy menegaskan kalimatnya.
"Kalau demikian," kata orang asing itu,
"tidak perlu lagi membuat fiksi-fiksi kecil itu. Kalian tahu siapa aku.
Setidaknya kalian sudah siap dengan kedatanganku."
Dia mengangguk memandang kalender di dinding.
"Begitulah," kata Tommy.
"Kawan—aku datang kemari untuk memeriksa beberapa hal.
Apa yang telah terjadi?"
"Pengkhianatan," kata Tuppence yang tidak tahan
berdiam diri.
Si Rusia mengangkat alisnya dan memandang kepadanya.
317
"Ah—dia. Ternyata itu? Dugaanku benar rupanya. Apa si
Sergius?"
"Kelihatannya begitu," kata Tuppence dengan
tenang.
'Tak membuatku heran. Tapi kalian sendiri— tak ada yang
curiga?"
".Rasanya tidak. Kami mengelola suatu bisnis yang cukup
bonafid," kata Tommy.
Si Rusia mengangguk.
"Bagus. Kalau begitu sebaiknya aku tak usah kemari
lagi. Saat ini aku tinggal di Blitz. Aku akan pergi dengan Marise—ini Marise,
kan?"
Tuppence mengangguk.
"Siapa namanya di sini?"
"Oh! Nona Robinson."
"Baik, Nona Robinson. Kau ikut aku ke Blitz untuk makan
siang denganku di sana. Kita semua akan bertemu di markas besar jam tiga.
Jelas?" Dia memandang Tommy.
"Sangat jelas," jawab Tommy sambil berpikir di
mana gerangan markas besar itu.
Dia merasa bahwa markas besar itulah yang ingin diketahui
Tuan Carter.
Tuppence berdiri dan memakai baju hangatnya yang berwarna
hitam berkerah kulit macan. Kemudian dengan tenang dia mengatakan siap
mengawani Sang Pangeran.
Mereka keluar bersama, dan Tommy pun ditinggal sendiri
dengan perasaan tidak keruan.
Bagaimana kalau ada yang tidak beres dengan
318
dictaphone itu? Bagaimana kalau perawat itu menemukan
dictaphone itu dan merusaknya?
Dia mengangkat telepon dan memutar sebuah nomor. Setelah
menunggu sesaat dia pun mendengar suara yang amat dikenalnya.
"Beres. Kita ke Blitz sekarang juga."
Lima menit kemudian Tommy dan Tuan Carter bertemu di Palm
Court, Hotel Blitz. Tuan Carter kelihatan serius dan menghibur.
"Kau melakukannya dengan baik. Sang Pangeran dan Nona
Robinson sedang makan siang di restoran. Dua anak buahku siap sebagai pelayan
di sini. Aku tak tahu apakah dia curiga atau tidak. Aku rasa tidak. Tapi kita
akan menangkapnya. Ada dua orang ditempatkan untuk menjaga kamarnya, dan
beberapa orang lagi di. luar, siap untuk mengikuti dia. Jangan kuatirkan
istrimu. Dia akan selalu dijaga. Aku tak ingin ambil risiko."
Sesekali seorang petugas rahasia melaporkan perkembangan
yang terjadi. Yang pertama adalah seorang pelayan yang mencatat pesanan makanan
mereka. Berikutnya seorang lelaki berwajah kosong dengan dandanan modis.
"Mereka keluar," kata Tuan Carter. "Kita
duduk di belakang pilar saja—kalau kalau mereka duduk di sini. Tapi aku rasa
dia akan membawa istrimu ke kamarnya". Ah! Ya, aku rasa benar."
Dari tempat duduknya Tommy melihat Tuppence dan si Rusia
menyeberang ruangan dan masuk lift.
319
Beberapa menit berlalu. Tommy mulai gelisah.
"Bagaimana—eh, maksud saya, mereka berduaan saja di
kamar..."
"Salah satu orang-orangku ada di dalam—di belakang
sofa. Jangan kuatir."
Seorang pelayan datang kepada Tuan Carter.
"Dapat isyarat dia datang, Pak—tapi mereka belum
muncul. Bagaimana?" - "Apa?" Tuan Carter berputar. "Aku
lihat mereka masuk lift..." dia memandang jamnya, "...empat setengah
menit yang lalu. Dan mereka belum muncul...."
Dia cepat-cepat berjalan ke lift yang kebetulan turut pada
saat itu.
"Kau tadi membawa naik seorang tuan berjenggot putih
dengan seorang wanita ke lantai dua beberapa menit yang lalu."
"Bukan lantai dua. Tuan itu minta lantai tiga."
"Oh!" Bos meloncat masuk dan memberi isyarat pada
Tommy agar mengikutinya. "Bawa kami ke lantai tiga."Aku tak
mengerti," gumamnya dengan suara rendah. "Tapi tenang saja. Setiap
jalan keluar dari hotel ini sudah dijaga. Bahkan di setiap lantai. Aku tak mau
ambil risiko."
Pintu lift terbuka di lantai tiga. Mereka meloncat keluar
dan berjalan cepat di koridor. Di tengah jalan seorang lelaki berpakaian
pelayan menyambut mereka.
"Beres, Pak. Mereka di kamar 318."
Carter melepas napas lega.
320
"Bagus. Tak ada jalan keluar lagi?"
"Kamar itu sebuah suite. Tapi hanya ada dua pintu ini
yang menuju koridor. Kalau mereka keluar dari kamar itu mereka harus melewati
kita untuk sampai ke tangga lift."
"Baik kalau begitu. Telepon ke bawah dan tanya siapa
yang menempati kamar itu."
Pelayan itu kembali dua menit kemudian.
"Nyonya Cortlandt Van Snyder dari Detroit."
Tuan Carter berpikir keras.
"Aku tak mengerti. Nyonya Van Snyder ini merupakan
korban atau..."
Dia tidak menyelesaikan kalimatnya.
"Dengar suara-suara dari dalam?" katanya tiba-tiba.
"Sama sekali tidak. Tapi pintunya rapat. Kita pasti tak
bisa mendengar banyak."
Tiba-tiba Tuan Carter berkata tegas.
"Aku tak suka urusan ini. Kita masuk. Kau punya kunci
serep?"
'Tentu, Pak."
"Panggil Evans dan Clydesly."
Dengan bantuan dua orang tersebut mereka maju ke pintu.
Pintu itu terbuka pelan ketika kuncinya dibuka.
Mereka menghadapi ruang kosong. Di sebelah kanan ada pintu
kamar mandi yang terbuka. Di depan mereka adalah ruang duduk. Di sebelah kiri
ada sebuah pintu yang tertutup dan dari balik pintu terdengar suara
lirih—seperti keluhan
321
orang berpenyakit asma. Tuan Carter membuka pintu itu dan
masuk.
Ruangan itu ternyata ruang tidur yang diisi dengan sebuah
tempat tidur besar, tertutup dengan penutup berwarna merah muda dan keemasan.
Di atasnya tergeletak seorang wanita setengah baya berpakaian modis dengan
tangan dan kaki terikat. Mulutnya tersumbat dan matanya seolah-olah keluar
karena marah dan kesakitan.
Setelah mendengar perintah singkat Tuan Carter, kedua laki-
laki lain pun memeriksa dan menjaga ruangan lain. Hanya Tommy dan bosnya yang
masuk ke ruang tidur. Pada waktu dia membungkuk dan mencoba melepaskan ikatan
wanita itu, mata Carter memeriksa ruangan itu dengan heran. Kecuali sebuah peti
barang buatan Amerika yang amat besar, ruangan itu kosong. Tak ada tanda-tanda
Tuppence atau si Rusia di situ.
Dalam menit berikutnya pelayan datang tergesa-gesa dan
melaporkan bahwa kamar-kamar yang lain juga kosong. Tommy melihat ke jendela,
tetapi kembali tanpa hasil. Di situ tak ada balkon.
"Ini betul-betul kamar yang mereka masuki?" tanya
Carter tegas.
'Tentu. Kecuali..." Laki-laki itu menuding ke arah
wanita di atas tempat tidur.
Dengan bantuan sebuah pisau lipat Carter membuka syal yang
dipakai menyumbat mulut wanita itu. Jelas bahwa apa pun penderitaan yang
322
dialami Nyonya Snyder, kemampuannya berbicara masih ada.
Ketika marah dan caci makinya telah reda, Tuan Carter bicara
perlahan.
"Anda bersedia menceritakan apa yang telah terjadi—dari
awal?"
"Saya akan menuntut hotel ini. Benar-benar keterlaluan.
Saya sedang mencari botol Killa-grippe' saya ketika tiba-tiba seorang lelaki
meloncat dari belakang dan memecahkan sebuah botol gelas kecil tepat di depan
hidung saya. Sebelum saya sempat menarik napas, saya sudah tidak sadar. Ketika
sadar, saya sudah terbaring di situ dengan tangan dan kaki terikat. Wah, saya
belum lihat permata saya. Saya rasa sudah dia bawa."
"Saya rasa permata Anda aman," kata Tuan Carter.
Dia berputar dan mengambil sesuatu dari lantai. "Anda tadi berdiri di
tempat saya ketika dia meloncat masuk?"
"Ya," kata Nyonya Van Snyder.
Yang diambil Tuan Carter ternyata pecahan gelas. Dia
menciumnya dan memberikannya kepada Tommy.
"Ethyl Chloride," gumamnya. "Pembius yang
kuat. Tapi cepat hilang efeknya. Tentunya dia masih ada di ruang ini ketika
Anda sadar, Nyonya Van Snyder?"
"Saya kan cerita itu pada Anda tadi? Oh! Menjengkelkan
sekali melihat dia keluar begitu saja tanpa bisa berbuat apa-apa."
323
"Keluar?" kata Tuan Carter tajam. "Lewat
mana?"
"Lewat pintu itu." Dia menunjuk pintu di depannya.
"Dia dan seorang gadis. Tapi gadis itu seperti lumpuh. Barangkali dibius
juga."
Carter memandang bertanya pada bawahannya.
"Pintu ke kamar sebelah, Pak. Tapi pintunya dobel.
Masing-masing digerendel."
Tuan Carter memeriksa pintu itu dengan teliti. Kemudian dia
berdiri tegak dan kembali ke tempat tidur.
"Nyonya Van Snyder," katanya tenang. "Apa
Anda masih akan tetap mengatakan bahwa laki-laki itu keluar lewat pintu
ini?"
"Lho, ya—tentu saja. Kenapa tidak?"
"Karena pintu itu digerendel dari sini," kata
Carter dengan suara kering. Dia mengguncangkan handel pintu itu sambil bicara.
Wajah Nyonya Snyder kelihatan heran dan bingung.
"Kecuali ada seseorang yang menggerendel pintu ini di
belakangnya, dia tak akan bisa keluar," kata Tuan Carter.
Dia berpaling pada Evans yang baru masuk.
"Pasti—mereka tak ada di kamar ini? Ada pintu
penghubung lain?"
'Tidak, Pak. Saya yakin."
Carter melihat ke sana kemari. Dia membuka lemari gantung
yang besar, melihat di bawah kolong tempat tidur, ke atas ke cerobong asap dan
di balik semua gorden. Akhirnya, tanpa mempe-dulikan
teriakan Nyonya Snyder, dia membuka peti baju besar itu dan membalik-balik
isinya.
Tiba-tiba Tommy, yang dari tadi memeriksa gerendel pintu,
berteriak,
"Pak, coba lihat ini!"
Gerendel itu memang kelihatan terkunci, tetapi tidak saling
mengait. Dan itu tidak kelihatan jelas.
"Pintunya tak mau dibuka karena terkunci dari sisi yang
lain," jelas Tommy.
Pada menit berikutnya mereka keluar lagi ke koridor dan
pelayan pun membuka pintu di kamar samping. Kamar itu kosong, dan pintunya
terkunci. Kuncinya tidak ada. Ketika sampai di pintu penghubung, mereka melihat
hal yang sama. Gerendel itu kekuatan terkunci tapi kuncinya tidak saling
mengait. Tapi mereka tidak menemukan Tuppence maupun si Rusia di situ. Padahal
tidak ada pintu penghubung lainnya. Satu-satunya pintu adalah yang menghadap ke
koridor.
'Tapi saya tidak melihat mereka keluar," kata si
pelayan. "Saya pasti melihat bila mereka keluar. Saya berani
bersumpah."
"Sialan," seru Tommy kesal. "Mereka kan tak
bisa menghilang begitu saja di udara!"
Carter sekarang tenang kembali. Otaknya yang encer bekerja.
'Telepon ke bawah, tanyakan siapa yang terakhir menempati
kamar ini dan kapan mereka pergi."
Evans yang bersama-sama mereka bergerak ke telepon mematuhi
instruksi bos-nya. Akhirnya dia meletakkan gagang telepon dan mengangkat
kepalanya.
"Seorang pemuda Prancis yang cacat,Paul de Varez. Dia
dan perawatnya. Mereka pergi pagi tadi."
Sebuah seman terdengar dari petugas rahasia lainnya,pelayan.
Wajahnya pucat.
"Pemuda cacat—perawat rumah sakit," katanya dengan
gemetar. "Saya—mereka melewati saya di gang. Tapi—saya tak pernah
mengira—saya pernah melihat mereka beberapa kali sebelumnya."
"Kau yakin mereka orang yang sama?!" seru Tuan
Carter. "Apa kau yakin? Kauperha tikan mereka?" .
Laki-laki itu menggelengkan kepala.
"Melihat pun tidak. Saya menunggu—siap dengan yang
lain, yaitu lelaki berjenggot dan seorang wanita.Tentu saja," kata Tuan
Carter mengeluh. "Mereka sudah menyiapkan itu."
Tiba-tiba Tommy berseru dan membungkuk. Dia menarik sesuatu
dari bawah sofa. Ternyata sebuah bundelan berwarna hitam. Tommy membuka
gulungan itu, dan beberapa benda pun berjatuhan. Pembungkus luar adalah mantel
hitam yang dipakai Tuppence hari itu. Di dalamnya ada rok, topi, dan sebuah
jenggot palsu.
"Sudah jelas," kata Tommy dengan sedih.
"Mereka menyandera Tuppence. Setan Rusia itu
326
telah lolos. Perawat dan pemuda cacat itu ternyata palsu.
Mereka tinggal di hotel ini satu atau dua hari, sehingga orang orang di sekitar
terbiasa dengan kehadiran mereka. Laki-laki itu pasti tahu pada waktu makan
siang tadi bahwa dia terperangkap. Lalu dia melakukan rencana itu. Barangkali
dia sudah memperhitungkan bahwa kamar sebelah itu kosong, karena pada saat itu
dia menggerendel pintu. Pokoknya dia berhasil membungkam wanita di sebelah dan
membawa Tuppence masuk, mendandani dia sebagai seorang pemuda, dan mengganti
pakaian dan rupanya sendiri sebagai perawat, lalu keluar dengan gagah. Baju-
baju itu pasti sudah disiapkan lebih dahulu. Tapi yang membingungkan
saya—bagaimana mungkin Tuppence menurut begitu saja?"
"Aku bisa mengerti," kata Tuan Carter sambil
membungkuk dan mengambil sebuah metal dari karpet. "Ini bagian dari jarum
suntik. Tuppence pasti dibius."
"Ya, Tuhan!" seru Tommy. "Dan dia lolos!"
"Kita belum pasti akan itu. Setiap jalan keluar
dijaga," kata Tuan Carter dengan cepat.
"Untuk seorang lelaki dan wanita. Tapi bukan untuk
seorang pemuda cacat dan perawatnya. Mereka pasti telah meninggalkan hotel jni
sekarang."
Memang benar. Setelah dicek, perawat dan pemuda cacat itu
ternyata telah meninggalkan hotel dengan sebuah taksi, lima menit sebelumnya.
"Beresford," kata Tuan Carter. "Jangan putus
327
asa. Aku tak akan melewatkan tempat sekecil apa pun untuk
mencari istrimu. Aku akan kembali ke kantor dan memberi instruksi agar semua
bergerak. Kita akan menemukan mereka."
"Benar, Pak? Setan Rusia itu licin. Lihat saja apa yang
telah dia lakukan. Tapi saya yakin Bapak akan berusaha keras. Mudah
mudahan—tidak terlambat. Kita sudah dikerjai."
Tommy meninggalkan hotel dan berjalan seperti orang buta
yang tak tahu ke mana mesti berjalan. Dia merasa lumpuh. Mencari ke mana? Apa
yang harus dilakukan?
Dia masuk ke Green Park dan menjatuhkan diri di sebuah
bangku. Dia tidak melihat ketika ada seseorang duduk di ujung yang lain, dan
sangat terkejut ketika mendengar sebuah suara yang dikenalnya.
"Maaf, Tuan, kalau saya boleh mengganggu...."
Tommy mendongak.
"Halo, Albert," kata Tommy tak bersemangat.
"Saya tahu apa yang terjadi, Tuan, tapi tidak putus asa
seperti itu."
'Tidak putus a..." Tommy tertawa kecil. "Gampang
diucapkan, ya?"
"Coba pikir, Tuan. Blunt's Brilliant Detectives! Tak
pernah terkalahkan. Maaf. Tadi pagi saya kebetulan mendengar apa yang Tuan
katakan dengan Nyonya. Tuan Poirot dengan sel abu-abunya. Nah, kenapa Tuan
tidak memakai sel abu-abu Tuan?"
"Menggunakan sel abu-abu di dalam buku fiksi
328
itu lebih mudah daripada kenyataan yang sebenarnya,
Albert."
'Tapi." kata Albert keras kepala, "saya tak yakin
ada seseorang yang bisa mengalahkan Nyonya semudah itu. Tuan tahu kan,
bagaimana Nyonya. Dia seperti tulang-tulangan dari karet yang biasa diberikan
pada anjing- Dijamin mutunya dan tak gampang patah."
"Albert," kata Tommy, "terima kasih atas
hiburanmu."
"Kalau begitu Tuan bisa menggunakan sel abu-abu Tuan,
kan?"
"Kau memang keras kepala. Permainan kami memang
berhasil, sampai saat itu. Kita coba saja lagi. Kita kumpulkan dulu
fakta-faktanya dan kita atur dengan metode yang rapi. Pada jam dua lebih
sepuluh tepat, buron kita masuk lift. Lima menit kemudian kita bicara pada
penjaga lift. Setelah itu kita pergi ke lantai tiga. Kira-kira jam dua lewat
sembilan belas menit kita masuk ke kamar Nyonya Van Snyder. Sekarang, fakta apa
yang menonjol?"Mereka diam. Tak ada fakta apa pun yang menonjol dan
menarik perhatian mereka.
Tak ada peti di dalam kamar?" tanya Albert dengan mata
bersinar.
"Mon ami," kata Tommy. "Kau tak mengerti
wanita Amerika yang baru pergi ke Paris. Ada sembilan belas peti di kamar
itu."
"Maksud saya, peti itu merupakan tempat yang cukup baik
untuk menyembunyikan sesosok
329'
mayat yang ingin kita singkirkan—bukan, bukannya pasti
Nyonya sudah meninggal."
"Kita sudah memeriksa dua peti yang cukup besar untuk
menyembunyikan mayat. Fakta apa lagi?"
'Tuan sudah melewatkan satu fakta—ketika Nyonya dan penjahat
yang menyamar sebagai perawat itu keluar lewat koridor."
"Pasti terjadi sebelum kami keluar dari lift,"
kata Tommy. "Hampir saja mereka berhadapan langsung dengan kami. Cepat
sekali gerakannya. Aku..."Dia diam.
"Ada apa, Tuan?"
"Diam, mon ami. Aku punya suatu ide kecil— yang hebat
dan mengagumkan—yang selalu datang pada Hercule Poirot. Tapi kalau begitu—
kalau begitu—oh, Tuhan. Mudah-mudahan tidak terlambat."
Tommy meloncat dan lari keluar taman. Albert menempel di
belakangnya dan bertanya dengan napas tersengal, "Ada apa, Tuan? Saya
tidak mengerti."
"Nggak apa-apa," kata Tommy. "Kau tidak harus
tahu. Si Hastings tak pernah tahu. Kalau sel abu-abumu tidak lebih buruk dari
punyaku, kaupikir permainan apa yang sedang kulakukan? Omonganku kacau—tapi
memang begitulah. Kau anak yang baik, Albert. Kau tahu betapa berharganya
Tuppence—harganya selusin kali hargamu dan hargaku."
330
Sambil terengah-engah Tommy memasuki gerbang Hotel Blitz.
Dia melihat Evans dan menariknya sambil menyemburkan beberapa patah kata.
Keduanya dan Albert masuk dalam lift.
"Lantai tiga," kata Tommy.
Mereka berhenti di depan pintu nomor 318. Evans punya kunci
serep, dan dia memasukkannya ke lubangnya. Tanpa permisi mereka memasuki kamar
Nyonya Van Snyder. Wanita itu masih tiduran di tempat tidur, tapi sekarang
dengan pakaian tidur yang lebih pantas. Dia memandang mereka dengan heran.
"Maaf, saya tidak mengetuk," kata Tommy dengan
manis. 'Tapi saya memerlukan istri saya. Bisakah Anda bangun dari tempat tidur
itu?"
"Anda sudah gila barangkali," teriak Nyonya Van
Snyder.
Tommy memandangnya dengan tajam. Kepalanya miring.
'Sangat artistik," katanya. Tapi tidak jalan. Kami
telah mencari di bawah tempat tidur. Tapi tidak di dalam tempat tidur. Saya
ingat pernah memakai tempat itu untuk bersembunyi ketika masih kecil. Melintang
di tempat tidur. Dan peti baju itu pun siap untuk tempat membawa dia kemudian.
Tapi kami datang terlalu cepat sekarang. Kau telah membius Tuppence dan
menyembunyikannya di dalam tempat tidur, dan membiarkan diri disumbat dan
diikat teman komplotmu yang di kamar sebelah. Kami memang menelan ceritamu
sesaat pada waktu itu. Tapi
331
kalau hal itu kami pikirkan lagi—dengan logika yang
benar—sangat tidak mungkin untuk membius seorang wanita, menggantinya dengan
pakaian seorang pemuda, membungkam dan mengikat seorang wanita lain, dan
mendandani wajah seseorang—semua dalam waktu lima menit. Benar-benar sesuatu
yang tak masuk akal. Perawat dan pemuda itu merupakan sebuah umpan. Dan kami
diharapkan mengikuti umpan itu. Sedangkan Nyonya Van Snyder adalah seorang
korban yang perlu dikasihani. Tolong bangunkan dia dari tempat tidur, Evans.
Kau punya pistol? Bagus."
Dengan jeritan memprotes, Nyonya Van Snyder diangkat dari
tempatnya. Tommy membuka penutup tempat tidur dan kasur.
Di situ terlihat Tuppence terbaring dengan mata tertutup dan
muka kaku. Sesaat Tommy merasa sesak. Tapi kemudian dia melihat gerakan naik
turun di dadanya. Dia dibius, bukan mati.
Tommy berbalik ke Albert dan Evans.
"Dan sekarang. Tuan-tuan," katanya dengan
dramatis. "Pukulan terakhir!"
Dengan gerakan cepat yang tak terduga, tangannya melesat
menarik rambut Nyonya Van Snyder yang amat rapi. Rambut itu terlepas dari
genggamannya.
"Seperti sudah kuperkirakan," kata Tommy,
"Nomor 16!"
Setengah jam kemudian Tuppence membuka mata dan melihat
seorang dokter dan suaminya membungkuk di atasnya.
332
Kejadian seperempat jam kemudian sebaiknya kita tutup dengan
tirai kesopanan. Tapi setelah itu Pak Dokter pun pergi dengan lega karena
semuanya baik
"Kawanku, Hastings," kata Tommy dengan gembira.
"Aku bahagia karena kau tetap hidup."
"Kita sudah menangkap Nomor 16?"
"Sekali lagi aku sudah meremukkannya seperti memecahkan
kulit telur—dengan kata lain, Carter sudah menangkapnya. Sel abu-abu kecil!
Pokoknya gaji Albert akan kunaikkan."
"Coba ceritakan."
Tommy memberinya cerita yang penuh semangat dengan
menghilangkan bagian-bagian tertentu.
"Apa kau tidak kuatir akan nasibku?" tanya
Tuppence ragu-ragu.
'Tidak. Kita kan harus tetap tenang dalam situasi apa
pun."
"Pembohong!" seru Tuppence. "Lihat—rupamu
sendiri yang menunjukkannya."
"Hm, ya, barangkah aku agak kuatir. Sayang. Kita akan
menyudahi permainan ini, kan?"
'Tentu saja."
Tommy menarik napas lega.
"Aku rasa kau sebaiknya bersikap tahu diri. Setelah
kejutan ini..."
"Bukan karena kejutan ini. Aku tak peduli dengan
kejutan."
"Dasar tulang-tulangan dari karet—tak bisa patah,"
gumam Tommy.
333
"Aku punya, rencana bagus," kata Tuppence.
"Sesuatu yang sangat mendebarkan. Yang tak pernah kulakukan
sebelumnya."
Tommy memandangnya dengan sangat kuatir.
"Jangan, Tuppence."
"Kau tak bisa melarang," kata Tuppence. "Ini
hukum alam."
"Kau omong tentang apa?"
"Aku ngomong tentang," kata Tuppence, "bayi
kita. Istri-istri zaman sekarang tidak berbisik. Mereka berteriak. BAYI KITA!
Tommy, bukankah semua begitu indah?"
AMZA SILABAN
GRAMEDIA penerbit buku utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar